44. Pertempuran Besar Tirtanan Ketiga
Situasi yang bisa kugambarkan adalah suasana mencekam. Nuansa yang terasa antara Tirtanan yang biasanya, dengan Tirtanan saat ini benar-benar besar. Rasa tegang seolah mengaliriku ketika senja mendung menurunkan rintik hujan yang cukup deras, menyambut kami di Tanah yang Diberkati. Kami tidak melewati jalan besar karena penuh dengan tumpukan boks kayu, karung pasir, dan segala benda-benda seperti meja, kursi, bangku dan bahkan dahan pohon yang besar. Pembatas antara Tirtanan dengan daerah kantung militer Tirtapura.
Memasuki pemukiman Penduduk Orang-Orang Bersarung, penuh dengan pengungsi dari Tirtanan Timur, yang kebanyakan adalah warga desa Klan Mizu dan Orang Belanda. Bayi-bayi sedang tidur dengan tidak nyaman. Para orang-orang suku itu tengah beraktivitas dengan menenteng senjata mereka. Satu gurat kecemasan tersaji di setiap wajah orang-orang ini. Lebih jauh ke Utara, Balai Pos Dagang lebih seperti los pasar mangkrak yang ditinggalkan pedagangnya. Apa yang kulihat adalah suasana mencekam di Tirtanan.
Tentara Tirtapura telah memasuki Tirtanan Timur. Segera setelah perundingan terakhir, seluruh Tirtanan akan jatuh ke dalam kuasa Adiguna. Kami sedikit terlambat, ketika para delegasi dari kedua belah pihak sedang melaksanakan perundingan di tengah jalan besar, di mana para prajurit Tirtapura sedang berbaris menunggu komando. Perundingan terakhir untuk menentukan nasib Tirtanan. Kami menyamarkan Putri Sitaresmi untuk menghindari kemungkinan serangan Adiguna yang gelap mata mencarinya.
Berdasarkan informasi yang kuperoleh dari penduduk desa, Tirtapura menangkap Elo Naode dan mengancam desa dengan memajukan seluruh tentara di garis depan pagi itu. Elo Naode yang masih tetap memilih untuk melakukan rekonsiliasi dengan jalan damai, menyerahkan diri. Kampung-kampung di sisi Timur telah dikuasai oleh Tentara Imperialis Tirtapura. Para warga banyak yang mengungsi ke Barat, bahkan sejak pertama kali Tentara Imperialis Tirtapura menginjakkan kaki di Tirtanan. Banyak rumah-rumah suwung terbengkalai selama enam hari lamanya di sana.
Pamong dan para pengaman desa bergantian jaga selama 24 jam penuh untuk mengamankan garis depan dan Tirtapura. Jalan besar adalah tapal batas, zona demiliterisasi antara dua belah pihak. Dengan dicurinya beberapa senjata dari gudang-gudang di bagian Timur, ada kemungkinan pertempuran akan berubah menjadi lebih brutal. Senapan melawan senapan. Paradigma perang bergeser.
Adiguna—melalui B'ruthin—telah menangkap Elo Naode atas dasar tuduhan pelanggaran perundingan pertama dengan membiarkan Tuan Putri Sitaresmi tinggal di Tirtanan dan kabur kembali ke hutan. Tuduhan tidak berdasar itu dimentahkan oleh para delegasi, dengan menuduh balik prajurit Tirtapura menyerang warga Tirtanan yang 'ingin' ke hutan. Perundingan pertama menjadi tidak berlaku. Tirtapura bisa saja menyerang sewaktu-waktu, karena tentara mereka sudah siap. Bahkan, dari Telik Sandi mengatakan, Adiguna akan melancarkan serangan penuh ke Tirtanan. Selama ini, delegasi telah berjuang untuk kooperatif semaksimal mungkin. Ada sedikit perasaan bersalah ketika mengetahui putusnya perundingan adalah hasil dari kami yang membawa kabur Tuan Putri ke hutan.
Namun, jika tidak bergerak cepat dan hanya menunggu sambil berpangku tangan, apa mungkin selesai?
Aku bertemu Mayor Delberg yang sedang mengamankan garis depan. Para pamong sudah menggenggam erat bedil dan senjata mereka masing-masing, menunggu di dekat tembok barikade. Beberapa penembak berada di atas atap dan loteng rumah warga, dikirim sebagai pengawas dan penembak jitu. Yang terlihat di balik wajah tegang para warga yang jadi keamanan desa hanyalah ketakutan akan pertempuran yang pecah. Mereka hanyalah pamong siskamling desa dengan senapan angin di tangan mereka.
"Bagaimana situasinya?" tanyaku kepada Om Belanda keras kepala satu itu.
"Pilihannya ... Maju atau mundur. Mandat diserahkan kembali kepada Kades Kusno," ujar Mayor Delberg getir.
"Tidak adakah jalan lain? Bagaimana dengan Nenek Ketua?"
"Nenek ketua menginstruksikan garis tegas. Ia masih mengusahakan agar hanya Tirtapura dan Orang-Orang Bersarung yang tercebur dalam konflik horizontal. Kami akan angkat senjata ketika mereka mengarahkan tembakan ke Tirtanan," ujar Mayor Delberg.
"Tapi ... Orang-orang bersarung itu juga bagian dari Tirtanan!?" tukasku.
"Yah ... mereka memang orang-orang yang sungguh baik. Mereka tidak menginginkan satu lagi darah warga Tirtanan tertumpah, setelah apa yang terjadi belasan hari lalu. Begitu kata delegasi mereka," sesal Mayor Delberg.
"Mungkinkah ... Nenek Ketua dan Orang-Orang Bersarung merasa bersalah atas tindakan Kah Raman? Darah keturunan Kepala Suku Ki Nae Naoisi yang menyebar teror di Tirtanan??" sela Rendra.
"Mungkin. Orang-Orang Bersarung terlalu naif," keluh Mayor Delberg mengiyakan.
"Ah! Perundingan telah selesai! Mari mendekat!" sahut Yamada-san yang berlari mendekati tempat perundingan. Aku, Rendra, dan Emi bergegas menuju tempat perundingan.
Para delegasi sudah saling berhadapan di antara zona demiliterisasi selebar dua puluh meter. Aku tidak melihat Adiguna di sana. Hanya Seorang tua bangka bernama B'ruthin dan beberapa pengawalnya. Juga terlihat ada Patih—mantan kalau tidak salah—Cakrawiraman bersama prajuritnya.
"Elo Naode akan ditangkap dan diadili di Tirtapura tiga hari lagi! Elo Naode akan dibakar sebagai tanda pengingkaran perundingan, membuat konspirasi untuk menjatuhkan Adiguna dan membantu keluarga Wijayatirta untuk kabur!" lantang B'ruthin dari pengeras suara.
"Hentikan bacotan tua bangka itu, plis!" geramku.
"Aku! Mahapatih Dharmmadhyaksa B'ruhtin, Kepada Kepala Desa Kusno, menyerahlah sekarang juga! Kami tidak akan melakukan cara kekerasan jika kalian menyerah! Jika tidak, kami akan terpaksa merebut desa Tirtanan bahkan dengan membunuh sekali pun!" lantang B'ruthin dari pengeras suara. Kontan itu menimbulkan sebuah ketegangan tersendiri.
"Semuanya! Bersiap di posisi kalian masing-masing! Aku perintahakan setiap komandan regu untuk menyiapkan anggotanya! Jagalah kampung ini!" sahut mayor Delberg memberi komando kepada beberapa komandan regu. Semua sibuk dan pontang-panting di balik barikade.
"Satu!" Suara B'ruthin serasa mengejar. Tiap hitungan dan jawaban Kepala Desa Kusno akan menentukan nasib Tirtanan ke depan.
"Dua!"
Aku mengokang senapan angin yang kuambil dari kotak senjata. Mengisinya dengan peluru. Rendra sudah bersiap dengan golok pusakanya. Aku dan Emi saling melirik dan mengangguk. Setidaknya, kami siap jika pecah perang. Mayor Delberg menelan ludah dengan napas memburu.
"Tiga!"
Dengan nada gemetar, sebuah jawaban dilontarkan dengan cepat oleh Kepala Desa Kusno.
"S-Saya, K-Kepala Desa Kusno menyerahkan Desa Tirtanan kepada Tirtapura."
Aku membanting senapan angin yang kugenggam.
"Bangsat!"
****
Semua kecewa dengan keputusan Kades Kusno. Terutama para warga yang sudah bersiap untuk bertempur. Aku akan menempeleng dia setelah ini. Semua marah dan berkata kasar. Semuanya.
Kami tamat.
"Baiklah! Sebagai tanda untuk mengawali pemindahan kekuasaan, Aku, Mahapatih Tirtapura, memerintahkan kau dan pasukanmu, Cakrawiraman, untuk menangkap konspirator yang bekerja sama dengan Elo Naode dan berusaha untuk menggulingkan pemerintahan Adiguna!" Satu lagi tuntutan si tua bangka B'ruthin.
"Tuduhan tidak berdasar!"
"Ada lagi!?" sahut Rendra.
"Nama-nama tersebut adalah sebagai berikut. Abram Cahya!"
"Apa!? Profesor Abram!?" Aku dan Rendra terkejut. Apakah ini hanya akal-akal B'ruthin untuk menumpas perlawanan di Tirtanan?
"Baek Il-Sung! Utari! Adrian Syahputra! Ferdyan! Albert Van Hosse! Yamaguchi Maeda! Jacquess Van Delberg! Nai Poaleng!"
Nama-nama terus bermunculan.
"Ah ... aku disebut konspirator juga, bagus!" kesal Mayor Delberg.
"Narendra Surbakti! Bekti Septian! Lisbeth Tomassi!"
"Berengsek! Beraninya dia menyebut namaku!" umpatku.
"Serahkan diri kalian sekarang! Cakrawiraman, bunuh siapa saja yang menghalangi!"
Kini aku tahu, betapa liciknya tua bangka bernama B'ruthin itu. Ia sengaja melakukan ini untuk memadamkan perlawanan, karena dia tahu, kami yang bersikeras untuk menolak pengaruh Tirtapura. Aku ingin berkata kasar sejadi-jadinya. Akankah tidak ada yang lebih berkuasa di sini? Akankah Tuhan hanya diam? Akankah Dewa atau Roh Alam hanya berpangku tangan?
"Tetap kuatkan diri kalian, Nak!" ujar Mayor Delberg seraya menghunus sabre yang tersarung di pinggangnya.
"Rendra! Emi!" panggilku.
"Kita siap kawan." Rendra tersenyum seraya menepuk punggungku.
"Hamba menolak, Tuan B'ruthin. Mereka tidak ada sangkut-pautnya untuk berkonspirasi menggulingkan pemerintahan Pangeran Adiguna. Kiranya, cukuplah di sini saja. Toh, kalian juga sudah memenangkan hak atas Tirtanan ini." Di luar dugaan, Patih—mantan—Cakrawiraman menolak arahan B'ruthin. Kami dapat melihat betapa murkanya sang Dharmmadhyaksa.
"Apa kaucoba untuk membangkang dari perintahku, Cakrawiraman!? Cepat tangkap para konspirator itu!!" murka B'ruthin.
"Tidak, Tuan B'ruthin. Ini telah menyalahi kesepakatan dengan Kepala Suku Orang-Orang Bersarung. Tidak sepatutnya kita menegakkan penangkapan kita sendiri," sela Cakrawiraman.
"Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan persekongkolan! Tirtanan telah tunduk di bawah Tirtapura! Artinya, seluruh keputusan dari Tirtapura harus dipatuhi. Akan dianggap memberontak, bagi mereka yang tidak patuh!" tegas B'ruthin.
"Tuan B'ruthin."
"Perintahkan prajuritmu untuk menangkap mereka semua, atau kau dan seluruh prajuritmu akan dianggap memberontak! Titahku adalah titah Maharaja Adiguna!" gelegar B'ruthin. Dharmmadhyaksa itu telah menunjukkan kepicikan mereka kepada semua orang di Tirtanan. Cakrawiraman terlihat bergeming sejenak, sebelum akhirnya ia berbalik dan bersiap mengisyaratkan para prajurit bawahannya.
"Persiapkan diri kalian! Kepada seluruh warga Tirtanan! Serahkan para konspirator it—" Hingga ketika Cakrawiraman belum selesai menyelesaikan perkataannya, sang Tuan Putri telah berlari dari tempatnya, meninggalkanku dan Rendra. Ia berlari dan menghadang jalan para prajurit Cakrawiraman secara terang-terangan. Tidak ada alasan lagi, bahwa Tuan Putri Sitaresmi ada di sana, tanpa ada yang perlu disamarkan lagi. Dengan entengnya Tuan Putri Sitaresmi yang keras kepala itu hadir di tengah-tengah orang yang memburunya.
Semua orang terkejut dan terpana melihat Sitaresmi berdiri menghadang, sembari menenteng senapan Astrabajra-nya. Wajahnya menatap dengan bola mata yang berkilat-kilat ditempa matahari senja yang menyelisip dari mendung.
"Aku, Wanodya Sitaresmi, memerintahkanmu untuk menarik mundur pasukanmu, Cakrawiraman!" tegasnya. Ia mengokang Astrabajra-nya.
"Tu-tuan putri!" Cakrawiraman tergagap. pemandangan di depan membuat B'ruthin menjadi serasa kebakaran jenggot.
"Sebuah kebetulan! Tuan Putri Sitaresmi ada di sini! Cakrawiraman, tunjukkan kesetiaanmu pada kerajaan! Tangkap putri itu sekarang juga!" titah B'ruthin. Pasukan elitnya telah bergerak maju selangkah untuk memberikan sebuah gertakan. Sitaresmi—baru kali ini aku memanggilnya begitu—tetap bergeming sembari menatap tajam ke arah Cakrawiraman.
"Perintahkan pasukanmu untuk mundur dari tanah Tirtanan! Tidak ada yang boleh melewati jalan ini!"
Tentu saja titah tersebut kontradiktif dengan keputusan B'ruthin. Cakrawiraman dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Bersetia dengan Adiguna ataukah Sitaresmi?
"Aku perintahkan kau, Cakrawiramana!" Suara B'ruthin semakin tidak sabar.
"Jangan kaudengarkan tua bangka itu, Cakrawiraman! Tarik pasukanmu dari sini!" balas Sitaresmi. Cakrawiraman masih bergeming, belum memberikan keputusan. Semua kini yang berada di garis depan, menyaksikan sebuah perselisihan antarkeluarga di Tirtapura. Perselisihan internal Tirtapura yang sesungguhnya. Tentu saja kami tidak berhak untuk intervensi, karena itu di luar kewenangan kami. Sebuah hal yang harus diketahui di Tirtanan. Persoalan politik rumah tangga, tidak boleh ada intervensi, kecuali ada izin untuk memasukan pihak ketiga sebagai penengah. Di sini, Tirtapura tidak memberikan izin kepada Tirtanan sebagai pihak penengah. Otomatis, kami tidak dapat ikut campur lebih dari ini.
"Baiklah kalau begitu. Dharmmadhyaksa Bhayangkara! Tembak Putri Sitaresmi!" teriak B'ruthin. Namun, dengan sigap, Cakrawiraman membuat sebuah keputusan yang akan menentukan titik balik dari konflik ini.
"Semuanya! Bentuk formasi! Lindungi Tuan Putri Wanodya Sitaresmi!" teriak Cakrawiraman mengomando. Setelah komando tersebut, Para Bhayangkara yang berada di bawah komando Cakrawiraman langsung membentuk formasi bertahan. Beberapa prajurit melingkari Sitaresmi. Kali ini, Cakrawiraman berbalik dan menghadap B'ruthin dengan tatapan sengit. Keadaan berubah sekejap mata.
"Cakrawiraman! Hentikan ini! Aku hanya menyuruhmu untuk mundur!" Sitaresmi menjadi sedikit panik, setelah keputusan tiba-tiba Cakrawiraman.
"Cakrawiraman hanya bersetia kepada pemimpin Tirtapura yang benar-benar memimpin rakyatnya menuju kesejahteraan, Tuan Putri ...," ujar Cakrawiraman sembari berpaling ke arahnya dan tersenyum.
"Baiklah ... dengan ini akan aku anggap semua yang menghalangi adalah pemberontaak! Angkat senjata!"
Pertempuran di zona perbatasan pun terjadi.
****
Apa yang kulihat adalah sebuah hal yang seram dari sisi manusia. Mereka saling melenyapkan nyawa satu sama lain, demi kepentingan eksistensi, demi kepentingan keamanan dari kelompok luar. Mereka saling membentuk kelompok dengan kepentingan yang sama, kemudian mencap kelompok di luar mereka sebagai sebuah ancaman. Terlepas mau secanggih apa teknologi, manusia masih dalam keadaannya yang primitif untuk saling menghancurkan satu sama lain.
Satu barisan kompi di bawah komando Cakrawiraman bertahan dari serangan Dharmmadhyaksa Bhayangkara di bawah kuasa B'ruthin. Secara teknis, itu seperti pembantaian dengan menghabisi pertahanan sedikit demi sedikit. Aku tidak tahu, bagaimana Tirtapura mendapatkan senapan, serta berapa senapan yang mereka bawa. Pasukan Cakrawiraman yang bertarung secara konvensional pun langsung terdesak. Ketika Cakrawiraman memerintahkan pasukan mereka untuk maju, beberapa jengkal, mereka langsung tumbang ketika senapan-senapan angin itu melesakkan sebuah pelor ke tubuh mereka. Beberapa langsung tumbang. Beberapa ada yang masih dapat bertahan dan sempat mengacaukan baris depan pertahanan pasukan B'ruthin.
Bila dilihat sekilas, ini memang sebuah pertarungan yang tidak imbang. Tiga banding satu, di mana posisi pasukan Cakrawiraman terdesak. Tidak imbang, karena sebagian besar prajurit Dharmmadhyaksa dipersenjatai oleh senapan angin dan baju zirah yang cukup tebal. Sementara itu, prajurit Cakrawiraman hanya memakai perlengkapan standar prajurit Bhayangkara Tirtapura. Pertempuran tersebut berlangsung sekitar kurang dari seperempat jam lamanya. setengah jam menuju sebuah hasil yang cukup pahit.
Perselisihan antarprajurit Tirtapura ini berlangsung dengan berdarah. Menumpahkan darah di zona demiliterisasi. Kami yang berada di balik barikade hanya dapat menggenggam erat senapan-senapan kami sembari menyaksikan pembantaian di depan kami. Cakrawiraman benar-benar dipukul oleh sebuah kekuatan prajurit B'ruthin. Senapan-senapan itu jelas menyulitkan prajurit Cakrawiraman. Inilah sebuah situasi yang smaa, di mana kerajaan-kerajaan kuno kalah oleh dominasi pendatang, menggunakan sebuah senjata yang mengubah paradigma pertempuran dunia di penghujung abad ke-16.
Para prajurit Cakrawiraman banyak yang tumbang. Kebanyakan prajuritnya hanyalah veteran perang dan prajurit muda. Anak-anak muda itu mati dengan konyolnya di medan pertempuran. Ah, anak-anak muda seperti itu harus menanggung beratnya penghujung kematian di tanah peperangan. Di lain sisi, Sitaresmi melihat ini dengan perasaan yang terguncang. Pasalnya, ia tahu, bagaimana penderitaan prajurit garis depan itu, harus mati muda hanya demi sebuah pertempuran konyol ini.
"Cakra ... wiraman. Hentikan ...." Suara Sitaresmi bergetar hebat.
"Aku! Cakrawiraman! Akan bersetia sampai mati pada negaraku! Pada rakyat negaraku! Pada penguasa negaraku yang benar-benar memerhatikan rakyatnya!" Cakrawiraman berteriak, seraya berlari maju sembari mengangkat pedangnya. Berlari menyongsong kematiannya. Berlari dengan cara membabi buta.
"Tembak!"
Debap senjata meledak dengan keras, seiring puluhan pelor menghantam perisai Cakrawiraman. Debap senjata kedua menghantam lagi tubuh Cakrawiraman dengan telak. Namun, ia masih terus bergerak, meski perlahan-lahan, langkahnya mulai melambat. Namun, ia masih terus bergerak, hampir mendekati barisan penembak Dharmmadhyaksa. Dengan peraaan takut, B'ruthin memerintahkan untuk menembak, tetapi jaraknya terlalu dekat, sehingga Cakrawiraman langsung memecah barisan depan penembak dengan mudah. Dengan kondisi terluka parah, pahlawan Tirtapura itu masih bisa bertarung. Semua orang terperangah dengan luka Cakrawiraman yang usianya bahkan setara dengan Mayor Delberg. Dia masih bisa bertarung dan mengangkat pedangnya, sesekali merubuhkan satu prajurit elit dengan sisa-sisa tenaganya.
Setelah merubuhkan lusinan prajurit elit Dharmmadhyaksa, membunuh beberapa di antaranya, sang pahlawan Tirtapura, sang Mahapatih yang disegani, sang pelindung keluarga Wijayatirta, tumbang di tanah yang diberkati.
Cakrawiraman telah mati.
Mati terhormat sebagai prajurit yang mati di medan perang dengan segala usahanya. Mempertahankan apa yang dia cintai, apa yang dia sayangi, dan apa yang dia tidak bisa biarkan orang lain untuk mengusiknya. Di satu sisi, tawa kepuasan yang licik dilepaskan oleh B'ruthin. Di sisi lain, ada tuan putri yang sedang meratapi orang yang selama ini telah membimbingnya.
Di sisi lain, aku yang merangsek dari barikade, langsung bergegas untuk menyeret Sitaresmi kembali ke barikade.
"Sita! Kita harus kembali!"
"Tidaak! Cakrawiraman, Bekti ... Cakrawiraman!" Sang Tuan Putri pun tidak kuasa menahan tangisnya. Ia hanya meratapi kematian Patih—sekaligus guru perangnya—di dadaku. Aku merasakan rasa sesak dan kesedihan yang ikut dirasakan Sitaresmi.
"Sita ... kita akan memenangkan pertempuran ini. Sekarang, kita kembali ke barikade ...," ujarku pelan.
"Tidak! Biarkan aku membunuhnya!" berang Sitaresmi sembari menuding B'ruthin.
"Prajurit! Bersiaplah! Tangkap semua konspirator! Bunuh siapa pun yang menghalangi! Maju!" perintah B'ruthin dengan senyum licik menyungging di mulutnya.
Ah, gawat! Mereka mulai maju menyerang! Pertempuran ini memang tidak besar, tetapi akan melibatkan banyak kelompok di dalamnya. Tentu saja ini adalah pertempuran besar! Tirtanan melawan Tirtapura bawahan Adiguna.
Dengan terpaksa, aku bangkit, lalu mengangkat dan menggendong Sitaresmi yang bahkan tidak sempat berpikir dua kali, ketika aku menggendongnya layaknya pasangan yang baru saja menikah. Lalu, aku berlari menuju barikade pula. Ah ... apa ini.
"Semuanya!"
Lalu, satu lagi hal yang membuatku tidak bisa berhenti terkejut dan terkesima dengan sore hari yang mendung ini. Gelegar suara dari Rendra, sembari mengangkat goloknya tinggi-tinggi.
"Oy, Bekti. Wijayatirta bilang kalau aku pengganti jika Elo Naode tidak ada di sini, 'kan?" ujarnya sembari terus menatap ke depan.
"He ... Hoi! Jangan bilang ...."
"Aku! Narendra Surbakti! Anak dari Surbakti, Penjaga Tanah Ini, telah diberikan mandat kepada orang-orang yang ada di tanah ini! Maka, aku, memerintahkan seluruh manusia di Tirtanan! Maju dan usir para Dharmmadhyaksa Bhayangkara itu! Hantamkan palu peradaban Tirtanan pada mereka! Angkaat senjataaa!"
"Rendra, goblok! Setidaknya ... biarkan ... aku ... masuk barikade sial!" umpatku.
"Sita, lompat!"
"Kau gila!?" Sita menggertakku.
"Sudaah lompat saja atau kita akan jadi rempeyek di sini!"
Lalu aku dan Sita sama-sama melompat. Seiring dengan itu, para warga berbondong-bondong mendekat di garis depan dan membentuk formasi bertahan di balik barikade.
"Bidik!" Komando dari Mayor Delberg terngiang di telingaku.
"Tembak!"
Bersamaan dengan itu, debak senjata memekik mengawali pertumpahan darah sore itu.
"Bekti ... temanmu sudah gila ...," timpal Sita yang kini bersandar di tumpukan barikade. Ia tertawa dengan tersengal.
"Yah ... bocah gila itu ...."
Debap senjata mewarnai sore yang tidak kunjung cerah itu. Komando dari Mayor Delberg mengobarkan semangat para warga Tirtanan untuk melawan. Seratus prajurit elit berat Dharmmadhyaksa dengan baju zirah yang telah dimodifikasi sesuai dengan gaya Bhayangkara, melawan seluruh Tirtanan.
Perang Besar Tirtanan Ketiga pun meletus, pada 36 hari kami berada di Tirtanan.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top