Bab 25

"A--Alenda?"

Alenda menguraikan pelukannya. Dia tatap Gavier yang masih kebingungan dengan wajah merah padam. Selain merasa bingung, kebahagiaan yang meluap itu terus meledak-ledak di dalam hatinya. Seorang gadis cantik seperti Alenda ... menyukainya? Bukankah ini adalah keberuntungan sekali seumur hidup yang tak mungkin Gavier dapatkan?

"Kamu harus tau, kamu juga menyukaiku. Kamu punya perasaan yang sama denganku," kata Alenda. Dia sudah merasakan hal itu sejak Gavier mempersembahkan nyawanya untuk Alenda.

"It--itu ...."

"Kenapa, Gavier?"

Gavier menunduk sebentar. Jantungnya tak bisa normal saat matanya bertemu iris cantik Alenda. Lantas dia menyentuh bibirnya yang baru dicium Alenda. Ciuman pertama ini sungguh ... luar biasa.

Walau sebenarnya, bukan sekali dua kali Alenda pernah merasakannya.

"Kenapa ... kamu melakukan ini padaku, Alenda?"

Dia menggemaskan sekali. Reaksinya di luar dugaanku. Aku benar-benar seperti melihat sisi lemah Adires, padahal dia adalah Gavier, pikir Alenda.

"Aku menyukaimu, kau harus bertanggung jawab sudah mengambil hatiku. Karena kita telah menjadi sepasang suami istri, bagaimana jika kita benar-benar memulai semuanya dan menjadi suami istri sungguhan?" Alenda mengusap wajah Gavier tanpa topeng. Rasanya sangat lembut.

"Aku ... aku belum pernah ... jatuh cinta. Aku ... aku ... tidak tau bagaimana."

"Aku akan mengajarimu. Berarti inilah saatnya kamu jatuh cinta," ucap Alenda. "Aku akan menunggumu, tapi jangan lama-lama, ya?"

Kemudian Alenda berjalan melewati Gavier lebih dulu menuju kereta kuda. Baru akan naik ke dalam, suara pria di belakangnya membuat senyum Alenda semakin mengembang.

"APA YANG KAU RENCANAKAN, ALENDA?!"

Alenda berbalik. Senyumnya tampak merekah. "Hai, Adires."

"Cukup, hentikan! Jangan menyakiti Gavier."

"Aku tidak menyakitinya. Memang apa yang telah kulakukan? Kau pasti sudah tau kan lewat ingatannya?" ucap Alenda tanpa ragu.

Adires mencengkram lengan Alenda. Meskipun terasa sedikit sakit, Alenda tetap membiarkannya. "Jangan melukai Gavier untuk membalasku! Anak itu sangat polos. Jadi kalau kau berani macam-macam, aku akan--"

"Akan apa?" tantang Alenda dengan berani, walau tatapan Adires tampak lebih menyeramkan daripada saat malam pertemuan pertama mereka. "Kau tau, Adires? Kau adalah laki-laki brengsek dan pengecut! Kau bahkan lebih buruk dari Yang Mulia Kaisar!"

"Apa?! Kau sudah selesai bicara, ha? Apa kau bahkan tau siapa kaisar sebenarnya? Kau bahkan tak tau apa-apa tentangnya."

"Aku tidak peduli. Kau tetap yang paling buruk bagiku."

Amarah Adires yang sebelumnya meluap mulai menguap. Dia melihat air mata yang kembali berlinangan dari pipi gadis itu. Sungguh lemah.

"Jadi kaisar sudah mengatakannya," ucap Adires.

"Setelah berhasil tidur denganku, kau langsung membuangku, hah? Kau tau? Kau sangat brengsek!" Alenda memukul dada Adires. "Kau bahkan hendak menceraikanku!"

"Aku tidak akan mengatakan apa-apa untuk membela diri. Aku hanya tidak ingin kau menjadikan Gavier sebagai boneka untuk membalasku. Dia tidak salah apa-apa."

"Gavier lebih penting daripadaku, kan?" Pertanyaan Alenda tak bisa Adires jawab. "Sebenarnya kenapa? Apa yang kau sembunyikan dariku? Aku tau kau bukan orang yang bodoh!"

"Hentikan. Suaramu akan terbuang sia-sia karena aku takkan menjawabnya."

"Jadi begitu. Kau benar-benar akan membuangku?"

Adires menatap serius mata Alenda yang berkaca. "Aku tidak membutuhkan istri lemah sepertimu."

***

Alenda mengamati ponsel yang ada di genggamannya. Setelah menyelesaikan beberapa urusan negara yang harus dia tanda tangani, Alenda segera mengunjungi ruang bawah tanah yang pernah Gavier tunjukkan di malam pernikahan mereka. Ponsel ini walau sudah tak digunakan dalam waktu lama masih saja berfungsi. Hal yang membuat baterai di dalamnya tetap bertahan adalah kristal manis dari pohon sihir di Benua Anterik, wilayah para penyihir melakukan penelitiannya.

Tit ... tit

Alenda menghela napas berat, karena sudah tinggal di sini dalam waktu lama, dia jadi lupa nomor ponselnya atau orang tuanya. Lantas Alenda berusaha mencari tau tahun dan tanggal berapakah situasi di dunia asalnya sekarang. Mungkin saja masih bisa, kan?

15 Februari 2022

"Loh, ini kan hari waktu Inggit ngajak aku nonton. Dunia asalku masih belum berjalan atau HP ini udah rusak?" gumam Alenda. Dia mencoba mengotak-atik isi ponsel lagi, siapa tau bisa menemukan informasi lain.

13.54 PM

"Cuma beda 50 menit? Waktu aku nonton sama Inggit, film dimulai pukul satu lebih empat. Kok bisa begini, ya?"

Alenda iseng membuka aplikasi internet, tapi ternyata tak ada jaringan yang bisa membantunya membuka sosial media atau Google. Namun, tiba-tiba ponsel itu bergetar, menandakan ada notifikasi masuk.

Penulis
Waktumu tersisa 5 tahun lagi.

Alenda mengerutkan keningnya. Kalau tidak ada pulsa maupun kuota internet, harusnya ponsel ini tidak bisa menerima pesan.

Me
Ini siapa? Apa maksudnya waktuku tinggal 5 tahun lagi? Apa maksudnya aku akan segera mati?

Penulis
Ini kesempatan terakhirmu untuk membuktikan apakah kehidupan benar-benar berharga atau hanya permainan bagimu.

Alenda terdiam. Jantungnya meledak di tempat saat membaca pesan itu. Dia teringat kejadian sebelum datang ke tempat ini. Hal itu adalah ketika Alenda melakukan perundungan di SMA-nya. Benar, Alenda adalah pelaku bullying di sekolahnya dulu. Setiap korbannya memohon ampun atau meminta maaf atas kesalahan yang tak pernah mereka buat, Alenda selalu berkata, 'Aku kan hanya bercanda. Jangan terlalu diambil hati. Hidup itu permainan, kan?'.

Dan sekarang ... kalimat itu berhasil menusuk Alenda. Sejak memasuki dunia perkuliahan, dia memang tidak pernah mengulangi perbuatan itu lagi. Siapa sangka hal buruk yang dia lakukan malah menjadi luka besar dan gelap di dalam hatinya?

"Kenapa ... kenapa bisa?"

Tangan Alenda bergetar, dia berniat membalas pesan itu walau sudah ketakutan. Belum sempat mengetik pesan, layar ponsel itu padam. Tak bisa lagi digunakan walau Alenda sudah menempelkannya dengan kristal manis atau mengotak-atiknya.

Setelah kejadian di ruang bawah tanah itu, Alenda hanya diam seharian. Dia bahkan tidak mendatangi ruang makan seperti biasa. Bukan untuk menghindari Gavier atau Adires. Dia benar-benar hanya ingin sendirian karena kepalanya terasa seperti akan meledak.

Tok ... tok!

"Nyonya, apa Nyonya benar-benar akan melewatkan makan malam?"

Alenda tak menjawab. Dia masih menatap kosong jendela kamar yang terbuka lebar. Bulan yang berada di atas sana memenuhi iris mata Alenda.

Krieet ....

"Sudah kubilang, aku tidak mau makan."

"Tak ada satu pun di negara ini yang boleh melanggar perintahku," ucap seseorang yang duduk di sebelah Alenda. Lantas Alenda segera menoleh. Dari cara bicaranya, dia tak bisa menebak siapakah yang sekarang duduk di sampingnya.

"Wajahmu jelek sekali. Jangan menatapku begitu."

Ah, Adires.

"Jadi kau hanya memujiku cantik setiap ingin tidur denganku," ucap Alenda terus-terang. Membuat pipi Adires langsung memerah. Padahal bukan itu maksudnya. Tapi kalau diingat-ingat, dia memang hanya pernah menyebut Alenda cantik saat sebelum mereka berciuman.

"Ehem, makanlah."

"Apa pedulimu terhadap istri yang akan diceraikan? Tak peduli dia mau mati atau tidak, kan?"

"Tutup mulutmu. Aku tidak sejahat itu," kata Adires sambil meletakkan nampan berisi makanan di atas tempat tidur Alenda.

"Pffft, tidak sejahat itu? Kau? Orang yang sudah banyak membunuh? Hei, kalau pembunuh bukan orang jahat, lalu siapa?"

"Bicaralah sambil makan. Buka mulutmu," ucap Adires, dia berniat menyuapi Alenda.

"Aku sudah bilang kalau tidak mau makan!"

"Kau itu sudah jelek, kurus, menyebalkan, tidak tau diri, banyak bicara, masih saja menolak makan. Mau jadi apa kau ini?" kata Adires, membuat urat di kepala Alenda cenut-cenut.

"Walau jelek, kurus, menyebalkan, tidak tau diri, dan banyak bicara, tapi kau suka tidur denganku! Jangan bohong, aku melihatmu menikmatinya!"

Adires membuang mukanya, kali ini mulutnya berhasil dibungkam.

"Jadi, sebenarnya kau kenapa?" tanya Adires, berusaha mengalihkan suasana.

"Tidak pa-pa. Aku tidak ingin menceritakannya padamu. Kau jahat."

"Aku punya alasan untuk menceraikanmu," ucap Adires, akhirnya mengakui apa yang dia sembunyikan.

"Apa?! Apa itu? Katakan padaku!"

"Buka dulu mulutmu."

"Ish!" Alenda akhirnya membuka mulutnya. Sesuap nasi pun Adires suapkan ke mulut Alenda. "Sudah, kan?"

"Kau seperti anak-anak," kata Adires. Alenda yang tak mengerti hanya mengangkat kedua alisnya. Tanpa dia duga, Adires mengusap ujung bibir Alenda. "Cemong."

Jantung Alenda sempat berdebar kencang untuk beberapa menit. "Te--terima kasih." Alenda menunduk.

"Aku masih mencintai perempuan lain. Aku punya masa lalu yang belum selesai dengannya. Kaisar berjanji akan melepaskan Permaisuri Nindy jika aku mau menceraikanmu."

Nindy? Aku seperti pernah mendengarnya, tapi kapan, ya?

Adires mengangkat sendok ke mulut Alenda lalu diterima oleh Alenda lagi. "Kenapa kau diam saja?"

"Kenapa?" tanya balik Alenda.

"Tidak. Kupikir kau akan marah."

Alenda menggeleng. "Aku tidak marah, tapi terluka."

"Terluka?" Adires kembali menyuapi Alenda.

Dengan mulut penuh, Alenda mengangguk. "Jadi kau mencintai perempuan lain ... kau menolakku."

"Itu sebabnya, kau akan semakin terluka jika tetap berada di sampingku."

"Tapi kenapa, ya? Walaupun terluka ... aku masih menyukaimu." Alenda menutup wajahnya. "Aku sangat menyedihkan."

"Sebenarnya, ini juga salahku. Dulu niatku hanya menggodamu. Siapa sangka perasaan Gavier yang begitu kuat padamu, berhasil membawaku mengikuti suasana. Bahkan sampai tidur denganmu. Maafkan aku," ujar Adires.

"Bolehkah kau mengizinkanku untuk bersama Gavier? Kalau kau memang tidak mencintaiku, baiklah. Aku akan menerimanya, tapi jangan ceraikan aku. Biarkan aku bersama Gavier."

"Bukankah lukamu akan lebih besar nantinya?"

Alenda membuka wajahnya. "Terima kasih sudah jujur padaku tentang perasaanmu. Lukaku akan menjadi urusanku, kau tak perlu memedulikannya. Tolong, bawa Gavier ke sini."

Lantas Alenda melihat Adires yang memejamkan kedua matanya. Saat terbuka, tatapan Gavier yang lembut membuat hati Alenda menghangat. Dia langsung memeluk Gavier saat pria itu akhirnya kembali. Yang dalam diri Gavier, Adires juga memeluk erat Alenda tanpa terlihat.

"Ada apa, Alenda?" tanya Gavier.

Alenda diam tak menjawab.

"And if you hurt me, that's okay, baby, only words bleed. Inside these pages, you just hold me and I won't ever let you go."

- The Beast & His Secret -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top