Part 1 - Love is...
Playlist : Candy ~ Kyari Pamyu Pamyu
💔💔💔
💔Hi all, bagaimana part kemarin sudah sukses bikin sakit perut ya? wkwk. Btw aku tidak ada maksud mengejek ataupun dendam kesumat pada artis yang namanya agak mirip-mirip dengan kemarin ituh yahh. Awalnya cerita Budi kubuat dengan scene pernikahan temannya memang, lalu muncullah berita artis yang lagi heboh itu. Jujur aku sih nggak tertarik karena aku sendiri nggak ngefans sama semuanya dan mereka semua juga nggak ada mengusik kehidupanku, tapi tiba-tiba kok lebih afdol kalau diganti saja nama-nama teman Budi.
Dan akhirnya taraaa...jadilah prolognya kuganti wkwk.
Oke langsung aja ya.
💔Jangan lupa vote.
💔Jangan lupa follow akun wattpad author : Matchamallow
💔💔💔
Lelaki brengsek dikejar wanita untuk dijadikan pacar. Lelaki baik-baik dikejar wanita untuk dijadikan suami.
By : Ibu Budi (dalam rangka menghibur anaknya yang tidak laku-laku)
💔💔💔
Singkat cerita, karena cerita Budi tidak perlu panjang-panjang...
Budi terbaring di rumah sakit selama dua hari. Vanessa tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu. Sebenarnya Vanessa hanya memanfaatkan Budi agar tidak datang ke pesta pernikahan Reno dan Rini sendirian. Tentu saja Budi tidak tahu dan kalian para pembaca tidak usah meng-caption kalimat tadi lalu mengetag Budi di instagramnya.
Lalu apakah di situ Budi merasa sedih?
Tentu saja tidak, karena Budi tidak tahu seperti yang dijelaskan tadi. Apalagi Vivian, wanita peneliti reptil yang menyelamatkannya selalu mendampingi Budi sejak masuk UGD.
Vivian menjelaskan kepada dokter jenis ular apa yang mengigit Budi agar Budi mendapatkan serum yang tepat. Ia juga mengunjungi Budi setiap sore saat pulang kerja guna melihat keadaan Budi.
Budi sebenarnya tidak apa-apa. Hanya saja ia tidak memiliki pembantu di rumah jadi ia sekalian tinggal saja di rumah sakit selama dua hari sampai ia bisa menggerakkan jarinya yang mati rasa karena digigit ular. Restoran kecil-kecilan yang dikelola Budi memang jadi satu dengan rumahnya, tapi Budi tidak mungkin merepotkan karyawan serta koki utamanya lagi karena mereka sendiri sudah sibuk sejak Budi masuk rumah sakit. Biasanya Budi yang membantu si koki memasak.
Lalu Jessica Suketii, emak Budi datang beberapa hari kemudian bersama bapak Budi, Clementine Burhan, mengetahui anak mereka masuk rumah sakit karena tergigit ular. Tapi adik-adik Budi tidak ikut menjenguk dan hanya menitipkan salam saja lewat bbm pada Budi agar Budi diberikan jalan terbaik dan diambil sakitnya.
Dunia memang selebar daun kelor...
Ternyata Suketii mengenal Vivian karena ibu Vivian adalah teman aerobiknya di sebuah sanggar senam. Kebetulan itulah yang membuat Budi semakin dekat dengan Vivian hingga tanpa sadar pun mereka resmi menjadi kekasih karena dijodoh-jodohkan ibu mereka.
💔💔💔
Mobil Budi berhenti di depan sebuah rumah di kawasan yang dekat dengan Taman Reptil Nasional. Itu adalah rumah yang dikontrak Vivian agar dekat dengan tempatnya bekerja. Budi keluar dari mobil dengan riang. Di tangannya tertenteng sekotak kue yang ia pesan jauh-jauh hari karena ia tahu ini hari apa.
"Happy Anniversary, Vivian!" seru Budi saat Vivian membuka pintu.
Wajah Vivian terlihat terkejut dan senang melihat kue di hadapannya. Budi pun ikut senang. "Budi!! Kau memang selalu ingat."
"Tentu saja aku ingat. Ini 'kan hari penting kita," sahut Budi mengikuti Vivian masuk ke rumah. Hari ini empat tahun sudah ia jadian dengan Vivian. Sebenarnya Budi juga tidak tahu kapan tepatnya mereka jadian, karena mereka juga tidak jelas antara jadian atau bukan. Saat itu Budi hanya mengajak Vivian kencan menonton film dan Vivian tidak menolak. Jadi Budi menetapkan hari pertama mereka kencan sebagai hari jadian.
"Padahal aku selalu lupa," lanjut Vivian lagi sambil meletakkan Malika di sofa.
"Tidak apa-apa, Vi. Aku tahu kau sendiri sibuk dengan reptilmu. Untuk itulah ada aku," sahut Budi bangga karena merasa berguna.
"Kau memang baik," Vivian tersenyum. Senyuman yang selalu membuat Budi meleleh. "Sebentar aku buatkan minum, ya." Vivian melangkah meninggalkan Budi menuju dapur yang Vivian buat dengan konsep bar sehingga menyatu dengan ruang tamu.
Budi melirik Malika yang tergeletak di sampingnya.
Malika adalah ular piton hitam yang Vivian rawat seperti anak sendiri. Panjangnya sekitar satu meter dan kata Vivian, ular itu jenis yang tidak berbisa.
"Aku hanya ingat hari ini hari ulang tahun adikku. Itupun karena aku memasang alarm di ponsel. Aku sungguh payah." Suara Vivian terdengar bersama dentingan gelas yang ia ambil.
"Benarkah?" Budi tertawa sambil mengelus kepala Malika.
"Sangat kebetulan ulang tahunnya bertepatan dengan hari jadi kita. Kau mungkin bisa mengingatkanku tahun depan, Bud,"
"Tentu saja, Vi. Aku akan selalu mengingatnya untukmu," jawab Budi. Apa sih yang tidak untuk Vivian?
Kepala Malika terangkat dan matanya menatap Budi. Entahlah ular benar bisa menatap ataukah itu hanya perasaan Budi saja, karena Budi tidak mengenal seluk beluk ular. Tapi sebagai kekasih yang baik tentu saja Budi berupaya mendekatkan diri kepada Malika, agar Malika bisa menerimanya sebagai calon ayah.
Pelan-pelan Malika mendekat ke arah Budi. Ular itu merayap ke atas paha Budi, lalu hidungnya mengendus-endus seperti anjing yang berusaha mengidentifikasikan sesuatu.
Tapi itu hanya sementara karena kepala Malika turun kembali dan merayap di lengan Budi. Budi merasa berhasil karena Malika kini akrab dengannya. Buktinya Malika kembali merayap ke belakang punggung Budi dan muncul kembali di samping tubuhnya. Lalu ular itu membelitnya seperti yang biasa dilakukan kepada Vivian. Budi merasa geli sejenak sampai pada ketika ekor Malika membelit tangannya.
Entah hanya perasaan Budi saja, tapi belitan itu semakin kuat. Budi merasa was-was, tapi ia mencoba menepis perasaan buruk yang muncul itu karena ia adalah orang yang selalu berpikiran positif.
"Mungkin ini adalah hari keberuntunganku, karena aku memiliki sebuah kabar gembira dan aku tidak sabar menceritakannya padamu sekarang," seru Vivian yang masih menyibukkan diri di dapurnya.
"Ka...bar...gembira?" tanya Budi karena merasa sulit bernapas.
"Yah, kabar yang benar-benar gembira, Bud. Sebentar, aku akan menceritakannya sekalian kita minum."
"Apa...kah ma...sih la...ma?" Budi mulai ngos-ngosan. Malika masih membelit pinggang dan dadanya. Budi berusaha melepaskan Malika, tapi ular itu semakin kencang membelitnya. Ia benar-benar panik sekarang.
Budi jatuh di sofa lalu berguling-guling di lantai dengan Malika masih membelit tubuhnya. Ia menoleh pada Vivian sejenak. Wanita itu masih memunggunginya. Lengan Budi menggapai-gapai ingin meminta tolong tapi ia tidak bisa berteriak karena Malika seakan mencekiknya. Tamatlah riwayat Budi beserta cerita ini.
"Selesai!" Vivian berbalik membawa nampan berisi dua minuman. "Ya Tuhan!" Ia berseru melihat pergumulan Budi bersama Malika.
Secepat kilat Vivian menaruh nampannya kembali.
"Malika, lepas!" Vivian meraih ekor Malika. "Bud, bergulinglah ke arah sana."
Budi menuruti perintah Vivian. Dan perintah itu memang manjur karena ia terlepas dari Malika dalam sekejap. Udara kembali memenuhi paru-paru Budi. Ia merasa luar biasa lega.
"Untunglah Malika tidak apa-apa."
Budi menoleh dan melihat Vivian memasukkan Malika ke dalam akuarium kosongnya, lalu menutup akuarium itu dengan penutup berjaring.
"Kau tidak apa-apa, Bud?" Vivian menghampiri Budi dan menolong Budi bangun dari lantai.
Budi menggeleng lemah. "Tidak apa-apa."
"Benarkah? Tidak ada tulang yang patah?" Vivian menatap cemas dan menyentuh-nyentuh lengan lalu tulang rangka Budi mulai dari atas lalu turun ke bawah...ke bawah....
"STOP!!" Budi berteriak.
"Ada apa?! Kau kesakitan?!" pekik Vivian.
Budi menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Sungguh." Ia meyakinkan sekali lagi. Vivian tidak tahu Sentuhan wanita itu lebih berbahaya dibanding lilitan Malika. Budi mungkin tidak bisa menahan diri jika Vivian meneruskan lagi. Mau bagaimana lagi, begitu-begitu juga Budi adalah lelaki normal yang tidak kuat iman. Tapi tentu saja Budi tidak bisa menjelaskan otak kotornya itu pada Vivian yang masih menatap Budi cemas.
"Aku tidak tahu bahwa Malika bisa seperti itu. Kupikir dia sudah jinak," jelas Vivian.
"Tidak apa-apa. Mungkin dia tadi ingin bermain-main denganku."
Vivian tersenyum dan mengelu-elus rambut Budi. "Hanya kau yang selalu mengerti dan menerima apa adanya diriku. Kau tahu? Semua pacarku dulu kebanyakan kabur karena tidak bisa menerima keberadaan semua anak-anakku ini." Vivian menoleh pada deretan anak-anaknya yang berasa di sebuah teras dekat taman kecil. Budi juga ikut menoleh.
Selain memelihara Malika, Vivian juga memelihara Becky, seekor bayi aligator yang terlihat anteng di akuariumnya. Lalu di sebelah akuarium Becky ada akuarium lain berisi Jacko, seekor King Cobra kecil yang kini tengah berdiri tegak dengan kulit leher melebar dan melihat Budi sembari mendesis.
Budi menelan ludah. Oke...
"Bagiku mereka sangat lucu," ucap Budi meski masih menatap horor pada Jacko yang mendesis lagi.
"Kau sama sepertiku! Mereka sangat menarik dan lucu!" seru Vivian. "Ah, iya aku sampai lupa tentang kabar gembira yang akan kuceritakan padamu."
Budi juga kembali fokus dan ingat pada kabar gembira yang tadi Vivian ingin katakan. "Apapun yang membuatmu gembira aku juga pasti ikut gembira."
"Oh, Bud!! Aku senang sekali kau berkata seperti itu!" Vivian menggenggam tangannya. "Ini kabar gembiranya, aku diterima di sebuah lembaga penelitian reptil terbesar di Amerika mengalahkan ribuan kandidat dari negeri ini."
"Syukur...lah..." Budi berhenti tertawa lalu mengerutkan kening mencoba mencerna informasi Vivian. "Apa itu berarti kau akan berangkat ke Amerika?"
"Tentu saja."
"Untuk berapa...lama?" tanya Budi was-was.
"Mungkin sekitar tiga atau lima tahun."
"Lima tahun?"
"Sayangnya di balik kegembiraanku ini aku juga merasakan kesedihan." Wajah gembira Vivian berubah murung.
"Sebenarnya aku juga agak sedih mendengarnya...."
"Benarkah Bud? Aku merasa sedih karena di waktu yang sama aku harus berpisah dengan mereka," Vivian menatap deretan akuarium berisi Malika, Becky dan Jacko. "Aku tidak boleh membawa mereka ke sana, jadi aku harus mengembalikan mereka ke penangkaran lagi."
Budi juga ikut menatap ketiga reptil yang merupakan kesayangan Vivian itu.
"Ini hebat, bukan?!" Vivian menoleh lagi dan memeluk Budi erat-erat. "Ini impianku sejak dulu. Aku sempat berpikir apakah mereka akan memilihku, karena kupikir aku bukanlah yang terbaik. Masih banyak yang jauh lebih pintar dariku. Tapi ternyata mereka memilihku. Sampai sekarang aku tidak percaya," bisik Vivian.
Vivian melepaskan pelukannya dan mengusap airmata. "Ya ampun, aku begitu dramatis sampai menangis seperti ini. Kau jangan menertawakan..."
Ucapan Vivian terhenti.
"Bud...kau juga menangis?" tanya Vivian.
"Benarkah?" Budi mengerjap-ngerjap. Hidungnya terasa asin tapi ia mencoba tidak menangis. "Aku hanya..." Budi tertawa miris sambil mengusap penglihatannya yang buram. Ia memang mudah jatuh cinta, dan mudah pula ditinggalkan tanpa sebab, tapi tak pernah sedikitpun Budi merasa sedih seperti yang kini dirasakannya. Padahal ia tidak putus dengan Vivian, hanya berpisah jarak saja.
Tapi melihat wajah Vivian yang bahagia, Budi tidak bisa mengucapkan apa yang ada di hatinya. Ia tidak tega merusak kebahagiaan Vivian dengan bebannya lagi.
"Aku hanya turut merasakan kebahagiaanmu." Akhirnya ia berucap.
"Ya, Tuhan!" Vivian memeluknya. "Terimakasih, Bud. Terimakasih."
Budi tersenyum dan menepuk punggung Vivian, wanita yang sudah memberinya kebahagiaan selama setahun ini. Mencintai memang tidak harus memiliki, tapi juga ikut bahagia saat orang yang kaucintai bahagia. Hanya kalimat bijak itu yang Budi ingat saat ia melepaskan Vivian Fransiska.
💔💔💔
Follow instagram
💔Budi_mobs
💖Dian_oline_maulina
💖Matchamallow_Gallery
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top