Part 2 - Beginning

Ost : Beautiful ~ Cherrybelle

💔💔💔

Iklan dulu dong.
Preorder Rayhan and Angela Platinum Edition sudah dibuka ya.

💔💔💔

Btw aku ada kesalahan, harusnya Vivian pergi setelah empat tahun ia berpacaran dengan Budi, tapi di part kemarin aku tulis setahun. Sudah aku ralat sih tapi akhirnya komen2 kalian jadi hilang di paragraph itu. Ini part cuplikan dari Rayhan and Angela yang membuatku sadar kalau aku salah kemarin. Tapi part ini penting sebagai pembuka kisah Budi.

💔💔💔

Jangan lupa klik bintang dulu ⭐️

Jangan lupa follow akun wattpad penulis : @matchamallow

💔💔💔

"Sepertinya Budi terlihat depresi. Apakah karena rematiknya?"

Budi mendengar suara Rayhan saat sedang duduk termenung di sudut ruangan klub sambil menggambar lingkaran dengan jarinya di dinding. Sebelumnya ia memang merelakan Vivian pergi, tapi entah kenapa setiap malam menjelang ia selalu galau. Kemarin ia sempat berpikir apakah ia harus ikut tinggal di Amerika saja agar bisa dekat dengan Vivian, tapi Vivian menolak usul itu dan menyuruh Budi lebih baik di Indonesia saja agar bisa mengawasi keadaan Malika, Becky, dan Jacko di penangkaran.

"Ssstt! Jangan mengucapkannya keras-keras, Re. Atau ia bisa bunuh diri," sahut Daniel menanggapi Rayhan.

Rayhan dan Daniel adalah dua temannya yang juga sama-sama jomblo. Bedanya mereka dikejar-kejar banyak wanita terutama Daniel, sedangkan Budi tidak. Entah apa yang membedakan mereka di mata para wanita. Budi bingung. Padahal menurut Budi dari segi ketampanan ia tidak jauh berbeda dengan Daniel.

"Kau mencemaskan ia akan mengakhiri nyawa sementara kau sendiri sering membuatnya hampir kehilangan nyawa, Niel!"

"Aku selalu bertanggung jawab tentang hal itu. Buktinya ia masih hidup hingga sekarang," Daniel tertawa. "Aku akan menceritakan penyebabnya padamu tapi kau harus berjanji tidak mengucapkannya keras-keras di depan Budi."

Padahal Daniel mengucapkannya keras-keras. Budi berhenti bergalau ria di dinding karena merasakan firasat buruk.

"Ia baru saja putus dari si gadis ular."

"Setelah empat tahun menjalin hubungan?"

"Benar. Si gadis ular baru saja mendapat tawaran menjadi seorang peneliti ular derik di Amerika. Dan ia memutuskan Budi dengan senang hati tanpa pikir panjang."

"Jadi ia lebih memilih ular derik?"

Kedua bocah setan itu tertawa.

Entah apa yang merasukinya, Budi merasa harus melenyapkan dua kuman itu dari muka bumi sekarang juga. Ia tidak terima dikatakan putus dengan Vivian padahal kenyataannya mereka hanya LDR.

"Sudah kubilang jangan mengucapkannya keras-keras, Re! Dulu ia gagal dengan Desy dan sekarang si ga..."

"Sial, Niel! Ia membawa botol minuman kemari!!" Rayhan langsung menarik Daniel sehingga Budi tidak jadi mendaratkan pukulan di kepalanya.

"What?! Kau serius, Bud!! Padahal kami tidak serius mengatakannya." Daniel dan Rayhan berlari ke dinding sambil tertawa.

"Sebelum bunuh diri, aku akan membunuh kalian berdua lebih dulu!!" Masih menenteng botolnya bagaikan seorang samurai, Budi berteriak.

"Sabar, kawan." Rayhan meraih lengan kanan Budi dan mengambil botol minumannya dengan santai, sementara Daniel meraih lengan kirinya. Mereka mendudukkan Budi di sofa kembali sembari menghimpitnya di tengah-tengah.

"Kami adalah sahabat sejatimu."

"Benarkah? Kenapa aku merasakan hal yang sebaliknya?"

"Itu hanya perasaanmu saja." Daniel tersenyum. "Kita bisa mengupayakan sesuatu untukmu. Mungkin kau perlu melakukan pendekatan dengan wanita lain." Daniel memandang langit-langit klub. Wajahnya tampak serius. Daniel jarang berpikir serius, sehingga Budi mau tak mau ikut serius.

"Bagaimana kalau Lisa, sekretaris Sean?" usul Daniel kemudian.

"Apa Sean akan mengizinkan?" sela Rayhan. "Lisa bahkan sudah lari terbirit-birit jika melihat kita dalam radius lima puluh meter. Kelihatannya ini tidak akan berhasil."

"Ini pasti berhasil," sanggah Daniel.

"Aku tidak yakin..."

"Pasti, Re!"

"Tunggu dulu, kalian berdua. Aku baru ingat sesuatu. Bukankah Daniel mengatakan padaku kau baru saja menjemput adikmu, Re? Bagaimana kalau aku melakukan pendekatan padanya? Kau pasti mengizinkan bukan? Bukankah selama ini kau merasa risih karena ia mengejar-ngejarmu? Dengan begini kita akan saling menguntung..." Budi berhenti mengucapkannya setelah melihat tampang seram Rayhan. Ia mulai menggeser bokongnya ke arah Daniel.

"Jika aku mendekati Lisa, Sean bisa saja membunuhku dengan alasan mengganggu ketentraman karyawannya. Apa kau tidak merasa iba padaku, Re?!" Budi memprotes.

"Aku setuju denganmu, Niel. Lisa adalah pilihan yang tepat," putus Rayhan disambut tawa Daniel.

"Kenapa tidak kalian berdua saja yang mendekati Lisa?!" protes Budi.

"Aku tidak punya perasaan apa-apa pada Lisa," sahut Rayhan. "Dan kau lupa Daniel memang sudah mengatakan tidak akan menikah selamanya?"

"Benar." Daniel tersenyum. "Makanya kami memprioritaskan dirimu lebih dulu yang punya cita-cita berumah tangga."

Budi bersungut-sungut kesal. Tapi setidaknya ia tidak akan sendirian dalam kejombloan ini. Karena Rayhan tidak pasti akan menikah dengan siapa, sementara Daniel sudah mengikrarkan tidak akan menikah selamanya.

💔💔💔
💔💔💔💔💔💔💔
💔💔💔💔💔💔💔💔💔

Masa kini,

Empat tahun setelah kepergian Vivian...

Daniel menikah...

Rasanya baru kemarin Budi mendengar Daniel berkoar bahwa ia tidak dan tidak akan menikah untuk selamanya...tapi apa-apaan ini?! Daniel malah menikah. Dua kali malah. Dengan wanita yang sama.

Budi merasa dikhianati.

Seharusnya mereka berdua menjadi jomblo happily ever after setelah Rayhan menikah dengan Angela. Tapi semua angan-angan indah itu buyar seketika.

Budi yang selama ini merasa posisinya aman-aman saja sekarang mulai cemas. Ia berpikir keras. Apakah saran Rayhan dan Daniel memang patut dicoba? Di awal-awal perpisahannya, ia dan Vivian berkomunikasi setidaknya sehari sekali. Rutinitas itu terus berlanjut hingga sebulan kemudian di mana mereka mulai mengurangi frekuensi chatting menjadi seminggu sekali. Sekarang hanya beberapa minggu sekali. Itupun Budi yang selalu berinisiatif menelepon lebih dulu.

Vivian tetap ramah dan baik seperti biasa. Setiap Budi menelepon, Vivian pasti akan lebih dulu menanyakan keadaan emak dan bapak Budi. Lalu setelah itu baru menanyakan keadaan Malika, Jacko, dan Becky.

Tinggal setahun lagi Vivian datang. Tapi umur Budi terus bertambah dan tidak ada jaminan bahwa Vivian akan menikahinya kelak. Bisa saja Budi mengalami menopause dini lebih dulu. Haruskah ia mencari wanita cadangan selama setahun ke depan? Haruskah ia menjadi badboy seperti Daniel dan Rayhan agar para wanita mendekat padanya? Haruskah ia menjadi jerk, bastard, playboy, dan badass mulai detik ini?

Budi merenung di tempatnya berdiri.

"Permisi...Anda antre kasir atau tidak?" Sebuah suara ramah di belakangnya membuat lamunan Budi buyar. Budi baru ingat ia memang sedang antre di sebuah kasir minimarket dekat rumah.

"Maaf!" Cepat-cepat Budi maju dan menaruh belanjaannya di meja kasir.

"Budi?!" pekik suara tadi.

Budi menoleh. "Desi?!"

Desi adalah mantan Budi empat tahun lalu sebelum bertemu dengan Vanessa. Ia memutuskan Budi karena sudah merasa tidak cocok. Seminggu kemudian Budi mendengar Desi menggandeng kekasih. Begitu cepat dan mudah ia menemukan pengganti, tidak seperti Budi. Sebenarnya Budi agak sedih saat berpisah dengan Desi, karena Desi lemah lembut dan baik hati. Vanessa baik hati tapi agak glamor. Vivian juga baik meski ia bukan tipe wanita keibuan seperti Desi. Tapi tetap saja Vivian masih ada di urutan teratas sebagai wanita yang Budi puja.

"Ya ampun. Waktu berlalu dan kau tetap lemot seperti dulu, Bud!" Desi tertawa dan menepuk punggungnya. Budi ikut tertawa.

"Kau juga, Des. Meski ada beberapa keriput di bawah matamu dan badanmu makin subur, tapi kau tetap cantik seperti dulu," puji Budi. Daniel selalu mengajarkan Budi untuk selalu menuji wanita. Tidak sia-sia ia memiliki teman seperti Daniel.

Hanya saja wajah Desi bukannya senang tapi malah terlihat seperti pembunuh yang ingin segera membacok korbannya.

"Di mana kau tinggal sekarang?"

"Masih di tempat yang dulu," jawab Budi.

"Serius? Kau masih tinggal di rumah sekecil itu? Bukankah kabarnya sekarang usaha restoranmu sudah berkembang bahkan memiliki tiga cabang, ya?"

Sebenarnya berkat Daniel, sebentar lagi usaha restorannya akan menjadi sebuah franchise, tapi karena Budi tidak terlalu mengerti dengan bisnis, ia tidak ingin repot menjelaskan pada Desi.

"Aku hanya tinggal sendiri. Tidak perlu tempat yang besar. Repot membersihkannya."

Desi tercengang, "Kau belum menikah?!"

Suara petir selalu terdengar di kepala Budi seperti sebuah alarm yang berbunyi setiap kali ada yang mengucapkan pertanyaan horor itu padanya.

"Tidak usah kaujawab, Bud," Desi tersenyum. "Aku sudah tahu hanya dengan melihat reaksimu."

"Seratus tujuh puluh tiga ribu, Pak." Suara kasir pria di depan mereka sedikit menyelamatkan Budi dari rasa tidak nyaman.

Budi mengeluarkan dompetnya dan membayar dengan uang tunai. Ia tidak memiliki kartu kredit, gopay, ovo, ataupun cara membayar lain yang lebih modern, karena Budi tidak mengerti.

"Apa kau perlu bantuan sebelum pulang?" pamit Budi.

"Tidak ada. Mobilku dekat, belanjaanku juga tidak banyak," sahut Desi sementara menaikkan keranjang belanjanya ke meja kasir.

"Baiklah. Titip salam untuk keluarga dan anak-anakmu."

"Anak-anak?" Desi terkejut. "Menikah saja aku belum."

Budi merasa tak percaya pada pendengarannya. "Kau...juga belum menikah?"

Desi menggeleng, "Belum."

"Lalu bagaimana dengan pacarmu yang dulu itu?"

Sejenak Desi menarik napas dan melihat sekeliling. "Ceritanya panjang. Apa boleh nanti kita cari waktu bertemu sesekali untuk ngobrol? Atau kalau kau sibuk, boleh aku berkunjung ke rumahmu?" tanya Desi.

Latar Budi seakan dipenuhi bunga-bunga mengetahui Desi belum menikah dan sepertinya sudah putus dengan pacarnya. Dan Desi sekarang seakan mengirimkan kode-kode bahwa mereka bisa saja menjadi dekat kembali.

Tunggu dulu! Bukankah ia sudah punya Vivian? Dengan cepat latar bunga-bunga Budi menghilang.

Tapi ia tidak merencanakan perbuatan tidak senonoh dengan Desi. Tadi itu hanya sekelebat roh jahat Budi yang kebetulan lewat. Status mereka hanya berteman sekarang. Mengobrol saja tidak termasuk mengkhianati Vivian, bukan? Lagipula siapa yang akan tahu? Vivian masih di Amerika jauh darinya.

"Tentu saja, Des," Budi mengangguk-angguk.

Jodoh tidak ada yang tahu. Budi tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang datang.

💔💔💔

Restoran yang ada di bagian depan rumah Budi masih ramai dengan beberapa orang yang duduk santai menikmati malam. Beberapa karyawannya sedang mengepel lantai bersiap tutup. Segala aktivitas di restorannya tidak perlu banyak campur tangannya karena restoran itu sudah berjalan sesuai rutinitas. Kadang Budi hanya ikut menentukan menu baru karena hobinya memasak. Dan kadang-kadang juga ia ikut memasak jika salah satu koki libur.

Anehnya pintu rumah Budi yang ada di belakang restoran terbuka dan lampunya menyala terang benderang. Yang memiliki kunci pintu rumahnya hanya Budi dan orangtuanya. Apakah benar emak dan bapak Budi datang? Atau jangan-jangan malah ada maling?

Seketika Budi merasa cemas, tapi ia berusaha berpikir positif. Rumahnya terlihat baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda kekerasan.

Belum sempat Budi mengecek, suara ponselnya sendiri membuat Budi terkejut. Ia segera merogoh saku. Ternyata Vivian! Budi sampai harus mengerjap-ngerjap karena tak percaya. Ini pertama kali dalam sejarah hidup Vivian meneleponnya lebih dulu. Dan Budi tidak peduli lagi apakah rumahnya dibobol maling ataupun terbakar habis sekalian.

"Ya, Vivi!" ucap Budi penuh semangat.

"Bud, kau ada di rumah?"

"Aku baru saja pulang."

"Kau sudah bertemu mamaku?"

"Mamamu ada di sini?" Budi terhenyak.

"Iya, Mama sedang di rumahmu bersama Tante Suket dan Om Burhan."

"Bersama Emak Bapak?!" Budi semakin berdebar-debar. Ada apakah gerangan? Apakah akan ada acara lamaran hari ini? Semoga saja! Untuk apalagi kedua orangtua berkumpul kalau bukan untuk hal penting?

"Boleh aku tahu dalam rangka apa mereka semua kemari, Vi?" Tanya Budi pura-pura bodoh, padahal memang iya bodoh.

"Itu juga yang ingin kubicarakan denganmu, Bud. Ini memang terlalu mendadak, tapi kuharap kau bersedia menerima permintaanku dan keluargaku," sahut Vivian.

"Apapun permintaanmu, tidak perlu kaukatakan pun aku sudah bersedia!" ucap Budi dengan semangat ala karyawan tanggal muda.

"Kau yakin, Bud?"

"Tentu saja, Vi!"

"Kau selalu aneh, Bud, tapi kau memang baik." Vivian tertawa renyah.

"Budi, anak Mama!!"

Terdengar teriakan Jessica Suketii di balkon lantai dua rumahnya. Jessica memang selalu memanjakan anak-anaknya termasuk Budi meski Budi sudah menginjak pertengahan tiga puluhan.

"Emak sudah memanggil," ucap Budi pada Vivian, sebelah tangannya melambai pada Jessica.

"Baiklah, kita lanjutkan pembicaraan nanti. Meski kau sudah mengatakan bersedia, lebih baik kau mendengarkan dulu apa permintaan mereka," ujar Vivian sebelum menutup panggilan.

Budi bergegas masuk ke dalam rumahnya. Jessica menyambut di pintu ruang tamu dan tersenyum.

Jessica Suketii

"Mami sudah menunggumu sejak tadi. Ke mana saja kau pulang malam-malam begini? Sekarang rawan penculikan," tanya Jessica cemas.

Budi melirik jamnya. Pukul setengah sepuluh malam. Biasanya juga dulu ia pulang dari klub bersama Daniel dan Rayhan pukul tiga pagi dan tidak ada yang tertarik untuk menculiknya. "Aduh Mak, Budi bukan anak-anak lagi."

"Ish! Semasih kau belum menikah itu artinya kau masih anak Mami," Jessica memukul bahu Budi dengan keras hingga Budi hampir terjungkal. "Lalu mulai sekarang berhenti menyebut Emak! Ada Tante Soraya, calon mertuamu. Kau harus panggil ibumu ini Mami. Mengerti?"

"Iya, Mak...eh Mi." Budi meringis mengelus-elus bahunya.

"Ayo masuk ke dalam. Semua sudah menunggu." Jessica menggandeng lengan putranya.

"Memangnya ada apa hingga semua berkumpul, Mak?" tanya Budi harap-harap cemas.

"Kita langsung saja bicara di dalam."

Budi memasuki ruang tamu. Clementine Burhan, ayah Budi tampak sedang merokok di pekarangan rumah yang bersebelahan dengan ruang tamu. Di sofa duduk dua orang wanita. Budi mengenal salah satunya adalah Soraya Tejakusuma, ibu Vivian, yang sudah Budi nobatkan sebagai calon ibu mertua. Lalu ada seorang wanita yang lebih muda yang duduk di sebelah Soraya. Budi baru pertama kali ini melihatnya.

"Budi..." Soraya tersenyum dan berdiri menghampirinya. Budi menyambut tangan wanita itu dan bersalaman.

Soraya Tejakusuma

"Maaf lama menunggu, Tante," ucap Budi berbasa-basi.

"Jangan khawatir, Bud. Sebenarnya Tante tidak berencana berkunjung kemari. Ini kunjungan dadakan."

Tidak berencana berkunjung ke rumahnya? Jadi sepertinya ini bukan pembicaraan pernikahan. Pupus sudah harapan Budi. Lalu untuk apa mereka semua di sana?

Minuman sudah tersedia di meja beserta camilannya sehingga Budi tidak perlu menawari. Ibunya sudah hapal seluk beluk rumah Budi karena Budi selalu membersihkan dan menata semua barang-barangnya dengan teratur.

"Perkenalkan, ini anak Tante nomor dua, adiknya Vivian. Namanya Lilian."

Lilian Fransiska

Ternyata wanita di sofa tadi adalah adik Vivian. Lilian hanya mengangguk singkat sehingga Budi tidak perlu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sepertinya ia wanita yang pendiam karena tidak bicara sepatah katapun. Budi mengamati dengan penasaran. Lilian sama sekali tidak mirip dengan kakaknya meski mereka sama-sama cantik. Wajah Lilian lebih bulat dan tenang dibandingkan Vivian yang tirus dan murah senyum. Rambutnya tertata rapi dan pakaiannya amat resmi serta sopan seperti seorang karyawan perusahaan dengan kemeja dan jas wanita.

"Nah, tujuan kami kemari karena ingin menitipkan Lilian di rumahmu sementara waktu."

"O..." Budi manggut-manggut sebelum terkesiap. "Apa?!"

"Selama ini di kota, Lilian hidup dengan Papanya yang sudah menikah lagi dengan wanita lain. Dan Lilian tidak betah tinggal dengan ibu tirinya," jelas Soraya yang duduk di sebelah kirinya.

"Benar, Bud," lanjut emaknya sehingga Budi menoleh ke kanan. "Sebenarnya Tante Soraya berencana akan menyewa apartemen untuk Lili, tapi ia cemas jika Lili hidup sendiri. Lalu Vivian mengusulkan bagaimana kalau ia hidup di sini saja."

"Vivi...yang mengusulkan?" Budi terheran-heran.

Jessica mengangguk. "Lalu Tante Soraya bertanya pada Mami dan Mami pikir tidak ada salahnya juga. Bukankah kau punya tiga kamar di rumah ini?"

"Sayang sekali Tante tidak bisa hidup bersama Lilian di kota karena di rumah masih ada nenek mereka yang perlu Tante rawat. Lilian bekerja di sini dan tidak mungkin ia pulang pergi bekerja dari rumah," lanjut Soraya.

"Kau tahu sendiri 'kan Bud kalau rumah Tante Soraya berbeda propinsi," sela Jessica.

Budi menoleh ke kiri dan ke kanan bergantian setiap ibunya dan Tante Soraya berbicara.

"Tapi, Mak...dia...."

Budi kebingungan menyampaikan maksudnya. Di satu sisi ia tidak ingin terlihat tidak sopan sekana keberatan menampung Lilian, tapi di sisi lain ia merasa aneh.

"Dia...wanita. Kalian serius akan menitipkannya di rumah seorang pria?" Akhirnya Budi memutuskan mengatakannya saja meski kedengaran seperti baru saja memproklamirkan diri sebagai laki-laki buaya.

Wajah Jessica berubah sangar. "Memang kau akan melakukan apa padanya?"

Budi menelan ludah dan menggeleng-geleng cemas. "Tidak ada, Mak."

Jessica tersenyum lagi. "Ya, sudah. Berarti tidak ada masalah."

"Tante sebenarnya juga tidak mungkin akan menitipkan Lilian pada seorang pria," Soraya menarik napas lelah. Budi kembali menoleh ke kiri. "Tapi kalau di sini Tante sangat percaya bahkan sangat yakin Lilian akan aman karena Tante sudah mengenal Budi dan juga Ibu Jessica."

"Tapi..." Budi mengerutkan kening dengan cemas.

"Mama....Tante..." tiba-tiba terdengar suara yang sangat kecil. Ternyata Lilian. "Kalau Kak Budi tidak bersedia sebaiknya kita tidak usah memaksanya. Lili merasa tidak enak."

"Oh tidak, tidak!" Jessica mengibas-ngibaskan tangan. "Budi sama sekali tidak keberatan. Ya, bukan, Bud?"

Budi menatap emaknya yang tersenyum penuh ancaman. Terpaksa Budi mengangguk-angguk.

"Tuh, kan! Tidak masalah!" seru Jessica. "Lagipula di depan ada mess karyawan restoran. Di sana juga ada beberapa karyawan wanita yang tidur dalam. Tidak perlu merasa khawatir."

"Apa benar tidak apa-apa?" Lilian memberikan tatapan sendu yang membuat Budi merasa tidak enak karena ia mengisyaratkan menolak wanita itu. Dan tampaknya Lilian juga anak yang baik.

"Tidak apa-apa. Kau bebas tinggal di sini. Anggap saja seperti rumah sendiri." Budi mengangguk-angguk cepat.

"Tenang saja, Nak Lili. Kalau Budi berbuat macam-macam padamu kau hubungi saja Tante," kata Jessica.

"Aku tidak mungkin melakukan apa-apa padanya, Mak!" protes Budi.

"Mami hanya memastikan kau akan memperlakukan Lilian dengan baik. Awas saja jika Mami nanti mendengar sedikit saja keluhan..."

"Bagaimana? Apa semua lancar?" Clementine Burhan memasuki ruangan dengan riang setelah menghabiskan rokoknya.

Clementine Burhan

"Tentu saja lancar, Pi," Jessica tidak jadi melanjutkan ancamannya pada Budi dan menyambut suaminya dengan mesra.

"Syukurlah kalau begitu. Tidak sia-sia kita kemari, Sayang," balas Clement tak kalah mesra. Mereka yang bermesraan tapi Budi yang merasa malu hingga ia berdeham.

"Ehem!"

"Oh!! Sepertinya semua permasalahanmu sudah clear," sontak Jessica pada Soraya.

"Semua ini berkat bantuan kalian," Soraya menggamit lengan Budi dan berdiri. "Budi, kemari sebentar, Tante ingin bicara padamu pribadi."

"I...iya, Tante." Budi berdiri dan mengikuti hingga mereka ada di taman.

"Tante ingin mengatakan ini tapi tidak enak jika kukatakan di depan Lilian." Soraya terlihat cemas sehingga Budi merasa canggung. Ia tidak pintar menghadapi situasi serius semacam ini. Selama ini hidupnya agak konyol.

"Lilian berbeda dengan Vivi. Sejak kecil ia rentan sakit dan tubuhnya lemah. Tentu saja ia tidak bisa beraktivitas seperti Vivi, padahal sebenarnya Lili sangat ingin seperti kakaknya."

"Sakit?"

"Bukan penyakit menular dan juga bukan penyakit serius. Ia hanya memiliki badan yang lemah sejak perceraian Tante. Mungkin ia terluka secara psikis dan berefek pada kesehatannya. Makanya Tante tidak berani membiarkannya hidup sendiri seperti Vivi. Tante harap Budi bisa mengerti."

Budi mengangguk-angguk. "Aku akan memastikan Lili betah tinggal di sini."

"Sudah kuduga kau memang bisa diandalkan. Tante tidak sabar melihatmu menjadi bagian keluarga Tante nanti." Soraya menggenggam tangan Budi.

Bagian dari keluarga....

Kata-kata itu terdengar begitu indah hingga Budi hampir melayang. Itu artinya ibu Vivian sudah sangat mengharapkan Budi segera menikah dengan putrinya. Ternyata cita-cita mereka sama.

"Kapan Lilian akan pindah kemari, Tante?" tanya Budi tak sabar untuk segera membuktikan kehandalan dirinya di mata calon mertua.

"Mungkin dalam beberapa hari. Lili hanya perlu membereskan beberapa barang di rumah ayahnya. Tidak begitu banyak."

"Baiklah, hubungi saja aku jika sudah siap. Aku akan menjemputnya."

"Tante akan memberikan nomormu pada Lili. Terimakasih sekali lagi atas semuanya, Bud."

Soraya tersenyum lagi dan terlihat cantik meski usianya menginjak tujuh puluh tahunan. Senyumnya amat mirip dengan Vivian. Vivian memang mirip dengan ibunya sehingga Budi bisa membayangkan bagaimana Vivian saat tua nanti. Ia jadi semakin bersemangat.

💔💔💔

Satu hari berlalu dan Budi merasa hidupnya kembali seperti biasa.

Budi sudah merencanakan menempatkan Lilian di sebuah kamar di lantai dua yang tidak pernah terpakai. Lilian tidak mengabari kapan ia datang, tapi Vivian sempat mengatakan bahwa Lilian mungkin akan pindah seminggu lagi. Budi sudah membersihkan kamar itu dan akan membersihkannya ulang sehari sebelum kedatangan Lilian sehingga tidak akan ada setitik debu pun di sana.

Dari pengamatan Budi sepertinya memang Lilian tidak akan terlalu merepotkan. Terlihat dari perangai dan gaya berpakaiannya, wanita itu terlihat pemalu dan lemah. Mungkin agak sulit untuk dekat dengan Lilian mengingat sepertinya wanita itu memiliki sifat introvert, tapi Budi akan berusaha. Budi akan menunjukkan performa yang baik sehingga wanita itu akan senang menerimanya sebagai kakak ipar. Dan dari perkataan Soraya, sepertinya Lilian akrab dengan Vivian sehingga Budi sedikit mengharapkan Lilian akan melaporkan pada Vivian bahwa Budi sangat baik.

Semuanya terdengar sempurna.

Ting Tong.

Bunyi bel pintu membuat Budi mengernyit.

Siapa yang bertamu malam-malam begini? Rayhan dan Daniel tidak mungkin bertamu tanpa mengabarkan lebih dulu. Sean apalagi, temannya yang satu itu tidak pernah repot-repot bertamu ke rumah Budi kecuali Budi mengundangnya saat ada acara hajatan.

Ting Tong.

Bunyi bel terdengar sekali lagi sehingga Budi sekarang yakin ia tidak salah mendengar.

Ting tong. Ting tong. Ting Tong. Ting Tong.

Bunyi bel berkali-kali dan menuntut itu membuat Budi gelagapan dan cepat-cepat berlari ke pintu depan. Tanpa melihat siapa yang datang, ia membuka pintu.

Dan ia ternganga melihat siapa tamunya.

Budi harus mengamati dan memastikan dua kali sebelum ia berseru, "LILIAN?!"

"Membuka pintu saja begitu lama!" keluh wanita itu sambil berdecak sebal.

Itu memang benar Lilian...

Hampir saja Budi tidak mengenalinya. Wanita yang ada di depannya sangat berbeda dengan wanita yang kemarin duduk di ruang tamunya. Rambut Lilian yang kemarin rapi kini tergerai ikal dan berwarna pirang. Pakaian yang dikenakannya juga berubah seratus delapan puluh derajat. Lilian mengenakan kaos oblong serampangan dan jaket kulit berwarna hitam. Lalu yang paling membuat Budi terperangah adalah rokok yang menyala di tangan Lilian. Tidak ada orang lain di sana selain Budi dan Lilian, jadi jelas sekali itu adalah rokok Lilian.

Budi merasakan firasat buruk bahwa kesialan hidupnya akan berlanjut mulai detik ini.

💔💔💔

Keterangan : Budi anak kandung Jessica dan Clement ya. Meski kalian mungkin bertanya-tanya emaknya Chinesse, bapaknya Negro kok anaknya bule? Kan sudah dibilang cerita Budi ini cerita suka suka 😸😸

Follow instagram :
💔 budi_mobs
💖 dian_oline_maulina
💖 matchamallow_gallery

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top