Bab 41

- Kadang kalo pas adegan aksi di The Beast & His Secret biasanya gue denger lagunya Neoni ~ Darkside. Feelnya langsung dapet. -

***

"SIALAN!"

Pendeta agung menghempas jubahnya ke belakang lalu berjalan dengan gagahnya.

"Siapa pun yang telah mengganggu acara suci di kuil pasti akan mendapat balasan yang besar dari dewa!" serunya yang berhasil memprovokasi orang-orang yang otaknya sudah terkontaminasi.

Melihat itu, Gavier menyikut lengan Aezarus sebagai isyarat agar dia mengikuti langkahnya.

"Ke mana, Yang Mulia?" tanya Aezarus di samping Gavier yang berjalan cepat ke luar kuil.

"Melihat apa yang terjadi di luar karena aku merasa tidak asing dengan suaranya," jawab Gavier hingga kaki mereka sampai di pilar-pilar besar kuil bagian depan. Dari sisik dan auranya, Gavier tau dia adalah Oryza. Apa yang dilakukan naga itu di sini?

"Siapa kau? Apa maumu?!"

Alenda sebenarnya tak ingin memulai ini semua dengan kasar, tapi dia jelas mendengar teriakan anak kecil yang menangis. Selain itu Oryza juga mengungkap bahwa pria tua yang dipanggil pendeta ini sudah menampar gadis itu berkali-kali. Bagaimana tidak kesal? Alenda jadi membayangkan bagaimana jika dia mengabaikan Zata lalu gadis kecil ini harus menerima perlakuan yang sama dari orang-orang itu ketika datang ke sini sendiri.

"Aku ingin mencari orang tuanya!" ucap Alenda. Zata pun muncul dari balik punggung Alenda.

"Di mana ayah dan ibu?!" seru Zata dengan tatapan tajam. Dia benci laki-laki yang selalu ingin dipanggil 'papa' oleh para gadis kecil. Zata jadi teringat bagaimana dia dipaksa mencium kakek ini.

"Loh, Zata?" Senyum pria itu langsung melebar. Dia menurunkan tongkatnya, kemudian berjalan cepat ke arah Alenda. Tangannya terbuka lebar, hendak memeluk gadis kecil yang sempat kabur darinya ini. "Papa merindukanmu, Sayang!"

Papa? Pengin kutendang burungnya, batin Alenda yang super merinding kala mendengarnya.

"Ratu! Aku takut!" Zata segera bersembunyi di balik Alenda lagi.

"Zata? Jangan takut. Ini papa. Papa akan membawamu ke ayah dan ibu. Zata percaya sama papa, kan?"

Zata mengintip. Dia langsung menggeleng sebagai jawaban.

"Anak keras kepala! Kau itu pengantinku!" Akhirnya muncul juga sifat asli pendeta. Dia langsung berlari untuk menerkam Zata. Spontan Alenda mengeluarkan mana api birunya. Pengawal yang berjaga di sisi kanan kiri pendeta langsung mengacungkan pedang mereka ke arah Alenda.

"Ha! Jadi kau datang dengan seorang penyihir, Zata?" Pendeta melipat kerah jubah bagian lengannya sampai siku. "Atau dia kakakmu? Kalau kau tak ingin menikah denganmu, kakakmu juga tidak masalah."

"Ingin sekali kurobek mulut baumu itu," ucap Alenda tanpa takut.

"Dengarlah, Anak Muda, sihir gelapmu itu tak akan bisa melawan kekuatan suciku yang berasal dari dewa. Yang ada, kau hanya akan mati terbakar sampai neraka," ucap pendeta.

"Banyak bicara!" Alenda membuka kedua telapak tangannya dan meremas api biru yang muncul. "LASYONIKITELA!"

Alenda langsung mengarahkannya pada tubuh pendeta, berharap pria itu akan segera meledak oleh kekuatannya. Namun, nihil. Betapa terkejut Alenda kala melihat gelembung besar melindungi tubuh sang pendeta.

"Aku sudah bilang, kan?" Setelah mengatakan itu, pendeta mengacungkan kedua tangannya ke depan hingga tubuh Alenda dan Zata terhempas jauh ke belakang. Untung sayap besar Oryza segera menahan tubuh mereka agar tak jatuh ke tanah.

Sesuatu seperti palu besar muncul dari tangan kanan pendeta. Dia melangkah maju untuk menghajar orang-orang yang tidak sopan padanya. Saat melayangkan itu ke atas untuk menghantamkannya, Gavier menghempas tubuh pendeta sampai dia terlempar ke pilar kuil begitu keras.

"Pendeta!" seru para pengawal. Mereka langsung menoleh untuk melihat siapa yang berani menyerang pendeta lagi. Dan siapa pun tak lagi bisa berkutik saat tau itu Gavier.

"Beraninya kau memiliki niat busuk pada istriku!" Tatapan Gavier sudah diselimuti api sejak melihat tatapan penuh nafsu pendeta pada Alenda. "Kucincang kau sekarang juga!"

Gavier mencekik leher pendeta dengan kekuatannya. Kakek tua itu pun kelabakan, tangannya berusaha menahan sesuatu yang mencekik lehernya dan menendang apa pun yang ada di bawahnya. Tubuh sang pendeta melayang ke udara.

"Mau kuhantam atau kubuat tubuhmu terpotong-potong?!"

"Yang Mulia! Tu--tunggu!" kata pendeta agung.

Para pengawal hanya bisa menonton. Mereka bingung karena tak akan bisa melawan kekuatan besar Gavier.

"Yang Mulia ... sepertinya ini berlebihan. Anda tau kan sifat asli pendeta? Mohon untuk dimaklumi! Sepertinya ini hanya salah paham!" ucap pengawal.

"Be--benar, Yang Mulia! Mohon kebesaran hati Anda untuk memaafkan pendeta!" sahut pengawal yang lain. Mereka semua bergantian meminta Gavier agar melepas pendeta. Kekuatan suci pendeta memang tak ada apa-apanya dengan Gavier yang diberkati Dewi Aphrodite langsung.

Wujud Oryza sudah berubah menjadi manusia. Dia bersedekap dada sambil menonton aksi itu karena seru. "Bunuh saja, Tuan! Bunuh! Mulutnya itu bau!" serunya dari kejauhan.

Alenda menggendong Zata yang masih ketakutan. Dia membiarkan gadis itu anteng memeluknya, sedangkan Gavier dari jauh tampak memandangnya.

"Bagaimana menurutmu, Alenda? Apa kau memaafkannya?" tanya Gavier.

Biasanya Alenda akan mudah memaafkan orang, dia tak berani membiarkan orang lain mati di depannya. "Sedikit saja, jangan sampai mati."

Bibir Gavier mengembang. Dia mengepalkan tangannya.

KRAK!

"ARRRRGH!" Tangan dan kaki kanan pendeta patah bersamaan. Setelah itu Gavier menjatuhkan tubuh pendeta begitu saja.

Para pengawal kuil langsung mendekati tubuh pendeta dengan sigap. Mereka menggendong pendeta masuk kembali ke kuil.

Lantas Gavier menoleh ke arah Alenda. Dia masih terkejut mengapa gadis itu berada di tempat berbahaya seperti ini. Dia berjalan mendekati Alenda dengan tatapan penuh tanya, sedangkan Oryza sudah sangat ketakutan.

"Tuan ... anu--"

"Aku akan bicara padamu nanti, Oryza!" potong Gavier langsung yang diselimuti amarah. Padahal dia sudah meminta Oryza untuk menjaga Alenda selama dia tak ada, tapi gadis ini malah berada di tempat yang tak seharusnya.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Alenda.

"Itu lah yang mau kutanyakan, Alenda. Kenapa kau ada di sini?"

Alenda mengalihkan pandangannya. "Aku ada urusan."

"Urusan? Urusan apa yang membuatmu berada di tempat berbahaya ini? Kalau aku tidak ada, pendeta itu bahkan memiliki niat yang buruk padamu!" Gavier tak lagi bisa menahan emosi kala Alenda berniat menyembunyikan sesuatu darinya.

"Kau juga ada urusan yang tidak bisa dikatakan padaku, kan? Aku tidak ingin bergantung padamu! Tanpa kau menolongku tadi, aku bisa melindungi diriku sendiri!" Alenda berjalan meninggalkan Gavier begitu saja. Dia menaiki tangga kuil dengan perasaan kesal.

"Oryza, jelaskan padaku semuanya!" sentak Gavier.

Oryza pun menghela napas berat. "Jadi begini ...."

***

"Sekali lagi selamat datang di kuil suci, Yang Mulia Ratu. Mohon maafkan saya atas kesalah pahaman saya tadi pagi."

Alenda duduk di meja makan bersama Zata, Oryza, dan Gavier. Aezarus sebenarnya juga ada di sana, tapi dia menolak ikut makan dan memilih berdiri di belakang Alenda dan Gavier. Dia tetap ingin mengingat tugasnya sebagai ksatrianya Gavier.

"Iya ... jangan diulang terus! Aku bosan mendengarnya," kata Gavier langsung. Dari tadi dia memang secara terus terang menunjukkan ketidaksukaan pada pendeta, sedangkan Alenda mengangguk anggun.

"Baiklah, Pendeta Agung, saya sudah memaafkan perbuatan Anda tadi pagi. Jadi sekarang saya akan langsung ke intinya. Di mana orang tua dari anak ini berada? Mereka sudah terpisah lama," ucap Alenda.

Pendeta memperhatikan Zata yang kini berani menatap tajam dirinya. Walau awalnya dia masih ketakutan, tapi setelah melihat pendeta kalah dari raja, dia tak lagi takut.

"Papa janji, papa akan mempertemukan kalian," ucap pendeta pada Zata.

"Idih," gumam Gavier yang masih bisa didengar mereka semua.

Lantas Alenda bisa melihat wajah pendeta yang menunduk malu, dia benar-benar terhibur.

"Malam ini Anda bisa menginap di sini lebih dulu. Kami akan menyiapkan kamar yang nyaman," ucap pendeta.

"Baiklah."

Setelah makan malam selesai, Alenda berjalan ke kamar bersama Gavier. Keduanya masih saling diam hingga sampai di dalam kamar yang sudah disiapkan. Alenda jadi merasa bahwa Gavier sepertinya masih marah padanya.

Usai pintu ditutup, Gavier langsung menarik Alenda ke dalam pelukannya. Dia peluk erat tubuh gadis ini sampai Alenda yang kaget hanya bisa terdiam.

Hampir satu jam Gavier memeluknya, Alenda sampai lelah berdiri. "Gav?"

"Hm."

"Kamu ngapain? Mau sampai kapan meluknya?"

Gavier hanya menggeleng. Pelukannya tak berubah sedikit pun.

"Gav ... capek."

Gavier mengangkat tubuh Alenda dan mengubah pelukan itu jadi menggendongnya. Alenda pun tak punya pilihan lain selain mengalungkan lengannya di leher Gavier dan melingkarkan kakinya di pinggang pria itu.

Bukannya menurunkannya ke ranjang, Gavier malah mengapitkan tubuh Alenda ke dinding. Alenda pun menjauhkan kepalanya agar bisa menatap Gavier. "Kenapa?"

Gavier tak bicara apa-apa. Dia hanya tersenyum kecil sambil menatap wajah cantik Alenda.

"Apa, sih? Kamu kerasukan?"

"Aku kangen."

Sontak wajah Alenda memerah sampai ke telinga. Dia tak lagi bisa bicara. Seluruh tubuhnya panas dingin mendengar itu, apalagi di posisi seperti sekarang.

"Ehem ... Gav, kita lagi di kuil suci," ucap Alenda sambil mengalihkan pandangannya.

"Terus kenapa? Aku bisa bunuh pendeta sekarang dan jadi pendetanya," kata Gavier dengan percaya diri.

Alenda mengulum senyumnya. "Iya, sih. Kamu hari ini gila banget."

"Jadi? Itu aja?"

Alenda tak mengerti apa maksud Gavier. "Terus apa?"

"Kamu nggak kangen juga?"

Alenda menggigit bibir bawahnya. Sikap Gavier yang seperti ini membuat Alenda percaya bahwa kepribadian Gavier dan Adires memang sudah menyatu. "Emm ... sebenarnya aku ... kangen juga, sih."

Alenda menatap mata Gavier lagi. "Hari ini aku cuma liat wajah Oryza doang. Yah ... ganteng, sih, tapi nggak seganteng kamu. Jadi bosen."

Ah, sepertinya Alenda salah bicara. Kini dia bisa melihat raut tak suka dari wajah Gavier.

"Hm, apa perlu aku rusak wajah Oryza?" gumam Gavier yang masih bisa didengar Alenda.

Sontak Alenda memukul bahu Gavier. "Heh, ngomong apa, sih? Jangan lah! Anak itu masih jomlo, kasihan."

Kini Alenda meletakkan kedua tangannya di bahu Gavier. Pria ini kuat sekali menggendongnya sampai sekarang karena posisi mereka masih belum berubah. "Pasangan naga kan cuma satu seumur hidup. Jadi cuma kamu yang jadi nagaku dan cuma aku yang boleh simpan jantungmu."

Mendengar itu Gavier terkejut, tapi telinganya juga memerah seperti biasa. "Jadi ... kamu sudah tau?"

Alenda mengangguk. "Sudah. Kenapa kamu nggak ngasih tau aku kabar baik ini?"

"Aku ada rencana kasih tau kamu malam ini waktu pulang setelah kekuatanku pulih."

"Oh, gitu ... hari ini aku--"

Cup!

Alenda terkejut kala bibir Gavier membungkam bibirnya. Dia jadi lupa tadinya mau bilang apa. "Ga--Gav?"

Gavier memejamkan matanya dengan perasaan campur aduk. "Maaf, tapi aku udah nggak tahan."

Mendengar itu Alenda menahan tawanya. Dia Adires, tapi juga Gavier. Kalau hanya Adires pasti dia tak akan meminta maaf dan kalau hanya Gavier pasti dia bisa menahan dirinya sebaik mungkin. Mereka benar-benar perpaduan yang pas.

"Nggak pa-pa, kamu bisa lanjutin."

Sontak Gavier membuka matanya. "Kamu nggak pa-pa?"

Alenda mengusap pipi Gavier. "Aku nggak pa-pa."

"Maaf, tapi nggak biasanya aku begini. Harusnya aku bisa jagain kamu, tapi malah aku yang monster."

Alenda mengalungkan lengannya di leher Gavier lagi. "Aku mau kok kalau monsternya kamu."

Mendengar itu Gavier menatap lekat Alenda. "Kamu ...."

Alenda mengangguk sebagai jawaban.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Gavier langsung memajukan wajahnya. Melumat bibir Alenda dengan lembut, tak seperti Adires yang selalu menggebu-gebu seolah takut Alenda akan hilang dalam waktu dekat. Menikmati hal itu, Alenda juga semakin menarik tengkuk leher Gavier. Gavier pun membawa Alenda menjauh dari dinding, dia pindahkan Alenda ke ranjang dengan sangat pelan seperti takut Alenda akan pecah kalau tidak berhati-hati.

Alenda senang dengan perlakuan Gavier yang selalu mementingkan kenyamanannya. Bahkan sebelum melanjutkan apa yang ingin dia lakukan, Gavier akan selalu memulainya dengan bertanya, "Alenda, apa aku boleh melakukan ini?"

Alenda jadi membuang wajahnya ke arah lain. "Nggak usah banyak tanya dan lakuin aja!" ucapnya dengan wajah yang sudah sangat memerah.







- The Beast & His Secret -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top