Bab 45

Perang II dimulai.

Yang terjadi sebelum Alenda mendatangi Oryza.

"Olivia!" Merasa dipanggil, perempuan itu menoleh. Dia terkejut melihat lelaki yang dulu pernah menjadi teman sekaligus orang yang dia cintai sedang ada di kuil ini.

"Oryza?"

Oryza menghentikan langkahnya kala sudah sampai di hadapan Olivia. Melihat pakaiannya berjubah putih seperti asisten pendeta, Oryza jadi mengerutkan keningnya. "Kau kenapa di sini? Kau kerja di sini?"

Olivia mengalihkan pandangannya. "Itu bukan urusanmu."

"Vi ...." Oryza berusaha mendekatkan dirinya. Berharap jika dia melakukan hal itu, Olivia mau bercerita padanya dan membagikan apa pun masalahnya hingga berakhir di tempat mengerikan ini.

"Udah, Za. Jangan kayak gini," kata Olivia yang berusaha menjauh.

"Maaf kalau kamu nggak nyaman, tapi ... selama ini aku mencari kamu. Kenapa kamu bisa ada di sini? Kenapa kamu pergi?"

Olivia menahan kuat air matanya agar tidak tumpah. "Karena nggak ada alasan lagi untuk aku bertahan di sana."

"Aku belum cukup untuk menjadi alasan itu?" Olivia tak lagi bisa menjawab setelah mendengar ucapan Oryza.

Lantas, Oryza kembali mengeluarkan suara. "Bagaimana kabarmu selama ini?"

"Aku baik-baik aja. Aku bahagia di sini." Setelah mengatakan itu, Olivia baru berani mendongak untuk menatap wajah Oryza yang tatapannya sangat lekat padanya. Dilihat dari kedua mata Oryza, siapa pun pasti bisa tau betapa Oryza merindukan gadis yang ada di depannya ini. "Selama ini ... kamu baik-baik aja, kan?"

"Kamu mau jawaban jujur atau bohong?" kata Oryza.

Sepertinya Olivia tau apa yang akan disampaikan Oryza, tapi walau begitu ... dia tetap ingin mendengarnya. "Jujur."

"Aku nggak baik-baik aja." Oryza menunduk. "Setelah kamu pergi, aku sadar. Mau sejauh apa pun aku lari, tetap kamu yang aku cari. Mau selama apa pun aku menghindar, tetap kamu yang jadi harapanku. Setelah kamu menghilang tanpa jejak, aku sadar kalau aku nggak akan pernah berhenti cari kamu sampai setidaknya bisa menemukan kamu sudah bahagia dengan orang lain. Maaf karena masih ada di tempat yang sama."

Akhirnya setetes air mata Olivia tak lagi bisa dibendungnya. Hatinya sungguh menghangat saat mendengar ungkapan Oryza. Ingin sekali Olivia berteriak tentang betapa menderitanya dia di sini, tapi menempelkan hidup pada Oryza dan menjadi benalu bukan lah hal yang Olivia inginkan.

"Kamu harus bertemu orang lain, Za. Kamu juga harus bahagia."

Oryza menarik lengan Olivia. Dia tak sengaja melihat bola mata gadis itu memerah. Apa dia menangis?

"Vi ... lihat aku."

Olivia menggeleng, dia masih tetap menunduk.

"Kumohon."

Akhirnya Olivia mendongak. Kalau sudah begini, bisa saja pertahanannya runtuh kapan saja.

"Untuk apa aku bertemu orang lain kalau aku selalu mencari kamu di mereka? Bukankah aku hanya akan menyakiti mereka?" ucap Oryza.

"Tapi ...."

"Kamu minta aku untuk bahagia, tapi kalau bahagiaku itu kamu, aku harus bagaimana?"

***

"Zata!"

Zata memejamkan matanya sambil menahan isak tangis. Harusnya anak kecil sepertinya bisa mengeluarkan semua kesedihan yang dia punya. Bukan dipaksa untuk meredamnya seperti itu.

"Saya tidak punya ... alasan untuk hidup, Ratu."

Alenda langsung melangkah maju. "Bagaimana kamu bisa bicara begitu?! Bukankah ada orang tua yang ingin kamu temui dan ajak pulang bersama?"

Zata menggeleng berkali-kali. "Orang tua ... tidak ada jaminan papa mengijinkan saya bertemu mereka. Saya tidak mau lagi bertemu papa. Saya ... papa. Saya ... takut papa."

Pendeta agung bangsat! pikir Alenda yang sejujurnya sudah sangat lelah, tapi karena nyawa Zata bisa melayang kapan saja, dia harus tetap bertahan.

"Aku kan sudah berjanji, Zata! Kau lupa?" Oryza mengacungkan tangannya dan menggerak-gerakkan jari kelingkingnya.

"Orang dewasa itu bohong!"

"Zata," panggil Alenda. Kala melihat Zata, rasanya Alenda jadi mengingat korban bullying-nya saat masih di dunia nyata. Apa dia juga merasa seperti ini, ya? Kini Alenda tau rasanya. Alenda ingin memeluknya, menunjukkannya bahwa hari ini dunia masih membutuhkannya. "Kamu masih punya banyak alasan untuk hidup!"

Zata akhirnya mau menoleh untuk menatap Alenda lagi.

"Kamu tau permainan petak umpet?"

Tangis Zata mulai mereda. Dia pun mengusapnya. "Petak umpet?" beonya.

"Iya! Atau ... permainan bola bekel? Lompat tali? Ular naga panjang? Kamu tau itu semua? Sudah pernah mencobanya?"

Oryza bingung dengan ucapan Alenda. Dia yang hidup 90 tahun saja belum pernah mendengar semua permainan itu. "Yang Mulia Ratu ... sepertinya itu tidak berdampak apa-apa. Saya saja tidak pernah tau tentang permainan itu."

Zata menggeleng, kemudian dia melirik Oryza.

"Tuh, kan! Oryza yang udah hidup 90 tahun aja nggak pernah tau permainannya! Tapi aku tau semuanya, bahkan masih ada lebih banyak permainan lagi yang mau aku tunjukkan padamu! Apa kamu tidak penasaran untuk mencobanya, Zata?"

Bola mata Zata membulat. "Kak Oryza berumur 90 tahun?"

"Benar! Sudah tua sekali, kan? Sudah tua tapi jomlo, hahah!" Alenda pura-pura tertawa mengejek Oryza agar Zata bisa menjadi sekutunya dan percaya pada Alenda. Meski sedikit, Alenda bisa melihat Zata yang terkekeh.

"Ah ... jadi saya korbannya," kata Oryza.

Alenda pun mulai melangkah mendekati Zata lagi, yang kali ini Zata tak menolak kehadiran Alenda lagi. "Zata, kamu masih punya banyak alasan untuk hidup. Kamu masih 10 tahun. Ada banyak permainan yang belum kamu coba, ada banyak gaun yang belum kamu pakai dan baru bisa dicoba saat sudah dewasa, kamu juga belum bertemu pangeran berkuda putih yang menyelamatkanmu dalam bahaya. Apa kamu ingin melepas semua itu?"

Zata merenungi semua perkataan Alenda. Jujur dia masih ingin melihat dunia lebih banyak lagi, tapi setelah apa yang terjadi dia hanya tidak lagi ingin menginjakkan kaki di tanah atau bernapas di udara yang sama dengan pendeta agung.

"Saya ... masih ingin mencobanya."

"IYA, KAN?!!!" Alenda langsung berucap lantang dengan antusias.

"Tapi, saya takut, Ratu."

Alenda mengulurkan tangannya. "Kalau kamu mau menggenggam tanganku, aku tidak akan pernah melepasnya. Aku berjanji. Berbeda dengan Oryza, aku adalah orang yang tidak akan pernah melanggarnya."

Zata menemukan sebuah harapan dari kedua mata ratu. Dia seperti mendapat banyak pasokan oksigen yang membuatnya tetap melanjutkan hidup. "Sungguh?"

Betapa senang Alenda kala mendengarnya. Dia mengangguk berulangkali dan langsung membuka tangan lebar. "TENTU SAJA!"

Zata bangkit dari tempatnya lalu berlari menuju Alenda. Yang mulai sekarang, akan dia anggap seperti rumah dan alasannya untuk tetap bertahan.

Ya Tuhanku, jantung hamba hampir merosot ke perut, batin Alenda yang merasa sangat lega usai Zata sudah berada di pelukannya.

Di sisi lain, Gavier menghancurkan seluruh isi kuil dengan gerakan tangannya. Orang-orang yang percaya dan terpedaya oleh ajaran sekte sesat ini terus menangis histeris, bersahutan, mirip seperti binatang yang berlarian karena kehilangan tempat tinggal.

"Ya--Yang Mulia? Apa lagi ini?!" seru seseorang yang mirip dengan pendeta agung, tapi lebih muda. Tampaknya dia adalah saudaranya.

"Kau juru bicaranya?" tanya Gavier dengan tatapan dingin.

"Ti--tidak, tapi tindakan Anda sudah keterlaluan! Kuil sudah memberikan semua yang Anda mau, tapi Anda malah memperlakukan kami seperti ini!"

Pendeta agung memegang bahu adiknya agar berhenti bicara. Diletakkannya tangannya ke dada sebelah kiri sambil menunduk hormat. "Mohon maafkan kelancangan adik saya, Yang Mulia Raja."

Gavier merasa jijik melihat wajah mesum ini. Selama ini dia memang diam saja karena tak peduli, tapi kalau sekarang istrinya sampai turun tangan, Gavier tak akan lagi memberikan toleransi.

"Aku ingin jadi pendeta agung," kata Gavier sambil bersedekap dada. Anggota sekte yang ada di sana saja sampai melongo kala mendengarnya.

"Maaf? Sepertinya saya salah dengar," ucap pendeta agung yang sudah berkeringat dingin dan panik.

"Di kuil nggak ada korek kuping?" Gavier menghela napas berat. Tepat saat dia menghela napas, pilar yang ada di sisi kanan dan kiri altar runtuh. "Kubilang, aku mau jadi pendeta agung!"

Tempat kuil pun bergetar ketika Gavier berdeham kesal.

"Gempa! Gempa! Ini kemarahan dewa!" seru orang-orang di sana.

"Dengar, kan, kemarahan dewa? Aku bisa mendapat karunia dewa lebih banyak dari kau. Jadi, pergilah dari sini dan jadikan aku pendeta agung!" seru Gavier.

Orang-orang di sana mulai bingung dengan kefasihan pendeta agung sekarang untuk tetap menduduki posisinya, sementara di sini ada Gavier yang jauh lebih kuat.

"Jangan berdusta, Yang Mulia!" seru pendeta agung. Dia semakin cemas melihat para pengikutnya mulai menatap Gavier kagum, mereka tampak semakin mempercayai ucapan pria itu.

"Haah ... baiklah, aku akan jujur saja di sini. Sebenarnya, aku adalah keturunan Dewa Ares dan Dewi Aphrodite. Kalian pernah mendengar kutukan dari Dewa Hephaestus? Ya, aku salah satu keturunan yang menerimanya."

"HUWAAAA!" Semua orang berbondong-bondong mendatangi Gavier, berusaha mencium kakinya. Tapi tubuh Gavier malah melayang di udara. Dia melambaikan tangan dengan ramah pada pengikut sekte yang otaknya sudah tidak normal itu.

"YANG MULIA!"

Gavier terbang mendekati pendeta agung. Dia tarik janggut panjang pria itu. "Kau memberi mereka obat-obatan terlarang yang membuat otak mereka tak bisa bekerja normal, kan?"

"I--itu--"

Gavier mendekatkan wajahnya sampai ke telinga pendeta agung. Dia berbisik, "Annara ... Xelsatak!"

DUAR!

Isi altar langsung meledak hingga bangunan kuil roboh seketika.

Mendengar hal itu, Alenda, Oryza, dan Zata langsung menoleh. Mereka melotot saat melihat bangunan kuil mulai roboh perlahan-lahan.

"Gavier!"

Alenda dan Oryza yang sudah menggendong Zata kini berlari kembali menuju kuil suci. Aneh sekali kuil suci yang bahkan bisa menghadang banjir ambruk tiba-tiba. Pasti ada sesuatu yang begitu besar telah menghancurkannya!

Sampai di belakang bangunan, Alenda melihat Olivia dan Yivone yang sudah tak sadarkan diri. Mereka terkena runtuhan bangunan. Telinganya juga mengeluarkan darah. Mungkin karena suara ledakan yang begitu kerasnya. Sontak Oryza mendekat pada mereka, memeriksa kondisi tubuh mereka satu per satu.

"Kau kenal mereka?" tanya Alenda.

"Ya, Yang Mulia."

Alenda pun memutuskan untuk membiarkan Oryza yang menjaga semua gadis itu. Kini dia berlari menuju bangunan depan kuil untuk memeriksa keberadaan Gavier. Semoga saja pria itu baik-baik saja.

Krak!

Duar!

Sesuatu menghantam lahan luas bagian depan kuil sampai keramiknya retak. Yang ternyata itu adalah Elfatir yang mendarat dari atas langit. Disusul oleh Nindy dan Oceryus paling terakhir. Ketiganya tampak aneh. Tubuh mereka berlumuran darah seperti habis membantai ratusan orang dan memakannya.

"Ish, tubuhku jadi bau!" keluh Nindy yang mengusap pipinya dengan gaun. Banyak bercak darah di sana usai dia menggerogoti para pengawal.

Elfatir jadi ikut mengendus tubuhnya. "Hmm, tidak begitu bau juga. Rasanya malah enak. Apa karena kita melakukan perjanjian dengan iblis?"

Nindy mengangguk. "Mungkin."

Mereka berdua mengikuti langkah angkuh Oceryus menuju kuil suci. Di tangga besar itu, mereka mulai melangkah naik.

"Kakak," panggil Elfatir.

Oceryus menoleh.

"Aku boleh makan manusia kaku itu?" tanya Elfatir dengan wajah polos. Manusia kaku yang dimaksud ialah Aezarus yang posisinya entah ada di mana.

"Kalau begitu, jatahku adalah istrinya. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu!" Dan yang Nindy maksud ialah Alenda.

Oceryus terkekeh. "Kalau begitu, aku akan bertemu anakku tercinta."

Mereka bertiga langsung berhenti bicara ketika merasakan aura seseorang yang ada dalam jarak sangat dekat. Sejak kekuatan iblis masuk ke tubuhnya, mereka jadi mudah merasakan aura.

"Wah, ada yang menguping, ya?" ucap Elfatir sambil terkekeh. Serentak mereka menoleh ke arah anak laki-laki yang bersembunyi di balik pilar. Tadinya dia berhasil lari ke luar kuil sebelum ledakan.

Tangan Oceryus terulur. Dia mulai mengepalkan tangannya seperti sedang meremas sesuatu.

Krak!

Bunyi leher yang patah langsung terdengar. Bocah itu melayang ke arah mereka bertiga sesuai dengan gerakan tangan Oceryus. Tanpa menunggu lama, ketiganya pun melahap tubuh anak laki-laki itu bersama-sama. Sebab bayaran dari perjanjian bersama iblis ... adalah nyawa manusia.




















- The Beast & His Secret -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top