Bab 39
"Ada perubahan?"
Elfatir menoleh. Sudah seminggu dirinya terbaring di atas ranjang sambil merasakan rasa sakit tak tertahan di dadanya. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa jantungnya terasa sesakit ini? Apakah istri Gavier itu sedang melakukan percobaan pada dirinya sendiri agar Elfatir ikut mati?
"Ini gila. Rasanya sakit sekali," ucap Elfatir yang sudah berkeringat deras.
"Itu tidak ada apa-apanya dengan melahirkan. Tahan saja," kata seorang wanita yang baru datang sambil membawa beberapa kertas berisi lukisan wajah Alenda. "Ini ... apa ada yang mirip?"
Susah payah Elfatir bangun dan menerima lembaran kertas itu. Dia membolak-baliknya lalu melemparkan itu semua secara kasar. "Nggak ada!"
Katherina membungkuk untuk memunguti kertas itu satu per satu. Walau usianya dua puluh tahun lebih tua, tapi bocah yang merengek di ranjang ini adalah penguasa. Jadi tak ada alasan untuknya tidak menahan emosi yang bergejolak. "Maaf, aku akan berusaha lag--"
"Sudahlah, Bibi! Kau tidak berguna. Lebih baik kita membeli bola permata dari menara sihir!"
Wanita itu menghela napas berat. "Aku kan sudah mengatakannya berulang kali kalau harganya mahal. Kita hanya akan membuang banyak uang untuk 5 tahun hidup hanya dengan bola permata."
Elfatir mengerang marah. Dia lempar barang-barang yang ada di atas nakas. Tidur di ranjang Alenda masih saja tak berefek apa-apa walau mereka sudah menjadi partner. Sebenarnya apa yang salah? Mengapa dadanya masih saja sakit?
"Istana ini kan punya banyak harta, gunakan saja semuanya!" bentak Elfatir.
"Menara sihir tidak akan menerimanya karena tak ada legalitas bahwa kau pemilik dari harta itu. Istana ini kau dapatkan dengan cara menyerang lalu merebutnya, bukan dengan perjanjian pasca perang seperti pada umumnya."
Elfatir menutup wajahnya. Dia sudah sangat jengkel sekarang. "Bibi, aku mempertahankanmu hanya karena kau masih punya ikatan darah denganku. Kalau tidak, kepalamu sudah kugantung di depan istana. Jadi, jangan bicara dan lakukan apa pun untuk mendapat bola permata itu! Kalau mungkin, bunuh saja penyihir agung!"
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Elfatir, membuat pria itu seketika membeku. "Kau gila? Membunuh penyihir agung? Ha! Apa sekarang kau sudah merasa seperti penguasa bumi dan langit? Kau mau menantang dunia? Nyawamu ada sepuluh atau bagaimana? Memiliki keunikan terlahir setengah naga bukan berarti kau yang paling kuat sejagat raya! Sadarilah kenyataannya, El!"
"Barusan ... Bibi menamparku?"
Tatapan Elfatir yang berapi memang membuat Katherina goyah. Bisa saja Elfatir membunuhnya sekarang juga, tapi mau bagaimana lagi? Dia sudah sangat kesal dengan semua tindakan Elfatir.
"Aku tidak punya pilihan lain. Kau harus sadar!"
Elfatir bangkit dari ranjang kemudian mengambil pedangnya. Dia gorok leher Katherina langsung tanpa aba-aba. Melihat itu, tubuh Katherina langsung ambruk. Dia tatap keponakannya itu dengan perasaan miris. Di ujung akhir hidupnya, batinnya menyebut Aletheia berulangkali.
"Apa yang kau inginkan?"
Katherina tersenyum tipis. "Lindungi ... apa yang benar dan mus-‐nahkan ... apa yang salah."
Katherina pun menghembuskan napas terakhirnya. Melihat itu Elfatir membunyikan loncengnya. Beberapa pengawal masuk dan terkejut melihat darah yang berlinangan.
"A--apa yang terjadi, Tuan?"
Elfatir menggaruk pipinya yang terkena cipratan darah. "Bawa mayatnya ke luar! Untung dia punya darah keluargaku, jadi kebumikan secara layak. Kalau tidak, sudah kulempar menjadi santapan binatang buas."
***
"Hormat saya kepada Pendeta Agung."
Gavier meletakkan tangannya di dada sebelah kiri lalu berlutut di bawah sang pendeta. Pria dengan rambut serta janggut berwarna perak itu mengulurkan tangan ke atas kepala Gavier. "Diberkatilah sang pemimpin Kerajaan Disappear. Semesta selalu menyertai setiap langkahmu."
"Terima kasih, Pendeta Agung." Gavier mendongakkan kepalanya dan menerima berkat yang membuat mana-nya terasa semakin meningkat. Hal itu membuat tubuh Gavier jadi lebih segar dan kuat.
"Mari saya antar ke dalam," ucap pendeta.
"Baik," kata Gavier setelah melirik Aezarus sekilas.
Dari ekspresi dan caranya memandang, Aezarus kurang menyukai pendeta agung. Dia tampak mencurigakan dan misterius. Dari tadi pedangnya jadi siap untuk menusuk siapa pun yang akan cari gara-gara dengan rajanya.
"Simpan pedangmu. Itu hanya akan membuat mereka curiga," bisik Gavier. Tak punya pilihan lain, Aezarus pun menuruti apa kata rajanya.
"Pendeta, bisakah aku menggunakan ruang panggilan?"
Ucapan Gavier membuat langkah pendeta berhenti. Dia segera berbalik dengan sopan. "Anda ingin memanggil dewa?"
"Benar."
Pendeta menatap lurus kedua mata Gavier yang tampak serius dengan ucapannya. "Yang Mulia, sepertinya Anda belum banyak mengenal tentang kuil. Apa Anda tau bahwa ruang panggilan tidak bisa digunakan dengan sembarangan walaupun Anda adalah penguasa? Butuh banyak persiapan dan waktu yang lama untuk bertemu dewa."
"Aku tau itu semua, Pendeta."
"Lalu, Anda tetap ingin menggunakan ruangan itu?"
Gavier terkekeh. "Tentu saja. Aku harus bertemu dengan leluhur Hephaestus."
"Kalau boleh tau, mengapa Anda ingin menemui beliau?"
Gavier bersedekap dada sambil memasang wajah meremehkan pendeta. "Hm, aku baru tau kalau Pendeta Agung sangat penasaran tentang urusanku. Apa aku harus menjelaskannya padamu?"
"I--itu ...."
"Tapi orang sembarangan tidak bisa memanggil dewa! Itu namanya lancang! Nyawa kita semua bisa menjadi ganjarannya, Yang Mulia!" seru seorang gadis muda di belakang pendeta. Gavier jadi memiringkan kepalanya untuk melihat siapa yang masih berani menantangnya.
"Siapa dia? Sepertinya anak baru karena memiliki keberanian tinggi," kata Gavier, di belakangnya Aezarus sudah siap menyerang kalau ternyata gadis itu berbahaya.
"Tidak, Yang Mulia. Maaf dia tidak penting. Jangan dengarkan dia!" ucap pendeta sambil menunduk.
"Ta--tapi, Razeys!"
Tak hanya terkejut dengan keberadaannya, Gavier juga terkejut dengan cara gadis itu memanggil pendeta. Terdengar sangat akrab dan tak ada sopan santun. Kalau dia adalah murid pendeta, harusnya dia memanggil pendeta dengan sebutan guru. Kalau keluarga, tetap saja tidak mungkin memanggil nama. Apalagi usia pendeta ini sudah cukup tua.
"Wah, wah, menarik," ucap Gavier disertai senyuman. Sepertinya dia tau alasannya.
"Ya--Yang Mulia ...." Pendeta sudah panik. Ingin sekali dia membungkam mulut gadis ini sesegera mungkin.
Gavier memajukan tubuhnya ke pendeta. Dia menyeringai dengan aura kuat. "Pendeta ... dia istrimu yang ke berapa? Apa kau masih punya kebiasaan menjijikkan dengan mengumpulkan istri-istri yang perawan? Menakjubkan sekali."
"Yang Mulia ... itu ... saya ... itu--"
"Sudahlah, tidak perlu dijelaskan. Walaupun kau seorang pendeta agung, kau tetap manusia biasa. Jadi aku tau bagaimana seorang manusia tidak bisa menahan nafsunya. Benar, kan?" Gavier terkekeh. "Kalau begitu, apa aku masih dilarang menggunakan ruang panggilan? Padahal, reputasimu kan penting. Apa aku salah?"
Pendeta menunduk. Benar-benar panik dan tak tau haru berbuat apa selain memperbolehkan Gavier menggunakan ruangan itu.
"Asisten saya yang akan mengantar Anda, Yang Mulia," ucap pendeta yang masih berusaha menutup wajahnya dari Gavier.
"Baiklah."
Setelah melangkah sedikit lebih jauh dari posisi pendeta, dia mendengar suara tamparan keras yang dilayangkan. Sayang sekali karena gadis itu akan menjadi korban kekerasan pendeta. Entah sejak kapan Gavier sudah bisa menebak sifat asli pendeta yang sok suci itu. Semua aib kuil yang sengaja disimpan Gavier memang dia gunakan sebagai senjata untuk menekan pendeta agung. Kalau tidak, mana bisa Gavier mengelabui mereka semua dan membuatnya berada di bawah kaki Kerajaan Disappear?
"Aku akan masuk ke dalam, kau tunggu di sini saja," ucap Gavier.
"Tidak, Yang Mulia! Anda bisa dalam bahaya!" seru Aezarus langsung.
"Hm, kau mengatakan itu kepada pria yang sudah mengajarimu cara berpedang dan sihir? Kurasa kemampuanku jauh lebih hebat daripada dirimu."
Aezarus merasa kesal karena tak punya pilihan selain menurut. "Tapi, Yang Mulia ...."
Gavier menepuk bahu Aezarus beberapa kali. "Tenang saja, aku akan baik-baik saja. Kata ayahku, tidak ada yang bisa membunuh keturunan Hephaestus dengan mudah."
Setelah mengatakan itu, Gavier masuk ke dalam ditemani asisten pendeta agung. Pria dengan ekspresi kaku itu berdiri di samping Gavier dan memperhatikan mangkuk suci bersama-sama.
"Anda akan melakukan pemanggilan terhadap Dewa Hephaestus?" tanyanya.
Gavier melirik asisten itu. Rasanya dia tidak akan nyaman selama pemanggilan sebab asisten pendeta punya sifat yang sebelas dua belas dengan pendeta itu, jadi dia lah yang akan lebih menguasai mangkuk suci. "Eh, lihat! Ada burung terbang!"
Asisten pendeta bingung, dia jadi ikut menoleh ke arah lain. "Apa? Tapi burung kan memang--"
Brak!
Asisten pendeta jatuh tersungkur oleh hantaman di tengkuk lehernya.
Mendengar itu, Aezarus segera mendekat ke pintu. "Yang Mulia! Yang Mulia! Anda baik-baik saja?! Apa saya boleh masuk?!"
"Tidak-tidak! Tetap di sana! Aku baik-baik saja."
"Anda yakin?"
"Ya. Aku hanya membuat asisten pendeta tidur," ucap Gavier dengan santai sambil mengusap punggung tangannya yang sedikit pegal.
"Anda benar-benar membuat saya cemas, Yang Mulia."
Kemudian Gavier meletakkan kedua tangannya di bibir mangkuk. "Baiklah, apa kita mulai sekarang?"
Gavier menggerakan tangannya sesuai dengan gambar lingkaran sihir dalam ilusi. Kedua matanya terpejam. Mantra demi mantra dia ucapkan sesuai dengan ilmu yang dia peroleh dari buku. Memang bukan sekali dia memanggil dewa, dulu sekali dia pernah memanggil Dewa Ares dengan kepribadian Adires.
Setelah selesai, Gavier menenggelamkan wajahnya ke dalam mangkuk suci. Di sana dia bisa bernapas. Air yang begitu jernih itu mirip sekali dengan langit. Gavier jadi bisa melihat luasnya semesta dari tempatnya berada.
"Dewi Aphrodite," gumam Gavier ketika melihat seorang wanita yang duduk memunggunginya di atas bola-bola berlian. Tubuhnya yang memancar sinar kuat membuat Gavier memicingkan mata beberapa kali.
"Aphrodite ...."
Wanita itu akhirnya menoleh. Gavier hampir tak sanggup melihatnya dengan mata telanjang karena kecantikan yang dimilikinya sampai bisa membuat siapa pun menangis dan gila.
"Gavier Hephaestus? Itu kau?"
Wanita itu mengulurkan kedua tangannya, menangkup pipi Gavier yang membuat pria itu tertegun. Dia hampir lupa tujuannya karena tak pernah bertemu wanita secantik ini.
"A--Aphrodite ...."
"Ya, ini aku."
Rambut lembut, panjang, berwarna perak itu melayang dan bersinar. Gavier benar-benar takjub dengan bentuk penampilan Aphrodite.
"Bantu aku," kata Gavier.
"Apa yang kau inginkan, Gavier Hephaestus?"
Gavier mengulurkan kedua tangannya yang saat ini sedang dikerangkai dan diborgol oleh besi kuat. Perwujudan aslinya adalah kekuatan dewa yang dia punya yang disegel oleh kekaisaran karena berbahaya. "Bantu aku melepas ini."
"Kenapa harus aku?" tanya Aphrodite.
"Karena Dewi yang akan melakukannya. Dewa Hephaestus membenciku dan Dewa Ares tak akan melakukannya kalau tidak darurat. Aku yakin hanya kau ... yang akan mendengarku."
Aphrodite tertawa kecil. "Bukankah masih ada Hera?"
"Dewi Hera ...." Gavier menatap ke arah lain dengan tatapan kesal. "... dia tertipu dengan sumpah yang diucapkan Elfatir. Aku sengaja membiarkannya merasakan sengatan benang takdir agar tidak curiga. Ini bagian dari rencanaku. Jadi, akan berbahaya kalau Dewi Hera tau."
"Begitukah?"
Aphrodite mengulurkan tangannya. Sebuah cahaya muncul dan menyorot kedua tangan Gavier.
***
"Hormat saya kepada Matahari Kekaisaran."
Kaisar mendengkus kesal sambil mengalihkan pandangannya. Sembari duduk di singgasana, dia dengarkan saja apa perkataan bocah lusuh ini. "Hmm."
"Tuan Gavier dan Nyonya Alenda selamat."
Mendengar itu, kaisar langsung menoleh dengan tatapan berbinar. "Benarkah?!"
"Benar, Yang Mulia. Saya sudah memastikannya dan menjaga mereka dengan baik."
Suasana hati kaisar berubah. Dia jadi menggoyang-goyangkan bahunya saking senangnya lalu bangkit. Dia lemparkan permata emas ke depan pria itu. "Ambil lah."
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Lalu apa yang sedang mereka lakukan sekarang? Apa mereka merindukanku?" Kaisar berjongkok di depan pria yang bersujud itu.
"Tuan Gavier mendatangi kuil di Kota Angkasa dan Nyonya Alenda masih berada di penampungan."
"Hm, benarkah?" Kaisar menyangga dagunya dengan tangan. "Aku ingin menemui mereka. Pasti akan sangat menyenangkan untuk ikut bergabung. Ya, kan?"
Kaisar tertawa kecil. "Bukankah menurutmu juga begitu? Ini seru kan, Gaffar?"
Pria yang dipanggil Gaffar itu mendongak dan menatap langsung kaisar yang mengajaknya bicara. "Be--benar, Yang Mulia."
"Apa kau juga sudah minta maaf atas segala sikapmu pada Nyonya Alenda?"
"Su--sudah ...."
"Kau yakin?"
Gaffar kembali menundukkan kepalanya dengan takut. "Ya--yakin, Yang Mulia!"
"Hmm, baiklah."
Kaisar menegakkan tubuh sambil melipat kedua tangan di depan dada. Dia mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir. "Kurang apa lagi, ya?"
"Menghukum Elfatir? Bukankah dia dalang dari semua ini? Kalau dia mati, maka saya yakin Tuan Gavier dan Nyonya Alenda selamat."
"Menghukum Elfatir?" Percakapan mereka terhenti kala kaisar mendongak dan melihat Permaisuri Nindy berjalan ke arahnya. "Halo, Sayangku."
"Selamat siang, Yang Mulia Kaisar." Nindy berjalan mendekat hingga sampai di posisi Gaffar dan kaisar.
"Nah, Gaffar, perkenalkan dia Permaisuri Nindy, istriku. Dan Nindy, perkenalkan dia anak Duke Celsion, kakak dari Ratu Alenda."
Gaffar menundukkan kepalanya dan Nindy pun melakukan hal yang sama untuk menyapanya.
"Nindy, dia bilang aku harus menghukum Elfatir. Bagaimana menurutmu?" tanya kaisar pada istrinya.
Nindy pun menoleh ke arah Gaffar. "Benarkah itu?"
"Benar, Yang Mulia. Menurut saya, itu solusi terbaik saat ini," jawab Gaffar tanpa ragu. Kalau memang keinginan kaisar adalah untuk melindungi Gavier yang sudah berjasa untuk kekaisaran dan Alenda yang berhasil menarik perhatian kaisar, maka ini lah solusi yang bisa dia berikan.
"Hukuman seperti apa yang ingin kau berikan?" tanya Nindy.
Gaffar merasa aneh dengan pertanyaannya, tapi dia tetap harus menjawabnya. "Tentu saja penggal, Yang Mulia!"
Nindy mengangguk, kemudian menoleh pada kaisar. "Bolehkah, Yang Mulia?"
Kaisar tertawa. "Silakan saja. Apa pun untuk istri tercinta."
Setelah mendapat izin dari suaminya, Nindy berteriak memanggil pengawal. "Pengawal! Bawa Gaffar Celsion dan beri dia hukuman penggal ...."
Sontak Gaffar mendongak dengan raut syok luar biasa. Kenapa tiba-tiba jadi dirinya? "A--apa?!"
"... karena sudah menghina keluarga permaisuri, istri kaisar."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top