THE SECOND HUNT

Proses menuju pintu mimpi Anton ternyata tidak serumit menemukan pintu milik Ivan. Xander mengira karena kejadian malam sebelumnya adalah pengalaman pertama baginya. Sebuah petualangan singkat yang aneh, ketika Samron membawanya masuk ke mimpi orang lain.

Pintu milik Anton adalah pintu dengan warna jingga dengan ornament rumit di sekitar bingkainya, sangat cocok dengan selera orangnya yang suka berlebihan. Samron pun mengetuk tiga kali dan sosok bayangan merah membukakan pintu. Sepasang mata kuning dengan pupil yang sangat kecil menatap tajam pada Samron dan Xander.

"Thalakan, pemelihara ketamakan, kenalilah aku, tuanmu!" seru Samron tegas.

"Jangan mengada-ada! Aku sudah tidak punya tuan! Dia sudah sirna!" bentak monster itu dengan suaranya yang seperti gemuruh petir. Xander mengusap tengkuknya singkat untuk mengusir sensasi merinding yang dirasakannya. Ia kira setelah pertemuannya kemarin malam dengan Morvatire, akan membuatnya terbiasa bertemu dengan monster peliharaan Samron. Namun, pada kenyataannya masih jauh dari perkiraan. Aura pekat yang memancar dari sosok itu begitu menakutkan.

Samron tampak tidak gentar dengan bentakan itu "Dia tidak sirna. Yang kau bicarakan sedang berada di hadapanmu sekarang."

"Tapi tuan Samron tidak pernah membawa manusia melewati portal mimpi."

"Dia adalah budakku sementara aku berada di bumi."

Mendengar itu Xander ingin sekali menjitak kepala Samron yang sempurna. Namun, karena Thalakan langsung tunduk dan mempersilakan mereka lewat, ia pun menahan diri untuk tidak berbuat aneh-aneh. Bagaimanapun juga, Thalakan adalah monster peliharaan Samron, makhluk itu pasti akan marah jika tuannya disakiti.

"Budak,ya?" sindirnya ketika mereka mengikuti Thalakan di sebuah lorong gelap.

"Ya, memangnya kenapa?"

"Aku kira kedudukan kita setara!" jawab Xander sengit.

"Oh, ya? Baiklah, terserah." Samron mengangkat bahu dengan santai. "Sekarang atau nanti bagiku sama saja."

"Dengar, aku bukan budakmu sekarang ataupun nanti!"

Samron tidak mempedulikannya, ia tampak lebih antusias dengan mimpi buruk yang akan dipanennya. Indera penciumannya sedang menghidu aroma ketakutan dan kepanikan.

"Bagus! Dia sedang bermimpi buruk malam ini. Kerja yang bagus, Thalakan!"

Thalakan membuka tirai merah dan tampaklah sebuah padang rumput luas dan sebuah rumah yang terbakar. Seorang anak kecil berdiri di balkon sedang menangis dan berteriak minta tolong. Anton berlarian seperti kebingungan mencari sesuatu untuk memadamkan apinya.

"Apa yang sedang kau cari?" tanya Samron sembari mendekatinya.

"Air! Air! Aku butuh air untuk memadamkan apinya!"

"Mungkin aku bisa membantumu," ucap Samael lembut.

"Cepatlah! Di mana aku bisa mengambil air?"

Samron terdiam sesaat sembari menelengkan kepala, "Untuk apa?"

Pria bertubuh tinggi besar itu langsung mencengkeram baju depan Samron dan menggoncangkannya dengan keras. "Untuk menyelamatkan uangku, bodoh!" bentaknya dengan mata melotot dan keringat sebesar biji jagung bermunculan di dahinya yang terlalu lebar.

Xander yang sedari tadi diam di samping Samron masih tidak bisa mengerti bahwa Anton belum melihatnya sama sekali. Ia berniat maju untuk melerai, tapi ternyata ia bahkan tak mampu mendekati mereka. Ia seolah terpasak hingga tidak bisa menggerakkan kakinya. Apa yang ia lihat saat memandangi ujung kakinya adalah sebuah pemandangan tembus pandang.

Kali ini ia adalah penonton saat Samron menunjuk pada sebuah sumur tua yang entah dari mana munculnya, dengan sebuah ember di sampingnya. Tanpa menunggu waktu Anton berlari ke arah susunan batu bata itu.

"Aku tidak bisa bergerak, Sam!"

"Sst, tunggu saja disitu! Aku ingin berlama-lama dengan Anton."

***

Anton tergopoh-gopoh mengambil air dengan ember yang ada di sumur. Perasaan panik membuatnya bergerak lebih cepat. Yang ada ada dalam pikirannya adalah ia harus menyelamatkan uang yang sudah ia kumpulkan belasan tahun sebelum api melahapnya tak bersisa.

Pria berambut pirang tadi masih mengawasinya, tidak bergeming sekalipun. Ah, Anton tidak peduli itu. Sebuah bantuan belum tentu diberikan secara gratis. Ia yakin, orang asing itu pasti akan meminta imbalan lebih begitu melihat tumpukan uang yang akan ia selamatkan.

"Apa tidak sebaiknya kau selamatkan anak kecil di sana?" tanya pria asing itu seraya menunjuk seorang anak laki-laki yang terperangkap di balkon.

Anton tahu siapa yang dimaksud oleh pria berambut platina itu. Masalahnya adalah dia hanya punya satu ember untuk memadamkan api yang seolah makin membesar setiap ia berusaha memadamkannya. "Siapa namamu?" tanya Anton dengan kepayahan.

"Samron."

"Sini, aku beritahu sesuatu, Samron. Apa kau lihat di sana ada apa?" Anton menunjuk pada sebuah sudut lain di rumah itu. "Itu adalah peti yang berisi seluruh hartaku. Sementara aku hanya punya satu ember. Menurutmu mana yang akan aku pilih?"

"Aku tidak tahu,"

"Tentu saja uangku, bodoh!" bentak Anton dengan wajah marah. "Aku tidak kenal siapa anak itu, jadi buat apa menghabiskan tenaga dan waktu untuk mendahulukan yang tidak berguna. Sekarang, kau bantu aku masuk ke sana untuk mengambil petinya!"

Pria bernama Samron itu hanya terdiam dengan wajah dungunya dan Anton merasa percuma untuk meyakinkannya. Akhirnya ia menerobos api yang tampak padam sebagian dan mulai menyeret petinya keluar dari rumah. Dengan sekuat tenaga ia menyeret peti yang berat itu, tidak peduli dengan lantai yang begitu panas dan memanggang kakinya. Tekad Anton hanya satu, yaitu hartanya selamat.

Setelah ia berhasil membawanya ke area yang aman, Anton pun terduduk lemas dengan napas yang nyaris putus. Dengan sekuat tenaga ia membuka petinya, namun yang ada hanya tumpukan kertas.

"A—apa-apaan ...," desisnya. Jantungnya seolah meledak begitu menyadari bahwa tidak uang sama sekali di dalam sana. Dengan rasa panik yang membabi buta ia melempar keluar kertas-kertas dari dalam kotak peti.

"Itukah uang yang kau maksud, Anton?" tanya Samron mencemooh.

"Tutup mulutmu!" teriak Anton penuh kemarahan. "Ini pasti ulahmu! Apa yang kau lakukan pada uangku!" Ia benar-benar tidak bisa menahan diri untuk menghajar pria asing yang sekarang sedang tertawa-tawa senang.

"Lihat yang di sana! Mungkin itu uangmu," ujar pria itu sebelum sempat Anton melayangkan tinjunya. Ia pun berbalik mengikuti arah telunjuk Samron, tempat di mana anak laki-laki tadi menangis.

Di antara lidah api yang meliar, Anton tidak lagi melihat anak kecil di sana, melainkan sebuah peti yang terbakar. Peti yang berisi uangnya.

"Tidak! Tidak!" Anton meraung dalam puncak kepanikannya. Ia berlari menerjang api yang masih menganga. Panas dan asap membuat paru-parunya sontak meronta, tapi Anton tidak peduli. Kedua kakinya telah terbakar hebat begitu ia sampai di mana petinya terbakar. Kedua tangannya melepuh bahkan sebelum ia mampu menyeret peti itu keluar. Tubuhnya telah mencapai titik nadir rasa sakit yang tak sanggup lagi ia tahan. Anton pun menyerah dalam rasa nyerinya, menggeliat di lantai dan mengerang.

Saat itulah ia melihat pria tadi masuk dengan langkah tenang melewati api yang telah merajalela. Dalam setiap langkahnya, api-api yang mengitarinya langsung meredup seolah tunduk oleh kehadirannya. Kini ia sadar, pria bernama Samron ini bukanlah manusia biasa. Ada sesuatu yang familier tentang sosok ini, tapi ia terlalu lumpuh dalam rasa sakit dan ketakutan untuk mengingat sesuatu.

"Siapa kau?" bisik Anton dalam ketakutannya.

"Sudah aku bilang, namaku Samron." Pria itu menjentikkan jari dan api dibelakangnya menyatu menjadi bola api besar dan kemudian membentuk bayangan sosok makhluk menyeramkan dalam jubah merah. "Dan ini adalah Thalakan, peliharaanku yang sudah aku titipkan padamu."

"A—apa maksudmu?"

"Dia ...," Samael tersenyum tipis, "Ah, sudahlah, lupakan saja. Kau juga tidak akan paham." Kemudian, ia berbalik pada Thalakan dan berkata, "Bisakah kau bakar saja dia sekarang? Aku sudah lapar."

"Jangan ..., tolong ...." Anton terlalu lemah untuk melawan ketika Thalakan berubah wujud menjadi ular api dan membelitnya dalam bara yang membakar hingga ke sumsum. Ia hanya bisa meraung dalam siksa rasa sakit.

Telapak tangan Samron yang anggun terasa sejuk menutup wajah Anton. "Keserakahanmu yang luar biasa adalah kesenanganku. Mimpi burukmu adalah hidangan yang lezat untukku." Kemudian tangan itu terangkat naik bersamaan dengan sesuatu yang berusaha keluar dari tenggorokannya.

"Berikan padaku!" lanjutnya pelan.

Sebuah cairan hitam tertarik keluar dari mulut Anton, bergerak ke atas dan meliuk masuk ke dalam mulut Thalakan. Ular itu kemudian melepaskan belitannya dan bergerak menuju tuannya.

"Berkat kau, Thalakan akan jadi persediaan makan yang penuh nutrisi," ucap Samron sembari membiarkan ular merah itu masuk ke balik lengan mantelnya. "Oh, ya, ... aku hampir saja lupa. Apa kau masih ingat Alexander Petrov? Dia berpesan, sewaktu-waktu akan mengunjungimu dalam mimpi."

Anton hanya bisa menatap syok pada Samron. Kalaupun ia mempunyai tenaga untuk bangkit saat ini, ia tidak akan berani untuk beringsut meski untuk menggerakkan jarinya. Kini, ia ingat siapa Samron begitu pria itu menyebut nama Alexander Petrov. Dua orang ini mengingatkannya akan cerita mimpi buruk Ivan.

"Ada apa, Anton? Apa lidahmu tiba-tiba hilang?"

Anton baru saja akan menjawab, tapi yang keluar adalah suara lenguhan keras tak jelas. Ia berusaha menjawab lagi tapi tetap sama. Lidahnya telah benar-benar hilang. Dalam keadaan putus asa ia pun berteriak sekeras mungkin.

"Ada apa, Sayang?" Tepukan di lengannya sontak membuat Anton terjaga dari tidurnya dalam keadaan basah kuyup oleh keringat. "Tadi kau berteriak-teriak dalam tidurmu," lanjut teman tidurnya.

Anton masih membisu tidak memedulikan wanita sewaannya malam ini. Ia sibuk mengatur napas dan perasaan kacau akibat mimpi tadi. Ia bahkan mulai was was akan mengalami mimpi yang seperti tadi bila tertidur lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top