9. Para Penunggang Kuda dan Kedamaian

Setidaknya kami tidak dicincang duluan. Apa yang dikhawatirkan Ningsih sewaktu mencegah kami, ternyata benar-benar terjadi. Aku benar-benar sangsi, bahwa seumur hidupku, baru kali ini aku mendapatkan lima hari di mana ketegangan dan hal-hal di luar nalar saling bertabrakan. Setidaknya kami tidak digelandang seperti para kebanyakan tawanan orang-orang barbar walaupun kami juga akhirnya dilempar ke atas kuda, dengan tangan diikat.

Berurusan dengan manusia-manusia penunggang kuda adalah salah satu hal buruk dalam hidup manusia berperadaban. Orang-orang Sioux dan Apache akan menguliti kulit kepalamu. Orang-orang Mongol akan menyeretmu dengan kuda atau memanahmu dari tunggangan mereka. Orang-orang Tuareg dan Almoravid akan menggelandangmu ke kamp mereka atau bahkan lebih buruk di jagal di tempat. Ketika kau bertanya, "Oh, apakah bercengkerama dengan para penunggang kuda itu menyenangkan?"

Maka aku akan menjawab, "Oh, benar. Ketegangan kami malah makin meningkat di titik zenit."

Dengan bahasa yang tidak aku ketahui—kebanyakan huruf 'n', 'o' dan bunyi tekan—, hanya berdasarkan tebak-menebak, mereka menyuruh kami berempat untuk berjalan cepat, sesampainya di tempat mereka tinggal. Aku bisa katakan, orang-orang ini adalah para suku berkuda yang nomaden. Terlihat dari tempat tinggal mereka yang terbuat dari tenda-tenda yang besar menyerupai tipi—tenda suku Indian—, yurt—tenda berbentuk lingkaran—, atau bangunan non-permanen yang terbuat dari kayu dan atap ilalang kering.

Pakaian mereka—biar kudeskripsikan secara singkat—tiga pasang sarung. Lebih tepatnya dua kain yang melilit bagian bawah dan menyelempang bagian atas, ditambah sebuah kain seperti sarung tambahan untuk bagian tubuh atas. Beberapa ornag mengenakan kain tambahan untuk dijadikan penutup kepala seperti turban. Sekilas, mereka mirip suku-suku orang bersarung di Timur Tengah atau Afrika Utara.

Sepanjang sore, kami diinterogasi oleh orang-orang dari suku antah-berantah ini. Dengan bahasa yang juga masih tidak terlalu kami pahami. Mereka sering memarahi kami ketika kami berempat yang didudukan bersamaan, tidak menjawab pertanyaan mereka. Ah, akhir sore yang buruk. Setelah beberapa lama interogasi tanpa ada jawaban apa pun, mereka akhirnya menyerah dan terlihat frustrasi. Walhasil, kami didiamkan dengan penjagaan ketat. Kami berempat di jaga ketat oleh sekawanan orang suku antah-berantah, dengan senjata sejenis pedang, tombak, dan bedil siap siaga mengelilingi kami.

Ann terlihat ketakutan dan sesekali meracau takut, Al berulangkali mengerang bosan dan menggumam kesal, Bekti sesekali menghela napas panjang, Aku dengan bosan sesekali bersiul. Aku sebenarnya sudah sepakat dengan tiga orang lainnya untuk tetap berdiam diri, ketika mereka akan menginterogasi. Itu juga karena kami tidak paham dengan bahasa mereka.

Anehnya, mereka tidak berusaha agresif dalam menanyai kami, seperti memukul atau menyiksa.

"Berapa lama kita akan didiamkan seperti murid nakal disetrap seperti ini?" bisik Bekti.

"Mana aku tahu? Sepertinya mereka cukup ramah ...," ujarku seraya nyengir. Namun, Bekti malah menyemprotku.

"Apa, kaubilang mereka ramah!? Demi jenggot Pak Abram, bagaimana kaubisa mengatakan suku barbar di atas kuda ini ramah!?"

"Ini semua salahmu, Rendra! Kenapa kau tidak dengarkan perkataan Ningsih dan malah mbolang ke sini!? Sekarang lihat!" Tambah satu lagi komentator, Al.

"Ta-tapi ... mereka ramah! Kalau mereka adalah suku barbar, tentu kita akan jadi sate beberapa menit lalu!" tukasku.

"Lalu, sekarang bagaimana keadaan kita? Digelandang, diikat, lalu bersiap untuk dijadikan samsak atau target memanah!?" Bekti mulai mengomel sembari menyemprotku dengan berbagai keluhan. Malah sekarang, Aku, Bekti, dan Al yang sedang riweuh sendiri dengan ketegangan kami, orang-orang yang menangkap kami tadi hanya memperhatikan kami bertengkar. Malah, beberapa orang berbisik sambil menahan tawa, seolah-olah, empat orang di depan mereka ini adalah pertunjukan komedi.

"Ann takut ...," cicit Ann, sembari sesekali bersembunyi di balik punggung Al. Salah seorang dari orang-orang tersebut mulai menuntut, dengan bahasa yang sama sekali tidak kami mengerti. Seorang pria bersarung dengan wajah setengah tua, hitam kecoklatan, memakai sarung berwarna kombinasi hijau tua dan kuning tua, seperti terus menanyakan sesuatu kepada kami.

"Mungkinkah mereka menyuruh kita mengenalkan diri?" ujar Bekti berspekulasi.

"Apa yang membuat kauyakin kalau mereka ingin kita memperkenalkan diri?" sungutku.

"Rendra ... tiap bahasa tidak jauh dari akarnya. Diversifikasi bahasa adalah kutukan Tuhan di masa lampau kawan. Jadi ... insting manusiaku menunjukkan kalau ...," jawab Bekti, yang langsung kusahut.

"Jangan melawak sekarang, bego!"

"Aku tidak sedang melawak. Kenapa kau terlihat begitu tenang-tenang saja!? Kita ditangkap orang tidak dikenal, Rendra!" sentak Bekti.

"Karena ...." Aku menoleh ke belakang, di mana dari kejauhan padang rumput, tampak debu-debu bertebaran. Ada kuda—lebih tepatnya orang-orang bersarung yang lain—datang menuju ke arah perkampungan ini.

"Pesannya sudah tersampaikan." Aku tersenyum penuh kemenangan, ketika rombongan kuda yang mendekat itu, ikut membawa serta Prof. Abram dan Pak Kusno.

****

Aku dengan sengaja memberikan pesan kepada Ningsih, sesaat sebelum kami berempat pergi untuk melihat-lihat daerah padang rumput. Aku berkata pada Ningsih. Jika hingga matahari mulai tergelincir menuju Barat, senja mulai terlihat pekat, dan kami masih belum kembali pulang, maka pasti ada sesuatu dengan kami. Karena itu, aku berpesan pada Ningsih untuk memberitahukan hal ini kepada Prof. Abram dan Pak Kusno. Syukurlah, kembang desa Tirtanan—yang cantik itu—paham dengan maksudku.

"Kenapa kalian sudah membuat heboh lagi, setelah satu kehebohan selesai ...." Profesor Abram menggeleng-gelengkan kepala. Aku, Bekti, dan Annelies hanya nyengir sembari menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Ah ... kami sedang jalan-jalan, lalu tiba-tiba mereka menangkap kami. Ini sungguh keterlaluan! Beruntung saja, laki-laki membosankan dan menyebalkan satu ini merencanakan skema penyelamatan dengan lancar ...," ujar Alesya ketus seraya melirikku dengan muka kecut.

"Maaf ... maafkan atas keteledoran saya tidak memberitahu kalian semua kepada kepala suku," ujar seorang pria dari suku bersarung, yang tadi membawa Pak Kusno dan Prof. Abram kemari. Ia berbicara layaknya bahasa yang kami gunakan.

"Anda bisa Bahasa Indonesia?" tanyaku.

"Ah ... bisa. Saya Nai Poaléng. Panggil saja dengan nama Nai. Saya di sini sebagai juru bicara Suku Orang Sarung," jelas pria bernama Nai—yang kemungkinan besar berumur sama dengan kami, hanya saja perawakannya saja terlihat tua—itu.

"Lalu ... kenapa kami bisa digelandang ke tempat kalian!? Kupikir aku hampir mati!?" Al masih mengomel.

"Ah, itu karena kalian melewati tapal batas dari tanah leluhur yang hanya bisa diakses oleh warga Tirtanan. Berhubung kalian pendatang, juga kalian belum lama tinggal di sini. Maka, kalian dianggap sebagai pelintas batas," ujar Nai Poaléng.

"Pelintas batas??" kataku dan Bekti bersamaan.

"Yah ... singkatnya orang yang melintasi suatu daerah tanpa permisi dan tanpa izin," ujar Nai, sebelum ia berkata lagi.

"Ah ... iya. Bagi para pelanggar pelintas batas biasanya akan dilempar dari jurang ...."

"Dilempar ke jurang!?" Aku, Bekti, Al, dan Ann serempak berteriak terkejut.

"Ah, tidak-tidak. Itu tidak berlaku bagi kalian, karena kepala suku sudah mengetahui kalian yang akan menuju kemari," ujar Nai Poaléng. Bersamaan dengan berakhirnya penjelasan Nai, kemudian dari sebuah gubuk—lebih mirip tenda beratap jerami—keluarlah sosok perempuan tua renta, berpakaian serupa pada orang-orang bersarung pada umumnya, dengan rambut putih beruban yang telah diikat dengan menggunakan semacam jalinan benang, membawa tongkat yang terbuat dari kayu yang juga sudah tua. Aksesoris lain berupa penjepit rambut, kalung dari manik-manik batu, dan beberapa gelang yang terbuat dari kombinasi anyaman serat serta batu-batu amber dan kalsedon.

Nenek itu adalah kepala suku yang dimaksud. Kontras dengan perawakan kepala suku yang sangar dan bercorak patriarki—apalagi suku-suku berkuda seperti ini, Suku Orang Bersarung ini lebih mengedepankan pola-pola matriarkat, setidaknya jika memang sang kepala suku sebelumnya juga seorang perempuan. Karena kami tidak dapat berbahasa Suku Orang Bersarung, maka Nai sebagai penerjemah, menerjemahkan kata-kata kepala suku.

"Beliau adalah kepala suku sekaligus tetua adat kami, Elo Naode. Beliau menyuruh kalian berempat untuk masuk ke tenda kepala suku," ujar Nai. Tanpa basa-basi—dan daripada menimbulkan masalah lagi—kami menuruti perintah Nai. Kami berempat dibawa ke dalam sebuah tenda besar, dengan beberapa perabot khas orang-orang sarung, atribut-atribut nyentrik dari kulit-kulit binatang dan batu-batu hias. Kulihat ada alat seperti pemintal benang tradisional. Setidaknya aku tahu kalau mereka membuat 'baju' mereka sendiri.

Nenek Elo Naode bisa kutebak berusia lebih dari tujuh puluh tahunan dan masih dapat berjalan dengan lancar—meski lambat sih—dan duduk bersila tanpa ada masalah di persendian. Di samping nenek tetua adat itu ada Nai yang bertugas sebagai penerjemah.

"Ketua meminta kalian menjelaskan asal kalian," ujar Nai setelah berkata kepada Nenek Naode—mulai sekarang akan kupanggil begitu.

"Asal? Bagaimana menjelaskannya ... tetapi kami memang bukan dari daerah sini. Singkatnya, kami tersesat," jelasku.

"Ketua telah melihat jauh-jauh hari sebelumnya, kalau beliau mendapat semacam firasat bahwa ada sekelompok orang yang sedang ada masalah di hutan sebelah utara. Gemuruh besar di malam hari, lalu suara petir ...." Begitulah Nai menjelaskan apa yang Nenek Naode bicarakan.

Singkat cerita, aku menceritakan kejadian runtut. Mulai dari tujuan kami, asal tempat kami berada—sebuah peradaban lain di luar sini, kami terjun dari jurang, dan tersesat di hutan selama beberapa hari, kami diselamatkan para penghuni Desa Tirtanan, adanya konflik internal bahwa orang-orang kacangan ingin pulang, hingga maksud empat orang muda-mudi yang melintasi tanah leluhur para suku berkuda yang bersarung.

"Untunglah, kami tidak terlalu tempramental. Kami berusaha untuk setenang angin semilir yang melintasi padang rumput ini. Kalian diterima di daerah ini," ujar Nai.

"Jadi ... kita tidak jadi dihukum?" celetuk Al, yang membuat semua rencana untuk menghindari topik itu jadi gagal berantakan.

"Kalian masih harus ada konsekuensi yang harus dilakukan," jelas Nai.

"Err ... kita tidak harus melakukan sesuatu seperti ikut perang antar suku, 'kan?" canda Bekti.

"Kami adalah orang-orang yang damai, jangan khawatir," ujar Nai.

"Hei-hei, Nai, apakah Nenek Naode adalah seorang penyembuh?" tanya Ann tiba-tiba langsung mengambil kesempatan bicara.

"Iya, beliau adalah penyembuh ... dan alangkah lebih baik jika kau menyebut beliau dengan Ketua atau ... ibu ketua," ujar Nai menjelaskan—juga sedikit memperingkatkan Ann tentang tata krama Suku Bersarung—ketika Nenek Naode menarik sedikit lengan baju Nai. Nai menoleh, Nenek Naode menggeleng dan membisikkan sesuatu. Kemudian, Nai terlihat mengangguk takzim.

"Ah ... sudahlah, Nen-maksudku ketua tidak memedulikan mau dipanggil apa. Namun, di mana pun tanah melahirkan kalian, kalian tentu diajarkan untuk menghormati siapa pun yang lebih tua. Lalu, apa permohonanmu?" Nai menatap Ann seakan bertanya.

"Aku ingin belajar banyak hal dari Nenek Naode! Kuharap aku bisa menggunakan ini untuk laporanku nanti!" ujar An girang.

Uwah, cepat sekali dia memutuskan, gumamku heran. Nai kembali bertanya dengan bahasanya kepada Nenek Naode. Beliau terlihat mengangguk setelah ditanyai.

"Ketua mengizinkan, tetapi kau mungkin harus tinggal atau menginap di sini, jika kau ingin belajar dari beliau," ujar Nai. An sepertinya senang bukan main. Sementara dua orang pria—mahasiswa—di sebelahnya tersenyum pasrah dengan pikiran apa yang ingin diangkat ke dalam laporan. Jangankan laporan, untuk hidup dan beradaptasi di sini saja susahnya bukan main! Mana mungkin aku memikirkan sampai sejauh itu. Aku iri dengan para perempuan yang bersama kami, di mana mereka selalu cepat dalam mengmbil suatu peluang.

Lalu tiba-tiba Nenek Naode mendekat ke arahku, seraya mengamatiku. Lalu ia mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.

"Err ... Nai ... Apa kata Nenek?" tanyaku. Nai menghela napas, mungkin karena 'penyebutan' kata 'nenek' pada Ketuanya.

"Kau adalah pria yang sangat diberkati, tetapi juga dekat dengan segala masalah yang akan membuatmu menjadi lebih kuat, seperti para pendahulumu," ujar Nai. Aku mengernyitkan dahi.

"Nai, apa nenek bisa menerawang masa depanku?"

****

Yang jelas, seusai kesalahpahaman itu terselesaikan, kami berempat langsung pulang saat hari telah malam. Suara jangkrik dan kumbang malam saling bersahutan. Sesekali kunang-kunang yang berkelap-kelip di daerah tanah leluhur membuat bulu kuduk berdiri. Tentu saja sepanjang perjalanan pulang, Prof. Abram menceramahi kami karena seenaknya berkeliaran tanpa izin atau petunjuk dari warga desa sekitar. Masih dengan mengeluarkan perasaan bersalah, berulangkali Kades Kusno meminta maaf kepada kami atas kelalaiannya. Bagi beliau, insiden ini terjadi sebagai akibat karena beliau tidak mengenalkan daerah di sekitar Tirtanan.

"Tirtanan adalah tempat yang luas, lebih dari yang kalian bayangkan," ujar Pak Kusno.

"Aku penasaran, apakah luas Tirtanan juga mencakup garis pantai nun jauh di Selatan sana, Pak Kepala Desa?" tanyaku.

"Tentu saja, ada desa lain. Daerah itu secara teknis merupakan daerah Tirtanan. Tempat ini Tirtanan, hanya saja pengucapan dari beberapa orang berbeda-beda. Kampung nelayan yang berada di selatan sana juga tidak menyebut daerah mereka Tirtanan. Suku Bersarung juga tidak menyebut wilayah ini adalah Tirtanan," jelas Pak Kusno.

"Ha? Jadi ... sebenarnya nama wilayah ini apa dong?" tanya Al mengerutkan kening.

"Tidak ada penamaan yang pasti. Mereka menamai sesuai dengan nama mereka masing-masing. Menurut Suku Bersarung, tempat ini bernama Tanah yang Diberkati. Beberapa pedagang menyebut dulu tempat ini adalah wilayah kekuasaan Kerajaan Tirtapura," lanjut Pak Kusno bercerita.

"Tirtapura?? Mana ada kerajaan seperti itu di buku sejarah?!" sahutku.

"Percayalah nak, dunia tidak bisa kaukenal hanya sebatas lembaran tulisan pengetahuan bernama buku. Sering-seringlah kaumain di luar ruangan!" komentar Prof. Abram.

"Apakah kerajaan itu masih ada? Di mana tempatnya? Apa masih ada wilayah yang lebih luas lagi di Tirtanan ini?" Lalu, Annelies memberondong dengan pertanyaan.

"Hap-Hap, take chill pill," sahut Bekti sok keminggris.

"Ada kerajaan nun jauh di Timur sana, kata orang-orang. Namun, selama saya hidup, saya belum pernah pergi ke sana ...," ujar Pak Kusno.

"Tunggu ... tunggu sebentar. Tirtanan, Orang-Orang Bersarung, Tirtapura, Kerajaan dari timur, Tanah yang Diberkati. Seberapa luas sih, tempat antah-berantah ini!? Juga ... seberapa terselubungnya tempat ini!?" Aku panik sendiri dengan hal yang baru saja kuketahui seumur hidupku.

"Itu yang mungkin kaudapat cari tahu, Rendra," ujar Prof. Abram.

Cerita yang tidak ada habisnya selanjutnya datang dari masing-masing orang tentang pengalaman mereka pagi ini. Pun tidak ketinggalan dengan sebuah pengalaman heboh, di mana kami ditangkap oleh sekelompok penunggang kuda yang tidur di gubuk beratap jerami.

Malam makin larut dan kami mulai masuk kamar—lebih tepatnya rumah singgah—kami masing-masing. Belum ada aku menyentuh kasur kapuk dengan bau khas kayu dipan dan seprei setengah kumal selama lima menit, pintu rumah singgahku diketuk seseorang. Ketika aku keluar kamar, Bekti sudah berada di depan pintu. Ia membukakan pintu, lalu muncullah sosok yang tidak kami sangka-sangka.

"Kau?? Kenapa kaubisa ke sini?" tanya Bekti.

"Kau ... Ferdyan, 'kan? Kenapa kaubisa kembali?" tanyaku. Yang ditanya—lelaki dengan kaos oblong yang dirangkap oleh kemeja yang tidak dikancing dan celana jeans, serta sneakers yang belepotan lumpur—tidak sesantai yang biasa kami temui sepanjang kami mengenal Ferdyan. Raut mukanya tegang, tetapi dia tidak sampai bertindak heboh.

"Well, ada sedikit masalah, sekarang ... bisa kaubangunkan para wanita?" ujar Ferdyan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top