Bab 44
Perang I dimulai.
"Bagaimana perasaanmu?"
Seorang pria berpakaian militer datang ke kamar yang dulunya milik Alenda. Tentu saja kini ranjang dan isinya dikuasai oleh Elfatir. Pria itu sekarang sibuk berkaca di depan cermin besar yang biasa dipakai Alenda. "Hmm, yah ... hari ini sedikit lebih baik."
"Tentu saja kau harus merasa baik. Aku sudah menyiapkan semua yang kau butuhkan," celetuk Permaisuri Nindy yang baru datang. Dia langsung berjalan angkuh menuju Elfatir lalu membantunya membenah kerah kemeja. "Penampilanmu harus bagus. Hari ini kau akan bertemu Yang Mulia Kaisar untuk pertama kalinya."
"Uhuk-uhuk!" Elfatir hendak menjauhkan tangan Permaisuri Nindy darinya. "Terlalu sesak! Aku tidak nyaman."
"Hentikan rengekanmu itu! Kesempatan ini bahkan tak akan pernah terjadi dalam hidupmu kalau bukan karenaku. Apa kau masih tidak paham posisi?!" bentak Permaisuri Nindy. Hal itu membuat nyali Elfatir menciut dan hanya mampu menurut.
Setelah itu permaisuri mendudukkan diri di pinggir kasur Alenda. "Kau sudah membunuh bibi?"
"Ya ... aku kesal padanya. Jadi kubunuh saja."
Permaisuri Nindy mulai mengurut pelipisnya dengan tangan. "Bodoh sekali! Sangat-sangat bodoh! Pantas saja selama ini kau hanya bisa menjadi pecundang."
"Apa lagi, sih? Salah lagi?" tanya Elfatir yang jadi ikut kesal.
"Lihatlah, Kak ... adikmu ini bodoh sekali, kan?"
Pria tadi berjalan masuk setelah menutup pintu kamar. Dia mendekat ke hadapan Elfatir lalu mencengkram rahangnya. Melihat itu Elfatir tak bisa berkutik, dia ketakutan. Selama ini hanya kakaknya ini yang mampu menghajarnya habis-habisan dengan didikannya yang keras. "Kalau kau masih banyak tingkah, bukankah itu artinya kau melanggar janjimu padaku?"
"Kak Oceryus ... aku ... aku hanya tidak tau mengapa aku tidak boleh membunuh bibi."
Pria bertopeng itu langsung menghempas wajah Elfatir darinya. "Karena dia adalah orang paling pas yang bisa dijadikan kambing hitam, tapi kau malah membunuhnya. Bodoh!"
"Bwahaha, dia memang sudah bodoh dari lahir, Kak!" ejek permaisuri.
"Nindy, kau sudah menyiapkan semuanya? Yang Mulia Kaisar juga akan ikut, kan?" tanya Oceryus.
"Iya, Kakak tenang saja. Beliau sangat tergila-gila padaku. Pertarungan ini sangat menyenangkan baginya."
Oceryus mengangguk sembari bersedekap dada. "Kita tetap harus hati-hati. Tidak ada yang tau apa isi pikiran kaisar sebenarnya dan lagipula ... kita tidak tau juga apa alasan anak itu mendatangi kuil."
"Haah ... bukankah kau terlalu percaya pada pendeta mesum itu? Bisa saja dia membual, kan? Seseorang yang tidak mempercayai hal-hal suci seperti Gavier, memang apa yang bisa dia lakukan di kuil?" kata Permaisuri Nindy dengan remeh.
"Ya, kau mungkin benar. Tapi aku sebagai ayahnya bahkan tak bisa membaca isi pikirannya sendiri. Apalagi setelah kejadian dia kembali dari medan perang. Rasanya masih baru kemarin." Oceryus mengusap lembut lehernya yang tersisa bekas sihir Dewa Ares milik Gavier. "Aku tak akan pernah melupakannya."
"Tentu saja jangan dilupakan! Dia itu keponakanku yang paling tidak tau diri. Bisa-bisanya dia jatuh cinta padaku. Gila apa?!" kesal Permaisuri Nindy, mengingat Gavier yang tiba-tiba datang ke istana kaisar dan menanyakan tentang perasaannya. Betapa bingung Nindy kala itu.
"DARURAT! DARURAT!"
Oceryus, Elfatir, dan Nindy sama-sama menoleh kala mendengar suara orang heboh dari luar.
"Apa-apaan?" kata Elfatir dengan alis bertaut.
"Aku akan mengeceknya." Oceryus berjalan ke luar, tapi dia malah bertemu seorang pengawal yang hendak mengetuk pintu untuk melapor. "Ada apa?"
"Darurat, Tuan! Ada serangan dari makhluk aneh! Mereka memakan dan menyerang para prajurit!"
"APA?!" Nindy dan Elfatir segera berlari mendekat. Ini kacau. Sungguh kacau. Kalau kaisar tau soal ini ... segalanya bisa hancur.
Kala Nindy menoleh untuk melihat reaksi kakaknya, dia malah bingung karena Oceryus malah menahan tawa. "Pfft ...."
"Ka--Kakak?" panggil Elfatir dan Nindy yang bingung.
"Bwahahahaha!" Oceryus menarik Elfatir dan mengalungkan lengannya di leher anak itu. "Ayo ikut aku. Mari kita memulai kontrak dengan iblis itu."
"IBLIS?!" Nindy menghalangi langkah Oceryus dan Elfatir. "Maksudmu makhluk itu adalah iblis? Kau gila, Kak? Lebih baik kita kabur dan mundur! Kalau kaisar tau-- argh!"
Oceryus mendorong Nindy hingga terjatuh. "Berisik! Urusan kaisar itu jatahmu."
Keduanya pun pergi meninggalkan Nindy yang sudah sangat cemas.
Sampai di aula istana yang kacau, Oceryus bisa melihat makhluk aneh yang mengenakan mahkota, memegang ular beracun di salah satu tangannya, dan menunggangi seekor binatang bersayap naga dengan buntut ular. Dapat disimpulkan sekali bahwa iblis apa yang sedang menyerang istananya.
"Tuan Astaroth!" seru Oceryus hingga kericuhan yang terjadi pun jadi berubah hening. Iblis-iblis yang berlarian langsung terdiam. Mereka berhenti kala satu pemimpinnya mengangkat tangan.
"Ha.Ha.Ha. Kau mengenaliku," ucapnya.
Astaroth adalah iblis bangsawan tingkat 1 di neraka. Tentu saja bekerja sama dengannya akan cukup menguntungkan bagi Oceryus, Elfatir, dan Nindy. Walaupun sebenarnya Oceryus masih tak tau mengapa mereka tiba-tiba datang dan menyerang istananya.
"Kak ... lebih baik jangan. Penampilannya buruk sekali," ucap Elfatir yang hanya berani mengekor di belakang Oceryus.
"Hentikan!" Oceryus menghempas tubuh Elfatir dengan mana-nya. "Bocah pecundang!"
Setelah tubuhnya semakin dekat dengan Astaroth, Oceryus berlutut dan mencium kakinya. "Saya sembahkan sisa hidup saya untuk Anda, Tuan."
"Ha Ha Ha, sungguh?"
"Sungguh," jawab Oceryus langsung, penuh keyakinan.
"Baiklah. Akan kuterima dengan senang hati," kata sang iblis sembari mengulurkan tangannya untuk diletakkan di atas kepala Oceryus. Stempel perjanjian pun muncul dari punggung tangan pria itu. Sihir yang dimiliki Astaroth otomatis meresap ke dalam jantung Oceryus.
Dari balik pintu aula istana, kaisar memakan camilannya sambil menguap. Sangat membosankan dan mudah diprediksi. Lantas dia memanggil sapu terbangnya dan melayang ke arah timur, tepatnya ke Kota Angkasa.
***
Langit pagi seharusnya cerah. Apalagi saat matahari mulai terbit dari timur. Anehnya tidak untuk hari ini. Mungkin karena hujan mulai datang, langit jadi tetap gelap diiringi oleh halilintar.
Perasaan Alenda makin kacau. Entah mengapa dia merasa akan terjadi suatu hal yang buruk hari ini.
"Kuulang sekali lagi, di mana Zata?!"
Yivone mengusap darah yang mengalir tiba-tiba dari hidungnya. Hal itu membuat Olivia panik, tapi Yivone langsung mendorongnya. Setelah ditekan berkali-kali, akhirnya gadis itu mau bicara.
Lima jam sebelumnya, Yivone selesai membersihkan beberapa piring sesuai dengan jadwal tugasnya. Tapi tiba-tiba seseorang datang memeluknya dari belakang kala dia baru berdiri. Spontan Yivone memberontak karena tak nyaman dan takut. Baru saja akan menoleh, orang itu menjambak rambut Yivone dan menenggelamkan wajahnya ke dalam baki berisi air bekas cuci piring.
Semakin Yivone melawan, orang itu malah menghajarnya habis-habisan. Setelah dapat melakukan apa yang dia mau, orang itu membawa tubuh Yivone yang tidak sadarkan diri dan melemparnya ke belakang kuil. Saat membuka mata, tau-tau dia sudah terkapar di tempat ini dengan penampilan kacau dan seluruh tubuh terasa hancur.
Tiga jam kemudian, Yivone baru mendengar langkah kaki yang terseok-seok. Tapi tubuhnya tak punya kekuatan untuk mencari tau. Yang jelas dia melihat gadis kecil dengan penampilan tak jauh berbeda dengannya sedang menangis. Tatapannya kosong tapi dia tau harus berjalan ke mana.
"Apa Kakak mati?"
Yivone terkekeh. "Ya, aku akan mati."
Gadis itu ambruk di samping Yivone. "Jangan mati di sampingku. Nanti repot."
"Aku tidak tau ... aku harus bertemu orang tuaku, tapi ... aku sepertinya akan mati."
"Mati saja. Itu lebih menyenangkan," ucap Yivone tanpa dosa. Dia merasa gadis kecil ini banyak sekali drama. "Kenapa? Ada yang masih membebani hatimu?"
Gadis itu melayangkan jari kelingkingnya. "Tapi dia sudah berjanji. Dia akan mempertemukanku dengan orang tuaku."
"Janji orang dewasa itu bohong. Mati saja." Zata kembali menatap Yivone dengan lemas. "Toh, kau tak akan bahagia lagi walau bisa bertemu orang tuamu. Kau sudah hancur, kan?"
Setelah mendengar cerita dari Yivone, tubuh Alenda lemas. Dia hampir ambruk kalau tidak segera ditahan Oryza.
"Kenapa ... kenapa kau berkata seperti itu? Kau sama saja membunuhnya!" bentak Olivia yang tak bisa membayangkan betapa sakit dan ketakutan anak itu sekarang.
"Aku hanya mengatakan realistisnya saja. Perempuan yang dilecehkan apalagi belum pernah menikah tapi sudah memiliki kondisi seperti ini sama saja seperti sampah. Tak akan ads tempat yang mau menerima kami," ucap Yivone yang baru kali ìni ucapannya di akhiri air mata.
"Apa yang terjadi?" celetuk seseorang. Dia adalah Gavier. Melihat Oryza merangkul Alenda, Gavier langsung menyulut jari Oryza dengan apinya.
"Aw! Aw!" Oryza segera mengibas-ibaskan tangannya.
"Gavier?" Alenda terkejut dengan kedatangan Gavier.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Alenda?"
Alenda berjalan mendekati Gavier. "Ceritanya panjang. Yang jelas, sekarang Zata hilang."
Gavier kini beralih menatap Olivia. "Di mana pendeta?"
"Biasanya di jam segini beliau sedang melakukan meditasi untuk--" Ucapan Olivia terputus.
Gavier langsung berbalik kembali menuju kuil, tapi Alenda sempat menahannya. "Kau mau ke mana?"
"Kau cari anak itu di dekat tebing, aku akan menemui pendeta mesum itu langsung." Gavier berganti melirik Oryza. "Za, jaga istriku."
"Baik, Tuan."
Alenda menatap Oryza. "Maksudnya apa? Kenapa di dekat tebing?"
"Tuan bisa mencium aroma Zata di dekat tebing. Jadi, mari pergi sekarang, Yang Mulia!" Oryza menundukkan tubuhnya dan langsung berubah wujud menjadi naga. Yivone yang baru tau kalau pria asing itu setengah naga langsung melotot dan terpelonjak kaget.
"Vi! Setan, Vi! Aku nggak mau masuk neraka!" seru Yivone yang ketakutan.
"Nggak mau ke neraka tapi pengin buru-buru mati? Definisi besar omong," jawab Olivia yang hanya dibalas dengusan oleh Yivone.
Sampai di atas langit, Alenda bisa melihat sesuatu seperti semut sedang duduk di ujung tebing. "Za! Za! Woi! Itu kayaknya Zata! Cepet!"
Oryza langsung bergerak turun dan mendarat di dekat tempat Zata berada.
"Zata?"
Zata menoleh. Tangisnya masih berlinangan, tapi bibirnya yang pucat dan tatapannya yang kosong mampu menunjukkan isi hati gadis itu.
"Zata, ke mari lah."
Zata menggeleng. Dia malah mengayun-ayunkan kakinya di udara. Yang apabila dia maju sedikit saja, tubuhnya akan langsung jatuh.
"Zata! Ini ratu dan Kak Oryza. Kau tau kan kalau kami sangat menyayangimu?" seru Oryza agar Zata kembali membuka hatinya, tapi tampaknya gadis itu sudah sangat hancur. Dia terlihat rapuh sampai tidak bisa membuka atau menutup hati lagi.
"Aku ingin mati," ucap gadis kecil berusia 10 tahun.
Dari tangkai pohon di dekat posisi Zata dan Oryza, kaisar terkekeh. "Begini baru seru."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top