Bab 27
"Kita harus menghancurkan Kekaisaran Matahari dan Kerajaan Disappear! Mereka terlalu banyak ikut campur!"
Semua orang setuju. Mereka sudah lelah dengan berbagai peristiwa yang menimpa keturunan mereka. Melenyapkan mereka akan menjadi kemenangan besar yang menguntungkan. Lagipula, Rebecia sudah lama dianggap hancur.
"Apa pun rencana kalian, jangan gegabah! Kita sudah melakukan segala cara untuk kembali bangkit. Apa kalian mau menyia-nyiakannya?" ucap pemimpin dengan baju zirah itu. Dia menancap-nancapkan pedangnya ke tanah untuk melatih otot lengannya yang selalu kaku di malam hari.
"Tapi, Tuan ... sampai kapan kita semua akan bersembunyi seperti tikus? Kita tidak bisa membiarkan mereka semua tetap jaya! Duke Zenilas yang selalu membantu kita saja sudah berada di penjara bawah tanah."
Dia terkekeh lalu mendudukkan dirinya di kursi paling tinggi. Dia tatap seluruh pemimpin pasukannya yang tengah menggeram dan menjelek-jelekkan kekaisaran. "Kudengar dia belum memilih partner."
"Itu benar, Tuan. Padahal dia sudah menikahi putri haram Celsion yang katanya menarik iblis ke Kediaman Celsion. Rumornya, putri itu berhasil membangkitkan kekuatan Dewa Hephaestus hanya dengan satu elemen api."
"Hmm, menarik," ucapnya.
"Apa Tuan ingin membunuhnya? Mungkin kita bisa menjadikan itu sebagai kelemahan Gavier," kata mereka. "Atau Tuan Elfatir memiliki rencana lain?"
Elfatir tampak mengasah pedang kecil miliknya agar menjadi lebih tajam. Senyum yang mengembang di bawah kumis tipisnya membuat para bawahannya bertanya-tanya.
"Aku akan memberikan jantungku pada putri unik itu," ucapnya.
"APA?!"
"Tuan El! Anda bercanda, kan? Anda akan menjadikan istri Gavier sebagai partner Anda?"
Elfatir tertawa. "Anak itu terlalu banyak tingkah. Aku harus bisa menjadikan istrinya sebagai partner-ku, sehingga ... dia tidak akan pernah bisa membunuhku."
"Tapi itu--"
"Kalian mengerti maksudku, kan? Tidak bisa dibunuh dan memiliki partner penguasa kekuatan dewa adalah sebuah keberuntungan. Kapan lagi aku bisa mendapatkannya?"
Tunggu aku. Aku akan segera menjemput malaikat mautmu, Gavier, batin Elfatir.
***
"Waktu itu, aku hanya mendengar sebuah melodi dari lagu yang kukenal. Arah melodi itu ke perpustakaan. Aku pun mengikutinya dan saat di perpustakaan, melodi itu hilang. Jadi aku mencoba menyanyikannya lagi dan buku itu jatuh di depanku."
"Wah, luar biasa! Kedatangan Aletheia memang selalu menarik," ucap Oryza dengan senyum merekah. "Anda sudah dipercaya. Anda bisa memanggilnya kapanpun, Yang Mulia."
"Benarkah?"
Oryza mengangguk. "Mungkin ini ada hubungannya dengan bagaimana Anda bisa membangkitkan kekuatan Dewa Hephaestus. Ini sangat luar biasa!"
"Oryza, sepertinya ada yang kurang dari ceritamu. Soal orang tua Gavier. Kalau ayah Gavier mati di tangannya, ke mana perginya ibu Gavier? Bukankah dia masih hidup karena Adires tak punya dendam apa-apa padanya?" tanya Alenda yang jadi teringat setengah wajah ibu Gavier yang dia temukan di perpustakaan. Mungkin ibu Gavier juga sama sepertinya. Memiliki jiwa bersih dan bisa melihat rupa asli ayah Gavier.
"Tidak ada yang tau. Ada yang bilang dia ikut mati karena melindungi suaminya, ada yang bilang Tuan Gavier menyembunyikan ibunya di wilayah utara, ada yang bilang ibu Tuan Gavier terkurung di kaki gunung karena berniat membangkitkan ayah Tuan Gavier dari kematian, tapi ada juga yang berteori bahwa ibu Tuan Gavier menguasai daerah pohon sihir di Benua Anterik."
Alenda mengerutkan keningnya. "Kenapa ibu Gavier berada di pohon sihir?"
"Bertapa untuk membuat wajahnya buruk rupa karena ada yang bilang kalau ibu Tuan Gavier mendapatkan karunia Dewi Aphrodite, sehingga wajahnya yang cantik bahkan bisa menyihir semua orang."
Kini Alenda menutup wajahnya. Ini semua sangat berlebihan. Informasi yang begitu banyak dan hal-hal yang belum pernah dia ketahui saling menyusun teka-teki dalam kepalanya.
"Oryza," ucap Alenda.
"Ya, Yang Mulia?"
"Apa kau kenal Permaisuri Nindy?" Kali ini Alenda ingin menanyakan perihal perempuan itu. Oryza yang tau seluk-beluk Gavier dan Adires pasti tau sesuatu.
"Tidak. Saya tidak pernah mendengar namanya, Nyonya."
"Loh?"
Bagaimana mungkin? Apa istri kaisar tidak terkenal?
"Kok bisa? Dia ... istri kaisar dan pernah--"
"Oh, istri kaisar? Kami mana mungkin tau, Yang Mulia? Istri kaisar memiliki penjagaan yang sangat ketat di dalam kekaisaran. Orang luar tak bisa menyebut namanya dengan gampang. Saya bahkan tak pernah mendengarnya, jadi bagaimana mungkin saya tau?"
Baiklah, sekarang Alenda mengerti mengapa Adires ingin menceraikannya. Mungkin posisi Nindy begitu terkurung di dalam genggaman kaisar sampai Adires merasa kesal. Sebesar itukah cinta pria itu pada masa lalunya? Lucu sekali.
Alenda mengepalkan tangannya. Dia bangkit dengan perasaan memanas. Hal itu membuat Oryza terkejut dan ikut menegakkan tubuh.
"Aku harus kembali ke istana. Kau nikmati saja tempat ini. Setidaknya di sini lebih baik daripada terkurung di dalam, kan?"
"Baik, Yang Mulia."
Alenda mengangkat tangannya, hendak mengusap kepala Oryza. Mengerti akan hal itu, Oryza langsung menundukkan kepala untuk membiarkan tuannya mengusap rambutnya.
"Jaga dirimu."
Setelah itu Alenda mengangkat gaunnya dan pergi dari danau. Dia berjalan kembali ke area peristirahatan prajurit yang merupakan jalan masuk menuju danau di hutan.
"Anda membuat saya khawatir, Yang Mulia!" ucap Anggita langsung kala Alenda baru datang setelah memintanya menunggu di sini.
"Maaf, ada banyak hal yang harus kubicarakan dengan Oryza," kata Alenda sembari membiarkan Anggita membersihkan gaunnya yang banyak ditempeli rumput.
"Oryza? Siapa itu, Yang Mulia? Anda bilang ingin menemui naga."
"Dia adalah naga itu. Nama aslinya Oryza. Kupikir sesekali kau harus menemuinya. Dia lumayan tampan," ucap Alenda diiringi tawa.
"Tidak perlu, Yang Mulia. Saya benci sesuatu yang besar dan mengerikan seperti naga," kata Anggita yang berjalan di samping Alenda.
"Jangan bilang keras-keras. Siapa tau ada naga di sekitar kita dan tersinggung dengan ucapanmu. Maka kamu akan dihap!" Alenda menirukan gaya hewan buas yang hendak menerkam maksa. Sontak Anggita menutup wajahnya dengan keranjang tempat keperluan Alenda.
"Hahaha, aku bercanda." Alenda tak menyangka bahwa Anggita sepenakut ini. Padahal Inggit sahabatnya di dunia asli adalah pemberani.
"Hormat kami kepada Yang Mulia Ratu," sapa Lalea dan beberapa pelayan di belakangnya.
Alenda mengangguk. "Baiklah. Apa ada dokumen yang harus kutanda tangani hari ini?"
"Ada beberapa hal yang harus Anda persiapkan, Yang Mulia," kata Lalea yang berniat menjemputnya ke ruang kerja. Alenda tak menyangka bahwa waktu luangnya hari ini hanya sebentar. Lelah sekali rasanya kalau harus kembali duduk di dalam ruangan yang panas.
"Wah, aku tidak sabar! Aku sudah menunggunya sejak lama!"
"Kau sudah mengatakannya pada Lalea? Dia pasti akan memberitahu Yang Mulia Ratu, kan?"
"Aku harap begitu! Sudah 6 tahun kita tidak bisa merayakannya. Semoga Yang Mulia Ratu menyetujuinya."
"Benar, tapi sekarang kan Yang Mulia Raja sudah kembali. Pasti kali ini kita bisa merayakannya!"
"Hore!"
Alenda mendengar berbagai desas-desus di sepanjang lorong. Hal itu membuatnya penasaran, mengapa para perempuan di istana ini tampak heboh dan lebih bersemangat dari biasanya. Pandangan Alenda pun jadi berkeliaran. Apa telah terjadi sesuatu tanpa sepengetahuannya?
Sesampai di ruang kerja, Alenda menerima dokumen yang Lalea persiapkan. Wanita itu mulai memeriksa satu per satu lembarnya.
"Lalea," panggil Alenda dengan pandangan yang masih fokus membaca dokumen.
"Ya, Yang Mulia Ratu?"
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Alenda membalik halaman itu dan menatap Lalea yang berdiri di depan meja. "Kau pasti tau sesuatu, kan?"
Lalea tampak ragu mengatakannya, tapi pipinya terlihat memerah. Alenda jadi semakin penasaran. "Itu ... emm ...."
"Apa? Katakan padaku."
"Dua minggu lagi adalah Musim Cinta, Yang Mulia."
Kening Alenda berkerut. Musim Cinta? Sejak kapan dunia ini punya musim selain gugur, semi, panas, dan dingin?
"Apa kau sedang bercanda? Selama 6 tahun aku tinggal di sini, aku tidak pernah mendengarnya," ucap Alenda.
"Mohon ampuni kelancangan saya, Yang Mulia!" Lalea langsung membungkuk dengan hormat. Alenda yang sudah terbiasa hanya diam di tempat.
"Aku bukannya marah, tapi ini sesuatu yang baru bagiku. Jelaskan apa itu Musim Cinta dan kenapa baru ada sekarang?"
"Musim Cinta sudah ada sejak dahulu. Itu adalah tradisi negara ini untuk menguatkan tali hubungan antar pasangan. Ritual itu biasa kami rayakan. Entah dari kalangan rakyat biasa atau bangsawan. Hanya saja sejak Yang Mulia Raja pergi, kami tak bisa merayakannya untuk menghormati perasaan Ratu."
Jadi begitu, batin Alenda sambil mengangguk paham.
"Semua orang merayakannya?" tanya Alenda.
"Benar, Yang Mulia. Bahkan yang tidak punya pasangan menjadikan momen itu untuk menemukan cinta sejati."
"Berapa lama ritual dan perayaannya?" tanya Alenda yang mulai menandatangani dokumen di atas meja.
"Tujuh hari, tujuh malam."
Sontak Alenda menggebrak meja. "Lama sekali?!"
Sebenarnya Alenda tidak masalah untuk mengadakan pesta itu demi rakyatnya. Tapi, tujuh hari tujuh malam? Jahat sekali bagi Alenda yang jomlo ini! Dia kan ditolak oleh Adires. Apa pria itu akan baik-baik saja jika membiarkannya menghabiskan waktu bersama Gavier? Atau Adires akan pergi kekaisaran untuk mengunjungi Permaisuri Nindy?
Mendengar bahwa hubungan kaisar dan Adires sangatlah dekat, kaisar pasti tak masalah membiarkan salah satu istrinya bertemu teman dekatnya.
Dih! Nindy perebut suami orang! batin Alenda dengan tatapan berapi.
"Ya--Yang Mulia Ratu?" ucap Lalea yang kebingungan melihat ekspresi Alenda.
Hmm, Musim Cinta, ya? Baiklah, sepertinya aku terima saja. Aku akan memanfaatkan ini untuk mendapatkan hati Gavier!
"Baiklah, aku akan mengadakannya."
Wajah Lalea tampak bersinar. "Benarkah, Yang Mulia?!"
"Ya." Alenda menatap gerak-gerik Lalea yang mencurigakan. Dia tampak kelewat senang padahal selama ini selalu menyembunyikan ekspresinya dengan profesional. "Sepertinya kau sudah memiliki kekasih, Lalea."
"I--itu ...." Lalea menunduk dengan pipi memerah.
Alenda terkekeh. "Kau tidak perlu menyembunyikannya. Dia pasti pria baik-baik karena berhasil mendapatkan hatimu. Lain kali kenalkan aku dengannya. Siapa tau aku bisa menikahkan kalian berdua."
"Benarkah, Yang Mulia?" Lalea langsung membungkukkan tubuhnya. "Suatu kehormatan bagi kami!"
"Hahaha, baiklah. Sekarang lebih baik kau memulai persiapannya. Berikan padaku daftar hal yang dibutuhkan untuk perayaan. Aku akan meninjaunya."
"Baik, Yang Mulia Ratu. Saya permisi dulu."
Alenda mengangguk. Dia biarkan Lalea berjalan cepat ke luar ruangan. Lantas Alenda lanjut memeriksa dokumen lain yang tadi diberikan Lalea. Di salah satu lembarnya, dia tak sengaja menemukan sebuah amplop.
Teruntuk Tuan Marquiss
Dari Count Lalea
Alenda menautkan kedua alisnya. Count Lalea? Apa maksud Lalea, ya? Dia kan perempuan, kenapa dipanggil count dan surat untuk siapakah ini? Sepertinya tak sengaja terselip di dokumen yang dia siapkan.
Di sisi lain, Galya membaca amplop dengan pengirim dan penerima yang sama.
"Hanya ada surat untuk Marquiss?" tanya Galya pada pengawalnya.
"Benar, Duchess."
Galya memegang perutnya yang sedikit lebih besar karena usianya sudah memasuki 15 minggu.
"Ezra, ada surat untukmu!"
Ezra segera bangkit dari kasur dan mengaitkan seluruh kemejanya. Lantas dia terima surat yang ada di nampan yang baru saja diberikan pengawal.
"Count Lalea itu siapa? Apa dia bukan dari wilayah sini? Aku belum pernah mendengar namanya," ucap Galya sambil menyandarkan kepalanya di lengan Ezra, hendak ikut mengintip isi surat.
"Emm, ya ... dia dari wilayah lain. Aku harus membaca surat ini. Isinya hanyalah perkembangan bisnisku. Aku ke ruang kerja sebentar, ya."
Galya tampak tak suka melihat gerak-gerik Ezra yang menghindarinya. Mungkin saja bawaan bayi, Galya jadi sedikit tidak nyaman dan mudah curiga. "Baiklah."
Sebelum pergi, Ezra mengecup kening Galya. "Aku akan segera kembali."
"Ya."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top