Bab 43
Warning, part ini sedikit sensitif. Harap lebih bijak membaca.
***
"Apa?"
Alenda menepuk-nepuk pelan tangan Gavier yang ada di dalam genggamannya. "Kita ... akan segera memiliki anak. Aku hamil, Gavier."
Perlahan Gavier menjauhkan tangannya dari Alenda. Ekspresinya tampak sangat terkejut. Bahkan sepertinya pria itu tak lagi bisa merasakan apa yang terjadi di sekitar. Semua ini sangat membingungkan. Apalagi rasanya seperti ada sesuatu yang membuncah dari dadanya. Sesuatu yang apabila dadanya dibuka akan muncul kupu-kupu berterbangan.
Gavier pun kembali menyentuh perut Alenda, meraba-raba keberadaan makhluk yang tinggal di dalam istrinya. "Ini ... anak?"
Alenda mengangguk dengan sabar. Dia tau hal ini pasti akan sangat mengejutkan Gavier. Bahkan reaksi Gavier juga sesuai dengan prediksinya.
"Makhluk kecil ini ... anak kita, Alenda?" tanya Gavier lagi, seolah benar-benar tak percaya kalau tidak bertanya berulangkali dan Alenda masih menjawab dengan anggukan. "Ini beneran aku yang bikin?"
"Ya masa Oryza?"
Gavier menautkan kedua alisnya. "ORYZA?!"
"Ma--maksudku ... suamiku kan kamu. Aku cuma pernah tidur sama kamu. Masa yang bikin orang lain?" Alenda jadi panik karena ucapannya sendiri. Semoga saja Gavier tidak salah paham.
Saat Alenda hendak melihat raut Gavier lagi, dia otomatis melebarkan pupilnya. Pria itu ... menangis. Benar! Gavier sungguh menangis. Buktinya dia mengucek matanya berulangkali, berusaha untuk tidak membiarkan air matanya keluar sedikit pun.
"Hei, Gav?"
"... sebentar." Gavier berusaha menenangkan dirinya. Dia ingin berhenti menangis, tapi tidak bisa. Air matanya terus saja mengalir. Seakan sesuatu yang menyesakkan di dadanya mulai menguap. Sebenarnya dia kenapa?
"Jangan nangis ... nanti aku ikut nangis juga." Alenda mengusap air mata di pipi pria itu, dia jadi ikut berkaca-kaca.
"Kalo aku ... nggak bisa jadi ayah yang baik buat dia gimana, Nda?" kata Gavier. Hal itu lah yang terus mengganggu pikirannya sepanjang dia menangis bahagia.
"Dia sayang sama kamu kok. Aku tau itu. Kamu nggak perlu jadi ayah yang sempurna, cukup sayangi dia."
Gavier mulai berhasil menghentikan air matanya. Dia mengusap tangis miliknya dengan kerah kemeja lalu menatap lekat Alenda. "Aku pernah dengar kalau hamil dan melahirkan itu sulit. Jadi, kamu harus bilang apa pun yang kamu rasain, ya?"
Gavier menyentuh perut Alenda. "Di dalam sini kan anak kita. Aku nggak mau cuma kamu yang susah sendiri. Jadi aku juga mau merasakan itu. Kalau perlu, susahin aku nggak pa-pa."
Alenda terharu mendengarnya. Dia tangkup kedua pipi Gavier saking gemasnya.
Ya Tuhan, makasih udah dikasih suami kayak dia! batin Alenda. Setelah itu dia langsung menyerang wajah Gavier dengan ratusan ciuman. Gavier sendiri jadi kelabakan dan hanya bisa memejamkan mata.
"A--Alenda?"
"Diem, aku lagi terapi bersyukur."
"Bersyukur untuk apa?"
"Bersyukur karena ayahmu jodohin kita."
Di sisi lain, ada Oryza dan Zata yang sedang berbincang berdua. Sepertinya gadis kecil ini senang sekali mendengar cerita Oryza tentang dongeng kancil dan beruang. Sehingga sampai jam segini Zata belum juga tidur.
"Wah, seru!" ucap Zata sambil menepuk tangannya.
Oryza terkekeh, Zata adalah gadis kecil yang menggemaskan. Sehingga Oryza tak merasa berat untuk menemaninya atau direpoti olehnya. "Mau dengar cerita lagi atau tidur? Ini sudah malam, loh. Katanya besok kau ingin bertemu orang tuamu, kan?"
Zata jadi berubah cemberut. "Aku tidak tau apakah bisa bertemu dengan mereka lagi."
"Kau pasti bisa bertemu mereka lagi. Tadi pendeta agung kan sudah berjanji. Kau ingat, kan? Jadi ...." Oryza mengulurkan tangannya dan menggerak-gerakkan jari kelingkingnya. "... aku berjanji akan mempertemukanmu dengan orang tuamu."
"Benarkah? Kau berjanji?" Ekspresi Zata berubah riang. Oryza jadi semangat mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Zata.
"Ya! Aku janji!" Kemudian Oryza bangkit dan menyelimuti tubuh Zata sampai ke bahu. "Kalau begitu, sekarang tidur dulu, ya? Kalau kau mau mendengar ceritaku lagi, besok harus bangun pagi."
"Baiklah." Zata mulai membenah posisinya agar lebih nyaman. "Apa kau akan tetap di sini?"
Oryza mengusap lembut puncak kepala Zata. "Aku akan menjagamu di luar. Jendela kamar sudah kukunci dari dalam dan ruangan ini tidak kedap suara. Kau akan tetap aman."
"Terima kasih, Kak Oryza."
"Sama-sama." Oryza pun berjalan menuju pintu kamar. Sebelum meniup lilin dan menutup pintunya, Oryza sempat berucap, "Selamat malam, Zata."
"Selamat malam, Kak Oryza."
Brak
Pintu pun ditutup. Oryza terkejut kala melihat seorang perempuan berjalan sendirian di lorong sambil membawa keranjang rajut berisi pakaian. Yang membuat Oryza tak bisa mengalihkan perhatiannya adalah karena dia mengenali perempuan itu.
"Olivia? Kenapa dia ada di sini?" gumam Oryza. Tak menunggu lama, dia segera mengejar perempuan itu sebab dia sudah bertahun-tahun mencarinya hingga ke seluruh benua tapi tak menemukan hasil apa-apa. Bagaimana mungkin perempuan yang dia cari bahkan dengan bantuan kekaisaran ternyata sedang berada di kuil suci?
Zata sedikit menggerakkan tubuhnya karena dia mulai merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang bergerak di pipi dan bagian lehernya. Apa ini mimpi?
Perlahan kelopak mata Zata kembali terbuka. Tepat di atas wajahnya ada wajah seorang pria yang berjanggut panjang. Tentu saja itu adalah pendeta agung!
Zata hampir teriak dan bangkit dari tempatnya, tapi pendeta langsung menjambak rambutnya hingga kembali terhempas ke ranjang.
"Tenanglah," ucap pendeta.
Zata memiliki trauma, dia pernah berada di posisi ini. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mengepal untuk menyembunyikan getaran rasa takut yang dia punya. Yang kini mampu dia lakukan hanya menatap kaku pendeta yang berada di atasnya.
"Harusnya kau tidak perlu repot-repot. Papa akan berperilaku baik." Pendeta membelai pipi Zata.
Zata menggeleng berkali-kali. "Papa ... jangan ...."
"Hm?" Pendeta membelai pipi sampai leher Zata. "Kau semakin cantik. Berapa usiamu sekarang? 9 atau 10 tahun?"
Bulir air mata Zata mulai berjatuhan. Dia ketakutan, tapi tak ada yang bisa dia lakukan di posisi sekarang. Semuanya hanya akan merugikannya.
Pandangan Zata melirik ke arah pintu kamar. Kalau dia teriak, apakah Kak Oryza akan segera berlari menolongnya?
Pendeta memainkan rambut Zata dengan memutar-mutar anak rambutnya. Setiap sentuhan pendeta pada tubuhnya, Zata hanya bisa terpejam dengan tangis dan teriak yang dia tahan.
Yang Mulia Ratu ... tolong aku!
***
Alenda tidak tau sekarang jam berapa, tapi sepertinya ini masih dini hari. Entah sekitar pukul 3 atau 4 pagi. Gavier sudah tertidur sejak mereka banyak bercerita tentang apa yang mereka sembunyikan akan satu sama lain. Hal itu jadi semakin mengejutkan Alenda mengenai penyerangan Kerajaan Disappear yang ternyata sudah diprediksi. Bahkan seminggu sebelum acara dimulai, Gavier sudah selesai membangun terowongan bawah tanah di dalam istana, di mana tempat itu lah yang menjadi tempat para pengawal, pelayan, dan prajurit istana melarikan diri.
Tentu saja Gavier sudah mengumpulkan semua orang-orangnya. Beberapa ada yang juga ditempatkan menjadi mata-mata Elfatir. Itu semua dia sembunyikan dari Adires, yang ternyata ada untungnya karena Elfatir dan pasukannya percaya kalau sumpah partner yang dia lakukan bersama Alenda berhasil. Padahal tanpa sepengetahuan Gavier pula, Adires juga punya rahasia dengan menjadikan Alenda partner ketika mereka berhubungan badan pertama kalinya.
Walau sebenarnya itu tidak sengaja karena Naga Ladon, sang raja para naga, baru mengabari peraturan baru ikatan partner usai keduanya berhubungan.
"Duh, kebelet!" gumam Alenda yang bangkit dari ranjang. Dia tidak enak untuk membangunkan Gavier, apalagi merepotkan pelayan yang bekerja di kuil. Lebih baik Alenda pergi sendiri saja.
Sambil mengendap-endap, Alenda ke luar dari kamar tamu. Dia menoleh ke kanan dan kiri untuk memperhatikan area lorong yang sepi. Anehnya ke mana Aezarus pergi? Harusnya pria itu berjaga di depan kamar Alenda dan Gavier.
Tak ingin memusingkan hal itu, Alenda pun melanjutkan niatnya. Setelah selesai buang air, Alenda tidak langsung kembali ke kamar. Dia penasaran dengan kondisi Zata yang tidur di kamar berbeda. Tapi bukan berarti Alenda membiarkannya tanpa penjagaan sebab Alenda sudah memerintahkan Oryza untuk menjaga kamar Zata.
Krieet ....
"Zata?"
Deg
Alenda tidak melihat keberadaan Zata maupun Oryza. Ke mana mereka berdua? Apa perlu dia kembali ke kamar untuk memanggil Gavier?
Sepertinya tidak perlu. Alenda harus segera mencari Zata.
Perasaanku nggak enak, pikir Alenda. Dia mulai berlarian sepanjang lorong untuk mencari posisi Zata. Karena dia tak punya kemampuan sehebat Gavier atau Oryza dalam mengenali aura, sepertinya satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah meminta bantuan Aletheia.
Sembari memejamkan mata, Alenda membuka kedua telapak tangannya. "Aletheia ... aku membutuhkanmu."
Alenda mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuat mana-nya berkumpul hingga kepala. Selesai melakukan itu, dia kembali membuka mata, tapi tidak ada siapa-siapa. Aletheia tidak datang seperti apa yang pernah dia lakukan sebelumnya. Frustasi dengan hal itu, Alenda hampir berteriak. Dia tak ingin membuang-buang waktu dan terus berlari sampai ke luar kuil.
Di sana akhirnya Alenda bisa melihat punggung seseorang.
"ORYZA!"
Oryza berbalik dengan wajah bingung. "Yang Mulia? Kenapa Anda--"
Plak!
Alenda langsung menampar pipi Oryza saking geramnya. Ditampar tiba-tiba membuat Oryza diam tak berkutik, sedang perempuan di sebelahnya langsung berdiri menghadang Alenda. "Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia? Walau Anda seorang ratu, sepertinya perbuatan Anda sangat tidak pantas jika dilakukan tanpa alasan."
"Siapa kau?" Alenda tak tau mengapa perempuan ini ikut campur, tapi urusannya adalah dengan Oryza.
"Oryza, kau telah mengabaikan perintahku! Ke mana saja kau dari tadi, hah?!" Kepala Alenda masih dipenuhi amarah. Sehingga dia tak bisa diajak bicara pelan lagi.
"I--itu ... saya mendatangi dia ... Yang Mulia, dia teman saya di desa dulu," kata Oryza sambil menunduk. Dia akui dia salah karena meninggalkan kamar Zata, tidak seperti amanah yang diberikan. Tapi tetap saja menurutnya ini sedikit tidak adil karena meninggalkan Zata sebentar tak akan berakibat apa-apa. "Tapi, Zata sudah tidur, Yang Mulia. Dia baik-baik saja."
"DIA HILANG!"
Kedua mata Oryza membulat. Itu tidak mungkin. Oryza tidak meninggalkan Zata begitu lama.
Ah, atau Oryza yang asik mengobrol sampai lupa waktu?
"Sa--saya akan mencarinya!"
"Sudahlah! Dia tidak ada di dalam kuil. Aku sudah berkeliling 5 kali. Kali ini kau harus mencarinya dengan kekuatanmu! Cari auranya!" bentak Alenda. Keringat sudah mengalir deras dari tubuhnya. Olivia yang tidak tau apa-apa jadi kembali bungkam, tapi dia punya dugaan terburuk yang biasa dialami anak-anak di sini.
"Baiklah, Yang Mulia!"
Oryza memejamkan matanya, berharap bisa mengendus aura Zata. Tapi nihil. Zata bahkan tak ada di sekitarnya.
"Ini mustahil. Zata tidak ada di mana-mana, Yang Mulia." Oryza jadi semakin panik. Padahal belum lama ini dia berpikir anak itu mungkin sedang buang air atau berjalan-jalan sekitar kuil.
"Sudah kuduga! Ada yang tidak beres!" bentak Alenda yang sudah sangat kesal.
"Per--permisi," ucap Olivia di tengah mereka. Sontak Alenda dan Oryza menjadikan gadis itu pusat perhatian.
"Ada apa, Via?" tanya Oryza.
"Kalau tidak penting, sebaiknya tutup mulutmu. Ini bukan waktunya membuang waktu," sewot Alenda yang sudah sangat lelah. Masalahnya, Zata itu masih sangat muda. Apa pun bisa menimpa gadis yang masih rapuh itu.
"Hal ini tidak terjadi sekali dua kali, Yang Mulia. Ada satu tempat yang mungkin bisa menjadi jawaban mengenai di mana anak itu sekarang," ucap Olivia dengan tatapan penuh keyakinan.
Alenda terdiam sebentar untuk berpikir. Meski ucapan perempuan yang tidak dikenal ini belum tentu benar, tapi itu lebih baik daripada bergerak tanpa tujuan. "Baiklah! Antar kami ke sana!"
"Baik!"
Olivia pun mengarahkan Alenda dan Oryza ke jalan di ujung belakang kuil. Di sana tidak lagi ada taman seperti bagian depan, kanan, dan kiri kuil. Malah jalanan ini sudah hilang dimakan semak-semak yang tumbuh tinggi. Jika berjalan terus ke dalam, ada gubuk kecil beserta jalan masuk hutan. Di dekatnya lagi juga ada tebing pasir yang posisinya sangat tinggi.
"Yivone!" seru Olivia kala melihat seorang gadis terkapar dengan banyak luka di wajah. Dia terbaring di atas semak-semak dengan raut datar. "Apa ini ulahnya?!"
Alenda dan Oryza ikut mendekat. Perempuan bernama Yivone ini sepertinya sudah berusia 17 atau 18 tahun. Yang jelas dia sudah cukup dewasa. Penampilannya tampak kacau. Mata kanannya bengkak oleh pukulan hingga tak bisa terbuka, wajahnya dipenuhi luka dan bekas hantaman. Darah yang tak sedikit juga berlumuran di pakaiannya.
"A--apa yang terjadi?" tanya Alenda sambil ikut berjongkok.
"Aku akan mati hari ini," ucap Yivone dengan seulas senyuman.
"Aku tau kau gila, tapi cukup, Yivone! Jangan bicara macam-macam! Aku akan mengobatimu!" seru Olivia.
Mendengar itu, Yivone langsung bangkit menjadi duduk. "Jangan berani-berani membantuku! Hari ini aku harus mati. Aku sudah berjanji pada gadis itu untuk mati bersama."
"Gadis itu?" tanya Olivia yang bingung.
"Gadis siapa? Apa dia masih kecil? Apa dia terlihat berusia sekitar 10 tahunan?" tanya Alenda langsung secara beruntun.
Yivone terkekeh. "Benar. Dia masih sangat muda. Penampilannya acak-acakan sambil terus menangis. Berisik sekali."
"Di mana dia sekarang?!"
Dengan santai Yivone menjawab, "Mungkin menyusul orang tuanya."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top