33. Kisah Para Raja - Bagian 2
Hai. Kalau kalian penasaran kenapa tiba-tiba saya meletakan sebuah author note di sini. Mungkin dua hal. Yang pertama, selamat tahun baru 2018. Hehe. Sebenarnya aku ingin buat drabble komedi dari tokoh-tokoh di TBL, tapi entah kenapa pikiran dan ide itu menguap begitu saja setelah kemarin tidur semalaman dan hanya bangun ketika terdengar suara ledakan.
"Itu, petasan, Author!? Kaukira itu suara debak senapan angin?" ujar Rendra.
"Ish, berisik dah."
Baiklah. Apa ya. Entah apakah ada resolusi kepenulisan tahun 2018? Mungkin ... Aku ingin menamatkan TBL dan Civitas tahun ini, terus mau ... istirahat dulu kayaknya hehe. (*lalu melihat proposal skripsi yang sudah menghantui /menang0s).
Hal yang kedua, terkait dengan cerita ini. Bab ini lebih tepatnya. Saya juga telah melakukan beberapa riset mengenai Kakure Kirishitan (Kristen Tersembunyi yang beradaidi Jepang). Iya, aku memakai patokan dan 'Teori Dasarnya' dari Novel Silence karya Shusaku Endo dan website resmi pengajaran Katholik di Jepang, untuk mengetahui bagaimana gambaran Kakure Kirishitan pasca-perang di Shimabara dan persekusi Kristen dari tanah Nippon. Perlu ditekankan beberapa hal lagi di sini. Satu, saya tidak ada niatan untuk menjelekkan, merendahkan, bahkan melakukan persekusi verbal terhadap kepercayaan mana pun, meski yang saya bahas adalah kepercayaan yang berbeda dengan milik saya. Ini merupakan sebuah karya fiksi, di mana saya mencoba mengonstruksi sebuah keadaan di mana toleransi antar-umat beragama bisa akur tanpa ada prasangka atau persekusi dari kelompok mayoritas. Saya tahu ini utopis, tapi memang tujuan dari cerita ini yaitu. Sehingga saya tekankan pada para pembaca, untuk tidak terlalu GOBLOK sampai menjadi sumbu pendek.
Saya punya banyak teman orang yang berbeda aliran dan kepercayaan dengan saya. Saya baik-baik saja dan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Terlalu capek jika dibuat konflik yang berlarut-larut dan akan makan banyak tenaga. Jadi ... jangan-jangan orang-orang yang senangnya mempersekusi—menghalang-halangi atau melarang—golongan lain senang menghambur-hamburkan tenaganya. Saya ya nggak mau lah y h a. Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Persoalan keyakinan jangan dibawa debat untuk hal yang ... bahkan useless. Jangan dikit-dikit demo, dikit-dikit tamasya wiro sableng 212.
Dua, saya mohon maaf sebesar-besarnya, apabila terdapat beberapa kekeliruan atau perbedaan pendabat untuk beberapa cerita (mungkin dua bab ke depan lebih tepatnya). Saya, selaku author TBL, meminta bantuan dari seluruh kawan-kawan pembaca, apabila ada informasi tambahan atau koreksi mengenai beberapa materi terkait kepercayaan yang berbeda, khususnya pada kawan-kawan yang menganut Kristen Katholik. Saya mengakui bahwa saya tidak sepintar ahli teologi. Saya hanya melakukan riset dari beberapa sumber di media daring dan beberapa buku serta novel yang memiliki topik yang sama. Jadi,komentar, kritik, dan masukan sangat krusial di bab-bab ini, karena kalian—para pemabca—akan sangat berkontribusi dalam membantu menyempurnakan cerita ini, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut.
Tiga. Saya tahu mungkin beberapa bab ini adalah filler untuk menstabilkan tensi cerita (Oke, saya sudah kapok dengan apa yang terjadi di seri Civitas yang tensinya naik terus tapi ga pernah turun dan ga ada jeda). Sebenarnya, permasalahan cerita yang terkait agama dan kepercayaan yang jadi 'sensitif' dan 'tabu' adalah karena ulah para pembacanya juga. Kalau kalian bisa menerima dan tidak keburu jadi sumbu pendek, masalah cerita yang menyangkut agama dan kepercayaan ini bukan menjadi sebuah hal yang sangat tabu untuk dikelupas sebenarnya. Namun, saya tetap akan mengatakan, bagi kalian yang masih menganggap 'bagian' cerita ini tabu, saya sarankan untuk skip ke bab selanjutnya. Namun, berpotensi untuk mengurangi sedikit nilai informasi dari cerita ini. Bisa jadi beberapa informasi pendukung cerita ada di bab-bab yang sensitif ini. Namun, saya kembalikan lagi ke pada para pembaca. Up to you, guys.
Dameeeen! Author notenya dua halaman sendiri. Namun, kiranya begitulah kiranya yang ingin saya sampaikan. Selamat membaca dan tetap santai.
----------------------------------------------------------------------------
Kisah ini aku ceritakan kembali, melalui catatan-catatan dari Fransesco Ayala, atau seringkali disebut-sebut oleh pengikutnya dengan nama Bateren Furankou. Aku menceritakan ini, berdasarkan isi dari catatan Fransesco Ayala, yang sudah diterjemahkan oleh Bapa Youchi.
Ayala menulis tiga buah jurnal selama hidupnya. Jurnal yang berisi hari-harinya selama berada di Tirtanan. Sampai sekarang jurnal tersebut tersimpan di gereja yang berada di daerah perkampungan Jepang Tirtanan.
Kisah ini akan aku ringkaskan dalam bentuk tiga bagian. Bagian pertama adalah kisah perjalanan Fransesco Ayala selepas kepergiannya pasca-pemberontakan Shimabara dan perjalanannya menuju tempat yang tidak terduga.
Kisah ini dimulai pada Oktober 1638. Sebuah kapal berbendera Portugis yang bertolak dari kepulauan Jepang, tiba di pelabuhan dagang Makau. Kapal tersebut tampaknya dihuni oleh para pesakitan yang amat sangat. Sejak Shimabara pecah perang dan berakhir dengan pembantaian 37 ribu orang pengikut Kirishitan—Katholik Jepang—, makin banyak kapal Portugis yang angkat sauh menuju Makau. Ya, mereka adalah orang-orang terusir. Korban dari sebuah kemelut politik dan kekuasaan yang rumit, terpadu dalam dua keyakinan yang berbenturan.
Salah satu di antara orang-orang tersebut adalah Fransesco Ayala dan Giussepe Felix Pereira. Mereka berdua adalah salah satu orang yang berhasil selamat, setelah era persekusi pengikut Katholik di kepulauan Jepang mulai digalakkan. Mereka dikisahkan membawa serta 47 pengikut mereka, yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka. Terombang-ambing di laut selama hampir tiga pekan, dihantui oleh kengerian dan mimpi buruk para penganut Katholik yang dikejar-kejar pasukan utusan shogun.
Fransesco Ayala tidak mengira, hasil dari para misi selama di kepulauan Jepang, harus berakhir tragis dengan pembantaian besar-besaran, orang yang ... secara teknis tidak bersalah. Mereka hanya memiliki pandangan dan keyakinan yang berbeda. Politik yang membahas ini sangat pelik. Pada awalnya dimulai dari kisah saling tempur antara dua klan yang berbeda—Matsukara dan Arima—yang berujung pada ketidakpuasan rakyat kepada sistem feodal yang memaksa rakyat untuk terus memberi mereka makan dan upeti. Kekacauan, kelaparan, dan wabah penyakit adalah sebuah pemicu yang efektif untuk meledakkan sebuah pemberontakan.
Hal ini belum pula ditambah oleh intervensi dari para 'pemain' di zaman kolonialisme. Kekuatan-kekuatan Eropa berbondong-bondong menyebar ke segala penjuru dunia untuk menancapkan imperium mereka. Spanyol dan Portugis yang memulai. Kemudian disusul oleh kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.
Malang tidak dapat ditolak, ketika Shiro Amakusa dan para pemberontak lainnya harus kalah di Kastil Hara. 37 ribu pemberontak melawan 120 ribu tentara Shogun. Kalah telak, dibantai pula. Mereka yang tersisa dari puing-puing kekalahan dan kekejaman bangkit perlahan untuk mengejar kehidupan di luar sana. Begitu pula nasib Eropa—terutama Portugis—yang dilarang untuk menginjakkan kaki di tanah itu lagi. Banyak pula misionaris yang ikut dipersekusi, di masa Kirishitan bergerak secara bawah tanah—Kakure Kirishitan—.
Perjalanan Ayala dan pengikutnya sebelum terdampar di Tanah Tirtanan disebut-sebut dalam catatan Ayala sendiri, sebagai perjalanan yang sangat jauh, dengan melewati dan menetap sementara di beberapa tempat. Selama dua bulan lamanya, Ayala dan Pereira harus berkutat dan mempersiapkan di pelabuhan dagang Makau, sebelum akhirnya, Januari 1639, mereka angkat sauh menuju Malaka. Perjalanan demi perjalanan ditempuh oleh Ayala dan pengikutnya, sebelum Maret 1639, mereka tiba di Batavia. Di Batavia, mereka terkatung-katung di tengah kemelut perang di berbagai tempat di Nusantara.
Hingga Juni 1639, Ayala dan pera pengikutnya tertahan di Batavia. Satu per satu pengikutnya mulai menyebar. Kebanyakan pergi kembali ke Makau atau ke Luzon, Filipina. Hingga pada Desember 1639, Ayala mendapatkan sebuah pesan agar dia menuju ke Timor. Berangkat bersama Felix dan 24 pengikutnya, Ayala dijadwalkan berangkat pada 12 Desember 1639, berangkat dari Batavia, menumpang kapal dagang untuk menuju ke koloni Portugis di Timor. Hingga 1640, manifes pelayaran pos dagang Portugis di Timor tidak mencatat kedatangan rombongan Fransesco Ayala dan Felix Pereira.
*****
Ayala tidak mengira, perjalanannya ke Timor akan mengalami sebuah hambatan besar. Kapal mereka terdampar di salah satu pantai. Mereka harusnya telah jauh dari Pulau Jawa. Ayala pertama kali mengira kalau dia mendarat di pesisir pantai Bali.
"Pada waktu itu, rombongan Ayala dilanda ketakutan yang sangat hebat. Mereka menangis sembari memanjatkan doa-doa. Mereka akhirnya ditemukan oleh salah satu penduduk lokal di sini," jelas Bapa Youchi.
"Hmm ...siapakah yang menemukan, Bapa?" tanyaku.
Pada akhirnya, Ayala diberikan petunjuk, ketika dia bertemu dengan orang-orang yang memakai kain yang disarungkan. Mereka adalah Orang-orang bersarung. Kemudian, rombongan Ayala diizinkan masuk dan diizinkan untuk membangun tempat tinggal di sebelah Timur Laut. Ayala mendeskripsikan bahwa dia menggambarkan orang-orang yang berada di sana, sebagai suku-suku penunggang kuda yang ramah. Terkadang, Ayala juga sempat melihat barisan pedagang dari Timur datang, sebagai utusan perdagangan Tirtapura. Ingin Bapa Ayala berkeliling ke tempat-tempat yang dikatakan sebagai tempat yang menakjubkan yang disebut Tirtapura, tetapi Bapa Ayala masih berfokus untuk mengayomi para pengikutnya.
Dalam waktu tiga tahun, mereka berkembang dengan cukup pesat. Orang-orang Jepang tersebut beranak-pinak. Di sini adalah sebuah keunikan tersendiri, mengingat, orang-orang Jepang yang tinggal di Tirtanan memiliki keturunan dari dua garis. Satu garis keturunan Jepang asli, dan satu lagi keturunan dari Tirtanan. Keluarga yang beraliran darah asli mendirikan klan Yamaguchi, keluarga yang beraliran darah campuran mendirikan klan Yamadachi. Mereka secara praktik dalam membangun hubungan, saling bekerja-sama dan mengayomi, seiring mereka berasal dari akar bangsa yang sama.
Namun, secara perlahan, muncullah sebuah pemisahan. Dikisahkan pada Tahun ke-delapan—Bapa Ayala menghitung berdasarkan waktu Masehi dan waktu dia menetap di Tirtanan—sering terjadi pertengkaran antara dua kubu. Walaupun mereka beribadah dalam satu gereja dan satu seminari yang sama, mereka menyimpan sebuah perselisihan di luar. Yang satu menganggap keluarga mereka sudah tercampur dengan darah dari bangsa lain, yang satu menganggap keluarga mereka adalah keturunan trah dari Arima.
Lucunya, pada saat mereka sudah berada dalam klimaks pertikaian, tiba-tiba orang-orang dari Suku Bersarung mulai berdatangan. Ayala tidak menyangka, ketika kepala suku mereka, Nae Neoada, melerai pertikaian itu dengan sebuah cara. Nae Neoada menggelarkan sebuah jamuan makan malam tujuh hari berturut-turut lamanya. Menggabungkan kedua klan untuk makan malam dalam satu meja yang sama.
Secara konsisten, Ayala sering bertukar pikiran dengan Nae Neoada, tetapi baru kali ini, Ayala melihat sendiri sebuah eksekusi dari pemikiran Nae Neoada. Ayala mengatakan kembali, pemikiran Nae Neoada, bahwa Tirtanan adalah tempat di mana kebencian diurai terus-menerus hingga menjadi perdamaian. Ternyata jamuan makan malam tujuh hari berturut-turut lamanya itu mampu meredakan ketegangan. Hingga, pada hari Ketujuh jamuan makan malam, Nae Neoada memberikan sebuah pesan kepada Ayala, yang akan merubah pola pemikiran Ayala kedepannya.
"Bapa, pengikutmu adalah satu saudara. Tirtanan, adalah tempat di mana jalinan keluarga telah terikat menjadi satu. Ketika kalian menapaki tanah ini, kalian telah menjadi satu saudara besar. Dengan orang-orang kami, dengan kalian, dengan para penduduk Tirtapura." Begitulah pesan Nae Neoada.
Menariknya, kedua pihak keluarga telah menyesali, perbuatan mereka terus bertikai dan saling membenci. Bapa Ayala merasa lega, bahwa pertikaian itu belum terjadi pertumpahan darah. Kemudian kedua belah pihak keluarga, klan Yamaguchi dan klan Yamadachi sepakat untuk bernaung dalam satu atap yang sama. Mereka berada dalam satu rumpun klan baru, klan Mizu. Mizu yang berarti air. Sesuai dengan nama tempat itu, Tirta yang juga berarti air.
Bapa Ayala menyatukan kembali pengikutnya, di bawah bantuan Nae Neoada. Eksodus Shimabara—tidak—klan Mizu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Mereka menghilangkan sebuah segregasi kecil, di mana mereka tidak lagi peduli. Mau menikah dengan orang Bersarung, orang Tirtapura, mereka akan tetap menjadi orang-orang Tirtanan. Klan Mizu tumbuh dengan pesat, dengan bertambahnya jumlah mereka. Mereka menasbihkan diri untuk terikat dengan keluarga dari bangsa lain.
Orang-Orang Bersarung mengajarkan mereka untuk berburu dan bercocok tanam di daerah itu. Klan Mizu mengajarkan mereka untuk membuat pedang terbaik, mengajarkan mereka untuk memanah di atas kuda, mengajarkan bahasa mereka. Bapa Ayala, menolong orang-orang yang tersesat jiwanya, menerima orang untuk masuk agamanya, merawat orang-orang yang sakit, dan mengajarkan mereka untuk menulis apa pun keyakinan mereka. Rasa-rasanya, Bapa Ayala telah menemukan tempat di mana dia dapat melayani dan menuntun pengikut mereka dalam peribadatan.
Bapa Ayala kira, perdamaian tercipta setelah itu.
Ternyata tidak.
****
Tahun Ke-18.
Terjadi sebuah perbedaan pendapat antara Ayala dengan salah satu rekannya, Felix Pereira. Pendapat itu kemudian dituliskan sendiri sebagai sebuah pergolakan hati dari antarsaudara yang saling berbeda pemikiran.
Perdebatan itu dimulai pada satu titik, di mana Felix dan Ayala tengah berdiskusi untuk memperlebar dan mengajarkan ajaran Katholik pada Orang-Orang Bersarung. Felix bergerak dengan ide bahwa misi mereka di Dunia Baru, tidak lain adalah selain menyebarkan agama mereka. Pada awalnya, Ayala menyetujui pemikiran dari Felix. Mereka kemudian mengikuti jalur dagang Suku Bersarung, bahkan sampai mereka menginjakkan kaki di Tirtapura. Ketika sampai di kerajaan kecil itu, Bapa Ayala mendeskripsikan Tirtapura adalah sebuah kerajaan yang damai di tengah hutan. Selama misi perdagangan tersebut, mereka menyebarkan paham mereka, mengajarkan Injil kepada orang-orang. Hingga pada satu titik, timbullah sebuah perdebatan.
"Mengapa kita harus memaksakan apa yang menjadi dasar kehendak mereka?" tanya Ayala.
"Bapa Ayala, bukankah kita ini semua saudara? Lantas akankah kau yang bertanggung jawab atas saudara-saudaramu yang masih belum beriman?" tanya Pereira balik.
"Mereka mengimani mereka berdasarkan apa yang mereka yakini sendiri-sendiri. Bukankah selama ini, mereka datang atas kehendak mereka sendiri? Bukankah selama ini, mereka yang meminta kita untuk membaptiskan mereka dan anak mereka? Asalkan kautahu, Pereira, mereka juga memberi kita lebih dari ini," ujar Ayala.
"Masih banyak saudara-saudaramu yang tersesat, Bapa. Mari kita ajarkan mereka apa yang kita imani," sungut Pereira.
Namun, Ayala menggeleng seraya menjawab, "Tidak, saudaraku. Kau tidak boleh memaksakan kehendak mereka. Jika mereka beriman karena terpaksa, lantas untuk apa mereka mengimani apa yang kita imani?"
"Saya akan berangkat menuju Makau untuk meminta orang lagi," ujar Pereira dengan dingin.
Lalu, Bapa Ayala dengan perasaan marah berseru, "Apakah kauingin menumpahkan darah lagi di sini!? Berapa kali bangsa kita melakukan ini hanya demi sebuah keimanan!? Tidak, bahkan bukan demi keimanan, tetapi bahkan kekuasaan!? Apa kauingin kita dibantai dan diusir lagi seperti yang terjadi di Nagasaki? Seperti yang terjadi di Shimabara?! Tidak ada kapal yang melintas di sini! Neoada sudah memberitahuku! Tidak akan ada kapal yang melintas!"
"Aku sudah buat kapal, Bapa! Aku akan keluar dari sini!"
Dengan keras kepalanya, Pereira beringsut bahwa ia akan mendaratkan dan menciptakan koloni Portugis yang baru di sini. Ia telah buat dua buah kapal dan rencananya, ia akan bertolak menuju Makau. Sayangnya, di tahun itu pula eksepdisi menuju ke Makau itu gagal. Tujuh puluh orang mati sia-sia karena kapal mereka tidak dapat keluar dari perairan Tirtanan. Bahkan Pereira sendiri hampir mati, jika ia tidak diselamatkan oleh nelayan-nelayan dari Desa Nelayan.
Maka, Pereira dengan hasrat ingin melakukan penyebaran Katholik, tidak hanya sebatas pada pendekatan secara halus, tetapi mulai pula menekan. Pereira mengajak seluruh pengikut gereja untuk membantu memulai sebuah tindakan kelam seluruh Gereja Katholik. Inkuisisi. Selama tiga bulan masa inkuisisi, dengan radikal Pereira menyebarkan paham-paham Injil, disertai dengan teror dari para pengikut gereja agar orang-orang di Tirtanan, terutama Orang-Orang Bersarung, berpindah keyakinan. Hal itu membuat Ayala murka, sehingga mengecap Pereira sebagai gembala yang ikut tersesat bersama dombanya.
Tindakan inkuisisi Pereira terdengar oleh Chandratirtarajasa, penguasa Tirtapura kala itu. Tirtapura yang merasa ketakutan, pada akhirnya membatasi orang-orang Klan Mizu untuk pergi ke Tirtapura, khawatir adanya penyebaran aliran yang dibawa oleh orang-orang asing itu. Sementara Orang-Orang Bersarung terus menjadi korban. Pada puncaknya, ketika Orang-Orang Bersarung mengadakan upacara adat tahunan, yang kemudian berubah menjadi kerusuhan berdarah yang menewaskan lebih dari lima puluh orang. Suku Bersarung merasa ketakutan, hingga akhirnya Nae Neoada mengambil jalan perlawanan.
Tepatnya di bulan ketiga, Tahun ke-19. Terjadi pertempuran kecil yang tidak dapat terelakkan. Klan Mizu melawan Suku Bersarung. Bulan keempat, tahun ke-19, Klan Mizu kemudian menyerang perkampungan luar di teritorial Tirtapura. Pecah perang tidak dapat terhindarkan lagi. Kurang lebih total terdapat 120 korban tewas dalam pertempuran tersebut. Tirtapura berkoalisi dengan Suku Bersarung, bersiap untuk mengakhiri perang dengan klan Mizu.
Bapa Ayala yang telah berusia 89 tahun pada kala itu, berjuang seorang diri untuk menghentikan peperangan, sebelum darah tertumpah di Tirtanan untuk kesekian kalinya. Sebelum apa yang terjadi di Shimabara, terulang kembali di Tirtanan. Maka pada suatu ketika, berjalanlah dirinya untuk memperingatkan Nae Neoada agar menghentikan perang. Nae dengan berat hati menolak permintaan Bapa Ayala, karena darah telah tertumpah dan adat mereka telah terusik. Kemudian, Bapa Ayala menemui Chandratirtarajasa agar raja tersebut menghentikan perang. Namun, jawabnya sama saja. Chandratirtarajasa tidak sanggup untuk menghentikan perang.
Hingga pada akhirnya, Bapa Ayala pergi untuk menemui sendiri Pereira, meminta agar dirinya menyerah dan menghentikan perang. Namun, Pereira yang sudah tertutup mata batinnya, tidak mengindahkan permintaan Bapa Ayala. Baginya, perang adalah jalan satu-satunya dalam mendapatkan sebuah wilayah dan menjadikan Katholik sebagai hegemoni di wilayah tersebut.
Kemudian, malam sebelum perang, Bapa Ayala mengasingkan diri di Hutan Timur Laut. Kemudian ia merenungkan dan memutuskan bahwa dia akan tetap menghentikan perang, segila apa pun caranya. Ia tidak ingin kedamaian yang telah dia bangun harus sirna. Dia tidak ingin klan Mizu harus menderita sedemikian rupa akibat perang karena perbedaan keyakinan ini. Maka, apakah yang Bapa Ayala lakukan untuk menghentikan perang?
Ketika fajar menyingsing, tiga pasukan bersiap di padang rumput di sebelah Selatan Tanah yang Diberkati. Genderang perang dibunyikan. Tarian perang dilaksanakan. Seruan-seruan dan doa-doa perang dipanjatkan. Tepat ketika tiga pasukan tersebut bersiap mengangkat senjata, Bapa Ayala berjalan, tepat di antara ketiga kumpulan pasukan yang berbeda.
Mengejutkannya, semua berhenti untuk menghunus senjata mereka. Semua orang pada waktu itu terperangah, ketika Bapa Ayala berjalan menyeret dengan bantuan tongkat, berseru untuk menghentikan perang.
"Hentikanlah saudara-saudaraku ... hentikanlah saudara-saudaraku ... hentikanlah saudara-saudaraku." Begitulah kiranya yang terus diucapkan Bapa Ayala, ketika berjalan melintas di antara ketiga deretan pasukan. Ia terus mengucapkan tersebut dengan nada parau. Ia berjalan dari ujung jalan hingga ke ujung jalan lainnya yang memisahkan ketiga pasukan.
Mengejutkannya, semua berhenti. Semua bergeming di tempatnya. Semua menyaksikan Bapa Ayala berjalan di sepanjang jalan, hanya untuk menghentikan satu wilayah untuk berhenti berperang. Ketika hampir sampai pada ujung jalan, Bapa Ayala kemudian kehilangan keseimbangan dan jatuh. Semua orang mendekati dan mengerumuninya. Bapa Ayala sudah tidak kuat lagi untuk berjalan, dengan napas yang tidak lagi beraturan. Ia meninggalkan pesan terakhirnya sebelum dia berpulang ke hadapan Bapa di Surga.
"Hentikanlah bertikai dan buatlah kedamaian di tempat ini."
Tepatnya bulan keempat, tahun ke-19. Fransesco Ayala, meninggal dunia. Semua orang bersedih. Semua orang berduka. Klan Mizu telah kehilangan sosok penuntun mereka dengan Tuhan. Di tengah kerumunan orang yang berduka itu, satu orang menangis dengan kencang. Sosok Giussepe Felix Pereira yang berusia 65 tahun. Murid dan pengikut Fransesco Ayala.
****
Tahu-tahu, aku sudah terbangun dan mendapati hari telah gelap. Terdengar suara azan di seberang sana. Maghrib telah menjelang, ketika aku tertidur di gudang ini. Aku bergegas keluar dan menemui Bapa Youchi untuk pamit.
"Ah, di sini kamu rupanya. Bagaimana dengan gudangnya?" tanya orang yang membesihkan halaman depan gereja tadi. Orang yang memintaku untuk masuk ke gereja.
"Sudah selesai. Saya ingin pamit sama Bapa Youchi," ujarku sembari menyalami orang itu.
"Saya Bapa Youchi," ujar pria tersebut.
"Eh, tunggu. Bukankah Bapa Youchi yang memintaku untuk membersihkan gudang?" tanyaku heran.
"Iya, saya memang menyuruhmu untuk membersihkan gudang," ujar pria yang mengaku sebagai BapaYouchi.
"Oi, Bekti! Rupanya kau di sini? Ayoh, kita pulang. Sudah Maghrib." Rendra memanggilku dan menghampiriku.
"Tunggu sebentar, Rendra. Saya ingin menanyakan. Siapa orang ini?" tanyaku sembari menunjuk pria tadi.
"Lah, itu Yamaguchi Youchi, kakak Yamaguchi-san. Beliau yang mengurus gereja ini," ujar Rendra.
"Lalu, apa yang sedari tadi Anda bingungkan?" tanya pria yang mengaku Bapa Youchi tersebut.
"Tidak, tapi tadi Bapa Youchi menceritakanku soal kisah Fransesco Ayala," protesku.
"Bekti, jangan bikin heboh. Ayoh, giliranmu untuk bantu memasak!" sungut Rendra berusaha menggeret tanganku.
"Tunggu dulu, Rendra!" tahanku.
"Kapan aku menceritakan padamu soal Fransesco Ayala. Saya dari tadi bersama orang-orang membersihkan luar gereja!?" dalih pria tersebut.
Tunggu, ada yang tidak beres.
"Halah, banyak alasan. Ayoh, nanti ketinggalan Jamaah Maghrib, pula!"
"Tunggu sebentar, Rendra. Satu pertanyaan lagi!" Aku beringsut. Aku kemudian menghadap pria yang bernama Yamaguchi Youchi itu.
"Bapa Youchi,"
"Iya?"
"Anda bisa baca bahasa Portugal?"
Yamaguchi Youchi menggeleng.
Kakiku bergetar kencang, aku jatuh berlutut dan aku tidak kuat berjalan.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top