DOWNFALL
"Tidak!"
Samron mematung hingga akalnya tak mampu mencerna.
Beberapa saat yang lalu ia terlibat pertarungan dengan Morpheus, sang penguasa dunia mimpi. Walau jelas itu merupakan keputusan yang konyol mengingat kekuatannya yang hanya berbanding kecil dengan kekuatan Morpheus begitu besar. Namun, setidaknya ia berusaha mempertahankan harga diri di depan si raja mimpi.
Satu kesalahan yang Samron Noir perbuat adalah keteledoran. Samron Noir, sang penjaga gerbang mimpi terlarang sudah melepaskan terlalu banyak the Dark Whispers akibat sibuk merayu putri Morpheus.
"Aku yakin, seseorang sedang menjebakku! Rasanya sungguh aneh, semua Dark Whisper kabur bersamaan dengan hilangnya kunci gerbang mimpi buruk. Kemudian, Morpheus mengetahui perbuatanku dengan putrinya. Akh, sialan!" umpatnya dalam hati.
Sontak hidup Samron yang tenang dan menyenangkan runtuh hanya dalam hitungan jari. Ia harus menghadapi Morpheus yang murka. Pria itu sama sekali tidak mengindahkan sangkalannya.
Samron yang dikenal perayu tapi berego tinggi, memutuskan untuk berhenti diam dan mulai melawan karena ia merasa seseorang sudah menjebaknya. Seseorang yang ada di antara bawahan Morpheus, ada yang ingin menyingkirkannya jauh-jauh.
Sayangnya, kegigihannya tidak sebanding dengan duel mereka. Pertarungan timpang itu hanya berlangsung sebentar. Morpheus mengalahkannya hanya dengan tiga serangan.
Morpheus merentangkan tangan ke arahnya. Kabut hitam bergelung, membentuk pusaran yang melingkari telapak tangannya, seolah siap menghisapnya ke dalam lubang hitam tak berdasar di telapak tangannya yang pucat. "Kau telah membuat kekacauan, Sam! Aku tidak bisa memaafkan perbuatanmu! Tapi mengingat kinerjamu selama ratusan abad, aku hanya akan mengirimmu ke dunia fana untuk membereskan masalah yang kau buat!"
"Tapi bukan aku yang melepaskan mereka, Yang Mulia," bisik Samron lemah karena kekuatannya telah terkuras habis. Ia baru saja mengerahkan seluruh kemampuan pedang dan kekuatannya, tapi tetap saja tidak berhasil membuat Morpheus bergeming.
Morpheus menatapnya begitu dingin, tapi ia tidak lagi memunculkan pusaran kabut tadi. "Di sana." Telunjuk sang raja mengarah ke salah satu bintang yang ada di permukaan kolam Galatic Abyss. "Aku akan mengirimmu ke bumi! Hidupmu sepenuhnya ada dalam genggamanmu sendiri, Sam."
Belum selesai Samron meresapi kalimat itu, Morpheus melemparkannya ke dalam Galatic Abyss. Perasaan sesak mendera untuk sesaat setelah ia menyesuaikan dengan tekanan yang ada di bawah permukaan lubang itu.
Kolam Galatic Abyss adalah sebuah kubangan lebar dengan permukaan air yang memantulkan tatanan galaksi luas yang mana menjadi tempat Morpheus untuk mengamati kehidupan di seluruh tata surya, termasuk bumi.
Sesaat setelah kekuatannya terkuras habis setelah duel memalukan dengan sang raja, Samron baru merasakan kesengsaraan perjalanan menuju bumi. Kini ia terlontar dalam keadaan terbakar api biru yang mulai mengikis tubuhnya perlahan.
Getar kekuatan yang telah menjadi harga dirinya menyusut dengan sangat cepat. Sengatan rasa panas mulai membakar kulit lengannya dan kemudian menyebar dengan cepat ke sekujur tubuh seiring dengan daya tarik berkekuatan tinggi yang menariknya ke sebuah planet di depannya.
Bulu sayap hitamnya telah terbakar hingga menjadi abu, pakaiannya hancur menjadi serpihan tak berarti, kulit di tubuhnya pun mengelupas satu persatu, begitu juga benang-benang syaraf dan ototnya, jalinan tersebut terputus dalam pedih tak tertahankan.
Tubuh Samron bergoncang begitu keras ketika rasa panas telah mencapai puncaknya. Sepasang kakinya merepuh perlahan naik menuju lambungnya. Perasaan sesak akibat tekanan hebat yang menghantam dadanya membuat Samron tak mampu lagi berteriak. Terbersit dalam benaknya, jika ia berhasil hidup setelah ini, setidaknya ia telah mempelajari satu hal. Keberadaan dan kekuatan yang dimilikinya selama ini tidak ada harganya di hadapan alam semesta.
Goncangan saat masuk sebuah pembatas energi yang ia yakini sebagai selubung atmosfer bumi, kini sudah terlewati. Namun, Samron sudah terlalu letih untuk bergerak dan membiarkan dirinya terombang-ambing luruh bagai helai bulu sayap. Mungkin ia akan sampai di sebuah daratan, atau mungkin ia akan mengambang di tengah lautan. Ia sudah tidak peduli, karena ia sudah cukup lega karena masih bisa merasa dan berpikir. Itu adalah tanda bahwa ia masih hidup.
"Bagiku, jatuh di dunia manapun adalah hal yang sepele. Aku hanya butuh untuk istirahat sebentar lalu mulai menyusun rencana untuk secepatnya."
Samron berpuas diri melihat butiran salju yang turun ke sebuah kota yang tampak sangat sibuk dengan berlatar gedung-gedung ramping yang menjulang tinggi dari kaca dan chrome. Berkilauan di tengah hujan salju dan sinar lemah sang matahari siang itu. Lalu lintas tampak padat meski jalur udara sudah terbuka.
Angin musim dingin membawanya melewati beberapa mobil yang melaju kencang dan membuatnya terhempas ke sana ke mari seperti helai bulu yang dipermainkan angin.
"Aneh, mobil-mobil itu bahkan tidak bisa menabrakku sama sekali. Sepertinya, kekuatanku tidak hilang seluruhnya."
Ia pun akhirnya mendarat pelan di sebuah gang sepi yang membatasi antara toko roti dan sebuah klub. Namun, ada sebuah kejanggalan yang ia rasakan ketika menyentuh lantai berpaving itu. Samron menunduk dan tertegun dengan kepanikan yang mulai mencengkeram ketenangannya.
"Tu—tunggu dulu ..., dimana kedua kaki ku?!"
***
Ibukota Kryogorsk, Kota Megapolitan Rosvadnya
Tiga tahun sebelum tahun 3010, ....
Xander baru saja selesai menyalakan mesin cuci piring dan membuang sampah dapur di belakang gedung restoran tempat dia bekerja untuk sementara ini. Semua staff sudah pulang, tinggal beberapa pelayan dan asisten dapur seperti dirinya yang masih harus memeriksa dan memastikan semua alat sudah bersih dan siap digunakan kembali oleh staf shift siang.
Sepatu bootnya menghancurkan lapisan salju tipis di jalanan sempit yang menjadi pembatas antar bangunan, menimbulkan suara derak lembut yang memecah kesunyian malam. Dengan santai dilemparkannya kantong sampah itu ke tong sampah dan membuat kucing liar yang ada di dalam mengeong begitu keras karena terkejut.
"Demi Tuhan!" Xander terjingkat kaget dan belum selesai ia mengatasi rasa kagetnya, terdengar suara kekehan wanita yang membuat Xander makin waspada. Kemudian ia pun mendongak dan menemukan makhluk ramping sedang duduk sendirian di rooftop gedung restoran Regal Fine Dining.
Pertama kali ia menyangka ada seorang penjaga sang bos besar di atap gedung. Namun, sinar bulan yang menyapu wajah dan rambut pirangnya membuat Xander menyadari bahwa bayangan itu milik seorang wanita.
"Hei, apa yang kau lakukan di sana?!" tanyanya sambil mendongak dan menatap was-was ke arah bayangan di atas sana.
Sosok itu hanya menunduk dan menatapnya di keremangan malam, tanpa menjawab sepatah kata. Xander yang menunggu jawaban, jadi semakin kebingungan. Terbersit pikiran bahwa ada salah satu pelanggan restoran yang menyelinap ke atas dan berniat untuk bunuh diri.
"Sialan!" desisnya tajam, merasa sebal dengan pemikirannya sendiri.
Tanpa pikir panjang, Xander pun segera masuk lagi ke dalam gedung restoran dan naik ke lantai atas dengan tergesa-gesa. Jika benar orang itu akan jatuh dari gedung, maka pegawai terakhir yang bertugas akan disalahkan, dan itu sudah pasti dia. Xander berlarian sambil menggerutu jengkel. Kenyataannya, meski gedung ini hanya berlantai dua, entah kenapa ia sudah kehabisan napas setelah sampai di sana semenit kemudian.
Dengan napas memburu Xander membuka pintu atap dan di sambut oleh kegelapan dan angin malam membekukan yang membuatnya terkesiap.
Sosok itu masih di sana. Duduk di pinggir pembatas dengan sebotol Champagne yang tinggal sebagian di sampingnya. Gaunnya yang berwarna merah terlalu terbuka di bagian punggung, tetapi sosok itu tampak sama sekali tidak terganggu dengan udara yang membekukan tulang.
"Kau bisa terkena hipotermia kalau lama-lama di sana."
Gadis itu berbalik dengan raut terkejut. Namun, Xander lebih dari terkejut. Ia tercenung.
Bukan.
Lebih tepatnya Xander terpesona dengan kecantikan gadis yang diam-diam selalu ia amati dari balik dapur restoran. Siapa yang bisa menyangka malam ini bisa melihat dari dekat bahkan bicara dengan gadis yang seharusnya terlarang baginya.
"Bukan urusanmu, Tuan ...."
"Alex," sahut Xander singkat. "Panggil aku Alex saja."
Sudut mulut gadis itu terangkat samar, membuat senyuman sinis yang menurut Xander sangatlah seksi. Matanya yang tampak sayu membuat Xander yakin dia sedang setengah mabuk.
"Namaku---"
"Oh, aku sudah tahu," potong Xander lembut.
"Oh, ya?" Gadis itu melepas sepatu berhak tingginya dengan helaan napas lega.
"Namamu Yelena, putri tunggal Dmitri Volkov."
Yelena tertawa dan bangkit dengan sempoyongan. "Wah, aku terkenal, ya? Kau pasti pegawai baru ayahku--wuups! ...." Tubuhnya terhuyung ke belakang dan nyaris saja terjun dari gedung itu jika Xander tidak cepat menarik tangannya. Namun, agaknya tarikan itu terlalu keras untuk Yelena yang sudah kehilangan keseimbangan, dan alhasil gadis itu malah menabrak tubuh Xander. "Terima kasih," ujar Yelena dengan senyum mengembang dan tatapan berkabut. Alih-alih marah, ia malah melingkarkan lengannya ke pundak Xander. "Aku senang kau adalah pahlawanku malam ini."
"Oh, ya? Kenapa?" Xander tergelitik untuk mencari tahu apa yang ada dalam pikiran gadis ini.
"Karena ..., aku sudah mengawasimu beberapa hari ini, Alex."
Xander mengerutkan alis ketika cengkeraman rasa was-was membuatnya hampir panik. "Apa aku pegawai yang mencurigakan?"
Yelena menggeleng sambil menghela napas dengan dramatis. "Bukan." Gadis itu memperlihatkan giginya yang rata dan apik lalu mendekatkan ujung hidungnya ke pipi. "Tapi karena aku suka kamu," bisiknya lembut.
Xander terkekeh kemudian berusaha melepaskan belitan lengan gadis itu. Berlama-lama dalam pelukan Yelena akan menggiringnya pada masalah besar. Sudah beberapa hari ini ia selalu terpergok mencuri pandang pada gadis itu dan begitu sebaliknya. Xander cukup sadar bahwa ia tidak punya waktu untuk bermain api dengan anak dari target musuhnya.
Penyamarannya bertahun-tahun agar bisa masuk ke dalam jaringan gembong mafia Bratslava tidak diatur dalam sebulan dua bulan. Sejauh ini ia dianggap sebagai pegawai yang loyal dan di percaya bekerja di dapur milik Dmitri Volkov adalah sebuah kemajuan yang besar. Semua pegawai di Regal Fina Dining adalah prajurit kelas menengah sang Godfather, terseleksi dari keahlian menggunakan senjata, loyalitas dan tentu saja pengetahuan dasar dalam memasak.
Xander tidak ingin merusak apa yang sudah ia capai. Keinginannya membulat, hingga ia menatap sepasang mata berwarna zamrud itu, mendadak semua perjuangan itu terdengar seperti omong kosong belaka.
"Kau sedang mabuk, Nona."
"Mungkin, tapi aku tidak peduli lagi. Aku selalu penasaran untuk mencicipi ini."
Sepasang mata zamrud Yelena tetiba menyala penuh emosi ketika menyentuhkan telunjuknya yang dingin pada bibir bawah Xander.
Angin menderu kencang, tetapi Xander tak lagi merasakan dingin. Sesuatu telah mengambil alih kendalinya, mematikan akal sehatnya, dan dengan suka cita mengambil apa yang ditawarkan oleh gadis itu.
Siapapun tidak bisa menduga bahwa malam itu adalah awal mula Xander terjatuh begitu keras dan tersesat begitu jauh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top