Bab 55

Zata memejamkan matanya sebentar. Riuh suara orang-orang di sekitar membuat kepalanya sakit lagi. Kala dia mendongak dan membuka mata lagi, pria bernama Resta itu menatapnya. Entah memang sedang menatap ke arahnya atau dia salah sangka saja. Tapi senyuman yang diberikan pria itu langsung membuat rasa sakit di kepala Zata sirna.

"Ganteng banget, sih!" pekik Inggit yang sudah heboh sendiri. "Tadi dia liatin ke sini, kan? Jangan-jangan ngeliatin gue!"

Apa Zata salah lihat, ya? Senyuman itu benar-benar mirip dengan senyuman Gavier yang selalu menyinari dunianya. Kalau memang dia adalah Gavier, Zata berharap diberikan kesempatan kedua untuk kembali bersama di dunia ini.

Bolehkah?

"Wah ... terima kasih atas jawaban yang telah diberikan Kak Resta!" Kemudian MC mulai membaca teks di kertas yang sudah dia pegang sejak tadi. "Tapi ada satu pertanyaan lagi, nih! Kak Resta tuh ganteng begini ada yang punya nggak, sih? Waaah, pertanyaannya agak menegangkan ya bestie. Siap-siap patah hati berjamaah, hahaha ...."

Mendengar itu semua penonton berseru. Para reporter semakin mendekatkan kamera mereka agar mendapatkan hasil yang lebih jelas. Menanggapi pertanyaan MC, Resta terkekeh pelan. Hal itu membuat para gadis jadi semakin kelimpungan.

"Ehehe ... gimana, ya? Emm ... ya ... untuk sekarang saya lagi fokus dengan film perdana saya dan belum ada kepikiran ke sana."

"Berarti Kak Resta lagi jomlo, ya?" sahut MC langsung sambil tertawa. "Kesempatan bagus nih cewek-cewek. Bisa langsung baris jadi calon mantu mamanya Kak Resta! Kita tinggal memantaskan diri aja ya, kan?"

MC yang begitu ramah itu membuat penonton semakin nyaman sebab Resta jadi sering tertawa dibuatnya. Setelah semua sesi pertanyaan selesai, para reporter berebut mengambil gambar Resta. Beberapa orang juga mengerumuninya untuk sekedar minta foto bersama atau tanda tangan.

"Mau foto juga, nggak?" tanya Inggit sambil menaik-turunkan alisnya.

Wajah Zata memerah. Dia menyentuh dadanya sambil berkata, "Emm, kayaknya rame."

"Apa yang nggak buat cogan ya, kan?"

Lantas Zata kembali menatap ke arah Resta. Kalau benar ini adalah cara semesta mempertemukan dia dengan Gavier lagi, maka Zata tak boleh melewatkan kesempatan ini. Dia pun mengangguk setuju dan membuat Inggit girang.

"Ayo!" Inggit menarik tangan Zata dan menerobos banyaknya kerumunan.

Sesampainya di depan Resta, Zata benar-benar kehilangan kata-kata. Kini dia yakin seratus persen bahwa pria ini adalah Gavier. Bentuk wajahnya mulai dari alis, mata, hidung, bibir, semuanya mirip. Tidak salah lagi. Dia adalah Gavier versi dunia modern. Hal yang membuat Zata sempat pangling adalah pakaiannya yang sesuai zaman ini. Bukan lagi jubah raja yang biasa dipakai di istana.

"Halo, Kak Resta!" seru Inggit. Zata terkejut karena Inggit tiba-tiba menyapa pria itu. Padahal dia belum siap untuk bertatapan langsung.

"Oh, halo!"

"Kami berdua fans-nya Kakak, nih! Heheh," kata Inggit tanpa malu. Zata sendiri masih bengong di tempat. Dia terpaku oleh penampilan Resta. Bisa dibilang dia kagum melihat gaya rambut, cara bicara, dan prestasi pria ini. Kalau benar dia adalah Gavier, tentu Zata sangat lah bangga.

"Oh, iya kah? Terima kasih, ya, tapi ... kenapa kalian berdua rasanya nggak asing, ya?"

Kali ini Zata semakin syok. Apa Resta mengenalinya sebagai Alenda? Kalau benar, apa yang harus Zata lakukan? Apa dia harus menangis sambil memeluk pria itu? Atau menenangkannya?

"Jelas, dong! Kita kan junior Kakak dulu di kampus. Gue masih ingat kalau Kakak yang OSPEK-in kita!" seru Inggit langsung.

OSPEK? Junior? Aku dan Inggit kenal orang ini? pikir Zata yang jadi bingung.

"Ohhh! Lo Inggit, bukan? Yang waktu itu kena hukuman nyari gue dengan beberapa clue?"

"Betul banget! Senengnya diinget orang terkenal, wkwk," ucap Inggit sambil tersenyum ramah. Keduanya tampak akrab, sampai Zata tidak bisa menemukan celah untuk bergabung.

Setelah bicara sedikit dengan Inggit, Resta beralih menatap Zata. "Kalau lo?"

Deg

Zata mendadak jadi orang bodoh. Rasanya linglung. Dia tidak tau harus bicara apa. "Emm ... aku ... emm ... eee ... Alen--"

"Dia Zata. Kakak belum pernah ketemu dia karena waktu OSPEK beda kelompok sama gue, tapi mungkin aja kalian pernah ketemu sebelum Kakak lulus. Siapa tau, kan?"

Untung saja Inggit segera memotong ucapan Zata. Dia hampir saja mengaku sebagai Alenda dan memberikan kesan aneh. Pria yang kini sedang tersenyum ramah di depannya jadi terasa asing. Apa karena Zata sadar bahwa dia tidak mengenalinya? Apa mungkin wajah mereka yang mirip jadi membuat Zata berpikir bahwa dia adalah Gavier yang dia cintai?

"Lo pendiem, ya," kata Resta setelah bicara banyak hal dengan Inggit. Dari tadi pertanyaan yang dilayangkan untuk Zata memang dijawab oleh Inggit.

"Maaf, saya sedang tidak enak badan," kata Zata yang akhirnya menemukan alasan.

"Kaku juga," ucap Resta.

Zata bingung dan kembali mendongak.

"Cara bicara lo kaku, tapi manis."

Spontan rona merah menyerbak di seluruh wajah Zata. Kesan senior-junior ini membuat Resta tampak dominan dalam interaksi mereka.

"Duhhh ... baper, nih!" seru Inggit sambil terbahak. Walau bagi Inggit itu hanya sebuah candaan, tapi Zata memasukkannya ke dalam hati. Perkataan orang yang mirip dengan orang yang kita cintai, mana mungkin tidak terbawa ke hati?

"Kalo gitu, nanti follback gue dong Kak Res! Gue ada beberapa project kampus yang butuh bimbingan. Misal Kakak nggak sibuk, apa gue boleh dm?" tanya Inggit. Zata melirik Inggit yang begitu bersemangat mendekati Resta. Rasanya iri. Dia juga mau coba, tapi kala membuka mulut hanya kata-kata bodoh yang akan ke luar. Dia masih belum percaya semua ini terjadi dalam hidupnya.

Resta hanya terkekeh, lalu menatap Zata lagi. "Lo mau bimbingan gratis juga, nggak?"

Tubuh Zata panas dingin. Dia selalu lemah kalau berada di dekat laki-laki dominan begini. Beda lagi kalau benar-benar bersama Gavier, maka dia dengan mudah menyeimbanginya. Tapi ini rasanya terlalu super power untuk Zata seimbangi.

"Boleh kalau Kakak nggak sibuk," jawab Zata dengan mata yang lurus menatap Resta. Bukannya Zata melemah, tapi dia sudah bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Hahah ... oke. Kalian bisa follow gue. Bakal langsung gue follback." Resta mulai membuka aplikasi Instagram di ponselnya, menunggu notifikasi masuk dua perempuan yang hendak mengikuti akunnya.

"Punya gue Inggit_tar, Kak! Udah gue follow barusan," ucap Inggit sembari menatap akun milik Resta, sedangkan Zata hanya menatap kosong layar ponselnya yang mati. Dia sudah lupa cara menggunakannya.

"Kalau lo?" tanya Resta.

Inggit menyikut lengan Zata. Dia menoleh, tapi tak tau harus berbuat apa. Untuk melindungi aib yang lupa cara menggunakan ponsel, Zata berucap, "HP-ku mati. Akunku ada yang di kamu, kan? Follow-in aja."

"O--oh, oke." Inggit beralih akun ke akun milik Zata. Dia mulai mengikuti akun milik Resta.

"Zatanndri_ ini, ya?" ucap Resta.

Zata tidak tau. Dia benar-benar sudah lupa, tapi dia mengangguk saja.

"Kalian bisa dm gue kapan aja. Kita diskusi bareng di sana." Kini Resta beralih menatap Zata. "Khususnya lo. Gue mau tau lebih banyak tentang lo."

"Aku?"

Resta mengulum senyum lalu beranjak pergi dari sana. Para reporter pun langsung mengikutinya. Orang-orang yang sudah mengantre berlarian ke luar aula pertemuan.

"Yuhuuu ... difollback cowok ganteng! Hore!!! Rejeki emang nggak ke mana, uhuy! Goyang ke kanan, ea! Goyang ke kiri, ea!" seru Inggit yang heboh sendiri.

"Kamu sinting, Nggit," ucap Zata dengan muka datar. Melihat Inggit rasanya penuh aib. Dia teringat dirinya sendiri yang selebay itu saat mengetahui wajah asli Gavier.

"Lo sih yang sinting. Dari tadi ditanya cuma hah heh hoh, doang. Lo tuh kayak membeku karena ketemu pangeran es tau, nggak? Malu-maluin aja. Untung muka gue masih nempel di depan," ucap Inggit sembari mendekap lengan Zata.

"Karena dia itu ...."

"Dia kenapa?" tanya Inggit. Dia penasaran karena perkataan Zata menggantung.

Rasanya Zata ingin menceritakan segalanya pada Inggit. Sebab jika dia menyimpan ini sendirian, dia akan semakin sulit beradaptasi. Apalagi tiap harinya, Inggit pasti akan curiga dengan perubahan drastis Zata.

"Ayo langsung ke mobilmu. Ada yang harus kuceritakan," kata Zata.

Lagi-lagi gaya bahasa Zata yang aneh membuat Inggit bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan gadis ini?

***

"Apa kau pernah tau soal dimensi lain?"

Inggit dan Zata sudah duduk di dalam mobil. Keduanya berhadapan untuk mendengar cerita dari Zata.

"Pernah lah. Banyak di film-film fantasi," ucap Inggit langsung. Sebenarnya apa yang ingin dikatakan Zata, sih?

"Jadi ... sebenarnya ...." Zata menarik napas dalam-dalam. Ia tau ini akan terdengar gila. Jadi dia harus menyiapkan mental dengan baik. "... kemarin waktu kita nonton film, aku masuk ke dunia itu dan menjadi Alenda."

Inggit berkedip selama beberapa menit tanpa mengucapkan apa-apa. "Emm ... kayaknya perlu ditingkatin lagi soalnya gue masih nggak ketawa, tapi gue hargai niat lo untuk melawak."

Zata menarik kedua tangan Inggit, lalu digenggamnya erat. "Aku ... serius."

"Ah ... ahahaha! Wajah lo kalau gini lucu banget!" Inggit memegang perutnya sembari tertawa keras. Merasa dirinya sudah lama tertawa, Inggit pun kembali menatap Zata. "Gila, gue hampir percaya kalau beneran."

"Karena memang beneran."

Raut Inggit berubah kala melihat ekspresi Zata yang serius dan tidak berubah sedikit pun. "Apa?"

"Hal itu benar-benar terjadi. Itu sebabnya gaya bicaraku jadi begini," kata Zata, berusaha meyakinkan Inggit bahwa ini benar adanya.

Inggit bangkit untuk memperbaiki posisi duduknya. "Tunggu-tunggu! Lo serius?"

"Iya, Inggit."

"Nggak mungkin! Itu kan cuma ada di film atau cerita fiksi! Lagipula kemarin juga kan lo di samping gue terus!" Inggit masih tidak bisa percaya. Zata mengerti itu. Siapa pun pasti tak akan dengan mudah mempercayai hal di luar nalar ini.

Zata mengeluarkan ponselnya lalu dia berikan pada Inggit. "Durasi 160 menit film itu adalah 11 tahun aku tinggal di sana. Saking lamanya, aku lupa cara menggunakan benda ini. Bahkan, aku tidak tau arti dari seminar atau Bahasa Inggris yang kau gunakan kemarin."

"Gi--gila ...." Inggit masih tercengang. "Jadi ini alasannya lo tiba-tiba off WA sama IG? Biasanya walau sakit, lo tetep online."

Zata mengangguk. Apakah setelah ini Inggit percaya padanya?

"Tapi gimana caranya lo bisa masuk ke sana?" tanya Inggit dengan kening berkerut.

"Jadi waktu kita nunggu iklan sebelum film dimulai, aku kan memakai kacamata tiga dimensi itu. Lalu, apa kamu ingat adegan Duke Celsion yang menampar Alenda di awal cerita?"

"Duke Celsion?" Inggit berusaha mengingat-ingat karena dia sudah lupa. "Ah ... ah! Bapaknya Alenda sama Galya itu, kan?"

"Benar. Saat film dimulai, aku tiba-tiba sudah berada di hutan. Duke itu memanggilku Alenda dan menyeretku pulang ke Kediaman Celsion yang kutinggali sebelum menikah dengan Gavier."

Kepala Inggit mulai pusing saat mendengarnya. Ini konyol, tapi Zata menceritakan semua ini dengan raut serius. Dia jadi tak tega untuk tidak mendengarkan. "Sebentar ... jadi maksudnya lo udah melewati semua yang terjadi sama Alenda Laqueen Celsion di dalam film?"

"Benar."

"Jadi, lo juga yang udah bunuh kaisar itu? Kan nggak mungkin! Lo nggak punya pengalaman membunuh orang!" Inggit masih tak percaya karena di dalam film, Alenda bisa menggunakan sihir dan ilmu bela diri.

"Karena ... siapa pun yang berani melukai suami dan anakku, akan mengalami hal yang sama."

Inggit membulatkan matanya. Walau dia tidak ingat jelas, tapi samar-samar dialog ini mirip dengan apa yang diucapkan Alenda.

Gila!










- The Beast & His Secret -


Sorry gue seharian scroll tiktok jadi lupa update :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top