37. Solusi Cerdas Memecahkan Permasalahan Sosial
14 hari sebelum tenggat waktu.
Aku hanya bisa menggerutu, ketika melihat sekelompok prajurit Tirtapura tengah berjalan-jalan di tengah jalan pedesaan Tirtanan. Aku hanya kesal saja ketika mereka dengan angkuhnya melintas, sesekali menggoda para gadis-gadis desa. Mereka terkadang juga membikin ribut oleh hal remeh-temeh, seperti saling senggol, atau pedati yang menghalangi jalan. Demi Tuhan! 2 hari mereka berada di wilayah Tirtanan, mereka dengan entengnya membuat ulah di mana-mana.
Aku jadi membayangkan, ketika pasukan ini sudah layaknya pasukan pendudukan zaman Perang Dunia Kedua. Mereka dengan angkuhnya berbaris, sesekali memukuli para warga yang lewat di samping mereka tanpa sebab. Mereka sudah layaknya orang-orang yang berjalan penuh kebanggaan, menyandang status sebagai tentara pendudukan. Padahal, jika mereka tahu siapa yang mereka layani, mereka juga akan kembali mempertanyakan untuk apa, atau untuk siapa mereka berjuang?
Usaha hegemoni Adiguna untuk menguasai Tirtanan secara perlahan, bukanlah sekadar gertak sambal. Daerah kantong tercipta di daerah Timur Laut. Orang-orang jadi takut untuk pergi ke ladang, jika sewaktu-waktu tentara tersebut menyerang. Jalur perdagangan menjadi tersendat, ketika para tentara Tirtapura memenuhi Balai Pos Dagang. Jalur Timur diblokade oleh pos penjagaan, sehingga jalur perdagangan Tirtapura-Tirtanan menjadi terputus.
Raja Adiguna merupakan orang yang paranoid. Sehari setelah insiden yang mengganggu di pendopo, ia memerintahkan pasukannya untuk melakukan patroli, menyisir kampung demi kampung untuk mencari siapa yang mengacau di akhir acara negosiasi. Aku jadi kasihan pada setiap orang yang dituduh menjadi provokator, hanya karena mereka memiliki senapan. Meski Pak Kusno dan Nenek Naode memerintahkan untuk gencatan senjata, mereka sudah gatal ingin saling menghajar.
Lucu saja, ketika melihat Gestapo Tirtapura-julukan kami untuk pasukan patroli Tirtapura-selalu bersitegang dengan aparat keamanan kampung. Mereka saling menatap dengan nanar setiap kali berpapasan, mengejek, hingga yang paling parah saling menodongkan senjata. Tidak kalah heboh, ketika Gestapo Tirtapura juga bersitegang dengan warga yang lama mendorong gerobak, mengerjai orang yang naik sepeda onthel hingga pengemudinya terjatuh, atau mereka yang memaki-maki barisan bebek yang kocar-kacir ketika meliaht tentara Tirtapura melintas.
Kawan, kenapa tiap hari, orang-orang makin tambah sinting saja!?
Para dosen, Ferdyan, dan Adrian sedang sibuk untuk mendiskusikan banyak hal. Mereka mendiskusikan rencana-rencana yang akan dijalankan, jika tuntutan 15 hari Adiguna tidak dipenuhi. Kami tahu, para pemuka desa sedang memikirkan cara agar Tirtanan bisa bebas dari cengkeraman Adiguna.
Hingga, ketika kami mengenalkan Wanodya Sitaresmi kepada teman-teman, seluruh kelompok tiga KKN-Integrasi gempar. Secara teknis, kami menyembunyikan seorang buronan yang dicari oleh Tirtapura dan Tirtanan. Situasi juga tidak menguntungkan kami. Di satu sisi, kami menghindari Tirtapura untuk menangkap Sitaresmi. Di sisi lain, Tirtanan juga menginginkan dia, sebagai bentuk pemenuhan persyaratan tuntutan 15 hari gencatan senjata Tirtapura-Tirtanan.
Berbagai macam reaksi ditunjukkan. Ronny, Kei, dan Bethlehem, tentu saja terpesona dengan keelokan Tuan Putri. Des tidak aku percayai, apakah dirinya akan bersikap oportunis lagi. Ia tidak terlalu terkejut dengan kehadiran Sitaresmi.
Para gadis langsung terkesima dan akrab lebih cepat daripada aku atau Rendra yang pertama kali menemukan dirinya. Seolah-olah mereka berkata, "Oh, hei! Sitaresmi adalah teman yang menyenangkan! Aku pikir dia bisa ikut kelompok kita!"
Aku tidak habis pikir, apakah gadis-gadis ini terlalu banyak menonton sitkom, atau drama luar negeri!? Lalu, apakah mereka tidak tahu konsekuensi untuk menyelundupkan buronan banyak pihak? Sejauh ini, anak-anak dapat diajak bekerja sama. Pertama, untuk menutupi informasi mengenai Sitaresmi yang ada di Desa Tirtanan. Kedua, menutupi jejak.
"Bagaimana dengan negosiator kita? Mereka sudah diberitahu?" tanyaku.
"Bah, mereka selalu dekat dengan para birokrat. Mereka masih sibuk. Aku tidak dapat mengambil risiko lebih jauh untuk masuk lebih dalam," ujar Rendra.
"Tidak bisakah kita minta bantuan Nai? Pak Soedja? Mayor Jacquess?" Aku mengangkat bahu.
"Kita tidak tahu motif mereka, Bek. Semua orang sedang sinting hari ini. Adiguna dengan entengnya membuat tuntutan itu. Di satu sisi, orang-orang kita tidak mau jika saling tembak terjadi lebih awal. Jika kita menuruti pemikiran orang-orang, mereka akan lebih memilih menangkap Sitaresmi, daripada harus berperang melawan Tirtapura," jelas Rendra.
Aku kesal, sempat menggerutu, "Uugh! Apa Nenek Ketua juga tidak bisa membantu?"
"Annelies telah mencobanya, tetapi Nenek Ketua tidak ingin ditemui siapa pun," jawab Rendra.
"Orang-Orang Bersarung juga sepertinya tidak ingin ikut campur lebih jauh dalam masalah ini. Memang mereka mengusahakan agar Tirtanan tidak jatuh ke tangan Adiguna. Namun, mereka menolak bekerja sama untuk mencari Wijayatirta dan Sitaresmi," tambah Adrian.
"Mau bagaimana lagi? Nenek Naode dan Raja Wijayatirta itu masih ada hubungan bilateral turun-temurun yang dijaga oleh kedua belah pihak. Dengan gulingnya pemerintahan Wijayatirta dan Adiguna yang mendobrak hubungan bilateral itu, maka segalanya jadi kacau," jelasku.
"Gawat. Perlahan, orang-orang di sini mulai terpecah menjadi beberapa faksi. Aku khawatir kalau konflik laten ini berlangsung lama dan membuat orang-orang yang kesal dengan pihak lain akan menodongkan senjata ke arah musuh," komentar Rendra.
Oke, kita kehabisan pilihan. Malam telah larut jauh memasuki waktu dini hari.
13 hari sebelum tenggat waktu. Tiba-tiba kami mendapatkan sebuah ide cemerlang. Ide konyol yang tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun. Ini akan menjadi sebuah operasi rahasia Kelompok KKN-Integrasi tergila sepanjang waktu.
****
"Apa otak kalian berdua sudah korslet?? Berkemah!?" Seperti biasa, Al sudah main protes.
"Aku tahu kita kurang piknik, tetapi tidak begitu juga, Rendra," tambah Annelies yang ternyata juga sedikit tidak setuju.
"Whoa! Whoa! Guys, ini adalah strategi yang tidak mungkin terpikirkan oleh semua orang! Rencananya adalah, kita akan menyelundupkan Tuan Putri untuk kembali ke hutan, dan bertemu dengan Wijayatirta I. Lalu, sebagai kamuflase, kita adakan acara berkemah di hutan sebagai bentuk tamasya Kelompok KKN-Integrasi!" sergahku.
"Tamasya ke hutan? Di tengah konflik perang dingin Tirtanan-Tirtapura!? Aku tidak habis pikir, siapa yang akan mengizinkan kita untuk kemping di tengah hutan??" debat Bethlehem. Aku tahu, dia tidak ingin pergi kembali ke tempat menyedihkan yang membuatnya ketakutan selama terjebak di sana.
"Tentu saja orang-orang akan mengizinkan. Setidaknya kita butuh liburan! Hanya itu! Apakah orang-orang akan mempermasalahkan kita liburan di tengah perang dingin?" Rendra berusaha berargumen.
"Bagaimana jika kita berkemah, sekaligus berpura-pura untuk mencari Raja Wijayatirta?" usul Auriga.
"Tidak, sayang. Baik Tirtanan atau Tirtapura akan membonceng acara kita. Acara ini tidak boleh ada campur tangan pihak mana pun!" sergah Rendra.
"Siapa yang bisa kita minta untuk perizinan?" celetuk Firdya.
"Kita akan coba melobi Prof. Abram lewat Adrian. Aku yakin, dia bisa diajak bekerja-sama, setelah dia tahu kejadian ini. Aku yakin, Adrian tidak akan se-gegabah itu membocorkan rahasia," jelasku.
"Oke, jika kita sudah ketemu Wijayatirta, lalu apa?" Tiba-tiba Des beringsut.
Sejujurnya aku benci mengakui ini, tetapi aku malah tidak terpikir satu hal yang konkrit. Tidak ada jawaban yang kunjung keluar dari mulut Rendra. Aku tidak memikirkan sampai sejauh mana rencana ini berjalan. Bertemu Wijayatirta, oke. Lalu, selanjutnya? Kami belum berpikir apa langkah kami selanjutnya.
Kurasa ada benarnya perkataan bocah tengil itu. Apa yang bisa kita dapatkan dari pertemuan dengan Wijayatirta?
"Kurasa ... itu ide yang bagus juga." Jawaban tidak terduga datang dari Tuan Putri sendiri.
"He? Benarkah, Tuan Putri?" sahut Ann.
"Ah ... kalian panggil saja aku dengan Sita," sergah Tuan Putri sembari sedikit malu.
"Oh, panggil dia dengan nama Emi saja," sahutku.
"Hoi, kenapa kau dengan seenaknya mengubah panggilan orang?" Emi-Sitaresmi-beringsut.
"Kaubutuh nama samaran di sini. Kita tidak dapat membongkar identitasmu selama kau masih di Tirtanan," ujar Rendra.
Emi berdecak, lalu berkata, "Uh, terserah kalian lah."
"Heey ... kurasa Emi tidak terlalu buruk," celetuk Ronny, di susul dengan persetujuan dari beberapa anak lainnya.
"Baiklah ... Emi, jadi apa alasanmu untuk menyetujui ide ini?" tanyaku.
"Kita bisa gunakan itu untuk pergi ke hutan. Aku mengenali seluk beluk hutan Tirtanan. Jika kita sudah sampai ke tempat ayahanda Raja, kita bisa pergi ke ibukota lewat jalur hutan pula," jelas Emi.
"Kenapa ibukota?" tanyaku.
"Kita bisa mempelajari situasi di sana. Mencari setiap celah yang ditinggalkan Adiguna, memungkinkan kita untuk mengakhiri konflik, menangkap Adiguna, dan merebut kembali tahta ke tangan ayahanda Raja," lanjut Emi menjelaskan.
"Bagaimana, semuanya?" Aku kemudian menawarkan rencana kepada forum. Semua anak menyetujui. Operasi Tamasya ke Hutan dijalankan.
****
Persiapan dilakukan segera setelah rencana itu disetujui oleh seluruh anggota kelompok KKN. Rencana ini tidak hanya dibuat main-main saja. Aku menekankan kalau ini harus dibuat sebagaimana layaknya rencana para anak muda yang ingin camping di alam liar. Kami mengumpulkan logistik dan perbekalan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan kemah terselubung kami. Adrian berusaha melobi ke Profesor Abram untuk mengizinkan seluruh anggota kelompok KKN pergi berkemah. Aku dan Rendra meminjam tenda dari salah satu anggota Mafia Tomassi, meski sempat ditanya mau digunakan apa. Namun, sang anggota mafia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.
Kami berharap agar rencana kami berjalan dengan lancar, tanpa kendala. Kalau rencana ini berhasil, setidaknya kami dapat bertemu dengan Wijayatirta, pergi ke ibukota, mencari celah agar dapat membalik keadaan. Aku dan Rendra memiliki rencana kami masing-masing, sebagai bagian dari rencana lanjutan Operasi Tamasya Ke Hutan ini. Sayangnya, apa yang pertama kami pikir mulus, ternyata tidak semulus yang kami duga.
12 Hari sebelum tenggat waktu.
Waktu itu adalah pagi hari sekitar pukul setengah tujuh. Kami sudah bersiap berangkat. Meski pada awalnya Profesor Abram meragukan usulan kami untuk pergi ke hutan, ternyata Adrian jauh lebih andal dalam mempersuasi beliau.
"Aku tidak menyangka kalau aku disuruh bapak tua itu untuk menjadi pengasuh anak," keluh Lisbeth. Ia ditugaskan oleh Prof. Abram untuk menjaga kami. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah Lisbeth bisa dipercaya.
"Jadi, bagaimana dengan bisnis barang selundupanmu?" canda Rendra.
"Aku dipaksa untuk menjual barangku dengan harga murah ke raja sialan itu! Tentu saja aku tidak mau! Bisnis perdaganganku sekarang ditutup sementara oleh orang-orang Tirtapura!" ujar Lisbeth kesal.
"Kenapa kau tidak melawan?" tanyaku.
"Aku tentu sudah menembak kepala mereka satu per satu, jika tidak ada kesepakatan damai yang menyebalkan ini. Huh! Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran semua orang!" Ia terus menggerutu.
"Oi ... Lisbeth. Di pihak siapa kau?" tanyaku tiba-tiba. Lisbeth sempat heran dengan pertanyaanku.
"Maksudmu?" Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya.
"Tirtanan? Tirtapura? Orang-orang bersarung?" Aku menatap Lisbeth lamat-lamat.
"Hmm ... Tirtapura adalah orang-orang licik yang menyebalkan, setidaknya untuk Adiguna dan para pengikutnya. Orang-orang bersarung terlalu santai untuk diajak bekerja sama dengan kami. Tirtanan terlalu takut untuk berkonflik, pascateror yang diakibatkan oleh si Iblis Kah Raman, sehingga mereka dengan mudahnya tunduk pada tekanan ...," ucap Lisbeth. Aku menatapnya untuk menunggu.
"Kurasa aku akan berdiri sendiri. Sekalipun harus menghadapi mereka, aku akan tetap mempertahankan yang aku punya," ujarnya kemudian mantap.
"Huh ... kurasa kaubisa dipercaya," kataku.
"Hoi! Kau jangan melawak. Enak sekali kalian, dengan entengnya merengek minta ke bapak tua itu agar diizinkan main ke dalam hutan. Sedangkan kami berusaha untuk menjual barang dari jalan belakang ...," gerutu Lisbeth.
"Maaf, tetapi kurasa Prof. Abram tepat dalam memilihmu sebagai pengawal," ujarku.
Kemudian percakapan kami disela oleh Emi. Aku terkejut ketika mendapati penampilannya berubah drastis. Terakhir kali aku menemukan Emi memakai baju khas prajurit Bhayangkari, kain kemben bermotif parang rusak dengan lilitan stagen, memakai kain jarit yang dijahit hingga membentuk kain tapih berwarna merah tua polos dengan motif batik yang serupa, perhiasan berupa gelang di kedua tangan, dan jubah berpenutup kepala berwarna abu-abu. Ia mengonde rambut hitam sebahunya. Aku sempat bertanya-tanya bagaimana dia bergerak dengan lincah dan fleksibel, ternyata dia memakai pakaian seperti celana-yang mana kain tapihnya hanya sebagai bagian luar. Setidaknya pakaiannya mengindikasikan dia berasal dari Kerajaan Tirtapura.
Sekarang Emi yang kulihat adalah seorang perempuan yang memakai kemeja berwarna merah muda, cardigan biru muda, celana jeans, serta sepatu olahraga berwarna putih. Rambutnya dikuncir kuda, serta memakai kacamata ber-frame hitam minimalis. Tanpa sadar aku menahan tawa, membuatnya jengah.
"Goblok! Ja-jangan tertawa!" ucapnya kesal sembari berusaha memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.
"Kau tampak berbeda sekali. Lebih ... kekinian," komentarku.
"Ini ... pakaian yang kalian kenakan? Rasanya memang dapat bergerak bebas sih, tapi ...." Karena pertama kalinya Emi memakai jeans, rasanya dia agak sedikit risih.
"Perlahan kau akan terbiasa. Dengan begini, kau tampak lebih muda seperti kami," ujarku menggoda Emi.
"Sialan kau! Aku masih seumuran kalian!" balas Emi.
"Omong-omong, siapa yang meriasmu sedemikian modern-nya?" tanyaku.
Emi menghela napas seraya berujar, "Dua orang temanmu, Al dan Annelies. Mereka begitu antusias."
Aku berterima kasih dalam hati kepada mereka berdua, karena penyamarannya benar-benar ... bisa dibilang ... menarik.
"Jangan lupa, kalau kau menyamar, kau harus memakai ini, Tuan Putri." Tiba-tiba, Rendra datang sembari memakaikan topi ke kepala Emi. Lengkap sudah penyamaran Emi sebagai salah satu anggota dari KKN-Integrasi kelompok 3. Aku memandang ke sekeliling, ketika semua orang sudah siap untuk pergi menjalankan misi rahasia. Kalaupun kami harus melakukan sesuatu, rasa-rasanya hanya ini yang bisa kami lakukan. Mengonfrontasi secara langsung pihak yang bertikai juga tidak akan mungkin. Kami menyadari, bahwa kami hanyalah seorang akademisi.
Hingga pada saatnya kami berangkat dan hampir sampai di tepi hutan, tiba-tiba kami dipanggil oleh beberapa Gestapo Tirtapura yang tengah berpatroli.
"Cih! Hampir saja kita berhasil ...," umpatku.
Mereka berjumlah delapan orang dan di luar dugaan, ada Patih Cakra di antara rombongan tentara yang berpatroli itu. Kalau kami tertangkap, hanya Lisbeth yang memegang senjata, itu pun sebuah pistol dengan dua magazin cadangan.
"Maaf mengganggu, tetapi kami harus memeriksa kalian," ujar si komandan dari regu patroli itu.
"Haa!? Apa urusannya dengan kalian!? Kenapa kami harus diperiksa, kalau kami hanya pergi ke hutan!? Kenapa kalian selalu ikut campur kesenangan orang!?" labrak Bethlehem sembari menuding komandan patroli.
"Maaf sekali, nak. Kami juga sedang dalam pencarian orang yang mengacau di pendopo tempo hari lalu. Segala aktivitas keluar dari Tirtanan harus diperiksa," ujar komandan.
"Itu akan memakan waktu. Ayolah, Bung! Hoi, kami hanya ingin pergi ke hutan!" timpal Lisbeth.
Patih Cakra menyela perdebatan dan berujar pada si komandan, "Mohon tenang, semuanya. Ini tidak akan memakan waktu lama. Kami hanya memeriksa sekilas saja."
"Silakan. Kalian hanya mencari orang itu, bukan?" sungut Rendra.
Satu per satu dari kami diperiksa. Para prajurit patroli tersebut mengamati wajah kami, apakah ada yang mirip dengan pelaku penembakan di pendopo. Barangkali, mereka juga ingin mencari kemungkinan adanya Wijayatirta dan Sitaresmi. Sayangnya, sang Tuan Putri ada bersama rombongan kami. Aku berharap, prajurit patroli tersebut payah dalam mengenali orang. Tidak butuh waktu lama, ketika para prajurit telah selesai dalam melakukan pemeriksaan. Kami semua menghela napas, waktu prajurit mencoba memeriksa Emi.
"Komandan, tidak ada. Mereka dapat lanjut," ujar salah satu prajurit pada si komandan patroli.
"Baiklah. Kalian boleh keluar. Kami permisi dahulu." Kemudian, para prajurit patroli itu berlalu. Kami menghela napas panjang begitu pemeriksaan selesai di lakukan. Ada sedikit ketegangan di sana. Belum ada kami berjalan kembali, tiba-tiba kami dikejutkan oleh sesuatu yang tidak kami kira.
"Tunggu dulu, komandan! Saya rasa, saya harus memeriksa satu orang," ujar Patih Cakra tiba-tiba.
Ah, sial!
Jantungku berdegup kencang. Siapa pun pasti akan kembali cemas dan takut, ketika Patih Cakra dan komandan patroli kembali untuk menggeledah kami. Aku rasa, Patih Cakra tidak dapat diremehkan begitu saja. Ia dekat dengan keluarga kerajaan, sehingga sangat mungkin untuk mengenali salah seorang anggota keluarga kerajaan, di tengah sekelompok anak muda yang ingin kemping di hutan ini. Dugaanku mencuat, ketika Patih Cakra mendekati dan mengamati Emi lamat-lamat.
"Mohon maaf, nona. Anda harus ikut dengan kami untuk pemeriksaan lebih lanjut." Kata-kata Patih Cakra seolah-olah menyambar kami.
"Ma-maaf. Tapi apa salah Emi!?" Aku maju untuk menyela, tetapi dua prajurit bergegas menghadangku. Mereka sudah bersiap dengan menggenggam pegangan pedang dan perisai.
"Gadis ini memiliki kemiripan dengan salah satu orang yang dicari di Tirtanan. Kami harus membawanya. Tenang saja, kami hanya menanyai gadis ini beberapa hal," ujar Patih Cakra.
"Hey! Mau kalian apakan Emi!" gertak Rendra
"Oi! Dia teman kami! Kau tidak dapat seenaknya menangkapnya!" tambah Bethlehem.
"Hoi! Jangan sentuh Emi!" Aku menuding Patih Cakra. Kami mendapat hadangan dari para prajurit patroli. Mereka sudah siap menghunuskan pedang mereka.
"Mohon maaf, perjalanan kalian terganggu. Kami harus melakukan pemeriksaan. Ini demi masa depan Tirtanan juga." Patih Cakra tersenyum dengan dipaksakan. Ia kemudian memegang tangan Emi dan akan menggeret gadis itu.
"Hoi ... kau bergerak selangkah lagi, kuletuskan kepalamu ...." Tiba-tiba, Lisbeth menodongkan pistolnya ke arah Patih Cakra, yang membuat para prajurit kaget dan langsung menghunus senjata mereka. Tiga prajurit mendekati dan menghadang Lisbeth dengan pedang teracung ke arah bos mafia itu.
"Lisbeth ... tenanglah," bisik Rendra pada Lisbeth. Lisbeth hanya berdecak kesal.
"Kami tidak ingin memulai pertumpahan darah dan merusak gencatan senjata hanya karena hal sepele ini. Turunkan senjatamu. Komandan, kita kembali ke barak dan bawa gadis ini ke tenda interogasi," perintah Patih Cakra.
Si komandan kemudian mencengkeram lengan Emi dan menggeretnya menjauh dari kami.
"Ti-tidak! Lepaskan! Tolong!" teriak Emi sembari meronta dari cengkeraman komandan patroli. Yang lainnya berteriak-teriak untuk mencegah, memaki, menggertak mereka. Namun, pasukan patroli masih menghadang kami.
"Diam!" Si komandan menggertak Emi, kemudian menempelengnya. Refleks, Lisbeth menembakkan pistolnya, hanya melewati si komandan patroli. Letusan senjatanya langsung membuat si komandan terhenti dan para prajurit peleton mengepung Lisbeth. Si komandan berbalik dan menatap nanar Lisbeth.
"Hoi! Tangkap perempuan itu!"
"Tunggu!"
Sebuah suara datang dari arah kampung. Aku melirik dan melihat Prof. Abram, Mayor Delberg, Yamaguchi-san, dan Yuhei-san, bersama beberapa keamanan kampung datang menyela peristiwa tangkap-menangkap itu. Keajaiban kawan!
"Lepaskan dia! Dia adalah warga Tirtanan! Kalian telah melanggar kesepakatan untuk tidak mencoba melukai warga sini!" tegas Mayor Delberg.
"Mayor, orang ini mencurigakan. Barangkali dia adalah salah satu dari buronan yang kami cari. Izinkan kami untuk memeriksanya," sahut Patih Cakra bersikeras.
"Dia adalah anggota kelompok kami. Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang melukai anak bimbinganku, bahkan setingkat Patih sepertimu!" hardik Prof. Abram. Kata-kata 'aku'-nya telah menegaskan, kalau beliau sedang mencoba membela kami. Prof. Abram mungkin tidak tahu kalau ada tambahan orang di kelompok KKN. Namun, Prof. Abram mungkin tahu siapa Emi sebenarnya, sehingga dia coba untuk membantu kami.
"Maaf, Profesor Abram. Apakah Anda yakin, dia adalah salah satu dari kelompok Anda?" tanya Patih Cakra sembari menatap Prof. Abram.
Ketika situasi semakin memanas, tiba-tiba dari arah hutan terdengar seperti suara siulan panjang. Dalam hitungan detik ke depan, semua terjadi lebih cepat. Emi tiba-tiba merunduk, seiring dengan suara letusan senjata dari arah hutan, kemudian langsung menggulingkan si komandan patroli. Di susul suara letusan senjata lainnya yang menumbangkan dua orang prajurit patroli.
"Kita diserang!?" Patih Cakra panik. Para prajurit yang menghadang kami, langsung dengan sigap menuju ke Patih Cakra untuk melindunginya. Emi yang memanfaatkan kesempatan itu, langsung lari ke arah kami.
"Lari!" teriaknya.
"Jangan kabur!" teriak salah seorang prajurit yang menghadang laju Emi, tetapi Emi mengelak dan melayangkan tendangan putar, tepat ke arah kepala prajurit itu.
"Ternyata nyaman juga celana ini!" komentar Emi.
"Apa kubilang!" sahutku yang lantas tertawa.
Kami semua langsung berlari semburat ke arah hutan. Beberapa prajurit patroli hendak mengejar kami, tetapi mereka dicegah dengan todongan senapan penjaga kampung. Prof. Abram menggelengkan kepala untuk memperingatkan mereka.
"Lariilah, bocaah! Lari!! Temukan cara untuk mengusir mereka dari Tirtanan!" Teriakan Mayor Delberg mengiringi kepergian kami ke arah hutan.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top