41. Masukkan Pemburu Pusaka Ke CV-mu

11 Hari sebelum tenggat waktu.

Jika suatu ketika kau ditanya, apa pekerjaanmu selama di Tirtanan? Maka dengan senang hati aku akan menjawab pekerjaan ini. Berurusan dengan dunia lain dan menjarah makam untuk artefak kuno ratusan tahun, berupa pusaka golok bergagang batu alam.

Memangnya aku ini Indiana Jones apa? Bahkan pelajaran sejarah sewaktu SMA aku saja sering kulewatkan dengan tidur.

Hutan Timur terkenal karena dia membatasi Tirtapura dan Tirtanan. Bukan hanya itu saja, kanopi pepohonan hutan yang lebat hampir membuat Hutan Timur tidak tertembus oleh sinar matahari. Kelembapan yang begitu jenuh dan terkadang kabut menyesatkan bisa muncul sewaktu-waktu. Kadang-kadang ada bagian hutan yang benar-benar tertutup, sehingga ketika matahari tidak bersinar cerah, kegelapan pun menerjang bagian itu.

Entah kenapa hutan ini lebih angker daripada hutan di daerah barat laut yang digunakan untuk pemakaman. Yah ... bisa dibilang ini adalah situs pemakaman yang jauh lebih kuno, di mana jasad-jasad ratusan tahun lalu, terkubur di tanah ini. Situs pemakaman barat laut baru dibentuk kira-kira tahun 1960-an, yang terdeteksi dengan tahun-tahun di batu nisannya.

Terkadang lebih kuno malah membuat semakin angker. Jika memang ingin menyembunyikan suatu hal yang sangat berharga, maka tempat-tempat seperti itulah yang cocok digunakan sebagai tempat untuk menyembunyikannya. Golok bergagang batu alam, adalah pusaka turunan Sae Pangailo yang telah tersimpan selama kurang lebih setengah abad. Sejak Sae Yamulawar menjadi kepala suku, ia memutuskan untuk menyimpan golok pusaka tersebut. Penurunan kuasa golok tersebut kepada Penjaga Tanah Dewa, pada masa Sae Yamulawar pula. Begitulah kiranya yang kudapatkan dari cerita Baginda Wijayatirta.

Kondisi Hutan Timur yang kulalui sekarang, hampir tidak jauh beda sewaktu kami menyerbu markas rahasia Kah Raman dan para pengikutnya. Makam kuno itu terletak di jantung Hutan Timur. Kami harus melewati beberapa rambatan pohon yang besar, ceruk-ceruk tanah yang terbentuk karena akar pohon, dan sesekali jurang kecil setinggi dua meteran. Makam itu sendiri tersembunyi di antara ceruk barisan batuan besar yang membentuk seperti dinding tebing kecil. Jika digambarkan, makam kuno tempat pusaka tersimpan adalah menjorok ke dasar tanah.

Hanya aku, Rendra, Lisbeth dan Tuan Putri Sitaresmi yang melakukan ekspedisi mencari golok gagang batu alam. Emi yang mengenal topografi hutan Tirtanan, serta Lisbeth yang ... pada dasarnya punya teknik tersendiri dalam menjarah suatu tempat, merupakan keunggulan tersendiri di tim kami.

"Huh, apa yang bakal lebih buruk dari ini, kawan?" keluhku.

"Hmm ... coba tebak. Jika di makam itu terdapat sebuah pusaka yang berharga, maka ... pasti banyak jebakannya. Aku yakin itu," ujar Rendra.

"Oh ... bagus, aku tidak mau mati konyol layaknya antagonis di film Indiana Jones!" sungutku.

"Lihat! Kita sudah dekat, kawan-kawan." Tiba-tiba Emi menghentikan langkahnya seraya menunjuk ke arah depan. Kami mengamati, lalu tercengang dengan ceruk yang mirip pintu masuk gua tidak jauh di depan kami. Di sekitar pintu masuknya terukir huruf-huruf kuno dan beberapa gambar-gambar khas manusia gua.

"Oh ... bagus. Kita menemukannya. Bagus juga lukisan guanya," komentarku.

"Itu idiogram. Ada maksud cerita tertentu di balik gambar-gambar itu," sahut Rendra.

"Hmm ... bahasa kuno? Tunggu, apakah ini makam Sae Pangailo?" celetukku. Kami mengamati barisan idiogram yang tergambar di sekitar dinding mulut gua.

"Hmm ... mungkinkah ini cerita yang menggambarkan alam baka? Prosesi kematian? Aku tidak melihat ada yang spesial di sini," ujar Rendra setengah bergumam.

"Ah, ini ... ditulis dalam Bahasa Kawi ...," celetuk Emi. Kami pun beralih mendekatinya.

"Dari hurufnya ... sepertinya itu Kawi. Apa kaudapat menerjemahkannya?" tanyaku.

"Sebentar ... Raja ... dari para bangsa atap terbuka ... tertidur di sini. Sebuah saksi ... di mana darah yang tertumpah ... harus kami bayar mahal dengan kesukaran ... bangsa kami," ucap Emi menerjemahkan.

"Bangsa atap terbuka ... mungkinkah itu merujuk pada Orang-Orang Bersarung?" celetuk Rendra.

"Bisa jadi," sahut Emi.

"Juga ... bisa jadi pusaka Sae Pangailo disimpan di sini. Astaga ... kita seperti orang yang menjarah kuburan, saja ...," komentarku.

"Bah ... aku harap, aku dapat mendapatkannya duluan. Taksiran harga untuk pusaka kuno tersebut setara dengan harga tiga buah mobil sport," bual Lisbeth.

"Hoo ... kauingin menusuk kami dari belakang?" cibirku.

"Sayang sekali, jika pria lucu itu tidak membutuhkannya lagi, paling tidak aku yang pertama diberi kuasa untuk mendapat golok itu," canda Lisbeth.

"Hoy ... apa kau tidak memerhatikan keberlangsungan hidup Orang-Orang Bersarung?" Aku menatap Lisbeth sebal.

"Toh, pusaka itu tidak digunakan lagi, bukan? Bahkan kepala suku sekarang lebih cenderung bersama tongkat berjalannya daripada memegang golok?" ujar Lisbeth seraya terkekeh.

"Tidak bisa, selama keturunan Penjaga Tanah Dewa masih ada," tukasku. Perdebatan kami terhenti setelah Rendra memanggilku.

"Oi, Bekti. Apakah yakin kita bisa masuk ke sini?" ujar Rendra sembari menyorotkan senter ke dalam gua yang cukup gelap. Rasa-rasanya gua tersebut mengarah menjorok ke dalam.

Aku hendak menghampiri Rendra sembari berkata, "Ah, bagaimana kalau kita coba masuk ke ...."

Tiba-tiba aku tersandung akar pohon seraya menubruk Rendra. Di ambang pintu gua, di antara jantung yang berdegup kencang, serta adrenalin yang terpompa, aku dan Rendra terperosok masuk ke dalam gua.

****

Aku dan Rendra terperosok masuk, kemudian langsung meluncur menuju ke dalam gua. Tidak terlalu dalam, tetapi aksi tadi hampir membuat seluruh saraf menjadi tegang. Terdengar teriakan Lisbeth dan Emi di mulut gua.

"Sompret kau, Bekti! Hampir saja tulang remuk semua!" amuk Rendra.

"Sorry, bro. Tersandung akar berengsek di atas," ujarku menenangkan.

Pertengkaran kami tidak berlangsung lama, ketika kesunyian dan kegelapan di dalam gua langsung membaut sekujur tubuh merinding. Aku segera menyalakan lampu emergency yang kubawa, memancarkan sinar ke arah sekeliling. Gua ini terbentuk secara alami dari akar-akar pohon dan bebatuan cadas, terus menjorok ke dalam. Kami sempat bingung untuk memutuskan apakah tetap jalan menelusuri gua, sampai akhirnya Lisbeth dan Emi berhasil masuk ke dalam gua menyusul kami.

"Wah ... jadi ini makam kuno itu?" ucap Emi terkesima.

"Memangnya, tidak ada yang ke sini, apa?" tanyaku.

"Tidak ada yang pernah ke sini. Hanya orang sinting saja yang berani memasuki jantung Hutan Timur. Bahkan kurungan Kah Raman pun kalah angker dari gua ini," komentar Emi pelan.

"Oke ... aku tidak suka ini, tetapi entah kenapa suasana horor terus mencekam," komentarku tidak enak.

Kami berjalan perlahan menyusuri gua yang tidak terlalu sempit itu. Sesekali cicitan binatang pengerat terdengar samar di balik suara langkah kaki kami.

"Oi ... kakimu gemetar, Rendra?" tanyaku semabri merasakan getaran ketika memegang tubuh Rendra.

"T-tentu saja aku gemetar, kampret! Siapa yang tidak takut dengan hawa-hawa seperti ini!" sungut Rendra setengah berbisik. Entah kenapa aku menjerit, disusul Emi yang menjerit kecil ketika badan kami bersentuhan.

"Bodoh! Jangan buat gerakan tiba-tiba, Bekti!" protes Emi.

"K-kau sendiri juga tiba-tiba memegangiku begitu!" balasku. Kemudian perjalanan pun kami lanjutkan selangkah demi selangkah. Di luar dugaan, samar-samar aku juga bisa melihat Lisbeth berjalan dengan gemetar. Aku memandanginya.

"Apa!?" sahut Lisbeth culas.

"Wah ... wah, bos mafia kok takut ...," cibirku.

"B-bukan urusanmu! Cepat jalan sana!" Lisbeth mengalihkan pembicaraan. Aku mulai sangsi dengan grup yang berisi para pemain 'drama horor komedi' ini. Bisa-bisa kita mati karena jantung sudah lemah dengan segala hal yang mengejutkan.

Kemudian, ketika kami sampai di ujung gua, seberkas cahaya yang cukup terang kemudian menyinari sebuah ruangan yang cukup besar di gua tersebut. Pendaran berwarna hijau berlian itu berasal dari bebatuan yang menyala di sekeliling gua.

Kami sampai di makam kuno. Ruangan gua yang lebih lebar dan tinggi, dengan sebuah sarkofagus kotak di tengah ruangan dan sebuah golok menancap di tutup sarkofagus tersebut. Sebuah golok dengan gagang yang juga berpendar seperti hijau berlian layaknya batu-batu yang menyala di sekeliling gua.

Kami menemukannya.

"Itu goloknya. Di atas peti batu di tengah ruangan," ujar Rendra sembari menunjuk golok yang tertancap di atas peti batu.

"Oke, bagus. Ren, cepat ambil dan segera capcus dari tempat ini," sahutku cepat.

"Hmm ... tidak," ujar Rendra cepat, lantas membuatku sebal sendiri.

"Oh ... ayolaah!"

"Tentu saja, itu adalah sebuah jebakan," simpul Rendra. Aku meraup muka.

"Bagaimana kaubisa menyimpulkan itu sebagai jebakan, Pria lempeng!"

"Tentu saja, kenapa dipasang terpampang di tengah ruangan dengan jelasnya seperti itu! Jelas-jelas itu adalah jebakan! Apa kau tidak pernah main permainan petualangan, sebelumnya!?" komentar Rendra.

"Itu permainan! Itu film, geblek! Cepatlah cabut saja dan segera keluar dari sini! Aku sudah tidak tahan berada di kegelapan dan kesempitan seperti ini!?" omelku.

"Bek, kau klaustrophobia?" tanya Rendra seraya menaikkan setengah alis.

"Tidak, geblek! Siapa yang mau betah lama-lama di makam kuno!?" racauku.

"Oke ... oke! Hah ... Bek, kauuruskan asuransi kematian dan biaya rumah sakit ibuku nanti, oke?" gerutu Rendra sembari perlahan berjalan mendekati sarkofagus.

"Hah ... ya ya ya," racauku cepat.

Rendra kini berada tepat di tengah ruangan. Dengan perlahan, ia menyentuh gagang golok itu dengan telunjuknya. Setelah memastikan aman, ia menggenggam gagang itu dan terlihat berusaha mencabut golok itu dari sarkofagus. Entah kenapa tidak bergerak.

"Ugh! Macet. Goloknya menancap kuat!" keluh Rendra. Ia sendiri kini menarik golok itu sekuat tenaga, sampai mengejan, sampai menumpukan kakinya pada sarkofagus di depannya.

Tidak berhasil.

"Oit! Bek, bantu aku menarik golok ini!" sahut Rendra.

"Ha? Tidak bisa dicabut, kah? Astaga ... sini!" keluhku seraya menghampiri Rendra. Kemudian, kami berdua mencoba menarik golok tersebut. Ternyata benar-benar mencancap kuat! Golok tersebut bahkan tidak bergerak dari tempatnya sedikit pun.

"Tunggu. Kita coba tarik sekali lagi," usulku.

Kami berdua menarik sekali lagi gagang golok tersebut. Sempat terdengar suara decitan besi yang beradu dengan batu. Sebuah pertanda bagus.

"Satu ... dua ... tiii ...."

Sraak!

Golok itu tercerabut dari sarkofagus, membuatku dan Rendra sampai terjengkang ke belakang. Aku yang mendaratkan bokongku duluan, disambut dengan tindihan tubuh Rendra. Remuk redam sudah tubuh ini rasanya.

"Berjuta-juta kampret sialan!" umpatku.

Rendra beralih dari tubuhku seraya berkata, "Sorry, bro."

"Gile lu, Ndra! Remuk semua ini badan!" berangku.

"Jadi ... kalian sudah mendapatkannya? Baguslah ...," ujar Lisbeth.

"Iya bagus, badan aku yang tidak!" sungutku.

"Uhh ... rasanya aku sempat mendapat seperti setruman ketika golok itu tercabut dari sarkofagus. Lalu aku merasakan sebuah aliran yang dapat kurasakan di sekujur tubuhku. Entah kenapa, terasa sekali," ujar Rendra seraya menimang-nimang golok Sae Pangailo.

"Serius? Kenapa aku juga tidak ikut tersetrum?" tanyaku heran.

"Entahlah ...." Rendra menaikkan kedua bahunya.

"Oke, lupakan. Sekarang ... mari kita cabut dari tempat ini!"

****

Tidak disangka-sangka, bukan hanya Rendra yang mencari keberadaan golok ini. Ketika sudah sampai di mulut gua, kami langsung disambut oleh segerombolan prajurit dari Tirtapura. Terkejut kami melihat belasan prajurit itu sudah siap dengan senjata lengkap mereka. Hanya saja, mereka terlihat lain daripada prajurit Tirtapura pada umumnya. Sebuah jubah berwarna hitam melingkupi punggung para prajurit tersebut. Mereka juga memakai udeng dan kain selempang berwarna hitam.

"Waah ... ternyata kita langsung disambut oleh Tirtapura. Permainan macam apa lagi yang Adiguna mainkan?" racauku.

"Ck, Dharmmadhyaksa Bhayangkara," sebut Emi sembari berdecak.

"Siapa mereka? Pasukan elit dari Adiguna?" tanyaku.

"Kurang lebih. Mereka adalah pasukan khusus di bawah Dharmmadhyaksa B'hruthin. Anggap saja mereka tentara khusus daripara biarawan fanatik sayap kiri di pemerintahan Tirtapura," jelas Emi.

"Singkatnya, mereka segerombolan ... tentara suci di bawah panji-panji fanatisme kepercayaan mereka," timpal Rendra.

"Serahkan golok itu!" sahut salah satu komandan prajurit khusus di depan kami.

"Lalu, akan kauapakan golok ini?" tanya Rendra sengit.

"Maharaja Wijayatirta Adiguna menginginkan golok tersebut sebagai bagian daripada harta Tirtapura!" Sang komandan menunjuk golok yang digenggam Rendra.

Rendra terkekeh kecut, seraya beringsut, "Cih, sayang sekali. Golok ini adalah pusaka dari Penjaga Tanah Dewa. Kalian tidak punya hak untuk main klaim sendiri, Bung!"

"Tidak mau menyerahkan, ya? Baiklah kalau begitu, kami akan memaksa kalian menyerahkannya. Prajurit, maju!" ancam sang komandan. Dengan sigap, selusin prajurit Tirtapura mengepung kami, siap dengan pedang, keris, dan tombak.

"Bek, sudah kauasah ilmu bela dirimu?" bisik Rendra.

Aku terkekeh, seraya balik bertanya, "Kau sendiri?"

"Puh ... aku bahkan bisa merasakan pergerakan menuju kemenangan, Bekti!" seringai Rendra.

"Haha ... jangan terlalu percaya diri," sahutku.

"Mereka terkenal karena gaya bertarungnya yang beringas. Kalian, berhati-hatilah ...," bisik Emi seraya menggenggam keris pusakanya.

"Hah, betapa beruntung hari ini, kawan! Kita juga menemukan Tuan Putri Sitaresmi! Serbu!" Kontan sang komandan pun mengomando bawahannya untuk menyerbu kami. Dengan sigap, Lisbeth langsung mencabut pistol dari pinggangnya dan menyarangkan dua buah peluru tepat ke tubuh salah satu prajurit. Prajurit itu langsung rubuh, mengawali pertarungan jarak dekat di Hutan Timur itu.

"Bantai para orang-orang tersesat dari jalan dewa itu!" sahut sang komandan.

"Dasar sekte ormas-feodalis fanatik!" teriakku sembari menerjang, kemudian menendang mundur salah satu prajurit.

Rendra pun maju dan mengayunkan golok tersebut dengan kekuatan tidak terduga, sehingga membuat satu prajurit tumbang. Ia seperti 'kesetanan', dengan meliukkan tubuhnya sesuai irama pertempuran, berkelit dari serangan musuh dengan lincahnya, sembari menebaskan goloknya ke salah satu prajurit lagi.

Apa yang aku lihat? Apakah ini perwujudan dari Rendra yang lain? Tidak pernah kusangka pria lempeng tersebut mampu berkelit dengan mudah dari terjangan tombak musuh, mengelak dari sabetan pedang, menangkis pedang musuh, bahkan menjungkalkan prajurit ketika goloknya mengayun keras ke arah perisai tentara tersebut.

Di luar dugaan, para prajurit ini juga tidak kalah ganasnya. Mereka mengabaikan aspek bertarung seni bela diri, dan mengejar kematian musuh. Bahkan setelah ditembak oleh Lisbeth, mereka masih dapat berdiri walaupun berjalan dengan tertatih. Dua magazin dihabiskan oleh Lisbeth untuk membunuh lima orang prajurit elit Dharmmadhyaksa.

Dengan beringasnya, Rendra merangsek ke depan, dengan punggung memunggungiku. Kami sama-sama berduel melawan prajurit yang tersisa, sementara Emi berpasangan dengan Lisbeth. Saling menyabet, saling menghunus pedang, menendang ulu hati lawan, berkelit dari serangan musuh. Saling menangkis serangan, kemudian memberikan kekuatan yang sepadan untuk mendorong musuh mundur.

Kejadian itu berlangsung dengan cepat. Aku melayangkan tiga buah pukulan lain ke lawan hingga senjatanya terjatuh, lalu melakukan tendangan putar untuk menghajar kepala lawan hingga tersungkur. Rendra berkelit dan menangkis serangan tombak dengan goloknya, memukul mundur lawan, kemudian aku datang dengan melompat dan menendang tepat di lehernya, sehingga lawan jatuh.

Kami sudah seperti selayaknya petarung baru di tanah Tirtanan. Rendra sendiri, telah terlahir sebagai Penjaga Tanah Dewa, adalah petarung yang pernah kukenal selama kami berdua tersesat di tanah antah-berantah ini.

Ketika kami telah selesai dengan pertarungan kecil itu, segelintir prajurit yang tersisa lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri. Sang komandan terbunuh dalam pertarungan. Kami selesai dengan cipratan darah yang membekas di pakaian kami, sesekali beberapa luka lebam karena benturan.

Tangan Rendra yang telah ternoda oleh darah para pengkhianat kedamaian. Ia telah menunaikan tugas pertamanya sebagai Penjaga Tanah Dewa, dengan menumpahkan darah para pendosa itu. Ya, pendosa yang menumpahkan nila di beningnya kedamaian Tirtanan. Aku sendiri sebagai saksi, saksi dari segelintir pertarungan berdarah di Tirtanan, juga segelintir sejarah kelam Tirtanan.

"Kau sudah bertarung segila itu? Dari mana kaupelajari itu?" tanyaku kepada Rendra yang bergeming sembari menggenggam golok yang berlumuran darah.

"Entahlah ..., seperti refleks saja, aku langsung bereaksi," komentarnya.

"Bagaimana rasanya?" tanyaku.

"Rasanya? Terkualifikasi sebagai hakikat manusia, penuh akan kekejaman," ujar Rendra datar.

Ah, manusia yang saling menumpahkan darah manusia lain demi suatu tujuan.

Manusia memang mengerikan. Sumpah, makhluk lucu satu ini.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top