Bab 52
"Vi ...."
Olivia menoleh dengan kedua tangan yang dipenuhi tepung. Kini dia sedang menyelesaikan tugasnya untuk membuat adonan kue. Walau sebenarnya Alenda atau Gavier tidak pernah menyuruh gadis itu untuk menjadi pelayan, tapi tetap saja Olivia merasa aneh jika tinggal di istana tanpa melakukan apa-apa.
"Ya?" Olivia menoleh dan melihat Oryza datang. Pria itu menahan tawa kala melihat serpihan tepung yang belepotan di hidung Olivia.
"Pfft ...."
Olivia memiringkan wajahnya. "Kamu kenapa, Za?"
"Nggak ... ehem, wajahmu aneh."
"Ha?"
Oryza mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Hujan yang deras hari ini membuat latihan Oryza bersama ksatria lain jadi tertunda. Sejak Aezarus kehilangan nyawa, Gavier jadi menyerahkan tugas penanggung jawab ksatria dan pengawal padanya. Karena merindukan Olivia, Oryza jadi berakhir mengunjungi gadis itu di dapur ini. Tentu saja dia sudah memerintahkan pelayan lain untuk pergi lebih dulu sehingga hanya tersisa mereka berdua sekarang.
"Hujan begini, kamu masih kerja?" tanya Oryza yang jadi mengalihkan topik.
Lantas Olivia kembali menghadap depan dan memijat-mijat adonannya. Beberapa kali dia menambah terigu lagi agar tidak lengket. "Iya, daripada nggak ngapa-ngapain."
"Mau aku bantu?"
Olivia menggeleng. "Nggak usah."
"Aku perlu melatih ini." Olivia pun menoleh. Matanya membulat saat melihat Oryza memamerkan otot lengannya. "Jadi bahaya kalau aku tidak melakukan apa pun. Bisa-bisa dia kembali menyusut."
"Hmm ...." Olivia terdiam untuk memikirkan hal ini. Sambil meliriknya, Oryza berharap rencana modus ini berjalan lancar. "Kamu mau bantu apa?"
"Aku apa aja bisa," jawab Oryza langsung, tanpa jeda.
Melihatnya yang sangat bersemangat, Olivia jadi terkekeh. Dia mengambil beberapa bahan adonan yang belum jadi untuk Oryza olah. Tentu saja dengan arahannya. Setelah keduanya sama-sama fokus memijat adonan, Oryza melirik Olivia yang tampak cantik. Dia terus menggerakkan lengannya ke telinga. Entah apa yang ingin dia lakukan. Oryza jadi penasaran.
"Duh ...," keluh Olivia. Setelah diperhatikan, ternyata Olivia ingin menggerai rambutnya, tapi kesulitan karena tangannya dipenuhi tepung.
Kesempatan, pikir Oryza sambil menahan senyum. Dia berjalan menjauh dari Olivia untuk mencuci tangan. Setelah mengelap tangannya sampai kering, Oryza berjalan ke belakang Olivia. Dia menggerai anak rambut yang mengganggu wajah gadis itu ke belakang telinga.
"Eh? Kamu ngapain, Za?" Olivia berusaha menoleh ke belakang, tapi Oryza menahannya dengan memegang kedua bahu Olivia.
"Ssst, diam sebentar."
Oryza mengambil karet yang ada di sakunya. Perlahan dia menyisir rambut Olivia dengan jemarinya. Bagi Olivia, rasanya sangat geli dan nyaman. Dia sampai bergidik karena merinding. Melihat itu Oryza semakin menikmatinya. Dia mulai menyatukan rambut Olivia kemudian mengikatnya dengan karet, selembut mungkin.
"Nyaman, nggak?" tanya Oryza di telinga Olivia.
Olivia berusaha menahan dirinya dengan mengepalkan tangan di atas meja. "Nya--nyaman!" Pipi Olivia sudah merah total.
"Aku bisa melakukan ini setiap hari kalau kamu mau," kata Oryza. Suaranya yang sedikit serak membuat Olivia ingin berteriak.
"Za--Za ... jangan begini," ucap Olivia.
"Hm? Kenapa?" Oryza pura-pura tak mengerti dengan apa yang Olivia katakan.
Olivia menggeleng. "Aku ... nggak bisa ...."
"Nggak bisa apa? Memang apa yang aku lakukan?" Setelah itu Oryza mencium leher Olivia. Membuat pemiliknya langsung menjauh dari Oryza.
"Oryza!" sentak Olivia sambil memegang leher yang tadi Oryza cium.
"Eh, maaf. Aku kira tadi bunga karena aromanya harum," jawab Oryza tanpa dosa. Jelas-jelas dia sengaja. Olivia jadi menatapnya tajam.
"Jangan sembarangan! Aku tau kamu sengaja!"
Oryza terkekeh sambil membuka tangan. "Memangnya kamu punya buktinya kalau aku sengaja? Aku kan sudah bilang kalau aku kira itu bunga."
Kemudian terjadi keheningan di antara keduanya. Olivia merasa tak nyaman. Kadang sikap Oryza memang menjengkelkan, tapi ... melihat pria itu diam saja juga membuat Olivia merasa bersalah. "Ehem, itu ... kamu yang bawa?" Olivia melirik bunga yang dibungkus dengan kertas.
Oryza senang diajak bicara lagi. Itu artinya Olivia sudah tidak marah. Lantas dia mengambil bunga yang tadinya mau dia simpan dulu kepada Olivia. "Iya, cantik, kan?"
"Wah, aku belum pernah melihat bunga ini. Cantik sekali," kata Olivia yang mendekatkan tubuhnya pada Oryza untuk melihat bunga yang pria itu pegang.
"Walau nggak secantik kamu."
Gampang sekali kalimat itu ke luar dari bibir Oryza. Olivia jadi hampir lengah lagi.
"Nama bunga ini adalah Bunga Forget Me Not yang kata ratu artinya kamu akan selalu mengingat dia di mana pun kamu berada dan juga bisa berarti kamu tidak ingin dia melupakanmu. Aku ingin memberikan ini ke kamu."
Olivia menerima bunga itu. Nama yang cantik dan arti yang manis membuat hati Olivia menghangat. "Terima kasih, Oryza."
"Tapi ... apa kamu benar-benar harus pulang?"
Oryza memegang tangan kiri Olivia yang berada di atas meja. Hal itu membuat Olivia kelabakan, ingin melepasnya tapi Oryza sudah menggenggamnya erat. "Aku harus pulang, Za."
"Kamu yakin?" Oryza mendekatkan tubuhnya pada Olivia.
"Iya ... aku harus pulang."
"Kalau kamu pulang, kamu nggak akan pernah bisa bertemu aku lagi. Apa kamu yakin?" Oryza menurunkan wajahnya pada Olivia yang bertubuh lebih pendek.
"Itu ... aku ...." Olivia membuang mukanya agar tidak semakin dekat dengan wajah Oryza. "Kita nggak bisa ... nggak akan pernah bisa bersama, Za."
"Kenapa?"
"Aku manusia dan kamu setengah naga. Orang tuaku yang kolot ... mereka dari lama sudah membenci kamu. Desa kita dulu bahkan selalu melakukan ritual untuk mengusir golongan kalian, kan? Apa kamu lupa?" ucap Olivia yang sudah gemetar karena Oryza sangat dekat dengannya.
"Kalau kamu?"
"Hm?" Olivia tak mengerti maksud Oryza.
"Apa menurutmu kita bisa bersama?"
"I--itu ... nggak tau." Olivia memejamkan matanya. Tidak sanggup lagi melihat wajah Oryza yang begitu indah di matanya.
"Kamu bilang kamu dijual ke kuil suci untuk membayar hutang keluargamu. Kalau kamu kembali, bukankah keluargamu akan menjualmu lagi? Mungkin saja ke bangsawan tua yang merindukan belaian gadis muda," ucap Oryza. Perkataan Oryza tidak lah salah. Dari dulu keluarga Olivia selalu begitu. Mereka merendahkan perempuan dan mengirim anak-anak perempuannya untuk uang. "Apa kamu menginginkannya?"
Olivia merenung. Dia menunduk sambil mencerna itu semua.
"Kalau kamu bersamaku, kamu akan aman. Mereka bahkan tidak tau kalau kuil suci sudah runtuh."
Entahlah, rasanya Olivia tidak bisa memberikan jawaban. Dia malu dan kesannya akan terlihat gampangan kalau dia langsung mau. "I--itu ... aku ... emm, maaf ...."
"Haah ... baiklah." Oryza menjauhkan tubuhnya, membuat Olivia terkejut. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi."
"Ha? Kenapa?" tanya Olivia langsung, membuat Oryza menahan tawa.
"Pasangan naga kan cuma satu seumur hidup. Aku tidak bisa terlalu lama sendiri. Harus ada seseorang yang segera kuikat sebagai partner. Jadi ... kalau kamu tidak bisa bersamaku, aku akan mencari orang lain."
"Siapa?" tanya Olivia langsung. Oryza sengaja tak menatap Olivia. Dia fokus ke arah jendela yang menampilkan derasnya hujan.
"Entahlah. Mungkin teman-teman yang pernah kutemui di gunung--"
Cup!
Olivia menarik pipi Oryza dan mengecup bibirnya. Dengan wajah memerah, dia berucap, "A--apa sudah? Ki--kita partner?"
Oryza yang terkejut jadi bengong di tempat. "Kenapa kamu--"
"Nggak tau! Pokoknya nggak tau!" Olivia melipat kedua tanganya. Dia malah emosi sendiri. "Kalau kamu nggak tau kenapa aku cium kamu, aku juga nggak tau! Pokoknya pengin aja! Waktu kamu bilang mau mencari partner lain, aku nggak suka aja!"
"Pfft ...." Oryza menarik pinggang Olivia hingga tubuh gadis itu merapat padanya. "Jadi kamu akhirnya mau menerimaku?"
"Nggak tau!"
"Nggak tau apa?"
"Ya pokoknya nggak tau!" Olivia membuang mukanya.
"Olivia ...," panggil Oryza.
"Ya pokoknya jangan sama orang lain," kata Olivia.
"Terus sama siapa?"
"Sa--sama aku aja." Setelah mengatakan itu, Olivia menatap Oryza tajam. "Nggak usah senyum-senyum!"
"Terus aku harus menangis?" Oryza tertawa lalu mengangkat dagu Olivia agar menatapnya.
"Ngomong-ngomong, kita belum jadi partner," ucap Oryza.
"Loh, terus gimana?"
Oryza tersenyum penuh kemenangan. "Ada lagi yang harus dilakukan, tapi kalau kamu setuju kita harus menikah dulu. Lalu kamu nggak boleh menolakku dan selamanya harus bersamaku. Jadi, aku tanya sekali lagi, apa kamu yakin?"
Olivia berpikir matang-matang. Meski kegengsiannya tinggi, dia tidak bisa melihat Oryza bersama perempuan lain. Sangat-sangat tidak bisa! Jadi harus Olivia saja yang berada di sisi pria itu. Kalau memang harus selamanya, Olivia yakin dia tidak akan rugi.
"Baiklah."
"Apa?"
"Aku akan bersamamu. Selamanya."
***
Alenda sudah kembali ke kamar lamanya saat masih tinggal di Kediaman Celsion. Dia memeluk dirinya sendiri sambil menyapu pandangan. Di tempat ini, Alenda pertama kali mengenal sosok Alenda Laqueen Celsion. Tak terasa sudah berlalu selama bertahun-tahuh. Rasanya masih baru kemarin dia tersesat di hutan dan ditampar oleh ayahnya. Kalau dipikir-pikir, kacamata tiga dimensi itu dia tinggalkan di hutan begitu saja. Apa ada yang sudah menemukannya, ya?
Alenda terkekeh. Dia berjalan ke jendela dan menatap bulannya. Hal yang paling Alenda syukuri saat tiba di sini adalah pelajaran. Dia mendapat banyak pelajaran mengenai kehidupan. Saat hidup di dunia aslinya, tak pernah sedikit pun Alenda mengerti atau memahami semua ini. Dia terlalu egois dengan kebebasannya. Di dunia yang tak ada kasta, Alenda selalu merasa yang paling tinggi. Sedangkan di sini, walau posisinya adalah ratu, dia malah menyadari bahwa kedudukan bukan apa-apa.
Karena kita semua adalah manusia.
Kita manusia yang diciptakan sama di mata Tuhan. Tak sedikit pun di antara kita yang diberi lebih atau kurang. Semuanya sama. Jodoh, rezeki, kematian, semuanya benar-benar diatur sama rata. Sesuai dengan jalan hidupnya.
Sepasang tangan tiba-tiba melingkar di perut Alenda. Dia menoleh dan mendapati Gavier yang menciumi lehernya. Alenda tersenyum lalu mengelus pipi pria itu.
"Apa kamu mabuk?" tanya Alenda setelah mencium aroma yang cukup menyengat dari tubuhnya.
"Sedikit," jawab Gavier. Bukan hanya sedikit, pria ini hampir seperti tidak sadar. Dia terus menciumi Alenda tanpa henti.
"Apa percakapanmu dengan ayah berjalan lancar?" tanya Alenda, dia tak sengaja melihat kelopak mata Gavier yang sembab. Sepertinya pria ini baru menangis.
Lantas Gavier mengambil tangan Alenda lalu diciuminya mulai punggung tangan, telapak tangan, sampai lengan dan bahu. "Ya, lancar. Ayah baik padaku."
"Ceritakan," kata Alenda.
Gavier menggeleng. "Ada hal lebih penting yang harus kita lakukan sekarang."
Alenda terkekeh kemudian berbalik. Dia mengalungkan lengannya ke leher Gavier lalu mengusap pipi pria itu. "Aku mencintaimu."
"Apa?" Gavier membuka lebar kedua matanya.
"Aku mencintaimu, Gavier."
Perlahan, senyum Gavier mengembang. Bola matanya tampak berkaca-kaca. Tanpa aba-aba dia langsung membawa Alenda ke dalam dekapannya hingga tubuh gadis itu terangkat. Dia menenggelamkan wajahnya pada leher Alenda. "Aku lebih ... lebih ... lebih mencintaimu."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top