38. Wijayatirta I dan Bhayangkari

Sang Tuan Putri, komandan pasukan khusus Bhayangkari, berteriak minta tolong dengan suara seperti gadis pemalu dengan dandanan layaknya perempuan kuliahan.

Aku tidak bisa berhenti tertawa dan Emi terus mengamatiku dengan tatapan kesal. Sudah berulang kali aku mencoba menahannya, tetapi baru kali ini aku tertawa lepas karena sesuatu.

"Bagaimana kaubisa membuat suara seperti itu!? Aku tidak menyangka ha ha ...."

Emi mencengkeram kerah bajuku seraya memprotes, "Hoi, itu tidak lucu! Berhentilah mentertawakan dan membahas hal itu!"

"Rendra ... kau pasti juga lihat, bagaimana tuan putri galak satu ini berteriak minta tolong ... ha ha." Aku tidak bisa berhenti tertawa, hingga Emi menendang tulang keringku. Aku beranjak dari dudukku dan berjingkat sembari mengusap kakiku.

"Katamu aku harus menyamar! Jadi aku menyamar, Tukang Lawak!" sembur Emi.

"Hiyaah ... Astaga, aku tidak bisa berhenti membayangkan ekspresimu tadi. Ditambah dengan penampilan yang seperti itu. Ha ha ha!" Oke, aku tidak dapat berhenti tertawa. Bayangan ekspresi Tuan Putri Sitaresmi ketika minta tolong dengan penampilan seperti anak kuliahan. Rasa-rasanya aku melihat sisi lain dari Tuan Putri kita satu ini.

Sekarang, rasa-rasanya kita kembali ke awal lagi. Empat belas anak tergabung dalam sebuah'ekspedisi kecil' untuk menemui Wijayatirta. Ditambah dengan seorang komandan Pasukan Penjaga Raja, dan seorang bos mafia penyelundup jaringan internasional. Sebuah kombinasi yang sangat aneh. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk menemui Wijayatirta, lalu membuat rencana selanjutnya untuk menggulingkan Adiguna, kemudian menempatkan Wijayatirta kembali sebagai raja.

Perjalanan kami, otomatis melintasi hutan di daerah Utara wilayah Tirtanan, tempat kami dulu tersesat, tempat awal dari masalah kami bermula. Bagi seorang Bhayangkari terlatih, mempelajari seluk beluk medan hutan Tirtanan di luar kepala bukanlah masalah bagi Emi. Terlebih lagi, dia adalah Wanodya Sitaresmi, putri dari Wijayatirta I. Secara teknis, apabila kita berhasil memenangkan usaha ini, Wijayatirta akan menggulingkan Adiguna, dan Sitaresmi akan menjadi putri mahkota untuk ratu Tirtapura.

Kami diingatkan untuk tidak terpisah dari rombongan ekspedisi. Ada kemungkinan kami akan menemui kabut tebal yang pernah menyesatkan kami sewaktu di hutan dulu. Kami diingatkan untuk hati-hati dengan ular dan kemungkinan macan. Juga, yang lebih membuatku sebenarnya bergidik adalah, bahwa Emi memperingatkan kami untuk awas dari segala hal yang tampak, dan yang 'samar' tampak. Anomali hutan Tirtanan bukan hanya membuat kami tersesat atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Hutan Tirtanan, merupakan sumber dari segala 'makhluk' bermula dan bernaung. Tidak jarang, anomali di beberapa hutan menyebabkan tertabraknya dua lapisan dimensi dunia yang berbeda.

Roh, dhemit, membo-membo, jin, setan, iblis, makhluk jadi-jadian berkeliaran di dalam Hutan, menunggu kami lengah. Menunggu kami mengendurkan kewaspadaan, lalu mereka menunjukkan kuasa mereka.

Aku mengimbangi langkah Emi yang berjalan sebagai pemandu jalan. Berusaha memecah keheningan percakapan di perjalanan ke tempat persembunyian Wijayatirta.

"Hoi, kenapa kauingin jadi seorang Bhayangkari?" celetukku memulai percakapan.

"Hmm? Kenapa ya? Keturunan Wijayatirta berbeda dengan keluarga kerajaan sebelum-sebelumnya. Daripada mengirimkan tilik sandhi untuk mengawasi rakyat, kebiasaan dari keluarga Wijayatirta adalah awor-ngsior, membaur dengan yang di bawah. Ayahku sering melakukan itu dengan merubah wujud menjadi rakyat biasa untuk mengetahui bagaimana keadaan rakyatnya secara langsung. Secara tidak langsung, aku menjadi ikut-ikutan ayahanda," jelasnya bercerita.

"Hmm ... menarik. Apa yang kautemukan mengubah pendirianmu?" Aku menaikkan sebelah alisku.

"Dibilang mengubah tidak juga. Mungkin dari satu-satunya sejarah para raja, aku adalah putri paling pembangkang di keluarga kerajaan. Sering kabur keluar istana hanya untuk bermain dengan anak-anak rakyat biasa. Yah, kautahu, membosankan terkungkung di dalam istana. Lalu aku melihat banyak hal yang tidak pernah kulihat di istana. Aku mempelajari kehidupan mereka, terutama para rakyat perempuan di Tirtapura," keluhnya.

"Wah ... metamorfosis Rapunzel yang blusukan ke kampung-kampung," komentarku, membuat Sitaresmi mengerutkan keningnya karena tidak mengerti.

"Kau berbicara aneh lagi," singgung Emi. Aku hanya terkekeh, lalu meminta Emi melanjutkan ceritanya.

"Aku melihat seringkali perempuan masih dianggap sebelah mata di sini. Mereka membutuhkan kehidupan yang lebih layak, daripada hanya menjadi budak laki-laki. Lalu ayahku mengizinkanku untuk mendirikan kesatuan Bhayangkari sebagai salah satu bentuk perwujudan pengangkatan perempuan agar dapat hidup sama baiknya seperti laki-laki."

"Siapa Bhayangkari-Bhayangkari itu sebenarnya?" tanyaku.

"Mereka adalah orang-orang terpilih. Akulah yang memilih mereka. Mereka berasal dari para perempuan yang terbuang dan terpinggirkan, para perempuan yang kehilangan orangtua mereka, para perempuan yang ingin mengabdikan diri bagi Tirtapura lebih dari hanya sekadar dayang atau putri bangsawan," jelas Emi.

"Hoo? Bagaimana kaubisa menilai hal itu, Tuan Putri?" tanyaku sembari tersenyum tertarik.

"Pandanglah mata lawan bicaramu, siapa pun. Lalu lihatlah, apakah ada seberkas api yang berkilat-kilat di tatapannya. Mereka yang terpilih, adalah mereka yang memancarkan api kemarahan atas ketidakadilan yang menggelimanginya. Mereka yang ingin bebas dan berontak dari tatanan," ujar Emi mantap.

"Hati-hati, terkadang api dapat menjadi sesuatu yang melukai. Kebencian, dendam, iri, dan kedengkian," sahutku.

Emi terkekeh, lantas berkata, "Aku bisa melihat kebencian dari matamu."

"Punya ajian apa kau?" sungutku.

Emi terkekeh lagi, lalu menjawab, "Tidak perlu ajian untuk hal itu. Jika kausudah bertemu banyak orang, kau akan terbiasa dengan tatapan-tatapan yang berbeda. Kadangkala, sebuah perasaan seseorang dapat terlihat dari pandangan orang tersebut."

"Hmm ... menarik ...." Aku mengelus-elus daguku.

"Omong-omong, kenapa kau yang paling semangat untuk memburu kakakku yang bodoh itu?" tanya Emi kemudian. Sejenak aku terdiam memikirkan apakah aku harus membahas ini kepada orang di sampingku? Namun, dia adalah putri dari raja negeri sebelah. Dia dan perangainya yang memahami manusia, sudah jelas penasaran dengan diriku.

"Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah melepas segel Kah Raman. Kah Raman membunuh perempuan yang kusukai," jawabku lugas.

Emi terkekeh lalu mendecak kecut.

"Sepertinya kita punya tujuan yang sama," ujarnya.

"Aku bisa melihat kebencian dari matamu." Kubalikkan pernyataan Emi tadi.

"Jangan membuat kesimpulan sendiri," decak Emi.

"Sebenarnya, aku juga tahu motifmu. Juga, kaulah yang melepas tembakan maut pada Kah Raman sewaktu kami bertempur di Hutan Timur," sahutku. Emi kemudian memperhatikanku dengan saksama.

"Kau ...."

"Aku turut berduka atas kematian anak buahmu. Menyedihkan sekali harus mengakhiri nyawa seseorang yang tidak kauhendaki dengan tanganmu sendiri," lanjutku. Emi mengerutkan kening dan memandangku aneh.

"Huh ... kebencian yang sama, ya? Dia harus membayarnya. Harus." Tatapan berkilat-kilat penuh amarah dan kebencian terlintas dari pandangan Emi, seiring dirinya memejamkan matanya.

"Yah, begitu—" Sejurus kemudian, aku tertahan ketika Emi tiba-tiba berhenti berjalan. Ia masih memejamkan matanya dan seperti fokus mendengar sesuatu.

"Ada apa?" tanyaku. Emi masih terdiam. Semua rombongan yang mengikuti kami tiba-tiba menghentikan perjalanan.

"Sepuluh ... bukan? Tiga puluh. Wah ... gawat, sepertinya mereka mengejar kita," racau Emi.

****

Sekitar tiga puluh orang prajurit Tirtapura mengejar kami, dan itu tidak bagus. Satu-satunya yang membawa senjata hanyalah Lisbeth dengan amunsi terbatas. Sedangkan yang memiliki pengalaman di medan pertempuran hanyalah aku dan Rendra.

"Semuanya! Persembunyian sudah dekat! Ayoh!" teriak Emi. Beberapa anak langsung menjinjing barang bawaan mereka, lalu berlari tunggang-langgang dari kejaran prajurit Tirtapura. Beberapa orang mulai panik sendiri. Sayup-sayup, terdengar suara teriakan-teriakan komando dan derap langkah kaki berlari.

"Itu mereka! Maju!" Sebuah teriakan dari kejauhan memecah kepanikan kami. Lalu suara teriakan perang mulai terdengar.

"Oh, bagus! Kita sekarang seperti pelintas batas di perbatasan zona merah Afganistan! Apa kita harus berlari!?" keluhku.

"Jangan banyak menggerutu, Bek. Selamatkan diri dulu!" ujar Kei yang mendahului lariku.

"Aaah! Tidak! Mereka semakin dekat!" jeritan panik Bethlehem membuat kelompok menjadi semburat kocar-kacir.

"Cih! Menyebalkan!" umpat Lisbeth seraya melepas tembakkan ke arah para pengejar. Sempat aku lirik para pengejar itu. Tentara dengan senjata dan armor lengkap seperti itu memang pantas untuk mengejar buronan terbesar yang dicari Adiguna.

Lisbeth melepas tiga tembakkan, di mana dua tembakan mengenai salah seorang prajurit. Prajurit itu langsung tumbang dan tertinggal dengan yang lain. Tiba-tiba Emi bersiul panjang, seiring kemudian dua orang Bhayangkari terjun dari atas pohon—entah bagaimana mereka bisa di sana sebelumnya—dan menjatuhi dua orang pengejar yang lari paling depan, lalu menghunjamkan keris ke leher prajurit tersebut.

"Kanthil! Padma!" panggil Emi. Kedua Bhayangkari berjubah kelabu itu langsung berlari menuju kami.

"Komandan Sita? Senang bisa melihatmu kembali! Kupikir kausudah tertangkap!" ujar salah seorang Bhayangkari, yang memakai topeng dengan wajah dan ornamen seperti tokoh wayang. Melihatnya membaut bulu kudukku berdiri untuk sejenak. Namun, dari nada suaranya, aku tidak menyangka kalau suaranya seumuranku juga.

Berapa sebenarnya umur para prajurit Bhayangkari?

"Aku berhasil lolos. Kita mendapat tamu dan anak-anak yang harus diurus di sini," ujar Emi seraya menoleh ke arah kami.

"Siapa mereka?" tanya Bhayangkari tadi.

"Anak-anak ini ingin bertemu dengan Baginda Raja! Mereka tahu bagaimana mengalahkan Adiguna!" sahut Emi. Mendengar itu, aku jadi meragukan perjalanan kami. Bagaimana bisa kami diandalkan dalam menghentikan jalannya konflik dua wilayah, plus menghentikan kudeta?

"Hah, baguslah. Hey, kalian. Pergilah ke belakang. Kami akan menghentikan mereka!" perintah salah seorang Bhayangkari. Mau tidak mau, kami terus berlari ke belakang, seiring dengan satu-dua Bhayangkari yang lari berlawanan arah dengan kami dan membentuk barisan.

Mau apa mereka?

"Oi! Emi!? Apa kauyakin mereka bisa menghentikan para pengejar itu!?" teriakku pada Emi yang agak jauh di belakangku.

Emi menoleh, lantas menyeringai sambil berujar, "Kalau begitu, lihatlah bagaimana kami bertarung, Bekti."

"Oi! Bekti! Lekas!" panggil Rendra. Namun, aku malah tetap berdiam di tempat, menyaksikan dari dekat para Prajurit Penjaga Raja itu berhadapan. Sulit memperkirakan kemenangan sepuluh orang elit Bhayangkari melawan 30 pasukan bersenjata lengkap.

"Padma! Ambilkan aku Astrabajra!" perintahnya kemudian. Aku menelan ludah ketika Emi menerima satu pucuk senapan yang tidak familier. Bentuknya berbeda dengan senapan angin milik pamong desa atau Orang-Orang Bersarung. Sejurus kemudian, aku memahami bahwa Bhayangkari menggunakan formasi baris untuk menembak. Tidak. Formasinya masih dalam satu baris, tetapi berpencar. Aku dan Rendra sama-sama dibuat tercengang di tempat melihat situasi genting itu.

"Siap!" Gelegar komando Tuan Putri Sitaresmi menitahkan para Bhayangkari untuk mengacungkan senapan mereka. Di satu sisi, para prajurit tersebut masih agak jauh berlari mendekat. Kira-kira jaraknya kurang lebih 150 meter.

"Tembak!"

Letusan senjata membuat kuping kami sedikit berdenging. Dari bunyinya bisa ditebak kalau itu adalah senjata api. Letupan dari selongsong senapan itu mengeluarkan percikan api kecil. Di kejauhan, beberapa prajurit yang berlari langsung bertumbangan, menyisakan pengejar yang semakin sedikit jumlahnya.

Aku dan Rendra dihadapkan pada realita di lapangan. Kurang dari satu menit, tiga puluh pengejar dari Tirtapura habis tanpa sisa. Bertumbangan layaknya karung beras yang jatuh bruk! Pasukan turunan kerajaan yang pernah menguasai Nusantara, habis oleh sebuah senapan jarak menengah kurang dari satu menit. Sejarah kembali mencatat kerajaan-kerajaan besar masa lalu yang dipecundangi oleh teknologi yang bernama mesiu dan senjata api, di Tirtanan.

Selesai.

30 pasukan Tirtapura itu koit dalam waktu singkat. Aku sendiri mulai bertanya-tanya, begitu mengerikankah Bhayangkari? Pasukan yang diisi oleh para perempuan yang tidak takut dengan kerasnya medan pertempuran. Selain teknik bertarung jarak dekat mereka yang mengejutkan, senjata mereka juga bukan main-main.

"A-apa itu?" tanyaku terbata-bata sembari menunjuk senapan yang dibawa Emi.

"Astrabajra. Orang-orang putih dari Tirtanan memberikan ini setelah Deklarasi Cakratirta. Senjata ini hanya dipakai oleh Prajurit Pengawal Raja," jelas Emi.

"Bekti ... itu Gewehr 88, Model 1888 Commision Rifle yang dipakai di beberapa pertempuran besar di berbagai belahan dunia sejak akhir abad ke-18," sahut Ronny yang terkagum-kagum ketika melihat barang antik di depannya berseliweran dipakai oleh para prajurit Bhayangkari.

"Bagaimana ... mereka ... bisa mendapatkannya?" Rendra menekan pertanyaannya.

"Kemungkinan sisa Perang Boer Kedua, kalau ditilik dari orang-orang yang memberikan itu," jelas Ronny.

Kami hanya terpana melihat sisa-sisa pertempuran yang sangat singkat itu. Dari kejauhan aku dapat melihat Emi berdiri sembari menenteng senapannya. Ia menatapku tajam dan tersenyum meremehkan ke arahku.

Apa-apaan!?

****

Tempat persembunyian Wijayatirta I berada jauh di dalam hutan Tirtanan. Tiga buah gubuk kecil yang berdiri di dalam hutan, sekaligus tempat di mana Raja Wijayatirta sering melakukan tapabrata di masa-masanya dulu. Gubuk tersebut berdinding kayu dan beratap gedhek. Gubuk tersebut berada jauh di dalam hutan, di pinggir ceruk-ceruk bawah tebing Utara.

Malam telah turun dengan segera setelah kami sampai. Ketika kami datang, beberapa orang perempuan dengan pakaian khas prajurit elit Bhayangkari, dengan pusaka-pusaka mereka, memerhatikan kami secara terus-menerus. Kami seolah-olah adalah sekumpulan anak-anak dari dimensi lain yang bertemu dengan mereka. Menyaksikan perbedaan kontras penampilan kami, barang bawaan kami, dan bahasa kami.

Lalu, aku memerhatikan para perempuan itu. Beberapa masih memakai topeng pertempuran. Ada yang memasang api unggun, menghitung jumlah senjata, dan merawat anggota yang terluka. Situasi di sana mirip kamp militer kecil. Lebih kontras lagi, ketika Senapan Astrabajra tersandang di punggung mereka. Senjata perjuangan para koloni Belanda di Transvaal, Afrika Selatan, kemudian masuk beberapa di Hindia Belanda di penghujung tahun 1900-an.

"Mereka terus menatap kita, Tuan Putri. Tolong jelaskan," ucapku ketus.

"Tentu saja, kalian orang-orang asing dari peradaban yang asing pula. Mereka akan penasaran dengan kalian, ketika aku kembali membawa sekumpulan anak-anak malang," sahut Tuan Putri yang kini kembali berubah sewot.

"Kami datang untuk bertemu Baginda Wijayatirta, ayahmu! Asal kautahu, kami punya segudang cara untuk membuat ayahmu kembali naik tahta! Kami adalah orang-orang intelek tinggi!" bualku kesal.

"Kau hanya berdiam diri saja ketika pasukan Adiguna mengejar! Kau takut, ya?" timpal Emi sang Tuan Putri, membautku makin kesal.

"Bagaimana aku bisa melawan mereka kalau tidak ada senjata!? Apa kau sudah sinting, menyuruh kami melawan segerombolan pengejar bersenjata lengkap, sedangkan kami melawan dengan tangan kosong!?" elakku.

"Halah, alasan! Kau laki-laki seharusnya lebih tahu dalam hal berkelahi dan bertempur di medan perang!" sewot Emi.

"Haah!? Aku tidak mau mati konyol hanya gara-gara pamer bela diri di hadapan prajurit yang terlatih dengan perisai dan pedang! Realistis saja, Tuan Putri!?" berangku. Kami berdua saling menatap penuh dengan kekesalan.

"Yak, baiklah. Sudah cukup debat kusirnya, sekarang Anda harus menunjukkan jalan menuju tempat Baginda Wijayatirta, Tuan Putri," sela Rendra yang mengakhiri adu mulut kami berdua.

Seiring dengan Rendra yang menyela kami berdua, kemudian datanglah sosok pria, memakai jubah berwarna kelabu, dengan rambut putih memanjang sebahu, memakai ikat kepala berwarna merah, janggut putih lebat dan wajah yang penuh dengan kerutan-kerutan penuaan. Di pinggangnya telah terselempang pusaka berupa keris sepanjang kurang lebih setengah meter. Bola mata hitam berkilat tertempa sinar api unggun. Suara bariton yang terseret, sedikit juga terdengar tegas itu memecah perhatian kami. Tuan Putri Sitaresmi langsung duduk berlutut sembari menyembah salam kepada pria itu, membuatku dan Rendra akhirnya ikut-ikutan duduk berlutut.

Dia adalah Wijayatirta I.

"Sembah salam, Ayahanda," ujar Tuan Putri memberi tabik.

"Kuterima salam darimu, Sita. Senang sekali engkau datang kembali dengan selamat. Bagaimana keadaan di Tirtanan?" tanya pria tua itu.

"Adiguna membangun pangkalan militer di daerah Timur Laut. Jalur Timur telah ditutup oleh pasukan Adiguna. Tirtanan terkungkung dalam cengkeraman pasukan Tirtapura dan mereka sedang berunding," jelas Emi.

"Perundingan apa itu, Sita?" tanya Baginda Wijayatirta.

"Tirtanan akan dikuasai oleh Adiguna dalam waktu kurang dari 15 hari, jika hamba dan ayahanda tidak menyerahkan diri di tangan Adiguna. Pasukannya kini sedang menyusuri hutan untuk mencari keberadaan kita." Emi melanjutkan penjelasan.

Baginda Wijayatirta menghela napas, lantas berkata, "Kita tidak ada waktu banyak. Kita harus mencari cara untuk menghentikan Adiguna secepatnya, atau darah akan tertumpah lagi di tanah itu untuk kesekian kalinya."

Kemudian, sejenak Baginda Wijayatirta mengamatiku dan Rendra agak lama, hingga ia pada akhirnya berkata, "Jadi, inikah anak-anak yang dikabarkan engkau bawa untuk menemuiku?"

Emi menjawab, "Iya, Ayahanda. Mereka adalah ... hmm ... mahasiswa yang ingin bertemu dan berunding dengan Ayahanda. Kata mereka, mereka akan membantu kita untuk mengalahkan Adiguna."

Aku pun berkata untuk memperkenalkan diri, "Salam, Baginda. Hamba adalah perwakilan dari orang-orang yang dibawa oleh Tuan Putri Sitaresmi. Kami ingin menawarkan kerja sama dengan Baginda Wijayatirta untuk kembali bertahta di Tirtapura, sekaligus mengembalikan kedamaian bagi orang-orang Tirtanan."

Baginda Wijayatirta mengangguk-angguk, seraya berucap, "Aku menghargai bantuan dari kalian, anak-anak yang datang dari tempat asing. Kabar bahwa ada orang-orang baru yang memasuki Tirtanan sudah sempat terdengar."

Kemudian, ia menoleh kepada Rendra. Sempat tidak terdengar adanya percakapan lagi, membuatku penasaran dan perlahan mendongakkan kepala. Aku melihat Baginda Wijayatirta sedang menatap Rendra lamat-lamat.

"Wahai, pemuda. Siapa namamu?" tanya Baginda Wijayatirta.

"Umm ... nama hamba adalah Rendra, Baginda. Narendra Surbakti," jawab Rendra.

Kemudian, pertanyaan Baginda Wijayatirta selanjutnya mengagetkan kami semua.

"Surbakti? Kau anak Surbakti? Apakah itu berarti, kau datang bersama pria yang bernama Abram Cahya?"

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top