Part 4 - Be A Good Girl

Karena ini part bukan menceritakan Budi, soundtracknya disesuaikan😂 Jangan protes.

💖Jangan lupa tekan bintang ⭐️

💖Follow akun penulis : Matchamallow

💔💔💔

Ost : Billie Eilish ~ When the Party's Over


"Ini."

Budi menaruh piring berisi makanan di meja dan mendorongnya mendekat pada Lilian dengan takut-takut.

"Cuma...ini?" Lilian menatap piringnya yang berisi nasi, omelet, dan asparagus panggang. "Kata Kak Vi kau seorang koki! Apa hanya ini yang bisa kaubuat?!"

"Hanya ini yang bisa dibuat cepat. Apa kau mau kubuatkan makanan dari restoran atau kupesankan makanan delivery?"

"Tidak usah! Itu artinya aku harus menunggu lebih lama lagi! Coba saja kau tidak membuat gara-gara dengan membuang rokokku."

"Kata ibumu kau memiliki tubuh yang lemah. Merokok tidak baik untuk...." Budi menelan ludah melihat tatapan mengancam Lilian. "Kesehatan..."

"Itu adalah urusan pribadiku," sahut Lilian lalu mulai memakan makanannya.

"Tidak enak!!" komentar Lilian, tapi ia menghabiskan makanan itu hingga tak bersisa sebutir nasipun di piring.

Budi memperhatikan Lilian makan dengan rakus bagai kuli bangunan padahal ia wanita dan tubuhnya juga tidak besar-besar amat. Rasanya Budi gatal ingin meledek seperti kebiasaannya yang sudah-sudah akibat bergaul dengan Daniel dan Rayhan, tapi ia mengurungkan niat setelah berpikir Lilian bisa saja membantainya lagi.

💔💔💔

Semua laki-laki sama saja. Semasih kecantikan dan masa muda ada di tanganmu, mereka akan memujamu seperti ratu. Lambat laun saat semua sirna, mereka memperlakukanmu tidak lebih baik dari sampah.

Lilian Fransiska

Katanya jika kita selalu berbuat baik, maka dunia ini akan membalas dengan kebaikan.

Tampaknya hal itu tidak berlaku untuk Lilian Fransiska Edelynn.

Karena sepertinya lebih tepat berlaku hukum rimba di mana yang kuat selalu ditakuti dan yang berkuasa selalu menang.

Sejak Lilian menyadari keberadaannya di dunia ini, Lilian ingat dia adalah anak yang nakal dan mendominasi. Saat ia duduk di taman kanak-kanak, ia kerapkali berkelahi dengan anak laki-laki karena anak laki-laki itu membully anak lain yang lebih lemah. Padahal tubuh anak laki-laki itu lebih besar tapi keberanian Lilian membuatnya selalu menang.

Tapi akibat yang terjadi selanjutnya adalah mereka mengadu pada orangtuanya, sehingga ibu Lilian sering dipanggil ke sekolah.

Ibunya hanya bisa menangis, tapi ia tidak memarahi Lilian atau membahas sepatah katapun tentang itu. Dan ayahnya hanya mengatakan bahwa jika Lilian tidak ingin ibunya menangis, maka Lilian harus menjadi anak perempuan yang lembut dan baik.

Lilian tidak mengerti. Ia sudah berbuat baik karena ia tidak pernah berkelahi dengan anak yang tidak bersalah, hanya kepada anak-anak yang semena-mena pada anak lain. Ia pecinta keadilan dan itu berarti dia sudah menjadi anak yang baik. Tapi Lili tidak pernah berubah menjadi anak yang lembut seperti yang diidamkan ibunya karena itu sangat bukan dirinya. Kakaknya Vivian gadis yang lembut dan penyayang binatang, tapi ia juga bukan gadis yang lemah dan Lilian mengaguminya.

Sampai suatu ketika, ibunya menangis lagi. Dan itu bukan karena Lilian. Ayah yang membuatnya menangis. Dari yang Lilian dengar orang-orang dewasa menyebutnya perceraian.

"Mama, apakah Mama tidak akan menangis jika Lilian menjadi anak yang lembut?"

Ibunya yang sedang menangis saat itu menghapus airmata dan tersenyum.

Lilian tidak pernah berkelahi lagi sejak saat itu, dan ibunya tidak pernah menangis lagi.

"Lili? Lili? Kau mendengarkan?"

Lilian kembali pada kenyataan dan ia sedang duduk di ruang privat restoran bersama Jimmy, atasannya yang seorang branch manager dan Pak Iskandar, salah seorang pengusaha yang Jimmy katakan sebagai nasabah potensial. Ternyata ia sedang melamun mengingat masa kecilnya saat Jimmy menjelaskan produk bank mereka kepada Bapak Iskandar.

"Apa Lili sehat-sehat saja?" tanya Iskandar dengan perhatian yang terlalu berlebihan sampai memegang tangan dan pipi Lilian.

"Saya sehat-sehat saja, Pak," Lili menyahut dengan senyum dan berusaha bertahan untuk tidak menampar calon nasabah potensial di hadapannya. "Hanya mungkin sedikit kurang fokus karena saya..."

"Ada apa?" Iskandar semakin mendekat.

"Tidak apa." Lili menggeleng. "Masalah bulanan wanita."

"Ohh!!"  Iskandar langsung mengerti dan tertawa terbahak-bahak. Jimmy juga ikut tertawa. "Kau seharusnya banyak-banyak makan kalau begitu. Kulihat tadi kau hanya makan sedikit sekali dan minum hanya air putih."

"Tidak, Pak, Saya tidak terbiasa makan banyak."

"Menjaga bentuk tubuh ya?" Iskandar tertawa lagi. Matanya memperhatikan tubuh Lilian dari ujung rambut hingga ujung kaki terang-terangan. "Wanita memang terbiasa seperti itu. Tapi memang seharusnya seperti itu. Tidak seperti istriku di rumah. Ia makan segalanya dan sekarang badannya mekar seperti sapi."

"Tapi dia melahirkan anak-anak yang cantik serta tampan untuk Bapak." Lilian mengalihkan dengan pujian.

"Yah, untuk itulah gunanya seorang istri."

"Tidak heran karena Pak Iskandar sendiri tampan, pastilah anak-anaknya juga cantik dan tampan, Lili," puji Jimmy padahal Pak Iskandar adalah pria tua gemuk yang tidak sedikitpun menampakkan sisa-sisa ketampanan di wajahnya.

"Itu karena saya rajin berolahraga dan bergaul dengan wanita muda setiap hari."

"Wah, masih kuat ya, Pak?" Jimmy manggut-manggut.

"Tentu saja, saya suka yang seperti Lilian ini," ia kembali menoleh pada Lilian dengan penuh kekaguman.

Semua laki-laki sama saja. Lilian bergumam dalam hati.

Semasih kecantikan dan masa muda ada di tanganmu, mereka akan memujamu seperti ratu. Lambat laun saat semua sirna, mereka semua memperlakukanmu tidak lebih baik dari sampah. Ayahnya dulu juga memuja ibunya, sampai muncul keriput di wajah ibu dan ayah beralih kepada wanita yang lebih muda.

Begitupun setiap pria yang Lilian temui. Mereka memuja Lilian. Meskipun di saat yang sama mereka melecehkannya. Hanya karena Lilian selalu tersenyum manis pada mereka sesuai tuntutan pekerjaannya.

"Potongan rambutmu baru ya?" tanya Iskandar.

Lili memang baru saja memotong rambutnya beberapa hari lalu. "Apakah tidak cocok?" Ia tersenyum dan menyentuh ujung rambutnya.

"Ah, wanita cantik mau diapakan saja tetap cantik." Kali ini giliran rambutnya yang disentuh oleh pria itu.

Dari tempat duduknya, Jimmy memberikan isyarat pada Lili untuk melaksanakan tugasnya.

"Seharusnya Lili sering-sering ke kantor atau makan siang bersama saya," lanjut Iskandar.

"Saya juga ingin seperti itu, Pak," Lili menarik napas sedih. "Tapi apa boleh buat saya sibuk bekerja dan tidak ada alasan yang bisa saya sampaikan ke kantor jika ingin menemani Bapak. Andai saja Bapak adalah salah seorang nasabah kita. Saya rasa saya tidak akan sulit mencari alasan."

"Benarkah? Kenapa tidak katakan saja sejak kemarin-kemarin kalau begitu?"

"Jadi Bapak bersedia menjadi salah satu nasabah kami?" tanya Jimmy antusias.

"Sebenarnya bunga kalian kecil dan saya sudah menaruh uang saya di bank lain yang sudah memenuhi semua kebutuhan saya. Tapi karena saya ingin bertemu Lili terus...baiklah, saya bersedia."

Dan Iskandar menandatangani dokumen-dokumen yang diserahkan Jimmy padanya.

Lilian menarik napas. Jimmy tersenyum padanya seakan memuji keberhasilan Lilian. Lilian tidak merasa bangga dengan itu. Branch manager itu juga sengaja memanfaatkan daya tarik Lilian untuk mendapatkan keinginannya.

Semua laki-laki sama saja.

Tapi sayang Lilian harus bertahan dan bersikap lembut demi ibunya.

***

"Aku lelah sekali hari ini!" keluh Desi, sembari duduk dan menendang sepatu hak tingginya. Desi adalah teman satu kantor Lilian yang juga berprofesi sebagai marketing, bedanya dia adalah seorang Account Officer yang bertugas mencari kredit, berbeda dengan Lilian yang kebalikannya yakni bertugas mencari dana masuk.

"Ada apa?" tanya Lilian.

"Macam-macam," Desi menidurkan kepalanya di meja Lilian. "Calon nasabah kreditku tidak lolos BI checking. Targetku masih sedikit lagi dan terancam hangus."

"Kurang berapa?"

"Delapan puluh."

"Aku sudah melewati targetku karena asuransi. Kalau mau kau bisa ambil salah satu deposito yang kudapat kemarin," tawar Lilian. Seorang AO masih boleh juga menjual deposito dan saving, tapi sebaliknya seorang Funding seperti Lilian tidak boleh menangani kredit.

"Benarkah?!" Desi langsung menegakkan kepalanya dengan bersemangat.

Lilian mengangguk-angguk dan tersenyum.

"Terimakasih, Lili!!" Desi memeluknya. "Nanti akan kukembalikan padamu saat komisi cair."

"Tidak usah." Lili menggeleng.

"Tidak bisa, itu kan hasil jerih payahmu!"

"Tenang saja, itu tidak seberapa. Yang penting komisimu tidak hangus."

"Tidak, tidak. Aku akan menaktrirmu saja kalau begitu. Bagaimana kalau malam ini kita ke klub?"

Lilian menyentuh keningnya. "Sebenarnya aku juga ingin keluar bersamamu, tapi tidak ada yang mengawasi Tracy hari ini. Ayah dan ibu tiriku minta tolong padaku menjaganya."

Tracy adalah adik tiri Lilian yang berumur tiga tahun, anak dari hasil pernikahan ayahnya dengan istrinya yang kedua setelah bercerai dengan ibunya.

"Bukankah ia mempunyai kakak laki-laki? Kenapa harus dirimu yang menjaganya, sih?"

Tracy memang memiliki seorang kakak laki-laki bernama Jerry, yang merupakan anak dari ibu tirinya dengan suami terdahulu. Silsilah keluarga Lilian agak kacau balau.

"Jerry ada kuliah malam. Jadi dia tidak ada di rumah."

"Tahu begini lebih baik aku menemanimu. Tapi aku sudah terlanjur janjian dengan Kevin," kata Desi, menyebut nama pria yang baru saja dekat dengan Desi tapi bukan kekasihnya.

"Tidak apa. Hanya menjaga anak kecil. Paling ia sudah tidur jam delapan malam," terang Lilian.

"Kenapa kau tidak tinggal sendirian saja? Kos atau mungkin menyewa apartemen?"

"Ibuku tidak mengizinkan aku tinggal seorang diri."

"Kalau begitu lebih baik kau cepat-cepat menikah saja." Desi tertawa.

Lilian tidak balas berkomentar dan hanya tersenyum. Selama ini tidak pernah terpikir dalam benak Lilian untuk menikah, mengingat ia sudah terlalu hapal dengan karakter pria.

"Aku hanya bergurau masalah menikah itu. Aku sendiri lebih tua darimu dan belum menikah," Desi berdecak. "Tapi masa kau betah tinggal dengan ibu tirimu?"

Sebenarnya Lilian tidak betah. Desi tidak tahu betapa hancurnya Lilian saat tahu bahwa ayahnya bercerai dengan ibunya, kemudian menikah lagi dengan wanita lain. Meski ibunya tegar dan menasehati Lilian berkali-kali untuk berpikir dewasa, Lilian tidak bisa. Ia pikir ayahnya menyayanginya dan tidak akan mungkin meninggalkannya. Tapi kenyataan sungguh tidak seindah impian.

Lilian tidak ingin tenggelam terus dalam kesedihan dengan berusaha menghadapi luka hatinya. Ia menerima permintaan ibunya untuk tinggal dengan ayahnya beserta keluarga baru ayahnya saat Lilian mendapat pekerjaan di ibukota. Kata ibunya, Lilian tidak boleh membenci ayahnya dan harus mengenal keluarga baru ayahnya lebih dulu.

Awalnya ia begitu membenci Lucy, ibu tirinya. Tapi Lilian menahan diri dan berusaha bersikap sopan dan baik karena sepanjang ia tinggal di sana, Lucy ternyata seorang wanita yang baik.

Kadang Lilian sangat ingin menjadi optimistis dan tidak terlalu memikirkan hidup dengan terlalu serius seperti yang dilakukan Vivian, tapi Lili tidak bisa. Ia dilahirkan sebagai wanita yang terlalu peduli dan sensitif. Yang menjadi prioritas Lilian tentu saja adalah kebahagiaan satu orang yang paling ia cintai yakni ibunya. Lilian akan melakukan apapun permintaan ibunya asal wanita itu bahagia.

"Yah, apa boleh buat. Untuk sementara."

***

Seperti perkiraan Lilian, Tracy sudah tidur setelah pukul delapan malam. Tracy cukup dekat dengan Lilian karena anak itu sudah bersamanya sejak dua tahun lalu saat masih balita. Lilian merasa keberadaannya sedikit berguna di rumah itu karena Lucy kadang menitipkan Tracy padanya agar bisa menghadiri acara tertentu atau berbelanja. Tidak sedikit Lilian lihat tetangga Lucy yang memiliki anak balita bahkan sampai tidak bisa merawat diri karena anak mereka tidak bisa lepas dari ibunya.

Lilian mengelus rambut di kening Tracy sebelum meninggalkannya di kamar. Gadis kecil itu seperti sebuah keajaiban yang membuat dendam di hati Lilian pada Lucy dan ayahnya terhapus. Kadang Lilian merasa tak percaya bisa terus membuat monster dalam jiwanya tertidur selama beberapa lama. Lilian sadar ia bukan wanita feminin dan lembut seperti yang ia tampilkan selama ini. Bahkan ia sebenarnya begitu tidak becus melakukan apapun selain bekerja kantoran. Ia tidak bisa memasak dan ia malas membersihkan rumah. Jangankan membersihkan rumah, membersihkan kamar saja antara enggan dan terpaksa karena kasihan pada Lucy. Ia lebih suka membawa baju ke laundry padahal di rumah itu ada mesin cuci. Pokoknya Lilian tidak suka pekerjaan rumah tangga.

"Ayah dan ibu ke mana?"

Suara Jerry yang baru pulang kuliah membuat Lilian terkejut. Ia baru aja melintasi ruang keluarga menuju kamarnya.

"Pergi berdua. Ada kenalan yang menikah," jelas Lilian.

"Tracy?"

"Sudah tidur."

Jerry menatapnya cukup lama, lalu mengangguk-angguk. Lilian menunjukkan wajah tenang meski ia waspada. Beberapa bulan lalu, Jerry pernah mencuri ciuman darinya dan Lilian cukup terkejut karena Jerry tidak pernah menunjukkan ketertarikan padanya terang-terangan seperti para nasabah hidung belang Lilian. Bahkan Jerry terlihat seperti pria nerd yang pemalu. Saat itu Lilian hanya memberikan peringatan pada Jerry dengan sopan agar tidak melakukan hal itu lagi karena merasa mungkin Jerry hanya khilaf.

Tapi tentu saja Lilian tidak pernah takut pada Jerry.

"Aku juga ingin tidur. Selamat malam, Jerry," ujar Lilian lalu langsung berbalik menuju tangga.

Lalu hal yang tidak ia duga terjadi. Jerry mendadak memeluk tubuhnya dari belakang.

Lilian terdiam di tempatnya berdiri. Setelah kejadian dengan Jerry beberapa waktu lalu, Lilian sudah menelepon ibunya. Bukan untuk mengadu tapi hanya mengutarakan keinginan untuk hidup mandiri sendirian. Lilian mengantisipasi hal yang sama terulang lagi. Tapi ibunya hanya menjawab akan mempertimbangkan hal itu mengingat Lilian pernah diopname dua kali di rumah sakit. Sekarang apa yang ia cemaskan akhirnya terjadi juga.

"Jerry, lepaskan aku," ucap Lilian dengan tenang.

"Lili, aku melakukan ini karena aku tidak ingin ada orang yang mendahuluiku. Aku ingin kau menjadi milikku."

Memangnya wanita adalah barang? Sehingga bisa diklaim untuk menjadi milik pria. Lilian membenci pandangan itu.

"Kita adalah saudara, Jerry. Kau tidak boleh melakukan ini," sergah Lilian.

"Kau tahu sendiri kalau kita tidak memiliki hubungan darah, Lili."

"Tapi aku tidak memiliki perasaan terhadapmu."

"Tidak, kau memiliki perasaan terhadapku. Tidak ada wanita lain yang lebih perhatian dan memberiku senyum sepertimu."

Seperti itukah? Hanya karena Lilian tersenyum padanya? Lilian hampir tak percaya semua ini.

"Jerry, kurasa kau salah paham. Aku tersenyum pada siapa saja karena itu adalah kewajaran. Aku berusaha bersikap sopan..." Lilian tercekat dan menahan napas saat Jerry mencium tengkuknya dan tangan Jerry merayap menyentuh dadanya. "Hentikan ini, Jerry. Atau aku tidak akan menanggung akibatnya." Nada suara Lilian berubah memperingatkan.

"Kenapa? Bukankah banyak pria yang juga sering menyentuhmu seperti ini saat kau bekerja? Aku melihatnya tidak hanya sekali tapi___"

Ucapan Jerry terhenti karena Lilian berbalik dan memukul wajahnya. Jerry mengerang kesakitan memegangi bagian wajahnya yang dipukul Lilian.

"Kau membuntutiku setiap hari?!" bentak Lilian seraya memojokkan Jerry di dinding. Ia tidak percaya Jerry bisa melakukan hal sejauh itu.

"Aku hanya ingin melihatmu. Mengapa kau melakukan ini padaku?"

"Aku sudah memperingatkanmu tadi! Sekarang kau tahu bukan wanita seperti apa aku ini? Aku bukan wanita yang manis seperti yang kaukira dan berhenti mengikutiku karena aku-tidak-memiliki-perasaan apa-apa-padamu!" Lilian sampai harus menekankan kalimat terakhirnya.

"Ada apa ini?" Lucy tiba-tiba muncul dari arah ruang depan dan terkejut melihat keadaan. Jerry terperangah memandang ibunya.

"Di mana ayahku?" tanya Lilian pada Lucy.

"Masih di garasi," sahut Lucy dengan cemas. "Lilian ada apa?"

Lilian kembali menoleh pada Jerry. Perasaan kesal dan iba bercampur di hatinya. Lalu tanpa mengucapkan apapun, Lilian berbalik ke kamar.

***

"Biar aku." Lilian mengambil alih mendorong galon yang dilakukan Lucy.

Air galonan dan tabung gas di rumah itu memang selalu disediakan oleh Lucy. Kadang Lilian melihatnya bersusah payah menyeret ke dapur dan sebagai wanita yang lebih kuat, Lilian membantunya. Meski bisa dikerjakan wanita, menurut Lilian sebagai seorang pria seharusnya ayahnya atau Jerry sadar untuk menawarkan diri. Tapi tidak pernah sekalipun Lilian pernah melihat mereka melakukannya. Lilian pernah bertanya tentang hal itu pada Lucy, tapi ibu tirinya itu berkata sudah sepantasnya seorang istri melayani suami tanpa mengeluh. Lalu ia mulai membahas tentang emansipasi wanita pada Lilian.

Entahlah. Bagi Lilian pengertian emansipasi wanita adalah hak-hak untuk diakui sederajat dengan pria dalam hal-hal yang lebih luas seperti profesi dan pendidikan.

Bukannya mengangkat galon atau membetulkan genteng.

Berdebat tentang hal itu dengan wanita seperti Lucy hanya membuatnya pusing. Beruntung ia bukan Lilian yang dulu, yang tidak segan-segan memarahi orang yang menurutnya salah. Dan untung juga dispenser di rumah itu adalah model baru di mana galonnya terletak di bawah, jadi Lilian tidak harus sampai memikulnya susah payah.

Hari-hari Lilian sudah kembali seperti biasa keesokan harinya dan di hari-hari berikutnya. Lilian tidak pernah mengungkit kejadian dengan Jerry. Lucy pun tidak pernah bertanya.

Tapi ayah Lilian sekarang bersikap aneh dengan lebih banyak memperhatikan Lilian. Ia sering bertanya apakah Lilian sehat-sehat saja dan apakah Lilian betah dengan pekerjaannya. Lucy juga seperti agak canggung bertatapan dengannya. Dan kadang ia seperti menghindar untuk menatap Lilian. Mungkin Lucy malu mengingat anaknya melecehkan Lilian.

Lilian memang sengaja membiarkan Jerry yang menceritakan sendiri karena ia tidak ingin terkesan seperti pengadu. Setidaknya ia masih cukup baik dengan membiarkan Jerry bercerita sendiri dan bebas membela diri dan bahkan Lilian tidak melaporkannya pada pihak berwajib.

Tapi Lilian terpaksa harus memikirkan ulang 'kebaikan' yang ia berikan, setelah tidak sengaja mendengar pergunjingan dua orang ibu kompleks perumahan itu saat ia sedang berbelanja di toko dekat rumah sepulang kerja. Dua orang ibu-ibu itu tidak melihat Lilian karena Lilian saat itu sedang berjongkok memilih pembalut di balik sebuah rak.

"Kasihan Bu Lucy, kau sudah mendengar berita?"

"Berita apa?"

"Anak tirinya menggoda putranya," sahut ibu tadi dengan nada jijik. Lilian tercekat seketika, tapi ia menahan diri di tempat agar bisa mendengarkan kelanjutannya.

"Yang benar?" sahut wanita satunya dengan nada tak kalah dramatis. "Kau mendengar gosip itu darimana?"

"Ini bukan gosip. Aku mendengarnya dari mulut Bu Lucy langsung saat acara arisan kemarin."

"Sudah kuduga sejak lama kalau wanita itu wanita tidak beres. Sebenarnya pekerjaannya apa sih? Kulihat setiap pagi ia berangkat kerja dengan pakaian seksi semacam itu."

"Kata Bu Lucy dia kerja di bank."

"Anak kenalanku juga bekerja di bank, tapi bajunya seragam. Kalau Lilian bukankah ia memakai baju bebas dan dandanannya seperti wanita penghibur? Sudah tahu begitu kenapa Bu Lucy tidak mengusirnya saja keluar rumah?"

"Suaminya tidak mengizinkan."

"Ia lebih percaya pada putrinya?"

"Tidak. Kata Bu Lucy, suaminya percaya pada ceritanya. Tapi pria itu tidak tega mengusir anaknya sendiri. Kasihan mereka."

"Tidak sangka ya, padahal anak itu kelihatan baik dan polos. Penampilan luar memang biasa menipu."

Lilian berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya. Seperti itukah yang terjadi di belakangnya? Ternyata ia sudah salah langkah dengan memberikan Jerry kebebasan dan ia juga salah mempercayai Lucy. Dan ayahnya...

Lilian tidak sanggup melanjutkan.

Ia pikir ayahnya mencintainya. Dan akan terus mencintainya.

Tapi sekali lagi Lilian harus menerima kenyataan bahwa pria itu sudah memiliki dunia dan prioritas baru. Ia bukan lagi pria yang memeluk Lilian saat terjatuh dari sepeda, dan bukan juga pria yang menggendong Lilian di bahunya dan berjalan sambil bernyanyi di pinggir pantai.

***

"Ada apa Lili?" Suara Soraya terdengar riang saat putrinya menelepon.

"Mama, aku benar-benar ingin tinggal sendirian. Izinkanlah aku," kata Lilian. Entah alasan apa yang harus ia utarakan sekarang.

"Apakah ada masalah di sana?" tanya Soraya berubah cemas.

Lilian terdiam sejenak.

"Lili, ada apa?" Soraya bertanya lagi.

"Tidak...Ma...aku hanya ingin tinggal sendirian."

"Lili, kau tidak tahu betapa berbahayanya kalau kau tinggal sendiri..."

"Lalu kenapa Mama mengizinkan Kak Vivi tinggal sendiri bahkan ke Amerika, sedangkan aku tidak?!" Lilian berteriak melampiaskan emosinya. Untung saja ia ada sedang berjalan kaki ke rumah sehingga ia bisa bebas meninggikan suara. "Karena aku pernah masuk rumah sakit?! Oh please, Ma! Aku hanya sakit tipes dan DB. Mama sendiri yang mengatakannya."

"Kau tidak tahu..."

"Mama, maafkan Lili. Lili terpaksa melakukan ini. Lili akan tetap pergi dari rumah entah Mama mengizinkan atau tidak. Akan kukabari Mama setelah di apartemen__"

"Lili!! Tunggu!! Tunggu!!" teriak ibunya cemas. "Baiklah! Baiklah! Kalau kau tidak ingin tinggal di rumah itu kau boleh pindah, tapi bersabarlah sehari lagi. Mama akan berusaha menghubungi beberapa kenalan Mama di sana agar kau bisa mendapatkan apartemen yang dekat dengan mereka. Kau bisa melakukannya bukan, Lili? Hanya sehari lagi...demi Mama..."

Permohonan ibunya yang terdengar memilukan membuat Lilian tidak tega. Ia terpaksa menerima untuk terakhir kali.

Meski dengan itu ia harus bertemu dengan wajah-wajah itu lagi. Ibu tirinya, ayahnya, dan Jerry. Lilian berharap tidak pernah mengenal mereka. Tapi jelas itu tidak mungkin karena hubungan darah lebih kental daripada air.

Untung ada Tracy yang menjadi penghibur Lilian di rumah itu. Lilian sebenarnya berpikir ia tidak tega untuk meninggalkan Tracy dan akhirnya dilupakan oleh anak manis itu. Tapi suatu saat Tracy akan tumbuh dewasa dan berubah. Seperti Lilian yang juga berubah skeptis oleh kenyataan kehidupan.

Tidak ada gunanya berbuat kebaikan.

Sekeras apapun Lilian berusaha selama bertahun-tahun ini semua terasa sia-sia. Lilian merasa lelah. Ia lelah bersikap baik.

Makanya sejak saat itu Lilian berjanji pada dirinya sendiri di manapun ia berada kelak, ia tidak akan menyiksa dirinya lagi dengan menjadi apa yang bukan dirinya. Dan ia tidak akan merasa kasihan ataupun tergugah sebaik apapun seseorang yang ia temui nanti.

Meskipun kata Vivian dan ibunya, Budi adalah orang yang baik. Dan meski Budi bisa memasak omelet dan asparagus yang dibenci Lilian menjadi makanan paling enak yang pernah ia makan, hal itu tidak mengubah pendiriannya.

Karena Budi seorang laki-laki.

Dan semua laki-laki sama saja.

***

Terimakasih sudah menekan bintang.

Btw, aku mantan karyawan bank dan sedikit tidak penggambaran di cerita ini hampir mirip dengan apa yang terjadi di dunia nyata ya, meski bukan pengalamanku sih. Banyak rekan-rekanku di bank terutama wanita yang bertugas outdoor memang dihadapkan dengan permasalahan semacam ini tapi tidak semua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top