Bab 35
Alenda dan Gavier baru kembali malam hari, hal itu membuat mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang sudah menanti apa yang terjadi. Kala masuk, Kepala Suku langsung mendatangi mereka.
"Kalian, ikut ke ruangan saya sekarang!" titahnya dengan nada kalem.
Alenda menatap Gavier yang malah tersenyum tenang padanya. Apakah semua akan baik-baik saja? Mengapa Gavier terlihat seperti tidak punya beban sama sekali? Alenda khawatir karena kejadian tadi siang, mereka jadi diusir. Apalagi kalau hal ini sampai menimbulkan masalah untuk Gaffar, maka Alenda akan semakin merasa bersalah.
"Silakan duduk," ucapnya setelah mereka memasuki ruangan kepala suku. Seorang pria yang usianya tampak belasan tahun itu berdiri di sebelah kepala suku, sepertinya dia adalah pelayan pribadi.
Alenda dan Gavier mendudukkan diri di hadapan beliau. Dari wajah kepala suku yang tidak berekspresi apa-apa, Alenda jadi sulit menebak isi hatinya. Apakah beliau marah? Apakah beliau terkejut? Sulit sekali diterka.
"Apa Anda sudah memiliki sertifikat sihir?"
Alenda tak paham. Dia menoleh kepada Gavier karena mungkin yang sedang ditanyai adalah pria itu, tapi salah. Ternyata yang ditanyai adalah dirinya. Lalu apa yang harus Alenda katakan? Dia tidak tau apa-apa soal sertifikat sihir yang dimaksud.
"Tidak, tapi saya sudah mengkonfirmasinya," ucap Gavier tiba-tiba sambil menggenggam tangan Alenda, seolah tau bahwa gadis itu sedang ketakutan. "Saya sudah menjamin legalitasnya dalam penggunaan sihir di mata kuil dan kekaisaran."
Kini Alenda berganti menatap kepala suku, menanti-nanti reaksi seperti apakah yang akan mereka dapatkan. Meskipun Alenda sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan.
"Haah ... Yang Mulia, ini bukanlah masalah sederhana."
Yang Mulia? Jadi kepala suku ini tau kalau Gavier dan aku adalah raja dan ratu? Tapi bagaimana mungkin? Kami sudah sepakat untuk menyembunyikan identitas, batin Alenda yang semakin waswas.
"Kau tenang saja. Dia orangku," bisik Gavier di samping Alenda. Sepertinya dia menyadari kegelisahan Alenda.
"Kau tenang saja, Ge. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja. Kau cukup menjelaskan pada orang-orang agar tidak menggangguku dan istriku." Gavier merasa apa yang ingin dia katakan sudah tersampaikan. Dia tak ingin buang-buang waktu lagi dengan mendengar seseorang menekan istrinya. "Sudah, sampai sini saja pembicaraan kita. Aku harus--"
"Lalu, apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Disappear, Baginda?" Pertanyaan itu dilayangkan tepat saat Gavier sudah berdiri dari posisinya. Alenda yang ada di sana jadi panik. Menurutnya itu pertanyaan yang cukup sensitif di situasi seperti sekarang, apalagi Gavier adalah raja yang harus bertanggung jawab atas rakyatnya.
"Yah ... seperti yang kau lihat," kata Gavier langsung.
Kepala suku tampak tak senang dengan jawaban Gavier. Dia pun ikut menegakkan tubuh. "Apa maksud Anda, Anda akan melepas tanggung jawab itu dan membiarkan rakyat sengsara? Anda ingin negara ini hancur?"
Gavier terkekeh kala mendengarnya. "Oh, ya? Bukankah mereka memang tidak pernah menganggapku raja? Bukankah mereka benci padaku karena rupa? Kalau kau ada di posisiku setelah mendapati banyak penghinaan selama aku berada di singgasana raja, aku yakin peristiwa ini juga akan menjadi kesempatan bagimu."
Alenda memilih diam. Situasi ini serba salah. Di sisi lain tindakan Gavier yang melepas tanggung jawab itu salah, tapi para rakyat selama ini juga sudah keterlaluan.
"Apa itu penting, Yang Mulia? Anda adalah raja! Bagaimanapun pendapat kami tentang rupa Anda, Anda tetap duduk di posisi tertinggi untuk kami hormati! Dan sekarang saat Anda sudah bersedia menunjukkan rupa asli Anda, rakyat tidak akan tiba-tiba selamat. Bukan lah rupa yang menjadi poinnya, Baginda!"
Itu memang benar. Alenda setuju dengan pendapat Rage, kepala suku.
"Ha! Jadi menurutmu itu bukan poinnya? Rage, apa selama ini kau tau apa yang kualami?!" bentaknya.
Rage menatap lurus Gavier. "Apakah yang Anda maksud adalah peristiwa pembantaian orang tua Anda sendiri? Bukankah itu keputusan gegabah yang Anda buat berdasarkan emosi? Mau bagaimanapun cara orang tua Anda mati, Anda tetap lah satu-satunya penerus-- arrrgh!"
BUGH!
Gavier memukul keras pipi Rage dengan kepalan tangannya hingga pria itu jatuh ke lantai. "Sudah selesai bicara?"
Alenda terkejut. Sikap ini bukan seperti Gavier. Gavier tidak mungkin menyakiti orang lain semudah ini. Perilaku impulsif begini bukanlah karakter Gavier. Jelas-jelas itu adalah Adires!
"Haah ... kau sudah menghancurkan segalanya, Rage," gumamnya usai menghajar Rage beberapa kali lagi.
"Adires?" celetuk Alenda dengan nada rendah. Dia masih merinding ketika melihat wajah Rage yang babak‐belur.
"Aku Gavier. Adires tidak pernah ada." Gavier bangkit sembari mengusap darah Rage yang ada di punggung tangannya. "Maaf karena kau jadi melihat kejadian seperti ini."
"Se--sebenarnya kenapa? Apa yang terjadi padamu? Kau itu Gavier atau Adires?" Alenda memundurkan pelan langkahnya. "Karena Gavier tidak mungkin bersikap gegabah."
"Aku Gavier dan selamanya akan begitu. Mungkin karena ingatan Adires yang masih ada di kepalaku, segala kebiasaan, sifat, dan sikap kami menyatu. Yang ada di pikiranku hanya bagaimana cara membuat mulutnya berhenti bicara. Dia sangat berisik." Gavier mengusap kasar wajahnya. "Maafkan aku, Alenda."
Alenda masih takut, tapi ekspresi tenang Gavier membuat segalanya lebih mudah. "Gavier ...."
Gavier menatap Alenda dengan tulus. "Alenda ...."
Alenda mengambil sebelah tangan Gavier, kemudian di genggamnya. "Ayo kembali ke kamar."
"Baiklah."
***
Alenda mulai merasakan hawa dingin di sekitarnya. Lantas dia berbalik badan, hendak memeluk Gavier yang tidur di sampingnya. Tapi saat meraba-raba, tidak ada siapa-siapa. Alenda pun membuka mata. Kamar yang terang menandakan hari yang sudah pagi, tapi ke mana Gavier pergi tanpa memberitahunya?
Alenda jadi cemas. Apalagi saat mengingat tatapan Gavier kepada Rage semalam. Sebenarnya apakah kondisi Gavier benar-benar sudah pulih? Apakah kepribadiannya dengan Adires sungguh menyatu? Sebab Alenda yang tidak tau apa-apa benar-benar cemas.
Krieeet ....
"Gavier?" Alenda terkejut melihat Gavier yang membawa nampan berisi piring dan gelas.
"Alenda? Kau sudah bangun? Padahal aku baru akan membangunkanmu." Gavier mendekat dan meletakkan nampan itu di atas kasur.
"Apa ini?"
Gavier menyunggingkan senyumannya. "Sarapan."
"Ha?" Alenda yang tidak mengerti kembali mendongak.
"Aku membawakan sarapan untuk istriku."
Pipi Alenda memerah. Walau dia merasa cemas, tapi Gavier masih sangat peduli padanya. Jadi kecemasan itu perlahan memudar tanpa Alenda sadari. "Ini untukku?"
"Tentu saja."
Gavier dan Alenda mulai memakan makanan yang Gavier bawa. Makan bersama di piring yang sama memang sikap yang manis, Alenda jadi ingin menggoda Gavier sejak tadi, tapi dia tau kalau ini bukan situasi yang tepat.
"Kejadian kemarin ... apakah tidak akan menimbulkan masalah untuk Gaffar?" tanya Alenda tiba-tiba, membuat Gavier menghentikan makannya. "Aku tidak bermaksud apa-apa. Walau aku membencinya, tapi dia sudah membantu kita. Jadi ...."
"Tenang saja. Aku sudah menyelesaikan semuanya," kata Gavier dengan senyum lebar.
Alenda yang tak percaya langsung mengerutkan keningnya. "Ha? Benarkah? Bagaimana bisa?"
"Yah ... yang jelas anak-anak yang kemarin mencemoohmu berniat untuk meminta maaf. Jadi setelah mandi, turunlah ke bawah untuk menemui mereka."
Alenda langsung menutup mulutnya. "Apa? Benarkah? Kau membuat mereka melakukan itu?"
"Tidak. Mereka sudah kena omel orang tuanya sehingga setelah ini mereka akan lebih hormat padamu, ratu mereka."
Alenda menghela napas berat setelah mendengarnya. "Ah, jadi kau sudah memberitahu mereka tentang identitas kita."
"Ya dan ternyata bukan keputusan yang salah untuk memiliki kuasa. Mereka jadi mempersilakanku mengambil makanan tanpa mengantre. Bagus, kan?" ucap Gavier tanpa dosa. Kalau seperti ini, Alenda jadi seperti kembali mengenali Gavier. Sisi seperti ini lah yang selama ini Alenda kenal.
"Hmm ... bagus, sih, tapi itu tidak akan adil untuk mereka," ucap Alenda, mulai menasihati.
"Hahaha, baiklah. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Ternyata kau masih bisa tertawa," kata Alenda yang ikut merasa senang melihat tawa Gavier yang dia rindukan.
"Ah, apa selama ini aku terlalu kaku?"
Alenda menggaruk tengkuk lehernya. "Tidak, bukan begitu. Aku hanya berpikir bahwa kau mungkin terlalu banyak pikiran tentang semua hal yang terjadi. Apalagi soal partner ...."
Alenda tau, membahas soal apa yang terjadi di istana terakhir kali bukanlah hal yang bagus. Dia bisa saja membuat suasana hati Gavier kembali buruk, tapi entah mengapa kalau terus berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja juga terasa tidak benar.
"Jangan berhenti, Alenda. Lanjutkan apa yang mau kau katakan. Aku akan mendengarnya. Aku juga tidak akan marah," ucapnya dengan lembut.
"Aku hanya berpikir bahwa kita harus menyelesaikan ini. Kita tidak mungkin mengabaikan hal ini selamanya, kan? Jadi, lebih baik kita mulai mengutarakan pendapat satu sama lain dan menyusun rencana untuk ke depannya. Aku tidak yakin kau ingin tinggal di sini terus. Iya, kan?"
Saat Alenda perhatikan wajah Gavier baik-baik, pria itu tampak lebih bersinar dari sebelumnya. Yah, wajah tampannya memang tidak berubah. Tapi cukup mengesalkan karena Gavier terlihat seperti tidak punya masalah padahal nyatanya ada banyak hal yang harus mereka selesaikan. Jadi Alenda berharap agar Gavier tidak lari dari masalah atau meremehkannya.
"Jadi itu yang mengganggu pikiranmu?"
"Tentu saja. Apa itu tidak mengganggu pikiranmu?"
Gavier mengusap kening Alenda yang berkerut dengan ibu jarinya. "Apa pun yang mengganggumu pasti mengganggu juga. Jadi, mana mungkin aku tidak terganggu?"
Alenda semakin bingung mendengarnya.
"Alenda, jangan memikirkan itu semua. Serahkan padaku. Kau hanya perlu memikirkanku."
Alenda menghela napas. "Gavier, aku tidak bercanda."
"Aku juga." Gavier meneguk air mineral yang ada di dalam gelas. "Walau aku benci menjadi raja, aku tidak pernah bilang kalau aku tidak becus melakukannya, kan? Aku hanya ingin orang-orang seperti Rage tidak berisik lagi. Jadi kau tenang saja."
"Tapi, Gavier--"
"Aku hanya ingin kau percaya padaku, Alenda." Gavier mengusap ujung bibir Alenda yang belepotan. "Bisa, kan?"
Alenda belum menjawab, tapi pintu kamar terbuka oleh kedatangan Gaffar. "Gavier!"
Gavier dan Alenda sama-sama menoleh.
"Ada apa?" tanya Gavier dengan tenang dan senyuman yang tak sirna dari wajahnya.
"Emm ...." Gaffar bingung bagaimana cara menyampaikannya karena ada Alenda di sini. Lantas dia melirik Alenda beberapa kali lalu menemukan bahasa isyarat yang pasti disadari Gavier. "Emm ... itu ... emm, ada banyak asap di bawah. Bisakah kau membantuku menanganinya?"
Gavier tampak terdiam selama beberapa menit sebelum menyadarinya. Kemudian dia menatap ke arah Alenda. "Aku harus membantu Gaffar. Setelah membersihkan diri, gunakan pakaian yang nyaman dan turunlah ke bawah untuk menemui anak-anak itu. Mereka tulus ingin meminta maaf padamu. Semoga kalian bisa akrab setelahnya."
Setelah itu Gavier mengusap puncak kepala Alenda dan pergi membawa nampan bekas sarapan mereka.
"Kenapa kau membawa nampan?" tanya Gaffar.
"Tidak perlu ikut campur urusan suami istri," jawab Gavier sekenanya.
Usai keduanya berjalan menuruni anak tangga, Gavier meletakkan nampan itu di atas meja. "Apa mereka sudah datang?"
"Sudah. Mereka berkumpul di ruang bawah tanah."
"Baiklah. Minta pelayan untuk menyiapkan makanan ke mereka semua," titah Gavier yang kemudian berjalan sendirian ke ruang bawah tanah. Sembari membawa lentera karena keadaan yang gelap, Gavier hampir terpelonjak kaget saat mengarahkannya ke depan karena wajah mengerikan Rage.
"Astaga! Astaga!" Gavier mengusap dadanya sambil berusaha menetralkan jantung. "Kau hampir membunuhku, Rage! Singkirkan wajahmu dari pandanganku."
"Baik, Baginda. Mohon maafkan saya," ucapnya pasrah.
"Baginda!"
Gavier menoleh. Memperhatikan para pasukan rahasia kerajaan yang sudah berkumpul. Untung saja mereka semua selamat. "Berapa orang yang gagal?"
"Sekitar 50 prajurit yang kehilangan nyawanya, Yang Mulia," ucap Lalea.
"Haah ...." Gavier memperhatikan wajah mereka yang sedikit babak-belur. "Kirimkan uang belasungkawa yang pantas dan kembalikan tubuh mereka dengan utuh ke keluarganya. Aku percayakan hal ini padamu, Lalea."
"Baik, Yang Mulia."
"Bagaimana pergerakan mereka sekarang? Apa saja yang sudah Elfatir lakukan?" tanya Gavier.
"Sesuai dengan prediksi Anda, Yang Mulia, mereka memulai ritualnya lebih cepat. Kemungkinan besar dua hari lagi persiapannya selesai. Jadi kita harus bergerak lebih cepat," jawab Aezarus langsung. Tubuh pria itu memang baik-baik saja karena keahlian pedangnya yang luar biasa.
"Apa kaisar sudah bisa dihubungi?"
Lalea menggeleng. "Akses masuk kekaisaran ditutup tanpa tau sampai kapan. Kejadian ini sudah menyebar ke negara lain sehingga sebagai antisipasi, kaisar menolak undangan atau surat mana pun."
"Hmm, kalau begitu aku harus menggunakan kartuku yang lain," gumam Gavier sambil berjalan ke meja tengah, pusat rencana mereka tersusun secara tersembunyi.
"Apa maksud, Baginda?"
Gavier mulai menyeringai. "Istriku cemas dengan ikatan partner itu. Dewi Hera bahkan sampai tertipu. Yah, walaupun hal itu memang juga menguntungkan untukku karena kutukan itu jadi terangkat. Karena aku tak ingin istriku dalam bahaya, maka hanya ada satu cara."
"Yang Mulia ... jangan bilang ... Anda berniat pergi ke kuil?!"
Gavier tau para panglimanya tak akan ada yang setuju, tapi ini adalah jalan terbaik untuk sekarang. "Yah, aku juga sudah lama tidak menemui buyut."
"Mereka berbahaya, Baginda! Pendeta Agung bisa saja menggunakan itu untuk menjebak Anda."
"Kita kan belum tau apakah Elfatir sudah menghubungi pihak kuil. Yang jelas sekarang Pendeta Agung masih berada di posisi netral. Kita harus memanfaatkannya," kata Gavier yang sudah berani nekat.
"Lalu siapakah yang akan Anda temui? Hephaestus atau Ares?" tanya Lalea dengan wajah sangat serius. Sebab hal itu bisa saja mengancam nyawa pemimpinnya.
"Hmm, mungkin bukan mereka ...."
"Lalu?"
Gavier terkekeh. "Aku akan menemui Nenek Aphrodite!"
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top