46. Le Roi Est Mort

Setelah satu jam membahas sebuah pertempuran epik yang baru saja terjadi, telik sandi datang membawa pesan. Isinya adalah berita yang mencengangkan. Bahkan banyak orang kehilangan kesan mereka setelah kemenangan Tirtanan atas Prajurit Dharmmadhyaksa, ditambah berhasil memusnahkan B'ruthin dari muka bumi ini.

Elo Naode akan dieksekusi dalam waktu tiga hari ke depan.

"Bahkan setelah kita dapat memenangkan pertempuran dan memecundangi mereka, kita masih kalah satu langkah dengan Adiguna," sahutku sebal.

"Terlepas dari semua itu. Kawan, bagaimana Tirtapura?" Adrian menowel bahuku.

"Puh, kuno," ujarku.

"Kau tidak akan percaya. Kita dikejar-kejar prajurit Tirtapura, lalu ada pasukan elit kerajaan yang ternyata perempuan semua! Lalu kita melancong di kota kuno Tirtapura, digoyang-goyang dengan kapal di tengah badai dan kejaran armada Kerajaan Tirtapura! Uwaah, itu sungguh ... melelahkan," pungkas Rendra antiklimaks.

"Bagaimana Annelies?" tanyaku.

"Dia masih beristirahat. Sepertinya kekuatan 'Sejuta Pedang Terbang Melayang' yang dia dapatkan bukan sesuatu yang dapat diremehkan," ujar Rendra.

"Terlebih lagi. Sekarang, kita harus mencari cara untuk menyelamatkan Elo Naode. Kita tidak dapat membiarkan Adiguna bertindak lebih jauh. Kita sudah memenangkan pertempuran di Tirtanan. Apakah kini kita waktunya untuk menyerbu?" tanya Adrian menengahi.

"Mungkin kita harus menunggu hingga mereka selesai membereskan sisa-sisa peperangan. Para warga masih belum pulih sepenuhnya, setelah pertempuran yang melelahkan sore ini. Kita harus menunggu persetujuan dari para tetua adat Kaum Orang Bersarung dan beberapa Rukun Warga di Tirtanan," sergah Ferdyan.

Pergumulan konflik yang dimenangkan oleh Tirtanan itu memang harus dibayar dengan hilangnya nyawa-nyawa kesatria yang turun di medan pertempuran. Rumah-rumah berantakan, sawah dan kebun rusak karena pertempuran, juga jasad-jasad korban dari kedua belah pihak harus segera diurus atau akan terjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan menimpa Tirtanan. Adat Kaum Bersarung itu pun yang menjadi pilihan. Jasad-jasad itu akan dimasukkan ke dalam peti atau diikat dengan pemberat, untuk nantinya diceburkan ke dasar laut. Pemakaman Kaum Bersarung memang terkadang begitu. Semua jasad itu ditenggelamkan di dasar laut Selatan. Apakah itu pengorbanan atau itu adalah sebagai bentuk persembahan kepada Roh Badai, biarlah itu yang menjadi urusan mereka.

Empat belas orang gugur dalam mempertahankan Tirtanan. Mereka yang tidak mengikuti adat Kaum Bersarung, memutuskan untuk memakamkan jasad-jasad warga Tirtanan di pemakaman sebelah Barat Laut desa Tirtanan. Hal ini menambah duka, kehilangan yang mendalam atas mereka yang ditinggalkan. Putri Sitaresmi bersedih semalaman karena kehilangan patih dan mentor yang selama ini telah membesarkannya, bukan hanya sebagai tuan putri saja, tetapi juga sebagai seorang kesatria yang dapat mempertahankan tanah airnya.

Tirtanan telah mengalami banyak ujian dalam mempertahankan kedamaiannya. Kedamaian mereka terusik oleh para birokrat dan feodal licik, yang meninginkan adanya kuasa lebih atas tanah yang telah dibagi sama rata oleh Para Dewa di tanah ini. Ada yang ingin balas dendam, ada yang ingin tahta, ada yang ingin menguasai Jagad Tanah yang Diberkati ini. Lucunya, aku mengasumsikan seandainya ada kebencian di antara para warga Tirtanan, seharusnya mereka akan menyalahkan semuanya kepada kami yang baru satu bulan berada di Tirtanan. Kami membawa perubahan yang signifikan, berdampak pada dinamika yang terjadi di tempat ini. Otomatis sisi gelap manusia akan mengatakan kami 'membawa petaka' bagi Tirtanan.

Aku menoleh memerhatikan para delegasi Tirtanan. Adrian dan Ferdyan, telah jungkir balik, memeras otak hingga wajah mereka kuyu untuk bernegosiasi dengan penguasa licik Adiguna dan si 'Sengkuni' B'ruthin. Wajah kuyu dan lelah juga menghantui para delegasi lain, seperti Pak Baek, Bu Utari, Prof. Abram, dan Kades Kusno. Aku, juga mungkin Rendra, menginginkan sebuah kejelasan dari usaha Prof. Abram, terkait dengan cerita Raja Wijayatirta kepada kami. Benarkah Prof. Abram merencanakan kami agar tersesat, lalu menghuni Tirtanan? Apakah asumsi itu benar?

Aku kemudian menengok, memerhatikan orang-orang yang ada di kelompokku. Rendra, yang paling mengalami perubahan psikologis secara signifikan, setelah banyaknya fakta ditelannya mentah-mentah, berdampak pada perubahan perilaku dan cara berpikirnya. Ia kini dibebani pada pemikiran, bahwa dia adalah Penjaga Tanah Ini, sebuah pekerjaan warisan yang dimiliki oleh ayahnya. Tidak punya pilihan lain, akhirnya ia harus menerimanya, karena ini berkaitan tentang keterikatannya kepada Tirtanan.

Lalu, aku memerhatikan di sekeliling. Ronny yang lelah setelah pertempuran itu, tidak peduli pada berapa orang yang telah ia tumpahkan nyawanya semasa 36 hari kami berada di Tirtanan. Bethlehem yang menangis ketakutan karena baru melihat medan pertempuran. Kei yang tampak kuyu setelah pontang-panting mengatur di garis belakang. Auriga yang tampak cemas dengan wajah feminimnya. Firdya yang gembira sembari membualkan pengalamannya membanting setir kapal. Griselda yang terlihat shock karena terlalu banyak warga yang tidak dapat ia selamatkan, saat teror Kah Raman dan Pertempuran sore tadi. Al yang terus bergeming, tidak ingin bicara dengan sesekali tubuh yang menggigil. Juga para perempuan, yang ketakutan, menangis ingin minta pulang, dan mengeluh dengan segala yang terjadi karena tidak tahannya mental mereka dengan krisis ini.

****

37 Hari kami berada di Tirtanan.

Tidak sengaja aku terlibat pembicaraan antara Rendra dan Prof. Abram pagi itu. Saat semua orang masih tertidur pulas karena kelelahan pasca pertempuran kemarin. Aku tidak yakin apakah kondisi kemarin bisa disebut sebagai pertempuran. Siapa yang melawan siapa di sini? Kami tetap Kelompok KKN Integrasi yang tersesat di tanah misterius Tirtanan.

"Saya punya banyak sekali pertanyaan, Prof. Namun, menurut asumsiku, cukup dua pertanyaan saja ... bagiku sudah cukup. Kenapa Profesor Abram dengan sengaja membawa kami ke Tirtanan? Lalu, bagaimana keluargaku bisa terjebak dalam ruang lingkup pekerjaan yang diturunkan dari generasi ke generasi ini, Penjaga Tanah Dewa?" ujar Rendra menanyakan.

Tidak ada reaksi penolakan dari Prof. Abram. Beliau malah menghela napas panjang, sebelum akhirnya angkat bicara.

"Kedua pertanyaanmu itu ada hubungannya. Tahun 1990, adalah dimulainya ekspedisi pertama. Kami bahkan tidak menyangka kalau ini adalah ekspedisi. Kejadiannya hampir sama seperti kalian. Namun, itu tidak disengaja. Itu adalah kecelakaan. Waktu itu bus yang kami tumpangi tergelincir ke jurang. Hanya delapan dari dua puluh lima orang yang selamat dan kami menemukan Tirtanan. Waktu itu adalah ketidaksengajaan kami menemukan suatu tempat, di mana mereka hidup sangat terselubung, dengan macam-macam kebudayaan dan generasi," ujar Prof. Abram mulai bercerita.

"Lalu, salah satu anggota ekspedisi itu adalah ibuku?" tanya Rendra.

Prof. Abram mengangguk, lalu berujar, "Secara teknis, kami adalah kelompok Kuliah Lapang yang hanya ditugaskan keluar dalam kurun waktu 2 pekan. Namun, kami terjebak di Tirtanan selama berbulan-bulan. Selama itu, aku dan tujuh orang selamat dari kecelakaan itu. Lalu ibumu bertemu dengan Surbakti. Mereka menikah di Tirtanan dan kaupernah tinggal di sini selama beberapa pekan, sebelum akhirnya kami mendapatkan jalan keluar dari Raja Wijayatirta."

Prof. Abram berhenti sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya.

"Aku dan beberapa rekan kelompok Kuliah Lapang ini akhirnya mempelajari bagaimana mengenai segala hal tentang Tirtanan. Orang-orang di sini sangat ramah dan saling membantu. Mereka masa bodoh dengan agama, kepercayaan, ras, suku bangsa, dan warna kulit mereka. Mereka saling belajar dengan keberagaman ini. Sangat jarang ada kriminalitas di tempat ini. Semua orang bergerak dalam damai. Aku mulai berpikir apakah kami sudah berada di surga? Apakah ini Utopia yang dimaksud?" lanjut Prof. Abram.

"Ayahmu berasal dari Tirtanan. Dia adalah Penjaga Tanah Ini, sehingga ia terikat dengan tugasnya untuk menjaga orang-orang Tirtanan, selepas Kepala Suku terakhir Orang-Orang Bersarung meninggal kelak. Kepala Suku di sini adalah turunan dari orang-orang yang membuka lahan. Namun, mereka juga memiliki sejarah keluarga yang murni untuk menaskan diri mereka menjadi penyeimbang bagi kedamaian orang-orang di sini. Karena itulah, Kepala Suku Kaum Bersarung merupakan orang tertinggi di tanah ini. Bahkan Raja Tirtapura atau seluruh ketua kelompok, menghormati mereka sebagai Sang Pembijak, Sang Penengah," pungkas Prof. Abram.

"Saya memiliki asumsi, apakah tujuan Anda untuk mengirim kami ke Tirtanan, agar saya bisa di sini? Kembali terikat pada pekerjaan yang membelenggu ini?" sahut Rendra.

Prof. Abram mendengus, sebelum menjawab, "Ya. Ada dua alasan. Pertama, adalah untuk mengenalkanmu kepada Tirtanan, tanah kelahiranmu. Kau pun harus mempelajari seluk beluk mengenai manusia yang ada di sini. Kedua, seperti yang telah kausebutkan tadi."

"Hah? Jika begitu caranya, kenapa kaulibatkan kami juga, Prof!? Apakah ini disengaja??" Akhirnya aku keluar dari tempat mengupingku, gatal untuk tidak melempar pertanyaan. Rendra dan Prof. Abram tampak terkejut sebentar melihat kemunculanku di sini.

"Hmm ... sejak kapan kau menguping pembicaraan kami, Bekti," keluh Prof. Abram. Namun, sebentar lagi aku dapat mengetahui apakah motif sebenarnya Prof. Abram.

"Hmm ... bagaimana ya. Sejatinya perjalanan ke sini tidaklah murah. Aku beruntung dapat mengajak Rendra untuk ke tanah ini, dengan alasan statusnya sebagai Tanah Para Dewa. Khusus untuk kalian, aku menginginkan kalian melihat cara pandang berbeda di dunia yang sudah penuh kemunafikan dan ketololan ini. Orang-orang di luar, sudah banyak yang terkena psikosis kolektif, sakit mental secara massal karena kebodohan-kebodohan mereka yang terbungkus dalam isu-isu konflik horizontal yang ditarik ke ranah permainan politik. Khusus untuk saya sendiri, ada alasan untuk membuat ekspedisi ini dibalut dengan Kuliah Kerja Nyata. Mereka sudah berjasa dalam membuat diriku untuk naik menjadi Profesor dengan paradigma mereka. Kini, aku akan lindungi sebisa mungkin tanah ini dengan caraku sendiri," pungkas Prof. Abram.

"Dengan kata lain, Anda sengaja untuk memonopoli beberapa program Kuliah Kerja Nyata, demi menyelubungi niat asli Anda untuk merencanakan ekspedisi ke Tirtanan. Kalau sampai ekspedisi ini tercium oleh birokrat kampus dan orang luar, maka dampaknya akan luar biasa," tambah Rendra. Prof. Abram tersenyum seraya mengangguk.

"Birokrat kampus, elit politik, pemegang saham, investor, konglomerat, pejabat di ranah politik dan militer. Bahkan aku merahasiakan hal ini dari para akademisi dan riset-riset yang diboncengi oleh kekuatan elit korporat atau ... memang riset yang diboncengi oleh kekuatan politik tertentu. Tirtanan tetap terjaga kerahasiaannya. Orang luar hanya akan menganggap ini sebagai bahan mentah bagi berita-berita pemicu, seperti ... sekelompok mahasiswa yang tersesat di alam gaib?" ujarnya.

"Namun, bukankah, tujuh orang dari ekspedisi pertama, Prof. Abram, bahkan ayahanda Rendra pernah keluar dari Tirtanan? Bagamana Profesor bisa yakin, kalau mereka tidak akan berkicau di luar setelah kejadian itu?" tukasku.

Profesor terkekeh, sebelum akhirnya menjawab, "Kata siapa semua orang keluar Tirtanan. Hmm ... Nak Bekti, apakah kau terlalu terlena dengan kehidupan di Tirtanan, sehingga kau tidak mengamati secara detail apa yang ada di sekitarmu?"

Tunggu.

Mungkinkah ....

Aku berusaha mengingat kembali seluruh memori selama aku berada di Tirtanan, hingga aku sadar, aku telah melewatkan sesuatu yang detail sesuai kata Profesor. Mereka ada di Tirtanan, tetapi aku ... tidak, bahkan hampir semua orang-orang di kelompok kami tidak sadar. Ah ... Profesor ini licik sekali.

"Well, Anda memberikan banyak kejutan, Prof. Sekarang ... giliran kami yang akan beraksi. Kami akan menyelamatkan Nenek Ketua dan menggulingkan Adiguna dalam waktu satu hari. Hal yang sangat ahli dilakukan oleh para mahasiswa ... hmm ... bahkan, mungkin ini adalah spesialis bagi para mahasiswa." Rendra pun menyeringai.

Prof. Abram mengerutkan kening, lalu tiba-tiba terkejut seraya berkata, "Rendra ... jangan bilang ...."

"Tepat empat puluh hari kami di Tirtanan, Revolusi akan bergejolak di Tirtapura. Ayoh, Bek. Waktunya mendiskusikan rencana dengan yang lain."

****

 Silakan duduk manis dan siapkan makanan. Secangkir minuman juga kalau perlu.

  Sudah?  

Akan aku deskripsikan, bagaimana kami memantik sebuah gejolak perubahan di Tirtapura. Kami menggulingkan kekuasaan Adiguna dalam waktu setengah hari, dari dalam. Kami mengancurkan dia dari dalam, perlahan, keji, dan yang pasti adalah penuh intrik berdarah.

Kami telah susun rencana ini dalam waktu 18 jam di Tirtanan, bersama para delegasi Tirtanan, rukun warga, tetua Kaum Bersarung, serta dari mahasiswa sendiri. Rencana yang berasal dari hasil memata-matai di Tirtapura beberapa hari lalu. Bahkan ini didukung oleh Raja Wijayatirta. Sitaresmi tidak menunjukkan penolakan, bahkan dia bersedia untuk membantu.

Jadi.

Mari kita mulai acaranya.

Kami menghambat Adiguna, dari rakyatnya yang marah. Kami menyebarkan desas-desus melalui telik sandi dan beberapa orang kepada masyarakat Tirtapura. Kami membobol data mengenai penimbunan pajak yang dilakukan oleh Adiguna, serta beberapa kasus orang-orang yang dieksekusi karena melanggar perintah Adiguna, melalui inkuisisi Dharmmadhyaksa. Kami menebarkan beberapa rahasia, agar masyarakat Tirtapura membenci Adiguna. Ditambah bumbu-bumbu isu Adiguna yang suka pesta, main wanita, bermain judi, bergelimang kemewahan dan meninggalkan rakyat yang tertindas. Ketika orang lapar, mereka mudah marah dan terprovokasi.

Kami melemahkan kekuatan tempur Tirtapura. Kami menyebarkan berita bahwa Patih Cakrawiraman telah dibunuh oleh B'ruthin yang berkonspirasi dengan Adiguna. Kami tahu, militer terbelah dua, sisi Adiguna dan sisi Cakrawiraman. Sehingga, para pejabat dan entitas militer yang memihak Cakrawiraman, akan geram dengan kematian Patih mereka, membuat mereka dengan mudah untuk ditarik bergabung menjadi bagian dari revolusi.

Kami juga mengirimkan berita mengenai pembantaian yang dilakukan oleh B'ruthin kepada para Bhayangkara di bawah pimpinan Cakrawiraman. Membuat para orangtua yang ditinggalkan anaknya mati di garis depan, membuat para rekan-rekan prajurit yang ditinggalkan, untuk melimpahkan kemurkaan mereka kepada Adiguna. Memanfaatkan kematian untuk menjadikannya sebagai ajang balas dendam ... kepada tirani yang keji.

Kami memberikan rakyat kemarahan, kami juga yang memfasilitasinya. Kami memberi mereka senjata. Tidak tanggung-tanggung. Lisbeth berinvestasi untuk mengeluarkan senjata di dalam gudang senjata di dalam markasnya untuk membantu rakyat yang sedang marah ini. Mempersenjatai kaum cilik. Revolusi ini harus berjalan dengan sebuah daya yang besar, sehingga ketika meletus, pihak dari penguasa akan kewalahan, sehingga berujung pada hancurnya pemerintah yang lalim.

Kami melemahkan pertahanan Tirtapura. Dengan niat balas dendam, kami meminta untuk beberapa pejabat militer yang telah berpihak pada kaum revolusionis, agar melemahkan penjagaan di gerbang dan alun-alun pada saat Elo Naode akan dieksekusi. Kami bermain dengan sangat lembut, sehingga Adiguna tidak akan curiga ada pergerakan dari dalam yang perlahan akan menggulingkannya. Adiguna berpikir, Tirtanan masih belum pulih dari pertempuran besar yang hampir menghancurkan Tirtanan, lalai ketika ia bisa saja dibokong sewaktu-waktu.

Kami juga menyabotase beberapa gudang senjata Tirtapura. Mengiris sedikit tali busur mereka, melonggarkan baut senapan mereka. Mengambil beberapa senjata. Sehingga mereka akan kelabakan ketika senjata mereka sudah pretel satu per satu dengan sendirinya.

D-Day. 40 Hari kami berada di Tirtanan.

Eksekusi akan dilaksanakan tengah hari di Alun-Alun Tirtapura. Tempat yang sempurna untuk memantik sebuah pertikaian. Hukuman eksekusi bakar yang akan dilakukan kepada Elo Naode telah disiapkan dari pagi hari. Semua di Tirtapura tampak damai dan tenang. Namun, perlahan suasana itu akan tergantikan dengan sebuah ketegangan yang memuncak dengan cepat, berakhir dengan sebuah perjuangan dalam mengalahkan Adiguna, sang tirani dari semua ini.

Eksekusi tersebut akan dihadiri oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Yang pasti golongan yang memihak Adiguna akan datang pada acara eksekusi itu. Mereka yakin, dengan dieksekusinya Kepala Suku Kaum Orang Bersarung, akan mengawali kejayaan Tirtapura baru dalam menggenggam seluruh wilayah Tanah yang Diberkati. Beberapa warga juga akan datang untuk melihat eksekusi tersebut. Para pengawal istana dan orang-orang militer yang memihak Adiguna juga akan datang untuk mengamankan jalannya eksekusi.

Namun, di sisi lain, orang-orang yang menginginkan revolusi meletus juga telah mempersiapkan diri. Dimulai dengan beberapa aksi long march di daerah Utara dan di daerah gerbang utama Tirtapura. Di daerah Utara, para warga Tirtapura yang menginginkan Adiguna turun karena memberatkan mereka dengan pajak telah berkumpul bersama para ibu yang kehilangan anak dan suami mereka yang dibunuh oleh para prajurit Dharmmadhyaksa. Mereka membawa celurit, cangkul, sabit, palu, pisau dan beberapa hal lain, berdemo di sepanjang jalan utara Tirtapura.

Di gerbang utara, para demonstran yang terdiri dari seluruh orang-orang bersarung, berbondong-bondong ingin memasuki wilayah Tirtapura, menuntut dibebaskannya Elo Naode dari eksekusi. Tentu, pihak Tirtapura berpikir kalau hal ini akan terjadi dan sudah siap dengan kemarahan Suku Kaum Bersarung. Sayangnya, baik massa yang berdemo di Utara maupun di Gerbang Utama Jalur Timur, keduanya telah didekengi oleh kami para mahasiswa, juga pamong-pamong yang menyusup, serta anggota mafia yang. Kami bersiap jika memang terjadi pertikaian dan pertumpahan darah. Kami melawan dengan segerombolan massa yang marah dan haus darah.

Hingga, ketika para komandan memerintahkan untuk membentuk barisan dan menembaki demonstran yang kesabarannya berada di ujung tanduk, bawahan-bawahan mereka malah menembaki para komandan dan melakukan desersi dengan membiarkan demonstran memasuki ibukota. Mereka berbalik melawan perintah dan ikut memuluskan jalan dari kumpulan orang-orang yang marah ini. Sangat sederhana, tugas yang dilakukan oleh para prajurit yang bersetia kepada orang-orang revolusionaris, adalah dengan mengamankan jalannya revolusi itu sendiri.

Para Bhayangkari, dengan senjata mereka, melumpuhkan beberapa penembak jitu yang ditugaskan di tempat tinggi. Memastikan tidak ada lalat yang mengganggu. Para mafia bergerak untuk menyabotase dan menghambat ruang gerak pasukan pro Adiguna dan Dharmmadhyaksa agar mereka tidak dapat intervensi kepada barisan long march. Lalu, aku, Rendra, dan beberapa orang lainnya, kini bersama turun ke jalan. Membakar kemarahan gerombolan rakyat yang marah untuk bersama menuju alun-alun. Mencengangkan seluruh muka para birokrat tiran yang feodalis itu. Juga menggosokkan kekalahan, tepat di depan muka Adiguna sendiri.

Kami dengan lancar berbaris. Ketika ada penembak jitu yang berusaha menjatuhkan kami, para Bhayangkari telah mengurusnya terlebih dahulu. Kami dikawal oleh para pamong bantuan dari Tirtanan, juga para prajurit Tirtapura yang memihak revolusionaris. Kami melenggang menuju alun-alun, lalu melancarkan kerusuhan, menguasai petak tanah lapang itu.

Revolusi telah terjadi.

"Rendra! Bekti! Apa yang terjadi!" Nai menyambut kami dengan keheranan.

"Sudah kubilang, kami akan melepaskan Nenek Ketua," bualku sembari terkekeh.

"Oi! Rendra! Alun-alun sudah dikuasai! Gerbang sudah dikuasai! Beberapa orang pro Adiguna telah tertangkap! Kita berhasil menguasai tiga per empat ibukota! Adiguna mundur ke istana!" sahut Adrian.

"Bagus! Kita selesaikan semua ini," tegas Rendra.

Lalu aku, Rendra, Sitaresmi, Wijayatirta, beberapa Bhayangkari, Lisbeth dan anak buah mafia Tomassi melenggang, bergerak menuju istana. Garda depan telah dibobol, sehingga kami bisa masuk dengan mudah.

Di dalam altar istana, kami akhirnya menemui Adiguna yang dijaga oleh barisan Dharmmadhyaksa Bhayangkara. Lihat, betapa kuyu ketakutan dirinya melihat kami muncul dari balik pintu istana. Ia bahkan bereaksi ketika melihat Wijayatirta, ayahnya sendiri, muncul di antara kami.

"Adiguna!" Laung Wijayatirta, menggema di altar istana.

"A-apa yang kau rencanakan, Ayahanda!? Kau ingin anakmu turun dari tahta??" sahut Adiguna.

"Yang akan menurunkanmu dari tahta, adalah anak-anak ini! Turunlah atau kau tidak terampuni oleh mereka," ujar Wijayatirta.

"K-kurang ajar! Woy, serang mereka!" perintah Adiguna kepada prajurit elit Dharmmadhyaksa. Namun, mereka tumbang di tangan senjata senapan modern milik para mafia Tomassi. Kini, hanya Adiguna seorang yang berada di altar istana itu.

"Cih! Beraninya kalian main keroyokan! Ayoh! Sini! Lawan aku!" Adiguna hendak mencabut kerisnya, tetapi Rendra melangkah dengan cepat dan menghunuskan goloknya tepat di depan leher Adiguna.

"Aku tidak peduli, meski kau titisan dewa mana. Aku akan membunuhmu, atas semua tindakan yang telah kaulakukan pada seluruh warga di Tirtanan dan Tirtapura," ujar Rendra sembari menatap Adiguna nanar.

"K-kau ...." Adiguna terbata-bata.

"Kaubisa lari sejauh yang kaumampu. Namun, ke mana pun kau melangkah, kami akan mengikutimu. Kami dapat menemukanmu di mana pun kau bersembunyi," ancam Rendra. Adiguna yang ketakutan, melarikan diri lewat jalan belakang.

Adiguna telah kabur. Tahta pun kembali ke tangan Wijayatirta. Seluruh manusia yang ada di Tanah yang Diberkati hari itu merayakan sebuah kemenangan. Kemenangan dari tangan tirani, dari tangan iblis penguasa yang lalim. Mereka merayakan kembali pencapaian kedamaian mereka, antargenerasi, antarsuku, dan antarbudaya.

"Yang Terhormat, Kepala Suku Elo Naode. Hamba senang dapat melihatmu selamat," ucap Wijayatirta, ketika betemu di atas altar istana.

"Wijayatirta, yang lebih penting adalah kau. Kaulah yang harus menjadi pemimpin bagi rakyatmu kelak. Masa depan menantimu sebagai tantangan terbesar. Syukurlah, kau dan putrimu selamat," balas Elo Naode.

"Jadi ... inikah ramalan yang engkau ceritakan, Yang Terhormat?" tanya Wijayatirta.

"Iya." Satu jawaban singkat, disertai senyum dan anggukan kepala oleh Elo Naode. Hari itu menandai berakhirnya penggulingan kekuasaan Adiguna.

****

Malam digantungi oleh purnama. Seketika seluruh awan mendung itu lenyap di langit Tirtanan. Tirtanan masih sepi karena mayoritas penduduk masih bersua dalam kemenangan perebutan kembali Tirtapura dan kembalinya tahtanya Wijayatirta. Beberapa pamong berpatroli di jalanan sepi Tirtanan.

Pria itu tengah terkatung-katung, karena menghindari kejaran dua orang pemangsa yang sedang menumpahkan kebenciannya, atas apa yang telah pria itu perbuat. Dengan napas yang kembang-kempis, sang pangeran Adiguna tunggang-langgang sembari menjerit-jerit ketakutan melihat adiknya, mengejarnya. Ia sudah mendapatkan dua bogem mentah dan dua kali tendangan di dada oleh si adik. Seluruh kekesalannya memuncak kepada kepala perempuan yang kini tengah mengejarnya di puncak bukit berbatu.

"Tu-tunggu! Kumohon hentikaan!" Adiguna menjerit sembari mengangkat kedua tangannya. Memohon ampunan. Tubuhnya telah terluka dan kakinya terseok-seok pincang karena sempat ditembak oleh Sitaresmi.

Aku dan Sitaresmi mendekati Adiguna dengan perlahan. Tuan putri itu mengokang Astrabajra-nya, seraya menodongkan moncong senjata itu ke arah Adiguna.

"Kau sudah menyebabkan banyak penderitaan bagi seluruh manusia di Tirtanan. Kau akan merasakan akibatnya kelak," ujarku datar seraya menatap Adiguna nanar.

"Ti-tidaak! Tolong! Berikan aku pengampunan!? Putri! Adikku!" hiba Adiguna, di mana tangan dan kakinya sudah tidak hendaya lagi setelah pengejaran itu. Sita hanya menatap Adiguna datar.

"Kau bunuh semua orang yang tidak bersalah. Kausiksa prajuritku."

"Maaaf! Maaaf!" Adiguna menhiba sedemikian jeleknya hingga liurnya bercampur air matanya.

"Akhiri penderitaannya. Namun, tahanlah semua ego. Jangan hakimi jasadnya ...," bisikku. Sita menjilat jempolnya, kemudian mengelapnya ke ujung moncong Astrabajra, lalu membidik ke arah Adiguna yang berlutut.

"Paringana ingkang becik kamulyaan, paringana ingkang ala sengsara."

Dor!

Adiguna terkulai lemah. Aku meninggalkan Sitaresmi yang mash berdiri di depan jasad kakaknya.

Kemudian, sang putri tidak kuasa menahan murkanya. Meledaklah jeritan tangisnya, seraya menembak jasad Adiguna membabi buta, hingga seluruh peluru senjatanya habis tidak bersisa. Keesokan harinya, jasad Adiguna ditemukan tergantung di tengah Alun-Alun Tirtapura.

Ini adalah kekejaman Tirtanan yang sebenarnya.

**** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top