Bab 24
"Alenda?"
Langkah Alenda berhenti di depan ruang kaisar, tempat dia dan Gavier tadi datang. Dilihat dari caranya memanggil dan tatapan lembutnya, pria itu benar-benar Gavier.
"Kau sudah selesai, Gavier?"
Gavier mengangguk. "Yang Mulia Kaisar ada di dalam, dia ingin bicara denganmu. Aku harus mengunjungi Panglima Kekaisaran, Martin."
"Baiklah, aku akan menunggumu."
Sebelum Alenda benar-benar memasuki ruangan, Gavier menahan lengannya. "Kalau kaisar mengatakan sesuatu yang tidak perlu, jangan mempedulikannya. Dia hanya bicara omong kosong. Menjadi kaisar bukan berarti bisa semena-mena kepada orang lain."
Alenda tau kalau Gavier mencemaskannya. Mungkin dia punya sedikit ingatan yang dimiliki Adires tentang kebencian pria itu terhadap kaisar. "Tenang saja, aku bisa mengatasinya sendiri."
Setelah mengatakan itu, Alenda masuk ke ruangan kaisar. Di sana dia bisa melihat sang kaisar yang duduk di singgasana, menanti kedatangan Alenda. Semakin langkah Alenda berada di dekatnya, senyum kaisar semakin lebar.
"Saya menghadap, Sang Pemimpin Benua," ucap Alenda.
"Alenda, bagaimana kabarmu?"
Sebenarnya dia sangat terkejut dengan karakter yang dimiliki kaisar. Biasanya, seorang pemimpin tertinggi punya sifat tegas, pemarah, atau bahkan mendapat julukan seorang tiran. Tapi kaisar yang dia temui di dunia ini sangatlah berbeda dari cerita biasanya. Kaisar yang tampan dan memiliki segalanya dari kecil ini sangat ramah pada semua orang, khususnya perempuan. Bahkan dia sering dijuluki 'Sang Pemikat Wanita'. Kata-kata itu terdengar konyol bagi Alenda yang pernah menolak lamaran kaisar beberapa waktu lalu.
"Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Bagaimana dengan Anda?"
"Yah ... tentu saja masih terluka dengan penolakanmu," ucap kaisar dengan santai. Sifat unggulnya adalah menyebalkan karena suka menggoda lawan.
"Yang Mulia! Saya tau kalau Anda berbohong."
"Benarkah? Bagaimana kau tau? Kau kan tidak bisa melihat dan merasakan apa yang kurasakan padamu."
Alenda melipat tangannya dengan santai. Dia jadi bersikap nyaman karena kaisar benar-benar memperlakukannya seperti manusia dengan kedudukan sama. "Orang yang jatuh cinta itu ... bisa dilihat dari matanya. Bagaimana cara dia menatap, bertingkah, atau bahkan bicara pada orang yang dicintai. Pastinya sangat berbeda."
"Oh, ya?"
"Anda tidak tau? Padahal Anda punya banyak istri."
"Kau pasti tau kalau bagi seorang kaisar, istri dari pernikahan-pernikahan politik adalah sebuah formalitas untuk membentuk hubungan baru dan menjalin banyak keuntungan. Terutama untuk melahirkan keturunan dan penerus," ungkap kaisar. Entahlah, untuk pertama kali dia merasa bahwa akan baik-baik saja mencurahkan apa yang dia rasakan pada Alenda. Rasanya nyaman saja.
"Begitu, ya? Walau tidak adil, Anda pasti juga tak punya pilihan," ucap Alenda. Hal itu membuat kaisar terkejut dan kembali mendongak.
"Kau tidak memakiku ...."
"Kenapa saya harus memaki Kaisar?"
"Karena aku adalah pria brengsek yang sudah menyakiti banyak hati wanita?" ujar kaisar yang lebih seperti pertanyaan balik.
Alenda menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Yah ... iya juga, sih. Kalau disebut brengsek, sepertinya Anda pantas mendapat julukan itu. Tapi di luar sana, saya sudah pernah menemui orang-orang yang jauh lebih brengsek dari Anda."
Alenda mengingat tentang banyaknya pelecehan, pemerkosaan, kasus perkawinan di luar nikah sehingga rela membuang anaknya atau melakukan aborsi. Ada juga yang berselingkuh dari pasangannya padahal sudah menikah dan ada yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Kalau dipikir-pikir, kaisar tidak termasuk dari pria-pria brengsek itu. Ketika menikahi para wanitanya, mereka menjadi aman di bawah perlindungan kaisar. Lagipula, dunia ini punya sebuah budaya menarik dalam hukum pernikahan kekaisaran. Demi menjaga kesucian dan kebersihan para pewaris tahta, maka pernikahan kaisar tidak boleh didasarkan atas keterpaksaan. Baik dari kedua belah pihak, terutama wanitanya, harus berpendapat untuk setuju atau menolak. Berbeda dengan hukum pernikahan kerajaan yang mengharuskan sang raja menikah satu kali dengan istri sah, tak peduli keduanya mau menikah atas dasar apa. Kalau ingin mempunyai wanita lain, mereka diizinkan memiliki selir tapi haknya tentu berbeda dengan istri sah. Yang paling menonjol adalah hak keturunan, di mana raja tidak berhak menafkahi anak dari selir. Itulah yang membuat beberapa wanita di sini berusaha berpikir sepuluh kali sebelum memutuskan menjadi selir.
"Benarkah?" Kaisar tampak sangat terkejut mendengarnya. "Bagaimana kau bisa tau?"
"Di dunia seluas ini, kejahatan akan selalu ada. Yang Mulia tidak bisa menutup mata mengenai hal tersebut. Mau bagaimanapun, para wanita masih sering menjadi korbannya."
Kaisar tersenyum setelah mendengarnya. "Sepertinya kau ratu yang baik, ya? Kau mengerjakan tugasmu dengan benar."
"Ini bukan hanya sebuah kewajiban bagi saya, tapi ... hal ini juga melukai diri saya yang merupakan seorang wanita. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika hal itu menimpa saya, ibu saya, saudari saya, atau anak saya! Bukankah itu sangat menyakitkan?"
Kaisar bisa melihat tatapan Alenda yang berapi dan begitu kuat. Aura gadis ini memang luar biasa. Dari awal dia mendapat surat berisi undangan untuk mengunjungi Kerajaan Disappear saja dia sudah merasa tertarik. Sebab selama ini Adires selalu berusaha memutuskan hubungan dengannya.
"Ke marilah, Alenda!"
Alenda yang bingung masih berdiri di tempat. "Ke mana, Yang Mulia?"
Kaisar menoleh ke kursi yang ada di sampingnya. Dia menepuk-nepuk kursi itu. "Di sini."
"Si--singgasana permaisuri?" Alenda spontan menggeleng. "Tidak! Saya tidak pantas!"
"Ini kursi milikku, aku yang berhak menilai siapa yang pantas duduk di sini."
Alenda tak mengerti mengapa kaisar memperlakukannya seperti ini. Apa dia ada salah bicara lagi? Tampaknya beradaptasi di dunia ini membutuhkan waktu yang lebih lama.
"Kenapa diam saja? Jangan berpikir macam-macam! Aku hanya memintamu duduk tanpa maksud buruk."
Duduk aja, kan?
Walau enggan, Alenda pun memaksakan dirinya untuk berjalan mendekat. Dia menaiki beberapa anak tangga dan mendudukkan diri di sebelah kaisar. Rasanya cukup menakjubkan karena hatinya jadi berdebar hebat saat bisa melihat luasnya ruangan dari posisinya.
"Bagaimana?" tanya kaisar.
"Nyaman, Yang Mulia."
"Kau bisa memilikinya," kata kaisar langsung.
"Tidak. Saya tidak perlu memiliki semua yang saya inginkan. Kadang kita harus menempati porsi masing-masing untuk mendapat keseimbangan."
Lagi-lagi kaisar tertegun dengan pemikiran Alenda. "Aku akan memintamu menjadi guru anak-anak saat mereka dewasa. Mereka perlu belajar cara berpikirmu agar bisa memimpin kekaisaran ini dengan baik."
"Saya akan merasa sangat terhormat dengan kesempatan yang Anda berikan, Yang Mulia Kaisar."
"Tapi Alenda, mengapa kau tidak ingin memiliki semua yang kau inginkan? Itu adalah pemikiran yang sangat berbeda dengan yang biasa kutemui," tanya kaisar dengan tatapan begitu penasaran.
Alenda tersenyum hangat. Dia mempelajari tentang berharganya sebuah kehidupan dari orang tuanya. Sepasang pria dan wanita yang memberikan begitu banyak cinta pada hidup Alenda. Ah, dia jadi rindu kembali pada orang tuanya.
"Terlalu bahagia itu ada risikonya, terlalu sedih juga ada risikonya. Maka, jika saya ingin menjalani kehidupan ini dengan tenang , maka saya harus bisa mengelola sebuah keseimbangan. Karena lebih beratnya kebahagiaan atau kesedihan akan menentukan seberapa berat masalah atau risiko yang akan saya hadapi di masa depan."
"Hmm, itu pemikiran yang terlalu rumit," ucap kaisar. "Bukankah kita juga hidup untuk mencari kebahagiaan?"
Alenda menggeleng. "Bukan. Kita hidup untuk belajar, Yang Mulia. Dan pelajaran itu bukan hanya dari kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Mereka sama-sama membawa pelajaran."
"Bagaimana mungkin?"
"Butuh waktu bagi bulan sabit untuk menjadi purnama dan tidak mungkin kita merasa sehat jika belum pernah sakit. Itulah sebabnya Tuhan menciptakan derita sebelum mewujudkan bahagia. Apa Yang Mulia paham maksud saya?"
Kaisar mengaku kalah. Pemikiran Alenda sangat luar biasa.
"Alenda, aku akan memberikan segalanya untukmu. Jadi, tinggallah di sini."
"Apa?"
"Tinggal di istana ini, Alenda. Kekaisaran membutuhkan wanita secerdas dirimu."
Jantung Alenda terasa berdenyut. Biasanya, wanita yang sudah menikah tidak boleh tinggal di tempat lain kecuali sudah diceraikan suaminya.
"Aku sudah meminta izin suamimu dan dia mengizinkannya."
"Dia ... mengizinkannya?"
Kenapa? Kenapa Gavier atau Adires mengizinkanku tinggal di tempat lain? Sebenarnya apa yang dia inginkan?
"Itu ... itu tidak mungkin, Yang Mulia. Gavier tidak mungkin melakukan itu. Gavier tidak--"
"Adires yang melakukannya."
Alenda langsung mendongak dengan raut sangat panik. "Tapi--"
"Benar, dia berniat menceraikanmu."
***
Alenda menerima uluran tangan Gavier yang membantunya naik kereta kuda. Kini mereka duduk saling berhadapan. Anehnya, Alenda tak menatap Gavier sama sekali. Dia hanya tersenyum sekilas di awal untuk berterima kasih. Sisanya, pandangan Alenda hanya tertuju ke luar.
Apa telah terjadi sesuatu pada Alenda? batin Gavier.
Bola mata Gavier melebar kala melihat setetes air mata jatuh dari pipi Alenda. Hal yang sangat ingin Gavier jauhi terjadi. Dia tak pernah ingin melihat Alenda menangis.
"Alen--"
Brak!
Kereta kuda berhenti. Seolah sudah mengetahui penyebabnya, Alenda turun lebih dulu. Dia menahan isak tangis yang hendak ke luar. Dengan berjalan lebih dulu meninggalkan Gavier, Alenda tau kalau Gavier mengikutinya dari belakang.
"Alenda! Mau ke mana?"
Akhirnya langkah Alenda berhenti di ujung tebing. Cahaya matahari yang bergerak ke bawah memberikan suasana indah di balik punggung Alenda.
"Gavier ... apa nggak ada yang mau kamu bilang ke aku?"
"Apa?"
Gavier tak paham maksud Alenda. Apa dia sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Alenda? Atau telah terjadi sesuatu di istana kaisar?
"Jangan buang aku, Vir."
"Apa?! Itu tidak--"
"Jangan ceraikan aku."
Jadi Alenda sedang membirakan hal itu? Aku memang sempat memikirkan soal perceraian, tapi hal itu sudah lama sirna sejak Alenda mengulurkan tangan padaku di malam pesta penyambutan. Aku juga tidak ingin berpisah dengannya.
"Aku ...."
"Kukira kamu sudah tau karena bisa melihatnya," ucap Alenda dengan air mata berlinangan, tapi senyumnya tampak mekar.
"Tau apa?"
"Bahwa aku menyukaimu."
Gavier merasa linglung. Sepertinya dia salah dengar. "Ha--hah?! Ap--apa?"
Alenda berjalan mendatangi Gavier lalu mengalungkan lengannya. Dia daratkan sebuah kecupan manis pada pria itu kemudian memeluknya. Di dalam dekapan itu, Alenda menatap tajam kereta kuda.
Kau tidak akan bisa mengalahkanku, Adires! Jadi, kamu mau mengusirku setelah mendapatkan apa yang kau mau, hah?! Lihat saja, Gavier akan sepenuhnya menjadi milikku.
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top