50. So Close Yet So Far
Kalau dibulatkan, maka sudah terhitung aku merasakan tanah Tirtanan selama satu setengah bulan. Di tempat ini, aku telah banyak mendapati situasi di mana nyawa bisa menjadi sesuatu yang lebih berharga daripada harta lainnya. Sudah banyak nyawa yang hilang dikarenakan kesalahan yang dilakukan oleh sesama manusia. Aku jadi berpikir, bahkan didunia yang paling damai pun, manusia masih bisa saling membunuh karena ada sebuah perbedaan.
Ketika aku menyaksikan tepat di depanku, Ann yang tertembak di Kah Raman, seketika itu juga aku jadi tidak percaya lagi bahwa tempat ini dilahirkan untuk sebuah kedamaian. Ada harga yang harus dibayar untuk kedamaian itu. Ann yang sempat sekarat, mati suri, hingga kemudian Gusti Pangeran—Roh Alam penguasa jagad Tanah Surga ini—memberikan sebuah keagungan kepada Ann, dengan memberikannya sebuah kesempatan untuk hidup kembali. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk kesempatan itu.
Untuk mendapat kesempatan itu, Ann harus membayar dengan kebebasannya. Andai saja, peringatan yang disampaikan oleh Nenek Naode datang lebih cepat, mungkin Ann akan jauh lebih menderita melihat hanya dia yang ditinggal sendirian di tempat yang baru dia kenal selama lima puluh hari lamanya. Perasaan yang tentunya akan terasa lebih sakit daripada luka yang tiba-tiba terbuka kembali karena melangkahi aturan yang telah ditetapkan Sang Penguasa Jagad Tanah Surga. Ia akan merasakan sakit, kecewa, penyesalan, dan ketidakadilan, ketika dirinya hanya dapat melihat rombongan KKN Integrasi meninggalkan Tirtanan dari tapal batas yang telah ditentukan.
"Bagaimana keadaannya?" Itulah yang kuucapkan kepada perawat Ann ketika sampai di Tirtapura. Ann masih belum sadarkan diri setelah 5 jam yang menegangkan berjibaku untuk memegang kembali nyawanya. Ia belum dapat dikirim kembali ke Desa, karena kondisinya yang masih belum stabil. Oleh karena itu, ia masih harus menginap di Tirtapura untuk satu hari. Rombongan dari Tirtanan akan membawanya paling cepat besok pagi.
"Lukanya sudah kembali menutup. Beruntunglah Ann segera mendapatkan pertolongan pertama ...." Itulah jawaban yang kudapat, bersamaan dengan jawaban susulan.
"... tapi dia belum sadarkan diri sejak saat itu."
Aku tentunya masih dapat mengembuskan napas lega untuk sejenak. Namun, semua ini terasa berputar dalam kepalaku. Seolah-olah ada sesuatu yang aneh terjadi hari ini. Mengapa Ann tidak dapat keluar dari Tirtanan? Nenek Naode telah memberikan keterangan, bahwa nyawa Ann terikat dengan Roh Alam Tirtanan. Terikat agar nyawa yang terselamatkan dapat bertahan lebih lama. Aku mengandaikan, bisakah Roh Alam Tirtanan dapat melebarkan jangkauannya? Paling tidak keluar dari Tirtanan? Kenapa Dewa tidak dapat melakukan hal yang bisa dilakukan oleh entitas adikuasa itu? Kenapa tidak ada diskon yang diberikan bagi Ann?
"Aku benar-benar tidak percaya, kalau Ann dapat kehilangan kekuatannya ketika melewati tampal batas antar-dunia." Bahkan Bekti tidak menyangka kalau kekuatan Ann—yang kebal senjata dan racun, serta luka sembuh sendiri dengan cepat—menguap begitu saja.
"Bukan hanya hilang, Bek. Luka fatal yang didapatkannya saat melawan Kah Raman di Hutan Timur pun kembali terbuka," sahutku sembari tertunduk pias.
Lalu, ketika malam mulai merayap di Tirtapura, Nenek Naode mendatangiku dan Bekti yang masih terduduk di samping Ann yang berbaring, menunggunya untuk bangun.
"Rendra ...."
Ia memanggilku. Aku menoleh tanpa minat. Kode-kode yang aku berikan kepada Nenek, memang bisa ditebak dengan tepat olehnya.
"Sepertinya memang kauinginkan penjelasan, Rendra."
Lalu, Nenek Naode mulai bercerita tentang Ann, Anur'Ta si Roh Alam Tirtanan, dan bagaimana dirinya bisa berakhir tetap di Tirtanan.
"Anur'Ta membuat ikatan dengan gadis itu, segera setelah dirinya diserang oleh Kah Raman," ujar Nenek Naode memulai.
"Aku bahkan telah menerawang kalau Ann berada di ambang kematian," tambah Bekti. Clairvoyance sakti miliknya berguna untuk suatu hal yang remeh-temeh memang. Aku sendiri tidak tahu, kesan apa yang harus kuberikan ketika si Pelawak itu mendapatkan kekuatannya. Hanya saja, dirinya memang memiliki tingkatan spiritual yang lebih tinggi, bahkan bila ia tidak berada di Tirtanan sekalipun.
"Dengan Mata Batin yang kauperoleh sewaktu beradai di Hutan Keputusasaan?" Aku melirik Bekti.
Ia mengangguk. "Ya, begitulah. Ketika aku dipaksa untuk keluar dari 'rekaman kehidupannya', saat itulah ia disambut oleh seseorang."
"Yang mana itu adalah Anur'Ta," sambung Nenek Naode.
Aku menanyakan Roh Alam yang bernama aneh ini pada Nenek Naode kemudian.
"Jadi, Anur'Ta ini ... Roh Alam pelindung tanah Tirtanan?"
"Dia adalah salah satu dari Roh Agung yang melindungi Tirtanan. Dialah sang Mahadewi penguasa alam dunia."
"Yang berarti dia adalah dewi tertinggi?"
Nenek Naode menggeleng. "Na'Noi dan Nu'Nai' lah sebagai penguasa segala keadaan dan ketiadaan."
Keadaan dan ketiadaan. Mendengar hal seabstrak itu, kami pun melangkah lebih jauh dalam pembicaraan mengenai kepercayaan Orang-Orang Bersarung. Sepertinya konsep inilah yang mereka pegang sebagai suatu konsep teologi dan mitologi mereka. Dewa-Dewa merupakan konsep yang sudah biasa di kalangan orang-orang dengan spiritualitas tinggi seperti Orang-Orang Bersarung. Meskipun ada proses sinkretisme dari agama yang datang dari luar, sepertinya Orang-Orang Bersarung masih tetap memegang konsep kepercayaan dan kebudayaan mereka. Bahkan, apabila terjadi sinkretisme, konsep mengenai Roh-Roh yang dianggap dewa masih lekat di dalam nadi mereka.
"Uh ... Aku semakin tidak mengerti." Aku memutar-mutar pelan kepalaku.
"Begitu juga aku. Terlalu banyak dewa," tambah Bekti.
"Kenapa Anur'Ta membuat ikatan dengan Ann?"
Nenek menjawabnya dengan, "Orang-orang yang terpilih. Mereka-lah yang dipilih oleh Para Dewa untuk menjadi 'separuh' wakilnya di Bumi."
"Seperti Sae Pangailo?" Setengah alisku terangkat.
Nenek mengangguk. "Sae Pangailo adalah anak dari Roh Alam dan Nio Nandusaer, yang berarti dia juga salah satu wakil Anur'Ta di bumi."
"Dengan kata lain ...," ujarku kemudian.
"... Sae Pangailo dan Ann. Mereka berdua memiliki garis keturunan yang sama?"
Nenek Naode menggeleng. Menolak spekulasiku.
"Tidak? Lantas?"
"Sae Pangailo merupakan manusia yang memiliki separuh 'nyawa' Roh Alam, yang bertugas untuk menjadi wakil para dewa di Bumi, sedari awal. Dia telah diberkati sejak dirinya lahir untuk menjadi jembatan antara orang-orang kami, dengan para Dewa," ujar Nenek Naode.
"Lalu?"
"Ann ... menjadi 'separuh' wakil Anur'Ta karena ... dia memiliki sesuatu yang unik?"
"Unik?" kataku dan Bekti serempak.
"Dia memiliki suatu hal seperti Sae Pangailo, sehingga Anur'Ta meliriknya dan bahkan memberikan aklamasi untuk mengikat dirinya dengan gadis itu."
Nenek Naode mengatakan bahwa Ann memiliki suatu hal yang unik. Hal yang unik, sehingga bahkan para Dewa turun untuk meliriknya, kemudian membuat perjanjian dengannya. Jika yang mengatakan adalah Bekti, mungkin aku hanya akan menganggap itu sebuah candaan pengalih perhatian. Namun, kata-kata Nenek selalu memiliki maksud dan kebanyakan adalah hal yang tersembunyi dari makna yang kami kira. Bagian Ann mana yang dimaksud Nenek sebagai unik? Kepribadiannya? Tingkah-lakunya? Kesetiaannya? Kebaikannya?
"Apa dia akan baik-baik saja?" Akhirnya, aku hanya menanyakan sebuah pertanyaan yang menjurus pada harapan, kepada Nenek Naode.
"Selama dirinya berada di sini, dia akan baik-baik saja," jawabnya.
"Berapa lama sampai dirinya akan sadar?"
Ada jeda yang begitu lama dan sebuah keluh dari Nenek Naode sebelum dia menjawab, "Kita hanya dapat menunggu."
****
52 Hari kami berada di Tirtanan.
Hari tidak ingin menunggu orang-orang. Mereka berjalan terus tanpa memedulikan yang sakit, yang sedih, dan yang mati. Ann telah dibawa ke Tirtanan dan dia masih belum kunjung sadarkan diri. Dia sudah seperti putri tidur yang kena kutuk oleh penyihir jahat. Terkungkung dalam sebuah dunia yang dia tidak kenal, kemudian perlahan mati menyisakan penderitaan.
Dia selalu bertingkah lucu, berkelakuan seperti anak kecil yang menemukan dunia barunya di Tirtanan. Seolah-olah dirinya menemukan taman bermainnya sendiri, tanpa memdulikan ejekan, candaan, dan gunjingan yang bisa saja datang dari mulut kami. Ia seolah-olah memang menginginkan sebuah dunia, di mana dirinya dapat melakukan hal itu dengan bebas. Dunia itu adalah tempat yang kini terikat dengannya. Tanah Para Dewa, dengan penuh mata air yang muncul sebagai anugerah alamnya.
"Mau sampai kapan kau ngaplo seperti orang yang linglung kehilangan sandaran hidup?" Bekti menggunjingku, ketika aku setiap hari hanya melakukan hal-hal yang dapat dibicarakan sebagai 'setengah pengangguran'.
Selama beberapa hari terakhir, aku selalu melakukan rutinitas yang sama. Dari pagi hingga sekitar pukul sepuluh, aku menunggu Ann, kemudian keluar sesekali di beranda sembari melihat para warga desa Tirtanan beraktivitas dengan kebun, sawah, ternak, dan dagangan mereka. Kemudian aku akan kembali menunggui Ann sembari berkontempelasi dari tengah hari hingga petang. Membuat makan malam, hingga kemudian menunggu Ann lagi hingga tiba-tiba aku menemui diriku sudah bangun dan pagi lagi.
"Setidaknya dia tidak mati seperti Ningsih, Rendra," lanjut Bekti.
Aku terkekeh. "Entahlah, seperti segala sesuatu terasai damai di sini, tetapi takdir masih tetap berlaku dengan kejamnya."
"Takdir tidak melihat kondisi geografis dan geososial, Rendra."
****
Aku tidak dapat lepas memikirkan gadis itu. Baru aku kenal satu bulan dengan dirinya dan aku merasakan ada sesuatu yang mengganggu dari dalam pikiranku. Dirinya tidak mau hilang dari kepalaku dan terus menerorku di setiap detik aku bermimpi. Kalau aku dapat mendeskripsikan Ann seperti Bekti yang mendeskripsikan Ningsih Soekarliek, mungkin aku hanya dapat berkata idem.
Ann, aku sering memanggilmu dengan sebutan itu. Kau selalu menyapaku setiap hari, selalu tersenyum, selalu ingin melihatku tersenyum—terlepas aku yang sulit untuk tersenyum—. Ketika kau diterpa masalahmu sendiri, aku seperti ditarik untuk hadir di dalam kehidupanmu. Kau tiba-tiba saja hadir di dalam kehidupanku selama satu setengah bulan ini, seperti memberikan sebuah perbedaan di dalam hari-hariku.
Ann. Gadis itu selalu membuat orang-orang tertawa dan tersenyum dengan tingkah polosnya. Entah berapa kali Tirtanan mencoba untuk melunturkan semangat gadis itu. Terjebak jauh dari rumah, Kah Raman, Perang Besar Kedua. Entah apakah dia sudah kalah dan menyerah untuk tetap bertingkah seperti itu. Ia bahkan ingin melakukan sesuatu untuk orang-orang yang bahkan baru dia kenal, meski harus dibayar dengan nyawa, meski harus dibayar dengan kebebasannya. Aku sendiri berpikir. Mengapa Ann ada di dalam duniaku sekarang? Mengapa dia selalu hadir di setiap kesempatanku? Mengapa aku selalu memikirkannya sekarang?
Dia hanyalah seorang gadis polos, anak terakhir keluarganya yang berantakan. Suatu hari, dia mendekatiku dan mencoba berkenalan dengan diriku yang waktu itu sibuk dengan duniaku sendiri. Dia mungkin kikuk, sedikit penakut, terkadang mudah panik. Dia adalah satu-satunya orang yang tanpa pikir panjang, mengorbankan dirinya untuk orang lain. Ia selalu berusaha untuk berbuat baik dengan orang lain.
Apakah dia seorang bidadari? Apakah kau memang ingin berniat menjadi orang suci? Kau ingin mencoba untuk menolong orang lain semampumu. Kau ingin mencoba untuk mengikuti cara hidup orang-orang yang ada di Tirtanan. Rasanya sangat dekat ketika kau berada dalam satu lingkaran denganku, tetapi rasanya pula aku merasakan kau kini jauh. Kenapa kau masih belum bangun juga, Putri Tidur? Apakah kau ingin bangun kesiangan? Sudah bukan bangun kesiangan lagi tentunya. Kau sudah tidur selama berhari-hari dengan entengnya tanpa memikirkan bagaimana orang yang selalu menunggumu ini mencemaskanmu.
Kenapa rasanya ada yang hilang? Kenapa rasanya ada yang sepi? Kenapa rasanya aku menginginkan ada seseorang yang terus berceloteh hingga membuat telingaku panas? Kenapa rasanya aku ingin membantu seseorang yang sedang kehilangan semangatnya untuk hidup? Kenapa rasanya aku ingin membuat seseorang tersenyum dengan apa yang kulakukan, meski itu hanya sekadar sederhana? Kenapa rasanya aku ingin seseorang mengomeliku, ketika imajinasi orang tersebut kuhancurkan dengan perkataan rasionalku yang dingin? Kenapa rasanya aku ingin membahagiakan seseorang selain ibuku? Kenapa rasanya ada sesuatu yang kurang? Kenapa rasanya setengah badan ini terasa kosong dan terangkat oleh angin?
Kenapa rasanya ...
Tanpa disadari, angin malam Tirtanan pada waktu itu terlalu kejam untuk begadang. Aku bahkan tidak kuat, sampai-sampai menangis.
"Ah, sial. Aku rindu pada Ann ...."
54 Hari kami berada di Tirtanan.
****
Well, aku hanya ingin mencoba mengekspresikan sesuatu ketika aku menulis bab ini. Jujur, selain bab di mana Ann sempat 'mati' pada bab 29, Paprangan Alas Kulon, ini adalah salah satu bab yang meninggalkan perasaan sentimentil saat aku menulisnya.
Terima kasih tetap setia mengikuti, sampai ketemu minggu depan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top