Bab 40
- Baca The Beast & His Secret sambil dengar lagu Elley Duhé ~ Middle Of The Night dijamin makin mantab -
***
"Za! Za!" Alenda menarik lengan pria itu sampai dia melangkah mundur.
"Ada apa, Yang Mulia?" tanyanya.
"Ini benar-benar Kota Angkasa?" Alenda mengedarkan pandangannya pada bangunan-bangunan yang sudah tidak berbentuk. Rasanya mereka hanya seperti berdiri di antara batu-batuan dan sampah. "Semuanya beneran hancur."
Oryza masih menggendong Zata yang malah anteng memeluknya. Gadis kecil itu makin nyenyak didekap pria tampan seperti Oryza. "Benar, Yang Mulia, saya juga sedikit terkejut. Tempat ini lebih hancur dari yang saya kira."
Alenda melangkah lebar pelan-pelan sebab jalannya lumayan licin dan berbahaya. "Masa ada kuil di sini? Di tempat kayak gini?"
"Hati-hati, Yang Mulia," kata Oryza sambil menarik tangan Alenda agar menjadikannya tumpuan. "Pegang baju saya agar Anda tidak jatuh."
Kurindu Gavier ... kamu di mana, Ayang? batin Alenda sambil menghela napas berat. Harusnya di momen seperti sekarang Gavier lah yang menemaninya, tapi pria itu sudah berjam-jam berada di luar jangkauan matanya. Padahal kan Alenda butuh asupan wajah tampan pria itu! Ya ... walaupun sebenarnya Oryza sudah cukup tampan untuk dipandang, tapi rasanya haram kalau bukan suami sendiri.
"Za," panggil Alenda lagi. Kali ini dia berjalan sambil memegang bahu Oryza.
"Ya, Yang Mulia?"
"Kau ini masih muda, segar, kok masih bujang aja? Coba lah cari pacar atau istri. Siapa yang bisa nolak kamu?"
Mendengar itu pipi Oryza memerah karena malu, dia jadi menunduk. "Hahaha, Yang Mulia bisa saja."
"Loh, aku tidak bercanda! Kalau aku lebih muda dan belum menikah, kamu mah sudah masuk list calon mantu mamaku."
"List calon mantu mama Anda? Saya tidak mengerti maksud Anda, Yang Mulia," ucapnya dengan muka cengo.
Mager jelasin, pikir Alenda.
"Yah, gitu lah pokoknya." Kali ini Alenda meloncat lebih lebar. "Intinya, segera cari cewek! Sayang sama mukamu yang ganteng ini. Aku jadi penasaran nanti kalo kamu nikah, anakmu bakal kayak gimana."
"Anak?" Lagi-lagi Oryza tak paham arus pembicaraan Alenda.
"Iya, kamu tidak tau, ya? Jadi kalau punya anak itu, fisik turun dari ayah dan kecerdasan turun dari ibu. Makanya kalo udah ganteng kayak kamu begini, tinggal cari istri pinter aja. Dijamin anaknya sem.pur.na! Percaya denganku."
Oryza manggut-manggut mendengarnya. Dia cerna semua perkataan nyonyanya sambil membayangkan wanita seperti apa yang akan menjadi bagian dari hidupnya.
"Saya masih pikir-pikir lagi, Ratu. Pasangan naga hanya ada satu seumur hidup," ucap Oryza.
"Hmm, takut salah pilih, ya?"
Oryza mengeluh panjang. "Benar."
Kalo dipikir-pikir ini lucu. Bisa-bisanya di situasi kayak begini aku ngobrolin jodoh sama Oryza. Dia ini asik diajak cerita, kayak ketemu bestie, batin Alenda sambil memperhatikan wajah Oryza yang tampak fokus.
"Tapi aku cukup salut sama naga. Kalo pasangan satu seumur hidup, berarti mereka nggak akan pernah punya pengalaman bertemu atau memulai hubungan dengan orang lain, kan? Mereka cuma akan mencintai satu orang yang menurut mereka cocok dijadikan pasangan. Kalau saja sistem di dunia seperti itu, nggak ada tuh yang namanya perselingkuhan, pasangan overthinking belum move on, atau masalah-masalah yang melibatkan orang ketiga lainnya."
Oryza tampak mengerutkan keningnya. Alenda tau kalau hal itu disebabkan Oryza tak mengerti maksud kalimatnya.
"Walau tidak mengerti, tapi saya tetap setuju pendapat Yang Mulia Ratu."
Benar dugaan Alenda.
"BWAHAHAHAHA! Kau ini!" Alenda mengacak kasar puncak rambut Oryza. Di situasi begini, masih saja Oryza bertingkah lucu. Dia jadi mengingatkan Alenda dengan sepupunya di dunia asli yang menggemaskan.
"Tapi, Za, aku serius. Kalau kau bertemu dengan perempuan yang cocok denganmu nanti, aku mau memberimu saran. Kau mau mendengarnya?" ucap Alenda, berniat untuk menggoda Oryza. Karena dia polos, bisa saja ucapan Alenda dipatuhi.
"Apa itu, Ratu?"
"Bilang padanya, aku tau persamaanmu dengan lambung."
Oryza langsung memegang perutnya. "Lambung?"
"Yap!"
"Kenapa, Yang Mulia?"
"Dan jawablah, karena sama-sama dekat hati. Eaaa!" seru Alenda lalu semakin terbahak-bahak. Kali ini disertai pukulan bertubi-tubi di lengan Oryza. Padahal pria itu merasa bahwa ucapan ratu tidak lucu, dia jadi makin bingung sambil pasrah menerima pukulan sang ratu.
Kemudian Alenda mengusap ujung matanya yang sudah meneteskan air mata.
Aku tidak tau sejak kapan kerecehan ini semakin menjadi-jadi, pikir Alenda.
"Ngomong-ngomong, sepertinya anak ini nyaman sekali tidurnya, Yang Mulia. Bahkan sampai sekarang dia belum juga bangun," ucap Oryza sembari memperhatikan Zata yang mendengkur tenang.
"Ah, anak ...." Ucapan Alenda terhenti. Dia jadi menyadari sesuatu. Spontan langkahnya ikut berhenti. Jantungnya yang berdebar kencang membuat aliran darahnya berdesir kuat. "Za ...."
"Ada apa, Yang Mulia?" Oryza masih berada di tempatnya. Dia berbalik untuk memperhatikan Alenda yang tidak lanjut berjalan. "Apa Anda sakit?"
Oryza berjalan kembali mendekat, tapi Alenda melarangnya.
"Tunggu! Tetap di sana!" serunya.
Oryza kebingungan. Dia pun menuruti perkataan Alenda dengan banyak pertanyaan di kepala.
"Za, apa kau bisa mendeteksi aura dari jarak dekat maupun jauh?" tanya Alenda dengan suara sedikit lebih kencang.
"Bisa kalau sedang berada di tempat yang tidak ada banyak aktivitas mana, Yang Mulia!" seru balik Oryza.
Tangan Alenda sudah panas dingin. "Coba satu hal!"
"Apa?"
"Tadi kau bilang kalau ada tiga aura, kan? Apa sekarang di dekatmu hanya ada satu aura atau ada dua?" tanya Alenda.
Walau tidak mengerti, Oryza patuh saja. Dia mulai mengendus keadaan di sekitarnya dan tak tercium aura lain selain milik Zata. "Benar, Yang Mulia."
"Sekarang coba rasakan aura ini!" Alenda berlari kecil ke arah Oryza hingga sampai tepat di hadapannya. "Bagaimana?"
Oryza membulatkan matanya dengan ekspresi sangat terkejut. Kalau benar ada yang mengikuti mereka, harusnya aura ini tetap ada walau dari jarak jauh atau dekat, tapi ... aura ini ikut bergerak sepanjang aura Alenda bergerak.
"Aura itu menempel ... bersama Anda, Yang Mulia," kata Oryza yang masih speechless.
Seluruh tubuh Alenda bergetar. Sedikit demi sedikit dia mulai merasakan sesuatu. Untuk menjawab ucapan Oryza, Alenda menggeleng. "Bukan menempel. Sepertinya ... dia memang ada di sini."
Alenda menyentuh perutnya. Dia merasa aneh. Walau hanya dugaan, tapi mungkin hal ini bisa menjawab alasannya berhenti datang bulan selama hampir tiga bulan.
"Kenapa, Yang Mulia?"
Alenda tak tau harus berkata apa. Dia raba perutnya yang sebenarnya sudah tidak rata, ada sedikit buncit di sana. "Aku kira karena kembung."
"Apanya, Yang Mulia Ratu?" Oryza jadi ikut panik melihat wajah Alenda yang pucat.
"Itu ... Oryza, ada yang mau kutanyakan. Apa kau bisa, emm, misalkan aku berdiri di balik tembok, apa kau bisa merasakan keberadaanku? Minimal detak jantung atau hembusan napasku. Apa kau bisa merasakannya?" tanya Alenda dengan terburu-buru. Dia harus segera memastikannya!
"Apa? Berdiri di balik tembok?"
"Ya!"
Oryza berpikir sebentar. Dia bahkan tak pernah memikirkannya. "Hm, saya tidak pernah mencobanya, Yang Mulia."
"Baiklah, coba saja!"
"Coba?"
Alenda mengangguk. "Sentuh perutku dengan tanganmu!"
Spontan Oryza menyimpan kedua tangannya. "Apa?! Mana mungkin saya berani, Yang Mulia! Saya masih sayang nyawa! Apalagi kalau Tuan Gavier tau saya bisa ditebas habis!"
"Bukan seperti itu maksudku! Aku hanya ingin kau merasakannya--"
"Merasakan apa?!" potong Oryza yang sudah panik. "Tolong jangan paksa saya melakukan sesuatu yang dilarang, Yang Mulia! Saya tau saya tampan, tapi saya punya tipe ideal juga!"
Ucapan Oryza membuat ekspresi Alenda berubah datar. Jadi maksudnya, Oryza menolak Alenda dan berkata bahwa Alenda bukan tipe idealnya? Wah, walau bukan itu maksud Alenda, tetap saja dia merasa kesal.
"Hm, aku jadi ingin menebasmu sekarang."
"Yang Mulia Ratu!" Oryza memejamkan matanya. "Saya bahkan belum pernah memegang tangan perempuan!"
"Tadi kau kan memegangku," kata Alenda langsung.
"Maksud saya dengan makna lain!"
Alenda menggaruk kepalanya. "Ck, maksudmu apa, sih? Jangan berpikir aneh-aneh! Kau juga bukan tipe idealku. Aku masih waras untuk mencintai suamiku, bukan bawahannya. Aku hanya memintamu memeriksa perutku, 5 menit saja-- tidak! 1 menit juga sudah cukup!"
Tetap saja ini masih sulit. Oryza geli.
"Apa tetap tidak bisa?" tanya Alenda.
Oryza jadi merasa bersalah. Dia bingung harus bagaimana. "Se--sebentar saja ya, Yang mulia?"
"Tentu saja!" Alenda segera menarik sebelah tangan Oryza lalu ditempelkan ke perutnya. Dia tatap baik-baik ekspresi Oryza yang langsung memejamkan mata sambil ketakutan.
Duh, gimana ini kalo Tuan Gavier tau?! Bisa-bisa nyawaku-- tunggu! Ini apa? pikir Oryza kala mulai merasakan pergerakan suatu makhluk dari dalam perut Alenda.
"Bagaimana?" tanya Alenda antusias. Dia bisa melihatnya dari ekspresi syok Oryza. "Apa kau bisa merasakannya? Ada detak jantungnya? Dia bergerak?"
Oryza manggut-manggut berulangkali.
"Apa dia besar? Atau masih kecil?" tanya Alenda.
Oryza sedikit menggerakkan tangannya ke sisi kiri perut Alenda. "Dia kecil."
Senyum Alenda mulai mengembang. Apa ini adalah anaknya dengan Gavier? Selama ini Alenda tak pernah membayangkan yang namanya punya anak sendiri. Dia kurang suka dengan anak kecil yang berisik, tapi merasakan sesuatu tumbuh dari tubuhnya dia jadi sedikit merasa senang dan sayang. Rasanya ingin melindungi makhluk kecil ini sebisa mungkin. Kalau Gavier tau, bagaimana reaksinya, ya?
"Awas, Yang Mulia!"
Alenda mendongak, dia melihat Oryza siap menusuknya dengan pedang. Spontan Alenda memeluk perutnya sendiri. "APA YANG MAU KAU LAKUKAN, ORYZA?!"
"Itu berbahaya! Makhluk aneh itu bisa saja memakan tubuh Anda pelan-pelan, tapi tenang saja! Saya akan segera mengeluarkannya!"
Spontan Alenda menampol kepala Oryza. "Kau gila, ha? Siapa pun yang ada di dalam perutku, kalau kau menusuknya ... aku ya akan ikut mati!"
"Ah ...." Oryza baru sadar. Dia jadi menjauhkan pedangnya. "Lalu bagaimana ini, Yang Mulia?"
Alenda kembali tersenyum. "Apanya yang bagaimana? Tentu saja aku akan menjaganya. Ini adalah anak ratu dan raja Kerajaan Disappear."
"Anak?" Setelah sadar, Oryza langsung menutup mulutnya tak percaya. "ANAK?!"
"Benar." Alenda terkekeh melihat ekspresi konyol Oryza. "Kau akan segera menjadi paman, Oryza."
***
"Anda sudah selesai, Yang Mulia?" tanya Aezarus tepat setelah Gavier ke luar dari ruang panggilan. Dia menghembuskan napas panjang sembari meregangkan otot-otot yang terasa pegal. Usai kekuatannya kembali pulih, rasanya dunia ini sangat ringan. Gavier jadi siap menghajar orang.
"Hmm, rasanya cukup menyegarkan."
"Kalau begitu saya akan menyiapkan--"
PRANG!
"KYAAAAA"
Gavier dan Aezarus menoleh bersamaan. Mereka mendengar suara barang pecah dan teriakan dari suatu ruang.
"Kubilang aku tidak mau! Aku tidak mau menikah dengannya!"
Gavier menatap Aezarus. Mengerti akan hal itu, keduanya pun berlari ke sumber suara. Di balik pilar, mereka memperhatikan sekumpulan orang yang berbaris seperti sedang menyaksikan sebuah pernikahan. Gadis cantik berusia belasan tahun itu mengenakan baju pengantin dengan penampilan acak-acakan. Pendeta agung yang berdiri di dekat altar hanya tersenyum tenang sambil memperhatikan keributan itu.
"Ada apa ini, Yang Mulia? Apa saya perlu membereskannya?"
Gavier menahan bahu Aezarus. "Tunggu dulu. Kita lihat situasinya. Jangan gegabah. Ini adalah kebiasaan pendeta agung, aku sampai tidak terkejut."
PLAK!
Gadis itu ditampar oleh seorang wanita paruh baya. Kalau dilihat-lihat, sepertinya itu adalah ibunya. "Kau bodoh, ha?! Kau menolak panggilan dewa? Ini adalah berkat untuk keluarga kita! Kalau tidak bisa berguna, setidaknya jangan menyusahkanku dengan ayahmu yang sudah tiada! Di akhirat, ayahmu ini sedang menangis melihat kelakuanmu! Kalau kau mau menurut perkataan pendeta agung, maka kau bisa menolong kita semua!"
"BENAR!" seru semua orang yang ada di sana.
Gadis itu bergetar hebat. Dia menangis ketakutan sambil berteriak. Semua orang di sini rasanya gila. Lantas dia berbalik dan menatap tajam pendeta agung. "KAU BAJINGAN! KEMBALIKAN KEWARASAN IBUKU!"
Pendeta agung berjalan mendekat. Kala dia menghentakkan kaki di lantai, satu per satu orang di sana langsung bersujud. Khususnya sang ibu yang langsung menarik anaknya ikut berlutut, walau hanya berakhir terduduk untuk gadis itu.
Pendeta berjongkok.
PLAK!
Gadis itu membulatkan matanya. Pendeta menamparnya dengan keras. Rasanya sangat sakit.
PLAK!
Dia ditampar lagi dari pipi yang berbeda.
PLAK!
Lagi.
PLAK!
Dan lagi.
"Dia dirasuki iblis," ucap pendeta agung. Sontak semua orang panik dan langsung mengangkat kedua tangan mereka.
"HUWAIYAWAUAHAIYAWAHU!" seru semua orang sambil bergerak ke kanan dan kiri dengan aneh. Rasanya bukan gadis itu yang dirasuki, tapi semua orang yang ada di sana.
Spontan Aezarus bergerak cepat ke belakang tubuh Gavier, malah dia yang ketakutan melihat hal itu. "Yang Mulia! Mereka gila!"
"Ssst!" Gavier sendiri tak percaya bahwa kegilaan pendeta agung bisa sejauh ini. Apa pria itu diam-diam mengumpulkan perkumpulan sesat yang melanggar hukum kekaisaran? Hebat sekali kalau bisa mengendalikan dan menguasai banyak orang seperti ini.
"Kau sudah mendengarnya? Kau dirasuki!" Pendeta itu mencengkram rahang sang gadis. Karena tak berdaya, gadis itu juga hanya bisa menangis.
"Aku tidak mau ... aku tidak mau menikah dengan mayat," rengeknya sambil menggeleng.
Benar, pernikahan ini dilakukan dengan pasangannya adalah mayat seorang pemuda yang mati tenggelam. Bisa dibayangkan bagaimana jasatnya sudah rusak dan bahkan tak bisa dikenali, tapi menurut pendeta agung ... gadis ini bisa menjadi penerang dan jembatan menuju surga.
"Lakukan saja. Ini adalah bayaran karena kau sudah menolakku," ucap pendeta di telinga sang gadis. Tanpa pikir panjang, pendeta menjambak rambut gadis itu dan menariknya kasar agar berjalan ke altar.
"HUWAIYAHUWAIYUHAWUA!"
Kemudian dia lemparkan gadis itu tepat di sebelah peti.
"Hari ini ... kunikahkan kalian berdua hingga terikat atas nama bumi dan langit. Dewi Hera akan selalu memberkati langkah kalian dunia dan akhirat!"
"HUUUUUUUUUUWA!" seru orang-orang sambil menggerak-gerakkan tubuhnya tanpa arah.
"Cium pemuda itu. Minta berkat darinya!"
Gadis itu menggeleng. Dia tak akan pernah mau melakukannya. Melihat wajah mayat itu saja tidak berani.
Pendeta agung mendekat dan mencengkram rambut gadis itu. Dia mendorongnya agar menunduk ke dalam peti. Sambil memejamkan mata, sang gadis berharap agar dia bisa menyelamatkan diri.
BRAK!
"PENDETA AGUNG!" seru seseorang yang baru memasuki aula. Pergerakan pendeta jadi terhenti lalu menatapnya.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau berani mengganggu acara suci ini?"
Pengawal itu mulai panik. "Itu! Itu! Di depan ada seekor naga besar menghancurkan taman dan air mancur! Seorang wanita gila juga terus berteriak meminta pendeta agung untuk ke luar!"
"Apa? Ck!" Pendeta agung menjambak rambut gadis tadi lagi. "Selesaikan sendiri! Aku tidak mau tau! Kau kubayar karena hal ini."
"Ta--tapi--"
Dari luar, Alenda menggunakan kemampuan membesarkan suara dari mana yang dialiri Oryza.
"DALAM HITUNGAN KE LIMA, KALAU KALIAN TIDAK KELUAR ... TEMPAT INI AKAN MELEDAK!" serunya.
- The Beast & His Secret -
Sumpa gue ngefans banget sama webtoon 'I Wanna Be U' kek vibe-nya tuh keren banget anjir! Pernah baca, gak? Gue pengin banget bikin cerita vibe-vibe kek begitu tapi susah karena konfliknya menurut gue berat banget... gue malas mikir :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top