Bab 38
"Maaf, itu sepertinya tidak mungkin, Yang Mulia."
Alenda mengerutkan keningnya. "Lah, kenapa?"
"Karena ... Yang Mulia Raja sedang tidak ada," kata Lalea sambil menunduk.
Alenda langsung menggebrak meja. "Lalu, hal itu membuatku tidak punya kuasa untuk pergi? Apa aku menjadi ratu hanya ketika ada raja?"
Setelah mengatakan itu, Alenda melihat Lalea yang hanya diam saja lalu melanjutkan ucapannya. "Lalea, kau mengenalku tidak hanya sehari dua hari, tapi 6 tahun! Apa kau lupa bagaimana perjuangan kita sama-sama? Selama 6 tahun, memangnya aku butuh izin raja untuk melakukan sesuatu?"
"Tapi ... Kota Angkasa itu tempat berbahaya, Yang Mulia. Sejak musibah banjir yang telah mengambil banyak nyawa, kota itu dianggap sebagai kota pembawa petaka. Bahkan kekaisaran hampir menghapusnya dari peta."
"Apa sekarang sudah dihapus?" tanya Alenda yang baru mengetahui tentang fakta itu.
Lalea menggeleng. "Belum. Tidak ada yang tau mengapa kaisar tiba-tiba berubah pikiran."
"Aku benar-benar harus pergi ke sana, Lalea. Sebagai ibu negara, tidak mungkin aku membiarkan seorang anak kecil berpisah dari orang tuanya. Apalagi ada beberapa hal mencurigakan yang harus kuselidiki. Gavier tidak ada, aku semakin penasaran kalau tidak langsung mendatangi tempat itu sendiri." Kemudian Alenda menegakkan tubuhnya sambil merapikan pakaiannya. "Sudah cukup aku memintamu, tapi kali ini perintah. Kalau kau menolak perintahku, akan kugunakan kuasaku dan hukum kerajaan untuk mengekangmu."
Hukum Kerajaan Disappear, di mana perintah pemilik kuasa tertinggi yaitu raja dan ratu adalah sebuah kewajiban yang harus dipatuhi. Jika tidak, nyawa menjadi gantinya.
"Yang Mulia Ratu ...."
Alenda tidak mengindahkan ucapan Lalea lagi. Kepalanya sudah mendidih sejak tadi. Bagaimanapun, Alenda tetap cemas dengan gadis kecil itu. Dia khawatir kalau sampai Zata pergi mendatangi Kota Angkasa sendiri. Kalau hal itu terjadi, maka Alenda berarti gagal menjadi ibu kerajaan ini.
Kaki Alenda pun berhenti di kamarnya. Dia menatap ke arah jendela yang terbuka lebar. Apa ada seseorang yang baru saja menyusup ke kamarnya? Tapi siapa?
Tangan Alenda pun masuk ke sakunya perlahan-lahan. Dia siap mengacungkan belati untuk siapa pun yang berniat mengancam nyawanya.
Kyaaak!
Alenda menoleh. Makhluk bertubuh besar itu menunduk tepat di kakinya. Padahal tangannya sudah mengacungkan belati dengan berani, tapi ternyata itu adalah Stella, burung elang miliknya dan Galya.
"Stella!" Alenda kembali menyimpan belati itu lalu memeluk erat sang burung. "Astaga, aku sangat merindukanmu! Kau baik-baik saja, kan?"
Stella hanya menjawab dengan cuitan burung pada umumnya, tapi dia tampak lebih bersemangat seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Alenda pun mengusap hangat puncat kepalanya. "Syukurlah! Apa Kak Galya yang mengirimmu?"
Alenda menundukkan kepalanya. Dia melihat gulungan kertas yang diikat di kaki Stella. Belum sempat mengambilnya, ikatan di gulungan kertas itu sudah terbuka sendiri. Dia melayang ke hadapan Alenda hingga terbuka lebar apa isinya.
"ALENDA!"
Alenda membulatkan mata lebar. Apa ini? Bentuknya kertas, tapi muncul wajah Galya yang berbicara di dalamnya.
Kayak video call, pikir Alenda.
"Kak Galya?!"
"Kau! Apa kau ... baik-baik saja?! Apa ada yang terluka?"
Alenda menggeleng, dia hampir menumpahkan tangisnya saat tau Galya baik-baik saja. Wanita itu sedang mengandung, tentu Alenda sangat mencemaskannya. "Ya ... aku baik, Kak. Yang Mulia Raja juga aman bersamaku."
"Di mana kalian sekarang? Aku akan menjemput kalian! Para pasukan pemberontak itu menyebarkan pengumuman ke seluruh kekaisaran untuk mencari kalian! Maka tempat paling aman untuk kalian sekarang adalah Wilayah Celsion!"
Alenda terkejut setelah mendengarnya. Jadi ternyata orang-orang yang menyerang kerajaan waktu itu sedang mencari keberadaannya dan Gavier. Itu artinya tempat ini bisa diserang kapan saja, lalu mengapa Gavier tidak mengatakan apa-apa dan malah pergi mengurus sesuatu? Apa Gavier sudah tau soal ini? Alenda jadi mengkhawatirkannya sekarang.
"Mereka mencari kami?"
"Ya! Kau tau siapa pemimpin mereka? Dia adalah Elfatir! Orang gila itu-- astaga! Aku sangat membencinya. Asal kau tau, dulu saat aku masih kecil aku hampir saja menikah dengannya. Dia itu tidak punya otak! Mana mungkin aku menerima lamarannya?!"
Pria itu pernah melamar Kak Galya?
"Sebenarnya siapa dia, Kak? Apa kau tau sesuatu tentang itu?" tanya Alenda yang ingin tau siapa sebenarnya Elfatir.
"Aku tidak tau cerita lengkapnya, tapi dia adalah musuh Yang Mulia Raja sejak lama. Entah apa alasannya, tapi mereka menyimpan dendam yang kuat satu sama lain. Kau pasti bisa mengetahui jawabannya jika bertanya secara langsung pada suamimu."
Alenda jadi menyentuh dada kirinya. Ikatan partner yang dikatakan Elfatir waktu itu rasanya seperti bukan apa-apa, sebab setelah rasa sakit yang tak tertahankan tak ada lagi efek yang muncul sebagai bukti bahwa dia terikat dengan Elfatir. Apalagi, kalau memang benar mereka sudah merasakan jantung satu sama lain, bukankah seharusnya menemukan Alenda bukan lah hal sulit karena Elfatir mampu merasakan keberadaannya? Ini aneh. Gavier bahkan tidak mencemaskan hal ini lagi.
Apa ritual atau sumpah yang diucapkan Elfatir gagal?
"Kenapa kau diam saja? Apa yang kau khawatirkan?! Katakan pada kami!"
Alenda mendongak lagi. "Kami?"
Dia tidak paham mengapa Galya menyebut 'kami' padahal hanya ada wajahnya.
Lantas Galya memundurkan tubuhnya dan menarik lengan seseorang agar berdiri di sebelahnya. "Ya, kami. Aku dan ayah."
Alenda melihat duke yang tampak malu-malu menampilkan wajahnya. Dia hanya berdeham beberapa kali sambil mengalihkan pandangannya.
"Ayah?"
"Kau tidak terluka?"
Aneh, harusnya Duke Celsion tidak mempedulikannya. Kan sudah tertulis bahwa duke mengirim anaknya ke raja buruk rupa karena Alenda anak haram. Apa dia hanya salah paham? Apa sebenarnya pria itu menyayanginya?
"Aku ... baik-baik saja, Ayah."
"Bagus. Ehem, kirimkan surat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu dan lokasimu sekarang. Aku akan mengirimkan kereta kuda dan ucapan terima kasih pada yang menolong kalian."
Ah, Alenda lupa. Dia belum cerita soal Gaffar.
"Ayah, Kakak, orang yang menyelamatkanku dan Yang Mulia adalah Kak Gaffar!"
"APA?!"
"Ya ... sebenarnya aku kurang tau apa yang terjadi, tapi tiba-tiba saja Kak Gaffar sudah merawatku dan Yang Mulia sampai sembuh. Dia juga memberikan kami tempat tinggal beserta makanan. Aku merasa aman di sini," ungkap Alenda. Dia melihat tatapan duke dan Kak Galya yang masih tidak percaya.
"Itu ... bajingan itu tidak mungkin!"
"Galya, hati-hati dengan ucapanmu. Anakmu bisa mendengarnya!" kata duke yang mengingatkan Galya.
"Iya, maafkan aku, Ayah. Aku hanya tidak bisa percaya karena dia bukan pria yang baik. Mengingat bagaimana dia berencana untuk membunuhku!"
Duke menghela napas berat. "Jadi kalian sedang berada di penampungan milik kepala suku?"
Alenda mengangguk. "Iya, mereka sangat baik."
"Tentu saja. Mereka salah satu tempat yang banyak menerima donasi dari Keluarga Celsion. Pastinya mereka akan berperilaku baik."
Setelah memikirkan apa yang terjadi sekarang, sepertinya Alenda tau apa yang harus dia lakukan. "Kak Galya ... Ayah, sepertinya aku butuh bantuan kalian. Apa kalian mau membantuku?"
Galya dan duke tampak saling menukar pandang sebelum menatap Alenda lagi.
"Apa? Apa yang terjadi?" tanya Galya langsung.
Alenda tersenyum. Mungkin kali ini dia harus bergerak sendiri, tanpa Gavier.
***
"Wah, wah, wah, apa ini, Yang Mulia?"
Alenda yang sudah membeku di tempat jadi bungkam. Dia terkejut melihat pria berambut merah acak yang berjalan santai ke arahnya.
"O--Oryza?"
Oryza tersenyum manis. "Apakah kalian bertiga akan pergi?"
Alenda melirik ke arah Zata yang sedang menggendong barang-barangnya. Dia bersembunyi di balik tubuh Alenda karena takut.
"Tidak, hanya kami berdua."
Oryza mengerutkan keningnya. "Hanya berdua? Tapi aku bisa mencium tiga aura di sini."
Alenda jadi ikut panik. Dia pun mengedarkan pandangannya. Tempat ini tidak seharusnya didatangi siapa pun. Alenda sudah memastikannya aman. Apalagi dia juga sengaja memberi perintah pada Lalea untuk membantu Gaffar, jadi tidak mungkin mereka berdua mengikutinya sampai sini.
"Apa kau tidak salah? Mungkin yang ketiga adalah dirimu sendiri," ucap Alenda.
Oryza menggeleng. "Mana mungkin, Yang Mulia? Anda tau sendiri kita tidak bisa mengendus bau milik diri sendiri."
"Lalu siapa? Dari tadi hanya ada aku dan Zata," kata Alenda yang jadi memperkenalkan gadis kecil di belakangnya.
"Hmm ... baiklah, tapi Anda berdua mau ke mana?"
Alenda menepuk-nepuk tubuh Stella agar sedikit merendah. "Aku mau pergi, jadi kau tidak perlu tau. Jaga saja orang-orang di sini."
Alenda hendak menggendong Zata agar bisa menaiki burung itu, tapi Oryza langsung menghentikannya. "Eh, eh, jangan bilang Anda mau pergi ke suatu tempat diam-diam tanpa memberitahu siapa pun di sini? Anda akan melakukan sesuatu yang berbahaya, kan?"
Mendengar itu Alenda terkekeh. Dia menepuk bahu Oryza dengan santai. "Matamu semakin tajam. Kalau kau mengasahnya, kau bisa diterima di divisi investigasi kerajaan."
"Ratu, saya tidak bercanda. Apa Anda mau melakukan itu semua? Sendirian?"
"Aku juga tidak bercanda. Aku baik-baik saja. Kau tau kan kalau aku juga punya cukup kemampuan?" Alenda mengeluarkan kobaran api dari telapak tangannya. "Ini bahkan lebih dari cukup membunuh para iblis bermulut bau itu."
Alenda hendak menaiki Stella, tapi Oryza langsung mencegahnya. "Ke mana kah tujuan Anda pergi, Yang Mulia?"
Alenda berdecak kesal. "Kota Angkasa! Sudah, kan? Jangan menggangguku lagi!"
"Tunggu! Tunggu!" Oryza menarik lengan Alenda agar tidak bisa menaiki burung itu.
"Hei! Oryza, kau benar-benar menyebalkan! Aku hampir jatuh tau!" bentaknya.
"Tapi saya berhasil menangkap Anda."
"Lalu apa lagi? Apa yang mau kau katakan? Cepatlah!" Alenda bersedekap sambil mengangkat sebelah alisnya. Oryza benar-benar menghabiskan banyak waktunya.
"Saya punya janji pada Yang Mulia Raja."
Janji dengan Gavier?
"Jadi, bagaimana kalau saya ikut? Biarkan saya yang membawa kalian berdua. Saya rasa saya lebih berguna daripada burung yang bahkan tidak memiliki mana itu."
Hmm, iya juga, sih. Berangkat bersama Oryza akan lebih aman karena dia bisa berubah menjadi naga atau manusia.
"Kau yakin?" tanya Alenda.
"Tentu saja!"
Setelah berubah menjadi naga, Alenda dan Zata menaiki tubuh Oryza. Alenda juga sudah menjelaskan apa rencananya sepanjang mereka terbang di langit.
"Wah, itu rencana yang sangat berbahaya. Sepertinya saya tidak akan bosan," ucap Oryza, membuat Alenda kesal karena kedengarannya seperti Oryza tidak percaya bahwa rencana itu akan berhasil. "Tapi, Yang Mulia, sepertinya memang benar-benar ada yang mengikuti kita karena saya masih merasakan tiga aura di sini."
Alenda menyapu pandangannya di udara. Benar-benar tidak ada siapa-siapa. Sebenarnya aura siapa yang Oryza maksud?
"Kubilang tidak ada siapa-siapa. Apa kemampuanmu melemah?"
"Itu tidak mungkin, Yang Mulia! Saya ini naga muda yang diakui oleh raja para naga!" seru Oryza dengan bangga.
"Raja para naga? Maksudmu ... Gavier?" Alenda jadi penasaran tentang masalah pernagaan ini. "Elfatir juga setengah naga, kan? Kenapa banyak sekali siluman naga di sekitarku?"
"Eiy, tentu bukan, Yang Mulia. Mana mungkin ada seseorang yang bisa memimpin dua kerajaan? Tuan Gavier bukan lah raja para naga. Di seluruh naga dunia ini, Tuan Gavier bukan apa-apa. Ada lebih banyak naga yang lebih kuat darinya. Tentu saja kalau dibandingkan dengan manusia, dia memang yang terhebat."
Hmm, benar-benar definisi dunia. Selalu ada yang lebih hebat di atas kita, pikir Alenda.
"Lalu, siapa raja para naga itu? Apakah dia juga memerintah seperti manusia?"
Oryza berbelok ke kiri menuju arah selatan, tempat di mana Kota Angkasa itu berada. "Ada sedikit persamaan, yaitu ucapan raja naga adalah sebuah ketetapan atau hukum baru semesta. Berbeda dengan manusia setengah naga atau manusia yang terkena kutukan menjadi setengah naga, raja naga kami asalnya adalah seorang makhluk spirit api. Dia terlahir dari api besar yang muncul di Pegunungan Haumea, pegunungan terbesar di dunia ini."
"Wuah, dia pasti sangat hebat," ucap Alenda yang tidak bisa membayangkan sehebat apa raja para naga itu.
"Yang Mulia Ladon memang yang paling hebat. Dia adalah naga berkepala seratus yang diperintahkan Dewi Hera untuk menjaga Taman Hesperides sampai sekarang. Jadi untuk mendatanginya itu sangat sulit. Butuh waktu seratus tahun karena dia berada di lingkungan para dewa."
Gila ... seratus tahun? Nunggu jadi kakek nenek dulu, dong!
"Tunggu! Dewi Hera? Bukankah itu ibu dari Dewa Hephaestus?"
"Benar sekali, Yang Mulia," ucap Oryza yang bergerak perlahan karena di beberapa tempat mulai ada badai beserta hujan tebal.
"Setahuku, Dewi Hera adalah Dewi pernikahan. Apakah dia yang sudah mengikatku dengan Elfatir? Meskipun cucu buyutnya adalah suamiku?"
Oryza terbang lebih cepat karena mereka hampir sampai di Kota Angkasa. Zata yang dari tadi tertidur pun dipeluk Alenda erat-erat.
"Terikat? Apanya yang terikat? Anda itu hanya terikat dengan suami Anda, Yang Mulia. Apa Tuan Gavier tidak menjelaskannya?"
"Hah?" Alenda tidak mengerti apa maksud pernyataan Oryza yang singkat itu. "Aku tidak mengerti."
Oryza berhasil mendarat dengan aman. Mereka kini bisa melihat Kota Angkasa yang sudah tak berpenghuni dan rusuh ini.
"Anda sudah menjadi partner Tuan Gavier, sudah sangat lama. Apa Anda tidak menyadarinya?"
Alenda masih belum turun dari punggung Oryza, dia masih mencerna ucapan naga ini. "Ha, gimana, sih? Aku tidak paham. Waktu itu kan kamu juga bilang kalau aku dan Gavier belum terikat sebagai partner."
"Yah ... tentu saja. Sebenarnya saya juga baru-baru ini mengetahuinya. Kepribadian Tuan Gavier dan Tuan Adires itu unik. Mereka saling menyimpan rahasia akan satu sama lain. Ada yang Tuan Gavier tidak ketahui, ada juga yang Tuan Adires tidak ketahui. Salah satu rahasianya adalah persahabatan erat Tuan Adires dengan Yang Mulia Raja Ladon. Saya juga baru tau peraturan baru ikatan partner dari rekan saya yang pulang dari Kerajaan Naga. Bahwa syarat ikatan tidak hanya berasal dari ciuman, tapi persetubuhan antara dua makhluk."
Ba--bahasanya terlalu vulgar! Tapi ... itu artinya kan ....
"Jadi, maksudmu ...."
"Ya, mungkin saja begitu. Anda sudah pernah melakukannya dengan Yang Mulia, kan?" Oryza mengatakannya dengan sangat santai, membuat Alenda jadi kelabakan. Pipinya sudah semerah tomat.
"I--itu ... anu ... rajamu mesum sekali, Oryza."
Mendengar itu Oryza tertawa. "Hahaha, itu bukan hal yang mengejutkan bagi sepasang suami istri, Ratu. Dan kami, para naga, ditakdirkan hanya dengan satu pasangan. Jadi peraturan baru itu bukan masalah besar pula untuk kami."
"Ta--tapi kan kamu masih jomlo! Bisa-bisanya aku bicara begini dengan anak bau kencur sepertimu," kata Alenda sambil bergerak turun dari Oryza.
"Haha, Yang Mulia ... walau saya memang masih sangat muda daripada Tuan Gavier, tapi umur saya sudah 90 tahun. Saya sudah pantas Anda panggil kakek. Iya, kan?"
Anjir, udah tua ternyata.
"Hm, tua juga, tapi ...." Alenda menyentuh dada kirinya. "Maksudmu aku memiliki jantung Gavier?"
Oryza berubah kembali menjadi wujud manusia sambil menggedong Zata. Dia mendekatkan jari telunjuknya ke bibir. "Ssst, ini rahasia. Anda harus menyimpannya sendiri karena kalau orang lain tau, maka target mereka bukan lagi Tuan Gavier tapi Anda yang lemah."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top