45. Pertempuran Tanah Surga
"Hoi ... jelaskan," ucapku datar. Para warga menenteng senapan angin mereka untuk diletuskan kepada rentetan kaleng-kaleng besi reyot yang berjalan menuju barikade itu. Yang menyeramkan adalah, ketika mereka mengangkat senjata, kami harus merunduk dari balik barikade, karena mereka menembakkan senjata yang sama.
"Jelaskan! Bagaimana mereka bisa membuat hal-hal seperti itu!?" Aku sudah tidak tahan lagi, kemudian malah mengomel kepada Sitaresmi. Sita—begitulah dia kini kupanggil—hanya memberengut sembari menatapku aneh.
"Kau sudah kena penyakit gila, ya?" sungut Sita.
"Baju besi itu!? Bagaimana kalian bisa mendapatkan baju besi seperti itu!? Dari mana!? Gaya Eropa, lagi! Ah ... tunggu, sepertinya itu adalah percampuran antara gaya Asia Tenggara dengan abad pertengahan Eropa ... tetapi bagaimana!?" sentakku.
"Aku tidak tahu!!? Kami belajar dari para orang-orang Eropa itu!"
"Hmm ... sepertinya kini aku dapatkan pencerahan sedikit," sahutku.
"Apa itu?" Sita mengernyitkan keningnya.
Aku menghela napas, seraya berseru, "Asimilasi kebudayaan. Kalian belajar cara membuat baju zirah dari lempengan besi yang merupakan gaya khas Eropa, kemudian diterapkan dengan sedikit sentuhan kearifan lokal Jawa. Bagus, kini bangsamu menciptakan mesin pembunuh!"
"Heey, itu B'ruthin, bukan aku!" elak Sita.
Ini adalah pertempuran yang mencekam. Sangat. Secara teknis, senapan angin ini tidak sekuat senapan dengan peluru tajam atau senapan api. Kemampuannya untuk menembus baju zirah milik prajurit elit B'ruthin sangat sulit diandalkan. Apalagi, kini pasukan elitnya juga bisa menggunakan senapan. Kami harus sangat berhati-hati, karena sekali tembak, nyawa jadi taruhannya. Pertempuran ini menggunakan paradgima zaman pertempuran dua dimensi. Menembak dengan formasi baris dan komando. Apa ini? Zaman pertengahan? Menembak dengan sistem volley begitu? Namun, kenapa kini kami yang malah terdesak?
Seusai Rendra mengacungkan goloknya, yang menandakan bahwa dia adalah Penjaga Tanah Ini—Protector of This Land—maka dengan segera, semua orang akan menjalankan perintahnya, karena secara teknis, dia adalah wakil Elo Naode, jika Nenek Ketua itu tidak ada. Semua orang terkejut, terkagum, terheran ketika Rendra mengangkat golok legendaris yang jarang dibicarakan di Tirtanan selama ini. Itu adalah golok Penjaga Tanah Ini, orang keturunan Sae Pangailo, yang bertugas untuk membantu menjaga stabilitas di tanah Tirtanan.
Seluruh bedil ditembakkan. Orang-Orang Bersarung melaju dengan kuda-kuda mereka, mencoba untuk mengalahkan barisan rapat pertahanan pasukan B'ruthin. Namun, infanteri kelas berat itu cukup tangguh untuk membendung serangan dari kavaleri Orang-Orang Bersarung. Mereka berusaha menombak, membedil, atau menjatuhkan pasukan tersebut, tetapi mereka sendiri juga kesulitan, ketika Pasukan B'ruthin tidak mudah untuk dijatuhkan.
Sawah dan jalan besar menjadi arena pertempuran. begitu juga dengan desa daerah Timur. Beberapa asap terlihat masih mengepul dari rumah-rumah yang terbakar. Mereka menyerbu melalui dua arah. Pertama dari sawah tempat daerah kantung para prajurit Tirtapura. Kedua, dari arah kampung sebelah Timur.
"Sebenarnya apa yang kita lawan!? Kenapa sulit sekali menjatuhkan robot-robot kalengan itu!?" sungutku.
"Kita bertempur dengan cara lama, Bekti. Ini paradigma peperangan era kavaleri, di mana peperangannya masih berkisar dengan sistem menembak dari barisan. Setidaknya mereka lebih pintar dari orang-orang Sekte Kah Raman! Mereka punya senjata! Senjata seperti ini sulit untuk menembus pelat besi seperti itu! Kita butuh peluru tajam!" jelas Ronny.
"Yamada!" Yamaguchi-san memberikan sinyal bendera. Yamada-san dan beberapa kelompok pasukannya pun mencoba menyerang dari arah Utara.
"Demi Klan Mizu! Demi Tirtanan! Urraaaa!" Teriakan Yamada-san seraya menghunus katana-nya, mencoba menyerang pasukan B'ruthin dengan memanfaatkan efek kejutan. Kami memancing pasukan B'ruthin yang menyerang dari arah desa, untuk terus berfokus pada serangan dari arah barikade, kemudian Yamada-san dan para kelompok samurai lainnya akan menusuk dari belakang. Namun, tampaknya itu bukan serangan yang cukup untuk memukul mundur para pasukan B'ruthin. Yamada-san kehilangan efek kejutan dan kini malah bertempur sengit dengan pasukan B'ruthin.
Lalu, kemana anak koplak yang tadi dengan seenak jidatnya memutuskan sendiri untuk memecahkan peperangan?
"Ke mana, Rendra?" tanyaku.
"Itu!" Sita menunjuk ke arah pasukan yang maju untuk ikut menyerbu Pasukan B'ruthin yang menyerang sisi selatan. Astaga, kenapa dia dengan seenak udel-nya maju dengan modal bondo nekat seperti itu? Namun, aku terkagum dengan Rendra, ketika ia seperti kesurupan jin perang, lalu bertempur layaknya prajurit sakti di medan pertempuran berdarah. Gaya bertarungnya, caranya memegang golok dan berkelit dari serangan musuh. Benarkah Rendra punya ilmu tarung jarak pendek? Bukankah dia selalu terlihat letoy dan lempeng selama ini?
Aku berdiri membatu.
"Jaga barikade! Jangan sampai mereka lolos!" komando Mayor Delberg.
"Oi, Bekti! Jangan meleng!" Ronny berlari dari belakang dan menepuk pundakku keras-keras. Ia berlari sembari menenteng sebuah senapan semi-otomatis milik para mafia.
"A ... ah, iya!"
Aku sendiri kini terpana di tengah kemelut perang. Orang-orang saling pukul, saling tembak, saling tebas. Jeritan-jeritan kesakitan, jeritan kematian, teriakan komando yang menggema, erangan prajurit yang berlari sembari meneriakan "Uraaaa!" membuat bulu kuduk merinding. Inikah medan tempur?
Lucu sekali. Aku ikut bertempur untuk menyerbu markas Kah Raman waktu di Hutan Timur dengan tanpa gentar. Malah aku berada di barisan depan, bertempur dengan Kah Raman, lalu membantu untuk mengalahkannya. Namun, kenapa sekarang aku malah tertawa sedih dan badanku tidak bisa bergerak? Tanganku yang memegang senapan angin pun tergetar, ketika melihat horor di depan mata. Orang tergeletak setelah ditembak, darah di mana-mana, orang mati, orang menjerit kesakitan. Bahkan Rendra yang terkesan lempeng dan lembek, kini berada di garis depan. Bertarung layaknya ketua geng yang menghajar musuhnya.
Lalu, bagaimana denganku? Apakah aku ini hanya orang yang sok kuat untuk tampil di mata teman-temanku? Apakah aku takut pada pertempuran seperti ini?
"Bekti!" Suara Sita menyadarkanku dari lamunan. Namun, aku masih tergagap. Bahkan aku terkekeh sedih.
"Haha ... pertempuran ... inikah medan perang?" Tangan dan kakiku terasa lemas dan gemetar. Aku benar-benar tidak kuat! Sejenak aku akan ambruk, hingga yang tidak dapat kuprediksikan selanjutnya, adalah wajah Sita yang terus mendekatiku.
Lalu, bibir kita bertemu.
Untuk sepersekian detik, aku linglung, lalu seperti disambar petir dan merinding.
"Kita maju, petarung!" Sita lantas tersenyum seraya menelengkan kepalanya, menyuruhku untuk mengikutinya.
Aku tidak begitu mengerti bagaimana perasaan ini dideskripsikan. Kaget, senang, nyaman, kemudian terasa tenaga terisi kembali. Tangan dan kakiku tidak bergetar lagi. Semua bercampur menjadi satu.
"Ayo! Pasukanku sudah menunggu!" Sita mengibaskan tangannya.
****
Aku mulai bertanya-tanya. Dulu, Rendra pernah bercerita, sewaktu dia terkena pengaruh racun Kah Raman, ia menyaksikan kehancuran Tirtanan. Rumah-rumah yang terbakar, langit yang memerah, darah di mana-mana. Kini aku menyaksikan kejadian yang hampir serupa. Beberapa rumah seperti kapal pecah karena pertempuran, banyak tubuh-tubuh jatuh bergelimpangan di jalanan, beberapa ceceran darah melumuri lantai bumi. Apakah apa yang diilusikan Rendra, bakal menjadi kenyataan? Toh, aku masih belum ingin mati.
Sayangnya, kami kini dalam keadaan terdesak. Moral warga desa yang masih rapuh karena teror Kah Raman, pembatasan daerah setelah prajurit Tirtapura masuk ke wilayah mereka. Kini, mereka dipaksa untuk bertempur, bertahan menghadapi serbuan Prajurit Dharmmadhyaksa milik B'ruthin. Meski Orang-Orang Bersarung telah bersedia membantu, tetapi moral mereka juga menurun, sebagai akibat ditawannya Elo Naode di Tirtapura. Bahkan Nai pun juga ikut dengan Elo Naode.
Pasukan Dharmmadhyaksa bisa disebut-sebut merubah paradigma perang di Tirtanan. Mereka menggunakan baju zirah dengan pelindung yang lengkap, membawa senjata berupa senapan angin. Beberapa lainnya membawa tameng besar untuk melindungi dari serangan tembakan kami. Peluru-peluru warga desa mental seperti peluru air soft gun. Tidak hanya senapan angin, mereka juga lihai dalam menggunakan pedang panjang, golok, atau pun tombak. Kavaleri Orang-Orang Bersarung sering dimentahkan serangannya oleh pasukan tombak. Sementara, pasukan golok terus menggebrak barikade.
Tertembak peluru senapan angin sama saja seperti tertembak senapan asli. Pelor jika tertembak di bagian vital, bisa berakibat fatal. Banyak kasus di luar sana, tentang anak kecil yang main dengan senapan burung, lalu tidak sengaja menembak orangtua mereka. Senapan angin bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Apalagi, jika senapan itu hasil modifikasi dari senapan asli. Entah darimana pasukan Tirtapura memiliki itu? Apakah mereka juga memproduksi senapan tersebut?
Pasukan B'ruthin terus memberikan perlawanan, walaupun jumlah mereka tinggal setengah dari jumlah awal. Nyatanya, kami malah kewalahan sendiri. Kami seperti melawan sekumpulan robot besi yang tidak lelah-lelah. Inikah kekuatan pasukan terlatih? Beberapa orang terluka, langsung dievakuasi, termasuk beberapa pasukan Cakrawiraman yang menjadi bulan-bulanan prajurit Dharmmadhyaksa. Orang-orang kami terpecah menjadi tiga kelompok. Satu, kelompok evakuasi orang-orang yang terluka. Dua, kelompok yang bertahan di garis barikade. Tiga, kelompok penyerang. Hujan yang telah reda mengubah medan pertempuran menjadi lebih licin. Langit mulai menggelap, seiring mendung yang terus menggelayut di langit Tirtanan. Tidak lama lagi, malam akan turun.
"Lihat!" Sebuah teriakan dari warga desa terdengar sembari menunjuk ke arah Tenggara.
Sepasukan prajurit jalan kaki, dengan menggunakan jubah dan membawa senjata berupa pisau bergerak dengan cepat. Sekte Kah Raman! Kami terkejut bukan main. Bagaimana mereka masih ada, setelah kami memporak-porandakan tempat persembunyian mereka!?
"Bagaimana bisa!?" sahutku tidak percaya.
"Entahlah. Kemungkinan ini ulah dari B'ruthin yang memanfaatkan orang-orang dari Sekte Kah Raman yang lari sewaktu kita gerebek!" ujar Rendra memprediksi.
"Hancurkan Tirtanan!" raung B'ruthin dengan penuh kekuatan. Pasukan Dharmmadhyaksa pun seakan kesetanan mendengar raungan B'ruthin, bertempur dengan ganasnya. Mereka mengabaikan jumlah mereka yang terus berkurang menjadi hanya setengahnya, selama pertempuran ini. Namun, mengapa mereka masih dapat bertahan dalam serangan yang kami lontarkan hingga saat ini?
Aku memerhatikan sekeliling. Mayor Delberg tetap bersiaga memberikan komando. Beberapa orang warga yang pontang-panting membawa warga yang terluka untuk ditangani. Beberapa orang warga lainnya tengah bersembunyi di balik barikade, sesekali melirik ke celah-celah barikade. Yamada-san dan orang-orang Klan Mizu masih mendapatkan perlawanan, juga dengan kelompok yang dipimpin Tuan Albert dan Nan Poangse.
Lalu aku menoleh, di mana orang-orang yang berlindung di tenda-tenda darurat. Berlindung di beberapa rumah warga yang jauh dari garis pertahanan. Mereka yang sedang menangis, ketakutan, hingga cemas sembari diiringi tubuh yang gemetar. Aku melihat Ronny sedang membidikkan senapan serbunya, melihat Adrian dan Ferdyan sedang mengomando garis tengah untuk mengatur situasi, melihat Bethlehem yang sedang pontang-panting bersama warga lainnya menyelamatkan yang terluka. Aku kemudian menoleh pula, di mana Kei dan Auriga memberikan pertolongan kepada warga yang terluka, bersama Griselda, Annelies, dan Gita. Tidak, hampir seluruhnya.
Apakah kita akan menang?
Apakah kami bisa bertahan?
Seberapa lama para warga desa ini dapat memukul mundur pasukan Kerajaan Tirtapura?
"Wah ... wah, memulai pesta tanpa kami, yah. Rasanya sangat tidak meriah lagi!" Sontak, sebuah suara cempreng yang terdengar seperti berusaha untuk berteriak terdengar tidak jauh dari belakang kami. Tepat di tengah kami berada dalam kegamangan antara kekalahan.
Aku terperanjat ketika menoleh ke arah belakang. Tidak tahan untuk mengungkapkan, bahwa tiada yang lebih gembira selain melihat seorang Lisbeth Tomassi, serta beberapa orang anak buahnya sudah bersiap dengan senjata mereka masing-masing. Wanita itu tidak peduli kalau beberapa waktu lalu, dia kena anak panah dari perahu patroli yang mengejar kami.
Aku dan Rendra secara berbarengan berteriak girang menyapa kawan mafia kami satu itu.
"Lisbeth!"
"Wah ... wah, sepertinya ada yang terlambat," cibirku.
"Pahlawan datang belakangan, Sayang." Lisbeth menimpali. Lisbeth, Gibson dan dua orang mafia suruhan Lisbeth menghampiri kami sembari melihat situasi yang terjadi.
"Itu cecunguk yang memulai keributan di sini, ya! Anak-anak, ringkus dia!"
Peluru senapan serbu rakitan itu pun langsung menyalak menuju ke arah gerombolan Dharmadhyaksa Bhayangkara yang berada di garis depan. Beberapa dari mereka langsung tumbang, seiring dengan para mafia itu menghujani mereka dengan tembakan senapan semi otomatis. Menghempaskan beberapa tentara B'ruthin dengan entengnya.
Astaga, bahkan pertempuran ini sudah tidak masuk akal lagi.
"Mereka cukup merepotkan dengan baju kaleng itu! Apa mereka tank portabel, ha?!" komentar salah satu mafia.
Pasukan di bawah komando B'ruthin mulai terdesak mundur. Sepercik moral mulai terangkat pada para warga Tirtanan yang kini tengah bertempur di medan penuh kegilaan ini. Pedang, panah, bedil pelor, senapan semi otomatis, dan ledakan, menjadi pewarna yang begitu brutal dalam peristiwa sore itu.
"Oi! Aku menemukan celah! Rendra, B'ruthin hanya dijaga sedikit orang! Aku yakin jika kita mengalahkan bosnya, mereka akan kocar-kacir!" sahutku tiba-tiba ketika melihat kesempatan berupa jarak yang kosong terlihat.
"Bagus! Sita, Lisbeth, bantu kami mendekati B'ruthin!" kata Rendra kepada Sita. Tuan Putri itu mengangguk.
"Majulah, kami akan mengalihkan perhatian mereka!"
"Hajar, bleh! Oi, tembakan perlindungan untuk mereka!" komando Lsibeth.
Begitulah, aku dan Rendra maju, sementara Sitaresmi dan pasukan Bhayangkarinya, serta Lisbeth, membidik Prajurit Dharmmadhyaksa yang menghadang langkah kami. Kami bisa berkelit dengan mudah, dan menerobos pertahanan B'ruthin. Pun, orang-orang Sekte Kah Raman masih tertahan oleh Orang-Orang Bersarung yang kini mulai memberikan perlawanan berarti di dekat Kampung Orang Belanda.
"B'ruthiiin!!" laung Rendra ketika ia sudah ada di depannya. Ia hunuskan goloknya.
"Siapa kau!? Beraninya kau menghalangi jalanku!" ujar B'ruthin dengan suara jeleknya.
"Mati kau, Sengkuni!" Aku membidik dan menembak ke arah B'ruthin, ketika ia berhasil menangkis seranganku dengan mudahnya. Sungguh aneh bin ajaib!
"Mustahil! Aku menembaknya!"
Kini B'ruthin tertawa terbahak-bahak. Rendra mundur dan menjaga jarak dengan tua bangka itu.
"Kau tidak tahu, dengan siapa kalian berurusan! Aku adalah orang yang telah membuat Kah Raman ditangkap dan dia berada dalam genggamanku. Aku membuat Kah Raman jatuh dalam kegelapan, lalu menjadi sosok jahat! Aku yang menggenggam Tirtapura, lewat Adiguna yang bodoh itu! Ketika Adiguna melakukan kudeta seperti yang telah kuperintahkan, maka aku bisa menggenggam Kerajaan Tirtapura di tanganku! Maka dengan itu, aku bisa menguasai seluruh wilayah ini!" bual B'ruthin. Senjatanya yang berupa sabit kecil tergenggam di tangannya.
"Cih, sok sekali kau ...," sungutku.
"Inilah kekuatan B'ruthin yang sesungguhnya!"
Bersamaan dengan itu, embusan kekuatan membuatku dan Rendra sedikit terdorong. Aku merasakan sebuah kekautan yang menggetarkan. Apakah B'ruthin memang sesakti itu? Aku mencoba menembak B'ruthin lagi, tetapi dia malah bergeming dari tempatnya. Ia bahkan tidak terluka.
"Kekuatan apa itu ...," desisku.
"Kanuragan? Kebal peluru? Ajian itu ternyata ada juga ...," ujar Rendra.
Lalu, aku merasakan aura bahaya bersiap menerjang. Aku kemudian melihat sesuatu yang mengerikan. Di balik jubah B'ruthin, sudah terpampang sebuah tangan dengan bentuk seperti cakar setan yang menggenggam rantai.
Sesuatu di luar nalar manusia.
"MATI KALIAN!"
Wutt!
****
Tangan itu hendak mencakarku. Tangan kiri dari sebuah monster. Kering, coklat kehitaman, dan agak besar dengan kuku yang panjang. Jadi, aku menembak tangan monster itu tadi, sehingga tidak mempan?
"Aku adalah penguasa wilayah ini yang sesungguhnya!"
Kemudian ia melolong. Lolongannya keras sekali, sehingga membuat telinga kami berdenging.
"Rendra, awas!" peringatku, ketika B'ruthin memelesat ke arah Rendra dengan kecepatan penuh dan mengayunkan tangan monsternya. Rendra menangkis dengan goloknya, tetapi ia malah terlempar ke belakang dan terpental tiga kali. Kekuatannya benar-benar dahsyat. Rendra sampai terlempar dan tidak bergerak. Jantungku mencelus, ketika Rendra tidak kunjung sadar dan B'ruthin mendekatinya.
"Tembaak!" perintah Sita yang tidak jauh dari barikade. Tembakan para Bhayangkari, semua mengenai B'ruthin. Namun, monster itu tidak merasakan sakit yang berarti. Hujan tembakan dari Lisbeth sepertinya juga tidak terlalu mempan. Dia malah bergerak pelan ke arah Rendra.
"Oi, Bocah! Bawa Pria Lucu itu ke mari!" sahut Lisbeth. Entah mengapa aku sudah tidak peduli dengan sebutan yang perempuan liar itu berikan padaku. Aku segera melaju, menggeret Rendra untuk mundur, tepat ketika B'ruthin menyerang dengan tangan setannya. Kami berhasil menghindar, setidaknya kami tidak tamat hari itu juga.
"Rendra!" Aku memapahnya dan membawanya kembali ke dekat barikade.
"Si-sial. Kuat juga dia ...." Ia sedikit merintih. Aku berjalan cepat sembari mengimbangi tatihan langkah Rendra.
Aku dan Rendra terjatuh tepat di dekat barikade. Auriga yang kebetulan berada di dekat barikade langsung membuka jalan dan menghampiri kami berdua.
"Kalian tidak ada yang terluka parah? Sepertinya Rendra tadi terpental setelah mendapat serangan dari monster itu!?" ujar Auriga cemas.
"Jangan khawatir, aku tidak apa-apa, Aur ...." Rendra mengibaskan tangannya.
"Rendra! Kau tidak apa-apa!?" Annelies pun bergegas menuju ke arah kami.
"Yap ... mungkin beberapa benturan ...," ujar Rendra sesekali masih mendesis menahan sakit.
"B'ruthin, sial. Tidak adakah cara untuk menghentikannya?" geramku. Sita pula menghampiriku.
"Apa yang harus kita lakukan? Menghabisi cecunguk ini dulu, lalu menghabisi B'ruthin? Kita tidak akan sanggup, apalagi dengan kekuatan B'ruthin yang di luar dugaan sakti itu ...," keluh Sita.
"Huh ... beberapa orang harus menyerangnya, tetapi mereka juga kewalahan. Bahkan ...."
Beberapa orang yang menyerang B'ruthin terpental seperti Rendra. Tiga orang dan satu kuda. Pemandangan mengerikan tersaji di depan. Percuma saja. B'ruthin sudah sulit untuk dikalahkan dengan kekuatan yang begitu absurd itu. Banyak hal di luar nalar dan logika manusia terjadi pada hari ini. Mungkin B'ruthin telah menemukan mekanisme yang dapat menguatkan tangannya seperti baja. Mungkin ... mungkin saja terjadi.
Satu hal yang tidak di duga, tiba-tiba B'ruthin maju dan berlari ke arah kami.
"Cepat sekali!" Rendra terperanjat dan suaranya sedikit panik.
"Oh, sial! Tua bangka itu datang kemari!!" teriakku sudah panik ketakutan sendiri.
Di antara persepsi hidup dan mati yang berada tidak jauh di depan kami, mendadak berondongan tembakan memaksa B'ruthin untuk berhenti dan mundur barang beberapa langkah.
Tidak, tidak ada yang menembak dan itu bukan peluru senapan. Itu lebih seperti senjata-senjata yang tergeletak, kemudian dilemparkan ke arah B'ruthin, memberikan efek kejutan baginya.
Siapa yang melempar tetek mbengek itu tadi!?
"T-tak kusangka ternyata aku bisa melakukan sulaap!" seru Annelies yang berdiri di samping Rendra dengan wajah melongo dan nada gembira.
Aku menoleh, seraya beringsut, "Haa!? Apa maksudmu?"
Namun, aku melihat Auriga, Sita, dan Lisbeth yang terlihat terpana—tidak, lebih tepatnya wajah yang mengungkapkan kekagetan yang luar biasa—menuding Annelies yang sedang gembira dengan wajah polosnya. Kaget, terpana, serta pucat
"Umm ... itu tadi ulah Annelies. Dia melakukan sesuatu yang di luar nalar lagi. Wah ... Ann, setidaknya kau punya hal yang luar biasa akhir-akhir ini," ujar Rendra.
"A-aku tidak mengerti."
Tiba-tiba aku merasakan sebuah embusan menenangkan seperti yang kurasakan di Hutan Timur.
Annelies berdiri sembari mengangkat tangan kanannya dan ia menyeringai.
Iya, aku tidak pernah melihat seringai semacam itu.
Lalu, sesuatu yang di luar nalar dan logika, sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal, berada tepat di depanku.
Aku mendelongop. Hampir semaput setelah melihat kekuatan yang luar biasa mengerikan itu. Rendra mendelongop. Semua orang mendelongop. Bahkan B'ruthin tidak memercayai apa yang ada di depannya. Tidak menyangka akan melihat sesuatu yang tidak masuk akal. Ya, bahkan pertempuran yang sedang berlangsung, terhenti ketika itu terjadi. Semua aktivitas terhenti setelah fokus mereka teralihkan oleh sebuah katastropi yang dihasilkan oleh seorang gadis bernama Annelies Hapsari.
Seluruh benda yang terjatuh di lantai peperangan, pedang, anak panah, tombak, celurit, golok pisau, bahkan bekas pelor, semuanya terangkat dan mengambang sendiri seperti kehilangan beratnya dan melayang ke udara. Tidak, lebih seperti tidak terpengaruh gravitasi bumi. Seperti mengambang.
"Aku tidak akan biarkan kalian semua mengacau di tempat ini lagi!" Pertama kalinya aku mendengar Annelies berteriak selantang itu. Ia kemudian mengibaskan tangannya.
Lalu ....
Ribuan benda melayang itu secepat kilat memelesat ke arah barisan tentara B'ruthin, mengujani mereka seperti layaknya ribuan anak panah dengan daya rusak yang cukup fatal. Puluhan tentara B'ruthin yang berada di garis belakang tumbang satu per satu dengan cepat. Yang berada di garis depan, sama-sama mendelongop dengan apa yang saat ini terjadi.
Apa-apaan ini ...
B'ruthin sendiri menerima banyak hunjaman dari benda-benda tajam itu. Beberapa tubuhnya tertancap pedang, tombak, dan beberapa panah. Ia sendiri terhuyung dan sempat jatuh tertunduk. Baju zirah yang dia pakai juga cukup rusak parah.
Sing Mbaurekso ing Tanah Tirtanan njebul ing pungkasan paprangan.
"S-sialan! A-pa apaan itu!" umpatnya.
Aku sendiri juga benar-benar tidak memahami hal yang baru saja terjadi.
"Ah! Ann!" Tidak lama setelah satu serangan brutal itu reda, Ann tiba-tiba saja jatuh tumbang ke belakang, tidak sadarkan diri. Dengan cepat Rendra memeganginya agar gadis itu tidak tergeletak menghantam tanah, kemudian membaringkannya.
Sementara itu, para prajurit Dharmmadhyaksa dan orang-orang dari Sekte Kah Raman yang tersisa hanya memandang peristiwa itu sembari gemetaran.
"K-kenapa kalian hanya diam saja, keparaat!" laung B'ruthin. Hal itu tidak berpengaruh. Moral tentara mereka menguap seiring dengan 'keajaiban tidak masuk akal' yang terjadi barusan.
"Bekti ...." Rendra menoleh ke arahku sembari menggenggam erat goloknya. Detik itu, aku mengerti apa yang harus dilakukan.
"Bocaah! Hajar tua bangka itu sekaraang!" teriak Mayor Delberg dari balik barikade.
Aku langsung menggasak sebuah parang yang berada di sampingku. Kami berdua kemudian meluncur, berlari sembari menghunus senjata ke arah B'ruthin. Kami berteriak sembari menerjang ke arah B'ruthin yang sedang tertatih, tidak siaga dengan serangan yang kami lancarkan. Ia sudah terluka cukup parah.
80 meter, kami berdua mendekatinya. Aku menghunuskan parangku.
"Hajaaar bleeh!" sorakan dari Ronny terdengar lantang dari belakang.
40 meter, aku dan Rendra memusatkan kekuatan di tangan kami.
Sorakan dari orang-orang jauh di belakang kami membakar semangat kami.
"Kalahkan mereka, Rendraa! Bekti!!"
"Hancurkan mereka, Pria Lucu!"
5 meter.
Aku dan Rendra bersorak, "Makan ini, begundal tua bangka!"
Kami berdua menebas B'ruthin, dengan sebuah momen yang begitu epik dan damatis, ketika B'ruthin berteriak kesakitan dan perlahan tumbang. Mati.
Selesai.
"Kita ...." Aku tidak percaya dengan adegan yang kami lakukan
"Menang ...," sahut Rendra.
Bersamaan dengan tumbangnya pemimpin mereka, segelintir tentara Kerajaan yang tersisa lari terbirit-birit seperti layaknya kucing yang dikejar oleh anak kecil. Mereka mundur, kocar-kacir begitu pimpinan mereka tumbang seperti karung beras. Beberapa pamong dan warga desa berbondong-bondong mengejar mereka hingga sampai ke tapal batas Hutan Timur sambil berteriak-teriak, "Uraaa!"
Sorak-sorai bergembira mewarnai malam yang mulai turun di Tirtanan. Agaknya, jika ini tercatat dalam sejarah, pertempuran ini merupakan pertempuran paling sensasional, paling tidak masuk akal, paling absurd, dan paling dramatis dalam linimasa sejarah nasional.
Aku dan Rendra terkekeh-kekeh menyaksikan bagaimana ini berakhir dengan sangat sensasional, di depan mayat B'ruthin.
****
Music :
Tsutomu Narita - Trial of The Four Primarchs
Album : Granblue Fantasy Original Soundtracks Fate (2017)
Publisher : Cygames
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top