Bab 36
"ITU BERBAHAYA, YANG MULIA!"
Gavier menutup kedua telinga saat mendengar suara lantang Lalea dan Aezarus. Kedua bawahan setianya itu memang paling tidak bisa mengurus kegilaan Gavier. Selain nekat, mereka juga bingung dengan jalan pikiran rajanya. Apa beliau tidak memikirkan dampak panjang yang akan dituainya nanti?
"Aku bisa menjaga diriku sendiri," ucap Gavier tanpa beban. Dia mulai memakai berbagai pakaian yang sudah disiapkan pelayannya untuk keberangkatannya ke kuil.
"Bisa menjaga diri sendiri? Saya menggendong Anda yang berlumuran darah ke atas naga, Baginda," ucap Aezarus dengan nada datar, tapi sangat menyiratkan bahwa dia juga setuju pendapat Lalea.
"Jadi kau butuh imbalan?"
Pertanyaan Gavier membuat Aezarus semakin pusing.
"Jika Anda pergi, bagaimana dengan Alenda?" celetuk Gaffar yang baru tiba, diikuti oleh beberapa pelayan yang membawakan makanan. Gavier menoleh, dia segera memerintahkan pelayan-pelayan itu untuk membagikannya ke para prajurit rahasia.
"Kalian istirahat dan makanlah. Waktu kita tidak banyak, maka perlu mengisi tenaga sampai penuh."
"Baik, Yang Mulia!"
"Yang Mulia!" seru Gaffar kala Gavier tidak mengindahkan perkataannya sama sekali.
"Ah, iya. Maaf, Gaffar. Aku lupa ucapanmu barusan. Apa yang kau katakan?"
Gaffar menghela napas berat, sikap Gavier yang seperti ini membuatnya semakin cemas. "Saya bertanya, kalau Anda pergi ... bagaimana dengan Alenda?"
Gavier tampak mengedarkan pandangannya untuk berpikir. Detik kemudian dia menatap Lalea yang sudah waswas. "Kau ... hmm, walaupun hubungan kalian mungkin akan sedikit canggung, tapi cuma kau yang bisa kupercaya."
"Apa maksud, Yang Mulia?"
"Temani istriku selama aku pergi. Carikan lah alasan apa pun kepadanya tentang kepergianku. Yang penting, jangan sampai dia terluka atau mengetahui tentang perjalanan ini." Kemudian Gavier menatap Gaffar. "Aku juga meminta tolong padamu untuk menjaganya."
Terjadilah keheningan di antara mereka semua, sedangkan Gavier tetap tenang disertai senyuman lebar. "Sekarang masalahnya sudah selesai, kan?"
"... pernah ...," guman Gaffar.
Gavier sengaja memunggunginya karena tak ingin percakapan tentang Alenda semakin panjang.
"Aku tidak bisa mendengarnya, Gaffar."
"Jangan pernah mempermainkan adikku, Yang Mulia," kata Gaffar dengan nada rendah.
"Apa aku terlihat seperti sedang mempermainkannya?"
Gaffar pun terdiam.
***
Selesai mandi dan mengenakan pakaian yang nyaman seperti perkataan Gavier, Alenda ke luar dari kamar. Sebenarnya perasaannya masih kacau dan waswas untuk berinteraksi dengan orang lain. Dia masih ingat betul bagaimana mereka semua menatapnya seperti monster.
"Ehem, ehem," deham Alenda. Sekedar berbasa-basi agar orang lain mengetahui kedatangannya.
"Yang Mulia Ratu!!!" seru anak-anak yang langsung menyerbunya dengan pelukan.
"Ha--hah?" Alenda yang tak mengerti langsung mengedarkan pandangan, dia kebingungan dengan apa yang terjadi. Sepertinya mereka adalah anak-anak yang kemarin memanggilnya penyihir.
"Mohon maafkan perbuatan anak-anak kemarin, Yang Mulia," ucap beberapa wanita dan pria bergantian sambil membungkuk hormat pada Alenda. Entah apa yang sudah Gavier lakukan dan katakan, dia jadi merasa sangat tidak enak kepada orang-orang.
"Ah, tidak! Itu memang salah saya."
"Tidak, Yang Mulia Ratu! Kami lah yang seharusnya tidak seperti itu. Ratu kan tidak mungkin menyakiti kami. Kami hanya khawatir ketika tau ada orang biasa yang memiliki kekuatan."
Alenda mengulum senyum. "Baiklah, aku memaafkan kalian."
"Terima kasih, Yang Mulia Ratu!" seru semua orang, diikuti oleh para anak-anak yang loncat-loncat saking senangnya. Salah satu anak terkecil pun Alenda angkat dan digendongnya sebab wajahnya sangat menggemaskan.
"Hai, adik kecil! Siapa namamu?"
"Zata," jawabnya dengan nada lucu.
Wah, namanya mirip dengan namaku di dunia asli, pikir Alenda yang sempat terkejut saat mendengarnya.
"Nama yang cantik seperti pemiliknya!" seru Alenda.
Anak itu menggeleng. "Tidak, Yang Mulia." Dia memegang pipi Alenda dengan tangan bayinya.
"Nama Zata lebih cocok pada Anda. Apa Anda mau bernama Zata juga?" tanyanya.
Deg
"Be--benarkah?" Mendengar itu Alenda memang sangat terkejut, tapi dia yakin ini hanya ucapan ngawur anak kecil.
"Yang Mulia ... kami mau melihat sihir Yang Mulia!" Seorang anak kecil lain menarik-narik gaun Alenda. Dia ingin melihat api milik Alenda seperti kemarin.
"Bukankah kalian akan takut?" kata Alenda.
"Tidak! Menurut kami itu keren! Bisakah Anda menunjukkannya lagi?"
Alenda terdiam sebentar. Dia tatap anak kecil yang ada di dalam gendongannya. "Apa kau juga ingin melihatnya, Zata?"
Anak bernama Zata itu mengangguk. "Saya ingin melihat sihir cantik itu!"
Alenda tersenyum hangat lalu menatap anak-anak di sekelilingnya. "Baiklah, ayo melihat sihirku di luar!"
"HORE!"
Orang-orang yang melihat interaksi mereka ikut merasa hangat. Ternyata hati ratu begitu baiknya.
"Ratu! Ratu!"
Alenda menurunkan anak perempuan tadi di salah satu balok kayu lalu menoleh ke arah anak laki-laki yang memanggilnya. "Iya?"
"Apa tidak sakit?" tanyanya.
Alenda jadi mengerutkan kening. "Apa yang sakit?"
"Itu ... saat terpeleset dari kayangan. Bukankah bidadari punya alasan mengapa mereka jatuh ke bumi?"
Alenda tertegun mendengarnya. Detik kemudian dia mulai tertawa dengan gombalan anak itu. "Pffft, bwahahahah!"
"Wah ... kau hebat! Kau bisa membuat ratu tertawa! Cepat ajari kami!"
Alenda memegang perutnya yang terus bergetar hingga dia selesai tertawa. Aneh sekali, rasanya ternyata sangat menyenangkan kala mendengar ucapan mereka. Apa karena masih anak-anak? Mereka benar-benar menggemaskan. Alenda saja masih terkejut mendengar seorang anak kecil berusia sekitar 10 tahun menggombalinya seperti itu.
"Hahaha, namamu siapa, wahai anak kecil?"
"Saya adalah Pangeran Leciko, Yang Mulia Ratu," ucapnya dengan sopan, bahkan beriket seperti seorang bangsawan.
"Ha? Kau benar-benar seorang bangsawan?" Alenda sangat terkejut saat mendengarnya. Apa di tempat kumuh ini juga ada bangsawan?
"Tidak! Dia bohong, Ratu!" pekik anak yang lain.
"Benar! Dia pembohong!"
Alenda menghela napas panjang. "Apa benar kau berbohong, Leciko?"
"Saya ... bercita-cita untuk menjadi seorang pangeran. Saya ingin bertemu dengan tuan putri saya, Ratu."
Wahh padahal masih bocil udah uwu gini, batin Alenda sembari terkekeh.
"Jadi begitu. Itu bukan lah cita-cita yang buruk, tapi aku berharap kamu tidak berbohong lagi, ya? Karena berbohong itu tidak baik."
"Baiklah, Ratu."
"Hmm, aku punya sebuah cerita. Apakah kalian mau mendengarnya?" tanya Alenda, para anak-anak itu langsung bertukar pandang lalu mengangguk bersamaan.
"Jadi, suatu ketika ada seorang pedagang yang memiliki tiga putri cantik. Mereka bernama Pretty, Sweety, dan Beauty. Suatu hari, ketika pedagang tersebut akan berangkat ke pasar, ketiga putrinya meminta sesuatu ketika dia kembali. Pretty memintanya untuk membelikan sebuah gaun cantik, Sweety meminta kalung mutiara, tapi Beauty hanya menginginkan setangkai mawar." Alenda mulai bercerita sembari menggerakkan kedua tangannya agar lebih seru. Karena menarik, anak-anak itu jadi fokus mendengarkan.
"Ketika pedagang tersebut menyelesaikan bisnisnya, ia lekas pulang ke rumah. Namun, tiba-tiba badai menerjang yang memaksanya untuk berhenti di perjalanan dan mencari tempat berlindung. Kemudian ia melihat sebuah istana besar, tapi ia tidak menjumpai satu orang pun di sana. Akhirnya, pedagang tersebut pun memutuskan untuk berlindung di istana itu." Orang-orang yang sedang berlalu-lalang tampak tertarik melihat Alenda yang bercerita untuk anak-anak. Beberapa jadi ikut duduk di dekat mereka, beberapa lagi mendengarkan di sekitarnya.
"Di keesokan harinya, ketika badai yang berhembus sudah reda, pedagang tersebut memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulangnya. Saat ingin ke luar dari istana, ia melihat setangkai mawar yang sangat cantik yang terdapat di taman istana tersebut. Ingat janjinya kepada Beauty, ia memberanikan diri untuk memetik bunga mawar. Tapi tiba-tiba sesosok binatang buas yang sangat mengerikan keluar. Binatang buas itu marah karena dia menemukan ada seseorang yang berani mencuri mawar miliknya!" seru Alenda.
"Wah, apa dia mati?!" tanya anak-anak.
Alenda terkekeh. "Binatang itu ingin membunuh pedagang tersebut. Tapi pedagang itu mengemis untuk meminta maaf padanya. Kemudian ia memberitahu bahwa ia berjanji untuk memberikan setangkai mawar untuk putri bungsunya ketika ia kembali ke rumah. 'Saya akan mengampuni hidup kamu. Tetapi dengan satu syarat, bawa anakmu ke saya!' kata sang Binatang buas itu."
"Kejam sekali," bisik beberapa orang di sekitar Alenda ketika mendengar ceritanya.
"Pedagang tersebut datang kembali ke rumahnya dengan wajah tampak sedih. Dia menceritakan kisah itu kepada keluarganya termasuk ke Beauty. 'Ayah, aku akan melakukan apa pun untuk Ayah. Jangan khawatir. Saya akan hidup bersama binatang itu dan menyelamatkan hidup Ayah!' kata Beauty rela."
"Dia baik sekali! Kalau aku pasti sudah mengajak satu keluarga untuk kabur!" bisik orang-orang. Alenda pun jadi ikut mengedarkan pandangan. Aneh sekali, tiba-tiba saja dia sudah punya banyak pendengar. Karena raut anak-anak sudah sangat penasaran, Alenda pun tetap melanjutkan ceritanya.
"Kemudian Beauty mulai hidup dengan binatang buas itu di istana tersebut. Pada awalnya, Beauty takut pada binatang buas itu. Namun kemudian dia tahu bahwa sebenarnya binatang buas tersebut baik hati. Dalam waktu singkat, Beauty dan binatang buas itu menjadi teman baik."
Alenda tersenyum kala melihat wajah fokus anak-anak. Mereka sepertinya menikmati kisah ini.
"Binatang buas tersebut merasa senang sekali ada wanita yang mau hidup bersamanya. Kesendirian yang bertahun-tahun dia alami kini sudah tiada. Suatu hari, binatang buas tersebut memberanikan diri untuk meminta Beauty menjadi istrinya. Terkejut, Beauty mengatakan tidak kepada pinangan binatang buas itu. Tapi binatang buas tersebut tidak marah akan hal itu. Bahkan di hari berikutnya, sang binatang buas membawakan Beauty cermin ajaib yang bisa melihat keluarganya yang jauh di sana sebagai hadiah untuknya. Dan suatu hari, ketika Beauty melihat cermin ajaib tersebut dia melihat ayahnya sedang sakit parah. Dia meminta izin kepada binatang buas untuk membiarkan dia merawat ayahnya. Binatang buas itu tidak bisa menolak permintaan wanita yang dicintainya, tapi binatang buas tersebut meminta Beauty harus kembali lagi bersamanya dalam 7 hari. Beauty sangat berterima kasih dan bergegas pulang ke keluarganya dan merawat ayahnya."
Alenda mulai menegakkan tubuhnya. Bercerita sambil duduk lama-lama jadi melelahkan. "Pedagang tersebut jatuh sakit karena patah hati mengetahui putri bungsunya yang sangat dia sayangi pergi dan hidup bersama binatang buas karena ingin melindungi dia, ayahnya. Ketika Beauty tinggal bersamanya, kondisi pedagang itu mulai membaik. Namun, Beauty lupa akan janjinya untuk kembali ke istana dalam 7 hari. Di malam hari, Beauty bermimpi buruk. Dia bermimpi bahwa sang binatang buas sedang sekarat. Beauty takut, maka ia memutuskan untuk kembali ke istana dengan segera. Di istana, dia menemukan binatang tersebut terbaring di tanah dengan mata yang tertutup. Beauty sedih, kemudian dia memeluk binatang tersebut dan mengatakan bahwa dia akan menikahinya. Tiba-tiba keajaiban terjadi. Binatang buas tersebut secara ajaib berubah menjadi seorang pria tampan!"
Kala bercerita, Alenda jadi mengingat momen ketika dia melihat wajah Gavier untuk pertama kalinya. Itu kejadian yang sangat menyenangkan, bahkan saat tidur pun Alenda tidak bisa melupakannya. Pipinya jadi merona setiap memikirkannya.
"Yang Mulia Ratu, wajah Anda memerah. Apakah Anda sakit?" tanya Zata, anak kecil yang tadi dia gendong.
Sontak Alenda menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Maaf, aku lanjutkan, ya?"
"Setelah itu, pria tampan tersebut berucap kepada Beauty, 'Sebenarnya, saya adalah seorang pangeran dari istana ini. Seorang penyihir jahat mengubah saya menjadi binatang dan hanya cinta sejati dari gadis yang bersedia menerima saya apa adanya lah yang bisa mengubah saya kembali normal.' Kemudian Beauty dan pangeran pun menikah dan hidup bahagia di istana selamanya."
Prok! Prok! Prok!
Alenda menyapu pandangan, dia melihat orang-orang yang kagum dengan kisahnya. Sebagian merasa terharu, yang lainnya juga merasa senang dengan akhir dari cerita.
"Ratu," panggil Leciko yang tadi bercita-cita ingin menjadi seorang pangeran.
"Iya?"
"Apa kisah Anda dan Yang Mulia Raja juga seperti itu?"
Pertanyaan itu menarik banyak perhatian, tapi orang-orang langsung berpura-pura melanjutkan aktivitas mereka meski Alenda sadar bahwa mereka juga membuka telinga lebar-lebar untuk mendengarnya juga.
"Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya balik Alenda, ingin tau isi kepala anak itu.
"Karena Yang Mulia Raja disebut memiliki wajah buruk rupa. Dulu kami juga berpikir begitu, bahkan terkejut saat Anda mau menikah dengannya. Tapi ...."
"Tapi?" tanya Alenda.
"Tapi saat saya bertemu dengan raja, beliau tampak sangat tampan. Berbeda dengan yang orang-orang bilang! Apakah itu karena Anda berhasil menghancurkan kutukannya dengan mencintainya dengan tulus?"
Wah, nih anak bener-bener jenius! Kalo kamu tinggal di duniaku, kukasih bintang lima.
"Hmm, mungkin?" goda Alenda.
Seorang anak kecil kembali menarik gaun Alenda. Dia pun menoleh ke arah anak yang ada di samping kanannya. "Yang Mulia."
"Iya?"
"Bagaimana cara mencintai tanpa mempedulikan rupanya? Saya pikir, saya tidak akan bisa mencintainya kalau dia buruk rupa. Saya ingin menikahi suami yang tampan!"
Alenda merasa bahwa pertanyaan ini lebih sulit daripada rumus fisika.
Kenapa adek tanya saya? Orang saya juga nggak tau. Gavier kan ganteng. Mana ada buruk rupa-buruk rupanya, batin Alenda yang merasa bahwa dia jatuh cinta pada Gavier juga berdasarkan rupanya. Sungguh, dia realistis.
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top