43. Badai Laut Selatan
"Kita harus secepatnya menuju Tirtanan!" ujar Rendra
"Kau bercanda, berapa lama kuda-kuda itu akan memakan waktu? Jalur Timur diblokade dan seantero Tirtapura mencari kita??" tukas Emi sang Tuan Putri.
"Tepat sekali. Jika hutan sudah tidak aman untuk dijadikan pelarian, maka satu-satunya kesempatan adalah membawa rombongan Baginda Wijayatirta ke Tirtanan. Toh, apabila akhirnya terjadi pertempuran yang tidak terhindarkan, setidaknya Baginda Wijayatirta berada dalam jangkauan kita untuk dilindungi," jelas Rendra.
"Tapi ... Rendra. Tirtanan telah dikuasai oleh Adiguna!" sahutku.
Rendra menjawab, "Belum. Belum sepenuhnya. Memang Kades Kusno telah menyerahkan Tirtanan kepada Adiguna, karena memang mereka tidak ingin ada korban jatuh lagi pascateror Kah Raman belasan hari lalu. Namun, Orang-Orang Bersarung mungkin dapat membantu kita untuk menyelundupkan Baginda Wijayatirta dan Tuan Putri."
"Bagaimana jika mereka tidak ingin membantu? Bagaimana jika mereka lebih memilih menyerahkan keluarga Baginda Wijayatirta untuk ditukar dengan Elo Naode."
Rendra meraup muka, seraya beringsut, "Aish, kenapa kau masih berkutat pada hasil perundingan itu! Adiguna melanggar kesepakatannya sendiri, dengan menangkap Elo Naode, tanpa alasan jelas. Selain itu tenggat waktu masih sembilan hari!"
"Lalu ... Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Emi.
Kami menunggu Rendra untuk berpikir karena kemungkinan dia memiliki beberapa pilihan, setelah dia bersikeras untuk kembali ke Tirtanan. Kemudian, ia mengatakan sebuah solusi.
"Ganti ke rencana B. Kita ke pelabuhan," ujarnya.
"Pelabuhan??" Kami semua terkejut tidak percaya.
"Lisbeth, kontak kru kapalmu. Kita akan angkat sauh. Kalian persiapkan senjata untuk menerobos penjagaan di sepanjang pelabuhan! Apa bahan bakarnya masih ada?" seru Rendra.
"Masih ada, tapi ... apa kita akan berlayar dengan kapalku?" tanya Lisbeth sedikit ragu.
"Tidak ada pilihan lain. Rute tercepat adalah dengan laut. Kita bisa pakai kapalmu," ujar Rendra.
"Apa kausudah gila?? Lihat! Langitnya tidak cerah dan pesisir sedang angin-anginan dari tadi!?" tukas Lisbeth seraya menunjuk ke arah langit Selatan yang menggantungkan awan-awan kelabu pekat yang padat. Angin pun berembus kencang dari arah laut.
"Yah ... berharap saja itu bisa jadi keunggulan tersendiri," sahut Rendra asal.
"Keunggulan tersendiri, your head!? Kauingin buat kita tenggelam!?" Lisbeth pun geram.
"Tidak ada pilihan lain. Kita harus capcus ke Tirtanan sekarang," tukasku menyela perdebatan, mengingat waktu yang terbuang mulai banyak.
"Haah! Va Bene! Oke! Oke!" Lisbeth pun pergi untuk mencari kru dan mempersiapkan diri untuk angkat sauh.
"Ah ... bicara soal angin-anginan, kurasa Roh Badai sedang ngambek lagi ...," keluh Ronny, sembari menyaksikan sesekali kilat menyambar-nyambar di cakrawala laut selatan.
"Emi, beritahu seluruh rombongan untuk segera berkemas dan bersiap. Kita mungkin akan sedikit menghadapi pertempuran. Kalian, menyusuplah memutari tembok kota sebelah Timur, lalu bergegas menuju ke pelabuhan," ujar Rendra.
Misi melarikan diri pun dimulai.
****
Ini tidak seperti yang kusangka. Kami akan berlari menghindari kejaran prajurit Tirtapura, menyusup ke pelabuhan, lalu melarikan diri lewat jalur laut di tengah kondisi cuaca yang buruk. Membayangkan hal itu saja sudah sangat merepotkan. Terlebih lagi dengan kami, para manusia post-modernis yang sama sekali tidak mengenal situasi di medan pertempuran selain melalui televisi dan Youtube.
Cuaca tidak bertambah baik ketika para penyusup ibukota bertemu dengan rombongan pelarian. Bila dihitung, hanya sepuluh orang Bhayangkari, Emi sendiri, Aku, Rendra, dan Ronny adalah orang-orang yang sudah terbiasa menghadapi situasi yang bakal memaksa kami untuk bertarung. Emi dan beberapa anak buahnya tentu sudah terbiasa dengan hal seperti ini di berbagai pelabuhan di Indonesia. Baginda Wijayatirta? Aku tidak ingin terlalu cepat menyimpulkan apakah dia bisa bertempur, terlepas dari umurnya yang sudah uzur.
Para perempuan langsung meracau.
"Huwaa ... kenapa hari ini kita banyak berlari ... berlari seperti kelinci!?" keluh Ann.
"Tunggu sebentar ... hah ... kami masih capek," tambah Gita.
Tambah Al menimpal, "A-Ada apa ini? Kenapa kita disuruh ke pelabuhan?"
"Kita akan kembali ke Tirtanan," ujarku sengit. Aku menghela napas. Perempuan-perempuan ini tentu tidak terlalu terbiasa dengan hal semacam melintas batas teritori, perbatasan, atau blokade. Ah ... apakah mereka tidak terbiasa untuk menerobos teritori kampus pada zaman-zaman mereka masih mahasiswa baru dulu? Setidaknya kami sudah berlatih.
Benar saja, kami sudah bersitegang dengan para prajurit di Pelabuhan. Tentu saja pelabuhan Tirtapura yang diblokade, melarang siapa pun untuk angkat sauh. Hah ... merepotkan saja. Tingkah mereka tidak ada ubahnya dengan orang-orang yang sering melarang pejalan kaki melintasi jalanan kampus, hanya karena mereka punya 'acara rahasia'. Ahh ... aku sudah muak! Tipikal birokrat Indonesia pasti sudah turun-menurun sejak zaman baheula!
"Jangan biarkan siapa pun lewat!" ketus seorang Prajurit ketus. Kami tertahan di dermaga.
"Uuh ... Rendra, Bekti ... apa kita yakin bisa balik ke Tirtanan?" tanya Auriga ragu.
"Kita akan balik apa pun yang terjadi!" sungutku.
"I-itu ... Itu Tuan Putri Sitaresmi dan Pasukan Bhayangkari! Hentikan mereka! Mereka akan kabur!" Tiba-tiba suara salah seorang prajurit membuatku jadi tambah kesal.
"A-apa!? Ta-tangkap merekaa!" titah salah seorang prajurit Tirtapura. Dengan begitu, segerombolan prajurit Tirtapura lain mulai dikerahkan. Terompet tanda bahaya mulai didengungkan. Tidak lama lagi, seluruh tentara di ibukota akan mengepung pelabuhan. Waktu kita tidak banyak.
"Ah, mereka terus saja nyinyir, menyebalkan sekali!!" sungutku.
"Uh ... Rendraaa ??" sahut Ronny sembari melihat barisan prajurit Tirtapura bergerak menuju dermaga.
Untung saja, tembakan dari dua anak buah Lisbeth yang berada di atas buritan kapal langsung membuat prajurit yang mengejar kocar-kacir. Tunggu, dari mana mereka dapat senapan Kalashinkov dan Tommy-gun itu!? Ah ... mereka 'kan mafia, sudah pasti mereka memiliki senjata seperti itu.
"Gibson, jangan buang-buang amunisi! Siapa tahu kita membutuhkannya! Mesinnya sudah menyala?" sahut Lisbeth kepada salah seorang anak buah Lisbeth yang kelihatan cukup tua dengan rambut putih dan janggut putihnya yang panjang. Oh, dia juga punya codet yang mengiris sepanjang pelipis hingga pipi kanannya.
"Sudah, Bos Putri!" sigap Gibson.
"Angkat sauh! Lindungi para penumpang!" perintah Lisbeth.
Para prajurit yang berbaris dari daerah militer pun diterjunkan. Tidak menyangka, mereka langsung menodong kami dengan senapan angin.
"Oh, Bahaya!! Berlindung!" teriakku seraya senapan angin prajurit Tirtapura meletus. Sepertinya mereka kurang mengetahui cara kerja senapan angin tersebut, serta mereka menembak dengan posisi linier dan cara volley.
"Ayolaah! Kenapa selalu seperti ini!!" gerutu Ann, di mana suasana hati-nya sedang gelisah karena teribat dalam baku tembak seperti ini. Para Bhayangkari balas menembak dan menjatuhkan beberapa prajurit.
"Ayo! Ayo! Lekas!" teriak Lisbeth. Kami langsung berlari menuju ke kapal. Aku sempat melirik beberapa pemanah yang bersiap menembak.
"Tembakan perlindungan!" teriak Lisbeth. Para mafia tersebut langsung menembaki barisan pemanah Tirtapura. Dengan segera kami naik satu per satu ke kapal, sementara Bhayangkari dan mafia melindungi pelarian kami.
"Baginda, ulurkan tangan Anda!" Aku dan Rendra membantu Baginda Wijayatirta naik ke kapal.
"Bhayangkari! Lekas naik ke kapal!" perintah Emi. Mereka pun berlari menuju pelabuhan.
"Tembakan perlindungan!" teriak Lisbeth lagi. Kapal sudah terisi penuh dan seluruh penumpang telah naik. Baku tembak masih terjadi di pinggir dermaga.
"Aku butuh seseorang yang tahu cara menyetir! Kami pasti akan sibuk untuk mengamankan perjalanan nantinya," lantang Gibson.
"Aku! Aku! Aku!" Firdya langsung beranjak dari tempat duduknya sembari mengacung-acungkan tangannya.
"Kau yakin, kaubisa, Nona?" tanya Gibson. Firdya pun menyeringai.
"Jangan remehkan diriku, Pak Tua."
"Gibson! Jalankan kapalnya, sekarang!" teriak Lisbeth dari buritan. Gibson meraih perseneleng pengatur kecepatan dan mendorongnya hingga tanda kecepatan penuh. Perlahan, kapal mulai melaju dengan akselerasi meningkat.
Aku terduduk di dek kapal sembari mengatur napas, seperti halnya para penumpang lain. Semua komplit. Kami berhasil kabur dari Tirtapura ... untuk sementara waktu. Aku melihat mendung menggelayut di langit Laut Selatan. Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul tiga lebih seperempat. Matahari tidak tampak, seolah-olah ini telah malam. Aku melihat putih lurus cahaya petir menyambar di ujung cakrawala, menyusul kemudian gelegar pecah suaranya.
****
Gibson memandu Firdya untuk menahkodai kapal yang bergerak dengan kecepatan sedang di laut yang sedang bergejolak ini.
"Kau dan anak buahmu bisa memakai ini?" ujar Lisbeth sembari menyodorkan senapan semi otomatis kepada Emi.
"Senjata itu tentu cukup liar untuk dikendalikan ...," gumam Emi.
"Tidak akan cukup jika hanya dengan senapan burung itu. Kaubutuh sesuatu yang menembak lebih cepat. Namun, kuyakin kalian akan cepat menguasai momentum senjata ini, karena kalian terbiasa menggunakan senapan dengan daya momentum besar seperti senapanmu," sahut Lisbeth.
"Aku ingin satu, tolong ...," sela Ronny seraya menyahut senapan semi otomatis itu dari tangan Lisbeth.
"Kuingatkan, itu bukan mainan, bocah gembul!" timpal Lisbeth.
"Gibson akan ambilkan beberapa senapan karabiner jika kalian tidak terbiasa dengan senjata sub-machine, ujarnya kemudian. Emi mengangguk.
"Darimana kau dapat senjata-senjata itu, Lisbeth?" tanya Rendra.
"MNLF," jawab Lisbeth singkat.
"MNLF ... Tunggu! Front Nasional Pembebasan Bangsamoro itu!?" sahut Rendra tergelak.
"Secara teknis, beberapa tahun lalu, aku sempat diciduk kelompok ISIS di Mindanao dan anak buahku datang menyelamatkanku sembari memberikan sedikit bantuan kepada MNLF," papar Lisbeth seraya menyeringai licik. Rendra memutar mata dan menghela napas.
Aku mengalihkan topik pembicaraan dengan berbasa-basi, "Oke ... jadi benda ini bisa mengapung?"
"Kautahu, skill para nelayan itu tidak bisa diremehkan. Dari rumor, katanya mereka yang paling ahli dalam membuat kapal," jawab Lisbeth.
"Uh ... Tidak bisa lebih cepat?" sengitku. Kapal sesekali bergoyang kencang karena diterpa riak gelombang laut selatan yang semakin ganas. Angin sesekali menerpa kencang.
"Ombaknya terlalu besar, risiko kalau kita mengebut dengan keadaan laut seperti ini!" sahut Gibson dari ruang kemudi.
"Ah ... badai ini sebentar lagi akan turun. Apakah kita akan bertemu Roh Badai lagi, Rendra?" gerutu Ronny sembari menenteng sebuah senapan AK-47.
"Entahlah ... tapi kuharap Roh Badai memihak kita," ucap Rendra asal.
Ombak semakin menggila dan gemuruh di langit juga semakin sering terdengar. Sesekali petir menjilat-jilat cakrawala yang tidak tersinari matahari. Di antara derasnya arus dan gelombang, aku melihat suatu hal yang merepotkan.
"He ... Haah!? Apa itu!?" lantangku seraya menunjuk ke arah barisan kapal bercadik yang membentang menutup jalur pergerakan kapal.
"Cih, blokade ya," umpat Gibson.
"Hajar, Bleh!" sahut Rendra.
"Okeee!" Firdya langsung memegang perseneleng pengatur kecepatan dan melajukan kapal lebih cepat. Perlahan kami mulai mendekat dengan armada blokade Kerajaan Tirtapura. Tidak selang beberapa lama, cahaya terang tampak dari kapal-kapal tersebut. Jantungku mencelus, ketika ratusan anak panah berapi meluncur ke arah kapal kami.
"Banting setir ke kiri, Nona!!" teriak Gibson.
"Semuanya berlindung!" teriakku memperingatkan. Kapal terbanting ke arah kiri, menghantam arus deras, yang membaut getaran pada kapal. Seiring dengan itu, anak panah meluncur deras ke laut. Beberapa menancap di belakang kapal.
"Kunyuk sialan!" umpatku.
Rendra terkejut dan berseru sembari menunjuk ombak yang datang dari arah depan. "Ah, sial! Ombaknya terlalu besar!"
"Jangan dipaksa maju, Nona! Kapal bisa terbalik nanti!" sahut Gibson.
Rendra berseru, "Serangan lagi!"
"Semuanya! Kencangkan sabuk pengaman kalian!" teriak Firdya dari ruang kemudi. Seiring dengan itu, ratusan anak panah kembali meluncur menuju kapal.
"Banting ke kanan sekarang, Nona!" lantang Gibson. Kapal terambing ke kanan, siring dengan anak panah meluncur menghujani samping kapal. Tidak lama, kami dihempas sedikit oleh badai dan hujan turun dengan derasnya. Angin bertiup tidak karuan. Empat kapal bercadik mulai bergerak untuk mengepung kami. Meski kami unggul dalam hal kecepatan, sangat berisiko untuk menerjang gelombang hanya untuk mengelak dari kejaran kapal-kapal Tirtapura.
"Tidak bisakah kita menerobos? Ada cara untuk memperlambat mereka!?" sahutku.
Satu kapal Tirtapura mendekati kami.
"Balas tembak!" teriak Lisbeth.
Beberapa orang bersenjata merapat ke sisi kanan dek dan menembaki kapal yang mendekat. Beberapa prajurit tumbang tertembak. Kami berhasil melewati satu kapal. Kapal yang lain mencoba untuk menembak kami kembali.
"Serangan lagi!" Rendra memperingatkan.
"Nona, ombak besar!" tukas Gibson seraya menuding sebuah ombak besar yang datang dari arah kiri.
Firdya membanting setir ke kanan, seraya berteriak, "Haish! Pegangan, akan ada benturan di sini!"
Beberapa detik terlambat, kami akan dilamun oleh ombak besar. Benturan keras memaksa kapal untuk terdorong ke kanan. Untungnya kami berhasil menghindari jatuhan ombak. Gelombangnya membuat kapal sempat terpental dan membuat seisi kapal terguncang. Manuver yang berbahaya dilakukan oleh Firdya. Tiga kapal masih mengejar kami. Sepertinya kapal mereka diuntungkan dengan angin dan badai Laut Selatan.
"Whaa ... bukankah itu ombak yang besar ...," gumamku.
Satu kapal Tirtapura yang tidak sempat menghindar, dilahap oleh ombak besar yang menerjang. Teriakan dari kru kapal langsung lindap oleh benturan ombak.
Aku melihat tiga kapal mulai menyiapkan tembakan lagi.
"Sompret, mereka menembak lagi!"
Ah ... terlambat. Firdya membanting setir untuk berputar menghindar, tetapi kapal kini dekat dengan salah satu kapal bercadik Tirtapura.
"Tidak sempat! Semuanya, berlindung!" sahut Rendra.
Hujan panah. Mengenai dek belakang.
"Akh!" Lisbeth terpelanting ke belakang dengan panah menancap di bahu kirinya.
"Bos!"
"Lisbeth!"
"Cih ... sialan ... arrgh! Keparat! Tembak mereka! Balikkan kapal mereka! Patahkan tiang kapal mereka! Tenggelamkan! Tenggelamkan Leviathan-Leviathan itu! Jadikan mereka belut goreng!" murka bos mafia tersebut. Kami membalas tembakan dengan memberondong kapal tersebut dengan tembakan. Bersamaan dengan itu, Firdya menyerempet haluan kiri, berbenturan dengan kapal itu. Getaran dan guncangan tidak terelakan.
"Astaga naga!" Kami semua langsung terjatuh ke lantai kapal.
Tidak berapa lama berselang, kapal pun sedikit melambat.
"Ada apa!?" tanya Gibson heran.
"Gawat, mesin satu mati, Kapten!" ujar salah satu anggota mafia.
"Di saat seperti ini!? Pasti karena benturan itu!" kesal Firdya.
Masih belum selesai kepanikan, tiba-tiba kami melihat sesuatu yang lebih mencengangkan. Kami berada di tengah badai dengan gelombang yang besar, serta angin yang kencang seperti diaduk di dalam satu wadah besar. Kami dan tiga kapal tersisa, terombang-ambing di dalam permainan Roh Badai Laut Selatan.
Satu kapal Tirtapura kembali terlamun dan terbalik ketika sebuah ombak besar menghantam sisi kapal mereka.
****
Benturan, getaran, dan sesekali kapal yang kami tumpangi seperti meloncat. Aku penasaran, kenapa kapal ini tidak hancur dengan badai besar seperti ini. Inikah kehebatan para pembuat kapal Tirtanan?
"Aish! Lambat sekali kapal ini! Mr. Gibson ... tidak bisakah kapal ini laju lebih cepat lagi!?" gerutu Firdya.
"Satu mesin sedang mati. Untuk saat ini, kita terpaksa gunakan satu mesin saja," sesal Gibson.
Aku menerawang ke arah luar. Dua kapal Tirtanan masih mencoba mengepung kami. "Ck, mereka masih mengejar!"
Tiba-tiba Rendra bersorak seraya menuding ke arah pulau, "Itu garis pantai Tirtanan! Kawan, kita sudah dekat!"
"Dua kapal lagi!" sahut Emi yang berjaga di buritan.
"Aish! Kenapa aku harus berurusan dengan kapal bertenaga siput!?" sesal Firdya. Ia terus mengutak-atik perseneleng pengatur kecepatan, hingga Gibson harus menasihatinya.
"Jangan kaupaksa lagi untuk laju kencang, Nona. Mesinnya akan berat menanggung beban!"
Firdya beringsut, "Apakah mesinnya mesin tua!? Kok tidak bisa mengangkat!?"
"Karena memang itu mesin untuk kapal dengan ukuran yang lebih kecil dari ini! Untuk itu kita memakai dua mesin, Nona!" sahut Gibson bersikeras.
"Firdya ... umm ... sebaiknya kita cepat atau kita akan dipanahi lagi, Demi Tuhan!!" racauku.
"Bumi kepada Firdya! Mereka akan menghadang!" tambah Rendra.
"Aish, kalian para laki-laki ribut sendiri saja, menyebalkan!" Firdya yang kesal langsung menambah laju kapal dengan kecepatan maksimum. Menghiraukan nasihat Gibson. Kapal kini meluncur ke arah dua kapal Tirtanan yang tengah menghadang.
"Tunggu ... apa yang kaulakukan!?" berang Gibson. Firdya mengabaikan segalanya sembari terus menatap tajam ke arah depan.
"Hooi!!" Gisbon sudah menyalak.
Firdya akan menabrak blokade kapal tersebut. Ditambah dengan derasnya arus, angin yang masih ribut dan ancaman gelombang besar yang kini mengejar dari arah Selatan.
"Pegangan!!" teriak Firdya.
Bruaaak!
Ujung kapal kami menghantam salah satu kapal hingga membuat kapal tersebut terpental dan perlahan kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya terbalik. Sempat terdengar bunyi pecah yang sangat keras ketika kapal kami menabrak. Kami sempat terdorong ke belakang, sebelum akhirnya kami terbantu oleh dorongan mesin yang melajukan kapal, menghindari kapal yang lain. Dua kapal yang menghadang kami kemudian menjauh karena gelombang besar.
Kami berhasil kabur.
Firdya tertawa pias. Ternganga dengan hasilnya sendiri.
"Astaga! Gadis ini sudah sinting!" gerutu Gibson.
"Untuk sejenak aku berpikir kalau kita tidak akan pernah menginjakkan kaki di tanah lagi," racauku.
"Tidak hari ini, Bekti," ujar Rendra.
Sekitar dua puluh menit, kami berusaha untuk mendarat ke garis pantai di Tirtanan. Semua tidak terlihat begitu baik, ketika banyak dari kami yang muntah karena digoyang ombak dan badai di kapal tadi. Terkejutlah para orang-orang dari desa nelayan, ketika kami seperti pelancong yang turun dari kapal. Tidak terkecuali Yuhei-san yang ada di Desa Nelayan pada waktu kami mendarat.
"Wuaa!? Kalian?? Senang bisa melihat kalian kembali!" ujar Yuhei-san.
"Bagaimana situasi Tirtanan?" tanya Rendra.
Yamada-san bergeming sejenak, sebelum menjawab dengan berat, "Buruk. Mereka sedang mengadakan perundingan terakhir sebelum Ketua Naode dibawa ke Tirtapura!"
"Kami membawa VIP. Raja dan Tuan Putri akan kami amankan di markas. Kalian, buatlah sesuatu agar masalah ini cepat selesai!" ujar Lisbeth yang dipapah oleh Gibson.
"Terima kasih, Lisbeth. Sebaiknya kaukhawatirkan lukamu. Anak panah itu harus segera dicabut," ujarku.
Lisbeth terkekeh, seraya berkata, "Ah, ini hanya luka biasa."
Aku dan beberapa orang lainnya segera bergegas untuk ke Tirtanan. Kami ingin mengetahui hal yang tengah terjadi, kemudian melihat apakah situasi memungkinkan untuk membuat sebuah kesempatan membalikkan keadaan.
"Ah, Hoi, kenapa kaumasih ikut dengan kami!?" protesku ketika Emi meloncat ke sebuah kuda dan bersiap memacunya.
"Aku juga ingin melihat langsung!" sengitnya.
"Kenapa kau keras kepala sekali!" ujarku kesal. Emi menghiraukanku dan memacu kudanya.
"Huwa ... Tuan Putri keras kepala itu ngacir duluan ...."
36 hari kami berada di Tirtanan.
****
JSL
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top