42. Ibukota Antik
9 Hari sebelum tenggat waktu.
Setelah sehari sebelumnya, beberapa anak kelompok KKN sudah dikejutkan dengan kembalinya kami mengambil pusaka golok bergagang batu alam. Seperti biasa, aku terus membual bahwa Rendra mendapatkan sebuah kekuatan bertarung yang mumpuni, segera setelah dia memegang golok pusaka tersebut. Yah, tidak ada salahnya kami memamerkan ini. Toh, ini akan menjadi sebuah keunggulan tersendiri.
Semua orang terkesima dengan Rendra. Selama ini, anak-anak mengira kalau dia hanyalah salah satu dari kami mahasiswa pada umumnya. Namun, setelah cerita yang dihaturkan oleh Baginda Wijayatirta, beberapa orang mulai melihatnya seperti sosok 'pahlawan' atau 'protagonis' dalam suatu epik. Nyatanya memang begitu.
Sehari setelahnya, kami segera bekerja sesuai yang telah disepakati. Menyusup di ibukota untuk mencari informasi. Kami sebagai mahasiswa yang menyamar menjadi ... yah ... pelancong dari Tirtanan, kurasa? Apakah para orang-orang Tirtapura itu benar-benar mengira kami berasal dari Tirtanan, hanya gara-gara model pakaian kami memang beda dari yang lain.
Yang ikut dari kami hanya Aku, Rendra, Ronny, dan Firdya. Selebihnya adalah Emi bersama beberapa telik sandi alias informan yang sengaja disusupkan di ibukota untuk memantau situasi. Mereka sudah selayaknya warga Tirtapura biasa, hanya saja merekalah yang bersetia pada raja sebelumnya.
Aku rasa, awal mula dari perang ini adalah saling licik-meliciki satu sama lain dalam pertempuran spionase.
"Menarik. Jadi kita dijadikan telik sandi!? Aku rasa ini sudah menyalahi aturan Konvensi Geneva ...," komentar Rendra.
"Oh, ayolah, sejak kapan dunia patuh pada hal itu. Dari masa ke masa, spionase sudah menjadi kebiasaan setiap bangsa," sahutku mendebat Rendra balik. Aku dan beberapa rekan yang lain, kini tengah berada di sebuah kedai minum di salah satu sudut ibukota yang luar biasa antik ini. Memantau dan mencari informasi di dalam ibukota.
"Daripada pusing-pusing mengenai hal itu, mengapa kita tidak nikmati saja wisata ke ibukota Tirtapura ini?" sahut Ronny.
"Ronny benar. Kita di sini tidak untuk mencari keributan. Yah ... meski nanti pada akhirnya bakal terjadi sesuatu yang ... sedikit ribut sih," dalih Rendra.
"Seperti?" Aku mengangkat setengah alis.
"Ketika misi kita terlaksana, segala rahasia Adiguna telah diketahui. Lalu kita jual rahasia itu pada pihak musuh Adiguna. Lambat laun akan tercipta sebuah kekuatan untuk menandingi Adiguna. Lalu ... bum! Terjadilah pertempuran!" jelas Rendra sembari memainkan kedua tangannya untuk menjelaskan.
"Kalau sudah tahu seperti itu, kenapa kita diikutsertakan?" sungutku.
"Yah ... Baginda Wijayatirta ingin melihat pembuktian kita, apakah kita berkontribusi besar di dalam resolusi konflik ini," jawab Rendra.
"Menjadi telik sandi? Oh ... bagus. Kita sudah layaknya agen di tiap film James Bond ... dengan kearifan lokal." Aku melawak.
"Haha, lucu, Bek," sungut Ronny getir.
Menyamar sebagai orang yang melancong ke ibukota Tirtapura hanyalah alasan yang dapat kami berikan sejauh ini. Peraturan perbatasan cukup ketat, mengingat Tirtapura dan Tirtanan sedang memanas, juga ... kami sendiri dianggap warga Tirtanan. Terlepas dari itu, Tirtapura memang mengingatkanku akan situs Trowulan yang direnovasi ulang di tengah hutan belantara.
****
Biar aku ceritakan keindahan kearifan lokal Tirtapura. Ketika aku melihatnya, seolah-olah aku terseret kembali pada masa kejayaan Nusantara. Tirtapura tidak serta merta sebuah kota besar yang ditembok tinggi seperti kota-kota benteng di zaman pertengahan pada umumnya. Tirtanan merupakan sebuah sentral dan benteng pusat yang berfungsi sebagai pelindung.
Sebelum engkau masuk gerbang Utara Tirtapura, kau akan dihadapkan pada serangkaian pemukiman penduduk di luar tembok kota. Dalam hal ini pedesaan dengan rumah-rumah gedhek, para penduduk yang saling mengangon kambing dan unggas. Dilalui oleh sebuah sungai kecil yang memisahkan antara desa dengan tembok kota. Sungai tersebut ada pun berasal dari salah satu sumber mata air yang berasal dari tebing. Nun jauh di Timur. Sumber air penghidupan desa tersebut. Mereka bercocok tanam dalam skala kecil karena terbatasnya lahan, serta lebih mengakomodasi kebutuhan seperti perkebunan dan sesuatu yang disediakan oleh hutan.
Mereka layaknya berpakaian Jawa kuno. Beberapa dari lelaki mereka bertelanjang dada. Kebanyakan telah memakai pakaian jahit yang kemungkinan dibawa oleh kebudayaan antar-generasi dari Tirtanan. Lain halnya dengan para wanitanya yang juga sudah tersentuh oleh peradaban pakaian. Jarit dan gaun barat. Beberapa darinya menggunakan kain kimono. Sepertinya para pria Tirtanan membuat para wanitanya bersolek apik. Ini membuatku berpikir keras dengan hegemoni atas pakaian, ketika pada suatu masa lampau, orang-orang dari zaman kejayaan tidak terlalu ribut-ribut di media sosial hanya gara-gara tubuh yang terumbar-umbar. Apakah mereka sudah terkena hegemoni itu? Apakah mereka telah tersentuh oleh 'peradaban yang beradab'. Semua orang memikirkan hal yang sama.
Ketika memasuki gerbang kota yang berbentuk seperti Gapura Candi Bentar, dengan tembok kota setinggi satu setengah kali tinggi tembok standar Lembaga Permasyarakatan di Indonesia, semua terlihat serba ... antik? Etnik? Atau apalah itu.
Satu kelompok penjaga gerbang memeriksa identitas kami satu per satu, selayaknya pemeriksa di bagian Imigrasi bandara. Ditanyai asal kami, kami jawab Tirtanan. Ditanyai keperluan kami, kami jawab berbeda-beda. Mayoritas ingin pergi ke Tirtapura untuk pergi ke pasar besar Tirtapura untuk membeli barang. Beberapa yang lain menjawab seadanya dengan berwisata. Sang pegawai 'imigrasi' Gapura Candi Bentar yang terlalu bingung, akhirnya menahan kami sementara di dekat gapura, memaksa kami untuk menunggu selama hampir setengah jam, sebelum akhirnya kami bisa masuk ke Ibukota. Ah ... rasa-rasa birokrasi ruwet sudah tercium di sini. Apakah ini tipikal kebudayaan zaman kuno kita? Bawaan?
Ketika kami masuk, ekstasi yang terjelma dalam perasaan kagum, takjub, disertai dengan jantung yang berdebar. Serasa ada yang mau keluar dari dada yang terasa sedikit sesak, kadang-kadang sampai disertai lelehan air mata. Kepala yang berat terasa ringan, dan kepala yang ringan terasa berat. Sebuah kelegaan yang menjalar di setiap pembuluh darah. Perasaan rindu dengan rumah, perasaan kesedihan dan kegembiraan yang tidak bisa dijelaskan. Apakah ini salah satu Stendhal Syndrome yang termanifestasi dalam keluhuran dan keagungan arsitektur Tirtapura? Sangat mirip dengan situs Prambanan-Borobudur atau situs Trowulan yang tiba-tiba terangkat dari dalam tanah. Seperti menjelma menjadi sebuah kota kuno yang hidup lagi setelah sekian ratus tahun. Lebih tepat disebut Tirtapura Syndrome?
Bangunannya terbuat dari dominasi bata merah, sesekali tercampur dengan batu kali. Relief-relief yang terukir di beberapa bangunan pemerintahan. Sesekali ada kolam ikan yang dipagari oleh ornamen candi kecil. Mereka memiliki saluran air yang sangat rapi dan terstruktur, mengelilingi kota. Jalan setapaknya telah dihaluskan dan dipadatkan, sehingga tanah tidak berhamburan. Bangunan-bangunannya saling overlap dengan pepohonan hutan. Rumah-rumahnya terbuat dari bata merah bergenting jerami padat dengan tiga lapis gedhek. Sesekali ada kompleks bangunan rumah yang beratap genting merah juga. Tiap sudut atapnya dihiasi dengan ornamen Hindu-Jawa.
Beberapa tempat ritual dan candi-candi kecil menyambut kami segera setelah memasuki kota. Pendeta-pendeta yang sedang melakukan ritual dan beberapa kesibukan lainnya, berseliweran di depan kami. Kami berjalan sampai pada sebuah tanah lapang luas dengan disertai beberapa tumpukan batu yang berukir seperti layaknya candi mungil di beberapa sudut dan sisi tanah lapang. Itulah alun-alun. Istana dan kediaman raja berada di sebelah Barat daripada alun-alun tersebut. Sebuah istana bata merah yang megah, dengan gerbang tinggi seperti layaknya Wiringin Lawang dan tembok tiga setengah meter tingginya, dengan relief-relief yang terukir di beberapa temboknya. Istana yang menjulang tinggi, dilingkupi pepohonan hutan yang sangat tinggi pula, menjadikan istana sudah seperti layaknya taman gantung Babylonia.
Di sebelah Timur, adalah kompleks militer kota. Gudang senjata, barak, kompleks pemukiman para pejabat militer, dan tangsi-tangsi tentara Tirtanan bercokol di sana. Agaknya sangat susah mendapatkan keributan di sana. Digodoklah dari kecil itu para tentara di barak-barak pelatihan selama satu hingga delapan bulan pelatihan dasar lamanya. Penjara juga berada di sana. Agaknya kompleks militer sudah seperti sistem panopticon mini yang melingkupi penjara Tirtapura. Tidak-tidak, penjara-penjara itu hanya tempat sementara, karena kurungan tersebut malah membuat pihak kerajaan seperti kehilangan pikirannya. Sehingga mereka lebih memilih hukuman mati atau dibuang di hutan nun jauh di ujung Tenggara.
Sebelah selatan adalah pasar dan pelabuhan. Tempat paling ramai berada di sana. Di situlah peradaban Tirtanan dan Tirtapura bertemu untuk saling bertukar apa pun. Makanan, kebutuhan, budaya, senjata, pakaian, alat kebutuhan sehari-hari, adat, dan mata uang.
Ketika kami sampai di pasar, keadaannya tidak begitu ramai karena Jalur Timur sedang diblokade setelah adanya ketegangan yang terjadi di Tirtanan. Para pedagang jadi sedikit rugi karena terputusnya 'jalur sutera' Tirtanan. Kekuatan pasar sedang lesu dan para istri-istri pedagang mengomel untuk segera menghabiskan barang dagangan mereka.
Meski begitu, Tirtapura merupakan tempat ... kuno yang terlahir kembali di tengah-tengah hutan belantara. Tirtapura sudah layaknya ibukota yang hilang, tetapi ramai dan tetap damai dengan orang-orang yang lahir, hidup, dan mati di sana. Barisan pepohonan hutan yang melingkupi ibukota, sudah selayaknya pelindung alami dari ancaman bahaya luar. Dahan-dahan yang terkadang overlap dengan bangunan ibukota, menghilangkan batas antara peradaban dengan alam liar. Tirtapura adalah alam liar itu sendiri, yang dikontraskan dengan sebuah peradaban manusia.
****
Cangkrukan di sebuah kedai minum pada pagi hari itu berbuah informasi dari para warga Tirtapura. Seorang pelanggan-sebenarnya salah satu telik sandi kami-yang berada di sebelahku membuka percakapan.
"Ada berita apa kali ini?" tanyaku dengan nada serendah mungkin, agar percakapan kami tidak diketahui orang.
"Ada keluhan dari beberapa warga dan pedagang di pelabuhan. Raja yang baru sedang meningkatkan pajak lebih tinggi daripada pajak raja sebelumnya," ungkap lelaki tiga puluh tahunan yang bekerja sebagai telik sandi ini.
"Hmm ... menarik. Apakah ini berarti ada suatu hal yang mencurigakan?" tanyaku mengejar.
"Yah ... Adiguna ingin menumpuk pundi-pundi kekayaan bagi kalangan pejabat tinggi kerajaan. Hal ini sebenarnya sudah ditekan pada masa pemerintahan Wijayatirta, sehingga apabila ada pejabat yang korup, mereka akan langsung diasingkan."
Lelaki itu sejenak menoleh ke arah sekitar, mencari apakah ada para prajurit atau pegawai pemerintahan di sini.
"Maaf. Sejak B'ruthin menjadi kaki tangan Adiguna, dia selalu meneror siapa pun yang tidak mengabdi kepada raja Adiguna. Tentara di bawah komandonya sangat kejam dalam hal inkuisisi. Mereka terkadang juga menempatkan telik sandi untuk mengawasi lawan politiknya," lanjutnya.
"B'ruthin, huh?" Aku mengangkat alis.
"Dia sebelumnya adalah mahaguru biarawan di Tirtapura. Kalau ada yang patut dilabeli manusia licik dia orangnya. Dia telah melakukan berbagai intervensi dan menciptakan skandal di Tirtapura. Dia salah satunya menyebabkan Kah Raman diasingkan dan menjadi iblis," jelas sang Telik Sandi.
Aku sedikit terkejut. "Benarkah?"
"Yah ... bayangkan jika ada kekuatan yang jauh lebih kuat sedang berada di Tirtapura, lalu kau tidak ingin tersaingi. Salah satu cara untuk menyingkirkannya, adalah dengan membuat dia menjadi orang yang jahat," lanjutnya.
"Kah Raman tidak jahat?"
Sang telik sandi menuangkan minuman dari kendi tanah liat ke gelasnya, kemudian meminumnya dalam sekali teguk. "Sebenarnya tidak. Dia hanya terlalu ambisius dan cerdas, sehingga B'ruthin mendekati untuk memanfaatkan Kah Raman. Menghasutnya agar dirinya memiliki kekuatan hitam untuk menggulingkan Baginda Wijayatirta. Ketika Kah Raman tertangkap, dia malah menuduhnya sebagai konspirator. Itu rumor yang berkembang pesat dulu ...."
"Cih, ada Sengkuni di antara kejadian ini rupanya," umpatku.
"Yaah ... dia memang Sengkuni." Sang Telik Sandi kembali menuang minuman dalam kendi, lalu meminumnya sekali teguk.
Hari beranjak siang. Aku dan Rendra kembali mengumpulkan informasi. Kami diam-diam sedang berjalan-jalan di daerah Timur Alun-Alun dengan niat untuk memata-matai kondisi militer di ibukota. Aku melihat dua petugas patroli sedang santai-santai di bawah pohon. Kami memberanikan diri untuk mendekati mereka.
"Oi, dari mana asal kalian? Kalian berasal dari Tirtanan?" sahut salah satu petugas.
"Kami ... oh, yah. Kami ikut orang-orang untuk berdagang sepekan lalu. Namun, kami tidak bisa keluar dari ibukota karena selalu tertahan di perbatasan. Situasi di Tirtanan sedang tidak bagus, kisanak," ucapku berbasa-basi.
"Hah, kami lebih mengkhawatirkan Tirtapura sendiri. Adiguna mengirim dua ratus orang untuk melakukan ekspedisi tidak masuk akal ke Tirtanan setelah sekian lama," keluh sang petugas di luar dugaan. Aku dan Rendra saling melirik sembari menyamakan maksud.
"Tidak masuk akal?" Rendra menoleh dan bertanya pada sang petugas tadi.
"Iya, siapa lagi kalau bukan ulah B'ruthin dan para tentaranya. Ia sudah mengincar posisi Patih Cakrawiraman sebagai komando angkatan bersenjata Tirtapura," sahut petugas lain bosan.
Petugas pertama menyikut lengan petugas kedua, seraya beringsut, "Shht! Diam kau! Telik sandi B'ruthin ada di mana-mana. Kita bisa digantung kalau sampai ketahuan membicarakan dia!"
"Mengincar posisi sebagai patih?" Giliran aku memancing pertanyaan.
Si petugas kedua berseru, "Ya, kisanak. Kami bersetia pada mahapatih Cakrawiraman. Mahapatih adalah orang yang bijak layaknya Sang Bhisma. Sejak ia menjadi patih, wilayah ini dalam keadaan tenteram."
"Lalu ... bukankah kalian sebagai tentara? Kalau begitu, justru itu malah membuat kalian menganggur? Tidak ada peperangan atau operasi militer?" Rendra mengangkat bahu.
Petugas pertama terkekeh, seraya berkata, "Huh? Tidak juga. Kami tetap dibayar, meski hanya sedikit. Melakukan pengawalan rombongan dagang, penjagaan ibukota, menjaga pintu gerbang, dan mengatur lalu lintas di sekitar pelabuhan juga merupakan tugas kami. Lebih baik begitu daripada mati konyol karena perang terus-terusan."
"Oh ... kupikir para tentara terlahir karena mereka memang haus akan pertempuran?" pancingku demi mengorek informasi lebih jauh.
"Lalu, jika kami mati di medan perang, siapa yang akan menjaga Tirtapura, kisanak? Negeri ini kecil. Tentaranya hanya berjumlah tiga ratus. Tiap pria muda dipilih tiap tahun untuk menjadi tentara sipil. Semua orang harus siap jika dipanggil bertempur, kisanak. Kasihan para anak-anak muda itu. Diperas kekuatan mereka untuk menjadi garda depan pasukan Tirtanan, mati pertama di dalam pertempuran," ujar petugas kedua kesal.
"Lalu ... jika kalian memilih, apa yang akan kalian pilih? Menyerang Tirtanan atau berkudeta?"
"Kami ... hanya bersetia pada Patih Cakrawiraman. Kami hanya bersetia pada orang-orang kami. Aku yakin, Patih Cakrawiraman," ujar petugas pertama.
"Tapi, bukankah itu berarti posisi Patih Cakrawiraman dapat membahayakan Wijayatirta?"
"Patih adalah orang yang sederhana, kisanak. Beliau hanya bersetia pada raja dan rakyatnya. Beliau tidak mau bersenang-senang duniawi begitu. Beliau lahir di kalangan keluarga istana dan kemampuannya sebagai patih didapatnya dalam mengatur dan memperlakukan pasukan dengan baik," sahut petugas pertama.
Setelah basa-basi sebentar, kedua petugas itu undur diri dan kembali melakukan tugasnya untuk berpatroli di sekitar alun-alun.
****
Matahari siang telah berada di titik atas. Aku rasa waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang lebih, tetapi aku hanya menemukan awan-awan yang sesekali menutupi matahari. Cuaca akan tidak bersahabat kali ini.
"Hey, aku menemukan sesuatu yang menyulitkan," sahut Lisbeth sembari menggeretku dan Rendra untuk menonton dari balik deretan lospasar ibukota.
"Apa, Lis?"
"Lihatlah," ujar Lisbeth seraya melirikkan kepala ke arah jalan dari Gerbang Utama di sebelah Barat.
Aku mengamati barisan kereta kuda berisi dengan kotak-kotak kayu. Aku terkejut ketika mengetahui isi kereta yang dibawa oleh prajurit Tirtapura. "Hmm ... apa isi kereta itu ..., tunggu!? Senapan?"
"Sepertinya hasil dari melucuti para pamong di Tirtanan. Juga, mereka punya gudang senjata untuk itu," ujar Lisbeth.
"Apa Bhayangkara bisa menggunakannya?" tanyaku.
"Entahlah. Namun, jika mereka menggunakan itu, ini akan mengubah jalannya pertempuran. Akan lebih banyak korban jatuh," sahut Rendra. Lisbeth mengiyakan pernyataan Rendra.
"Aku penasaran ... ke mana mereka membawanya ...," ujarku penasaran. Kami pun mengikuti rombongan kereta kuda itu, mengarah menuju wilayah militer. Lebih tepatnya sebuah menara seperti benteng pertahanan.
"Hmm ... sesuai yang sudah kuduga, gudang persenjataan Tirtapura di dekat benteng pintu utama," ujar Rendra.
"Ini bakal sulit, jika kita ingin menyingkirkan Adiguna."
"Kalau kita ingin mengungguli mereka, kita harus menyingkirkan senjata itu," tambah Lisbeth.
Rendra diam sebentar, sebelum berujar, "Atau ... kita dapat memindah-tangankan ke pihak kita. Itu jauh lebih menguntungkan."
Tiba-tiba, Lisbeth teringat sesuatu, ia pun membawa kami ke pelabuhan. Di dekat pelabuhan, kami menyaksikan pasukan Dharmmadhyaksa sedang beraktivitas di sana. Aktivitas mereka cukup padat.
"Hmm ... kenapa banyak aktivitas militer di pelabuhan ini, padahal ini pelabuhan dagang? Selain itu, banyak pasukan Dharmmadhyaksa di sana," racauku penasaran.
"Tirtapura hanya punya satu pelabuhan. Juga, dilihat dari kapal-kapal yang bersauh, sepertinya Adiguna merencanakan sesuatu yang lain," tambah Lisbeth.
"Sesuatu yang lain? Misal?" Rendra mengangkat alis kirinya.
"Skenario terburuk ..., kita bertempur di laut?" Lisbeth mengangkat bahu.
Rendra mengeluh seraya beringsut, "Oh, bagus, kita berhadapan dengan turunan kerajaan thalasokrasi terbesar di Asia Tenggara."
"Mungkin jika kita berhasil menghentikan mereka sebelum angkat sauh, mungkin itu tidak akan lagi jadi ancaman ..., tunggu!? Apa itu?" Aku terkejut ketika melihat sesuatu yang berbeda di pelabuhan itu. Sebuah kapal?
"Oh, itu kapalku," jawab Lisbeth enteng.
"Kapalmu!? Sejak kapan kaupunya kapal ringan!?" sungutku.
"Sepertinya itu kapal nelayan yang dimodifikasi sehingga jadi kapal dagang," timpal Rendra.
"Well, aku berniat untuk berdagang di sini, ketika Adiguna sialan itu memblokade pelabuhan dan menjangkar kapal kami di tepi dek," jelas Lisbeth.
Itu menjelaskan beberapa hal tentang salah satu kesibukan para mafia. Ternyata mereka diam-diam telah 'melebarkan' sayap perdagangan gelap mereka.
"Hmm ... kalau kita bisa menggunakan itu, mungkin akan jadi keuntungan. Di mana krunya?" tanyaku.
"Beberapa kembali ke Tirtanan, tapi kaptennya, Mr. Gibson, masih tertahan di pelabuhan bersama dua anak buahku," cerita Lisbeth.
"Oke ... aku mengandalkanmu, Lisbeth," harapku seraya menepuk punggung Lisbeth.
Ketika itu siang mulai beralih dan kami bersepakat untuk kembali ke tempat persembunyian, ketika salah seorang Telik Sandi datang menghampiri kami.
"Ada apa?" tanya Emi si Tuan Putri selaku penerima pesannya.
"Situasi di Tirtanan telah berubah," ujar lelaki pembawa pesan itu sedikit tergesa.
"Maksudmu?" Kami terkejut mendengarnya.
"Raja Adiguna telah menyatakan bahwa Tirtanan melanggar persetujuan, karena mereka ada maksud untuk membiarkan Tuan Putri Sitaresmi kabur. Kepala Suku Elo Naode ditangkap dan akan dikirim ke Tirtapura esok hari. Entah apa yang akan dilakukan Adiguna, tetapi kemungkian besar, Kepala Suku akan dieksekusi. Waktunya ... sampai berita ini hamba sampaikan, masih belum ditentukan. Adiguna telah memenangkan pertempuran tanpa perlawanan di Tirtanan. Para prajurit Tirtapura tengah memasuki wilayah Tirtanan," jelas si Telik Sandi.
Kami benar-benar terkejut mendengarnya. Sekarang, yang ada rasa cemas dan panik melanda kami.
"Orang-Orang Bersarung?" sela Rendra.
"Mereka tidak melawan, karena ada instruksi Elo Naode untuk tidak mengangkat senjata," lanjut si Telik Sandi, membuatku lebih terkejut lagi.
"Tapi ... bagaimana bisa Nenek Ketua menyerahkan diri begitu saja?"tanyaku berusaha mencari informasi lebih lanjut.
"Ketua Elo Naode meminta jaminan tidak ada kekerasan dari Adiguna," sahut si Telik Sandi
"Adiguna tidak bisa dipercaya! Tapi ... ini masih sembilan hari lagi!?"
"Tepat sekali. Para delegasi dan negosiator masih tertahan di Tirtanan. Para warga menjadi cemas sendiri akibat penyerahan kekuasaan itu dan para prajurit Tirtapura yang memasuki desa. Instruksi yang sama untuk tidak melakukan perlawanan juga diberikan oleh Kades Kusno. Kini seluruh prajurit Tirtapura menyebar ke beberapa titik dan mulai menyusuri hutan untuk mencari rombongan keluarga kerajaan," lanjut si Telik Sandi menjelaskan. Kami berpikir keras untuk mencari sebuah jalan penyelesaian untuk masalah ini. Kalau Kepala Suku Elo Naode dieksekusi, Raja Adiguna akan tambah merajalela dan beringas. Tidak. Pertempuran yang lebih berdarah akan tersaji untuk kesekian kalinya di Tanah yang Diberkati ini.
"Kita kembali ke Tirtanan," ujar Rendra.
****
mal HS|$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top