32. Senja di Penghujung Pertempuran

Tidak ada cerita perang yang berakhir dengan menyenangkan. Ungkapan ini mungkin terdengar sedikit tidak relevan, mengingat para penikmat cerita perang selalu memihak satu sisi. Namun, aku di sini mempertimbangkan sebuah sisi lain. Sisi, di mana manusia berjalan maju menuju kehancuran.

Saatnya kita memikirkan apa yang telah terjadi.

Hingga detik ini, jumlah total korban teror Kah Raman mencapai 67 orang. Ini adalah kehilangan terbesar kedua dalam sejarah Tirtanan modern, sejak Kah Raman meneror tempat ini beberapa dekade silam. Teridentifikasi 73 persen adalah para warga yang maju ke garis depan. 17 persen merupakan korban sewaktu kekacauan terjadi pasca penyerangan fajar. Sisanya, adalah para warga yang diculik dan mengalami nasib tragis seperti Ningsih Soekarliek. Dibunuh atau dipaksa untuk mati di tangan keluarga mereka sendiri.

Membunuh kerabat atau keluargamu sendiri adalah sebuah kesedihan mutlak di sini. Ketika kauharus menodongkan senjata ke arah orang yang kaucintai. Ketika dia sudah tidak dapat diselamatkan dari cengkeraman kegelapan, selesai sudah. Tidak ada harapan.

Pun, akhir dari teror ini terasa antiklimaks. Bahkan Nenek Naode yang mengayomi seluruh manusia yang ada di Tirtanan, merasakan kesedihan yang mendalam tatkala harus mengeksekusi Kah Raman yang tersiksa di ujung hidupnya. Nenek Naode masih berpikir, bahwa Kaha—sebutan Kah Raman oleh Nenek—adalah satu-satunya saudara yang masih dia punya. Secara teknis, kini Nenek Naode adalah orang terakhir di keluarganya.

Ketika kami kembali ke desa pun, tidak ada perayaan kemenangan besar-besaran. Semua susah, semua sedih, dan semua repot. Upacara pemakaman dilaksanakan sehari setelah pertempuran di Hutan Timur selesai. Cara pemakaman mereka berbeda. Mayoritas, mereka dikuburkan di daerah Hutan Timur. Ya. Pemakaman orang-orang yang ada di Tirtanan memang di situ. Tidak salah, ketika Hutan Timur dijuluki hutan yang angker, karena itu merupakan tempat pemakaman yang sudah ada sejak orang-orang pertama Tirtanan datang ke tempat ini.

Orang-orang yang berasal dari Desa Nelayan menerapkan ritual sendiri. Jasad yang telah ditinggalkan oleh rohnya, akan dilarung ke laut dengan menggunakan rakit. Mereka akan tertelan ombak dan akan tercebur ke dasar laut. Aku sedikit tertarik dengan ritual mereka. Jika apa yang pernah Nan Dase ceritakan itu kita anggap benar, maka Desa Nelayan merupakan orang-orang dari generasi awal Tirtanan, jauh sebelum Nio Nandusaer menjadi kepala suku pertama. Jadi, tidak salah jika mereka menerapkan ritual yang seperti itu.

Sementara kami sendiri juga ikut berduka. Aku terpaksa menceritakan ini kembali walaupun aku masih terasa sakit di perasaanku. Mengetahui bahwa Ningsih Soekarliek telah meninggal dengan akhir yang ... tidak bisa dibilang baik, banyak dari kita yang ikut bersedih. Orang-orang yang telah mengenalnya selama ini, termasuk kami yang 'baru' saja menetap di Tirtanan, tidak kuasa melimpahkan kesedihan yang mendalam atas kematian Ningsih.

Aku, Rendra, Ann ....

Al dan Gita yang pernah bermain bersama dia ....

Orang-orang yang pernah terlibat kisah jatuh cinta dengannya ....

Pak Soedja sudah tidak mampu lagi bersedih. Selama berhari-hari, dia murung dan tidak mau makan. Sampai akhirnya Nenek Naode terus menyambangi dirinya, agar tidak terjadi sesuatu yang menyedihkan ikut menimpa Pak Soedja.

Kawan, ia sudah mendapatkan kesedihan mutlak. Berkali-kali ia telah menyaksikan dan merasakan kesedihan ketika ditinggal mati orang-orang terdekatnya. Teman-temannya semasa dia masih muda, istri pertamanya, istri keduanya, dan kini putri semata wayangnya. Mungkin Pak Soedja terus berpikir, kapan dia akan diangkat dari dunia? Kapan dia akan mati? Kapan dia bisa menyusul orang-orang yang dia cintai? Membayangkannya saja sudah membuatku terasa ikut-ikutan pilu.

Untuk diriku sendiri? Aku tidak tahu bagaimana aku harus berekspresi setelah semua kekacauan ini. Aku tidak merasa bahagia dan senang atas kematian Kah Raman. Aku tidak merasa senang ketika dapat kembali ke desa dengan selamat. Aku tidak merasa senang atau bahagia ketika menyadari bahwa teror yang diciptakan Kah Raman telah usai selama-lamanya.

Hanya ada kelam di dalam diriku. Aku terjebak pada sebuah ruang gelap, di mana aku hanya bisa merasakan rentetan kejadian yang menyedihkan selama hidupku. Tidak pernah aku merasakan rasa sedih seperti ini seumur hidupku. Entah mengapa, aku bahkan tidak tahu lagi caranya bersedih, tidak tahu bagaimana harus menangis. Mungkin, dia hanyalah seorang gadis biasa, tetapi aku tidak ingin bermain mulut lagi. Aku memang menyukainya sejak pandangan yang pertama. Aku memang menyukainya setelah dia sering bersama kami. Aku memang telah menaruh hati kepadanya.

Yamato Nadeshiko-ku.

Dia yang tidak pernah dapat kugapai.

*****

28 Hari kami berada di Tirtanan.

Baiklah, sudah selesai pertimbangan dan perenungannya. Sekarang, kita berbenah dan mulai berdiri kembali di atas puing-puing kemenangan atas kejahatan. Infrastruktur yang mengalami kerusakan tidak terlalu parah. Hal yang mungkin sangat membutuhkan perawatan adalah pintu dan kaca rumah, serta ladang dan pagar peternakan yang dibobol sewaktu penyerangan oleh sekte Kah Raman. Orang-orang yang mengalami histeria massal telah disembuhkan, dengan bantuan dari orang-orang pintar Suku Bersarung. Mereka bersyukur, tidak segera kehilangan akal dan kewarasan. Mereka hanya menderita luka ringan sewaktu 'dijinakkan'.

Kemudian, yang paling aneh dari rentetan kejadian ini. Satu orang perempuan yang kini tengah kebingungan dengan orang-orang yang mengerumininya, serta satu orang laki-laki setengah menyebalkan, dengan entengnya memamerkan hal di luar nalar kepada semua orang.

"Serius? Kauhidup lagi??" Bethlehem memandang Ann dengan tatapan tidak percaya.

"Bohong!? Ini pasti tipuan hutan angker!? Tapi kakinya menapak tanah ...," tambah Kei sembari mengamati serius sepatu Ann.

"Benar kaumati?" tanya Ronny sembari mengamati Ann dengan mata 'liar'.

"Hoi, gendut. Kauingin dicekik lagi!?" Firdya menyeret Ronny ke belakang dan memiting kepalanya.

Ronny meronta seraya beringsut, "Oi! Oi! Wanita liar! Apa kau masih kena air kobokan Kah Raman, ha!?"

Ann hanya cengar-cengir dan tolah-toleh kebingungan.

"Kalian mungkin tidak begitu percaya pada bualan cowok resek itu, tetapi aku juga melihat dia hidup lagi setelah ditembak mati oleh Kah Raman. Tanyakan juga setiap orang yang ikut kelompok penyerang empat," tukasku menjelaskan.

"Wah! Aku juga mulanya tidak percaya, tetapi gadis itu benar-benar membawa hal menghebohkan sejak datang ke sini pertama kali," sahut Rendra dengan bualan dan cengiran yang terlihat resek itu.

"Menurut penuturan Nai, apakah benar, kaupunya sebuah kekuatan regenerasi yang tinggi?" tanya Auriga.

"Ah ... soal itu. Aku juga tidak terlalu mengerti ...," jelas Ann kebingungan.

Kemudian kehebohan itu terhenti, setelah Prof. Abram datang sembari mendehem dengan kencang dan menyela pembicaraan.

"Ehem! Kalian sudah selesai bergosip?"

"Ah ..., ada apa Prof?" sapaku. Semua orang kemudian diam dan menoleh ke arah Prof. Abram.

"Kalian bisa mulai ikutan membantu bersih-bersih di sini. Masih ada banyak hal yang perlu dikerjakan," ujar Prof. Abram, yang kemudian disambut oleh nada kekecewaan dari banyak orang. Memang, beberapa hari setelah pertempuran selesai, semua orang serba sibuk. Mulai dari yang mengurus upacara pemakaman, upacara berkabung, membenahi infrastruktur desa, menanam kembali ladang yang sempat diobrak-abrik oleh para pengikut Kah Raman.

Setelah kerumunan bubar, aku dan Rendra mengikuti Prof. Abram yang sedang berjalan-jalan ke desa. Wajah sepuhnya membuatku tidak dapat memikirkan lebih lanjut, bagaimana perasaan seorang pria yang sudah udzur ini ketika dihadapkan pada kekacauan yang terjadi. Hampir satu bulan lamanya, para mahasiswa di bawah pengawasannya terjebak di tempat asing bernama Tirtanan. Tidak dapat keluar, terkungkung dalam sebuah hegemoni masyarakat masa lampau.

"Prof, saya ingin bertanya pada Anda?" tanya Rendra kepada Profesor.

"Ada apa, Rendra?" Prof. Abram menoleh pada Rendra.

"Menurut bapak, bagaimana di sini?"

Prof. Abram tertawa kecil, sebelum menjawab, "Yah ... terlepas dari segala kekacauan yang terjadi, desa ini memiliki sebuah keunikan tersendiri. Terdiri dari berbagai macam orang dari kebudayaan dan masa yang berbeda. Mereka meneruskan keturunan mereka, menjalin hubungan sesama,tanpa ada satu konflik apa pun."

Aku juga tidak mau kalah, bertanya, "Pak, apakah, kita akan di sini selamanya?"

"Hmm ... entahlah. Saya juga tidak berpikir untuk menetap di sini selamanya. Masih banyak hal yang harus saya urusi di luar. Tentunya, menghilang satu bulan lamanya tanpa ada pemberitahuan bukanlah hal yang wajar, bukan? Cepat atau lambat, orang-orang di luar akan mulai khawatir dan mencari kita," lanjut Prof. Abram berujar.

"Bagaimana perasan bapak, ketika berada di tempat ini? Maksud saya ... dengan semua kedamaian ini? Terlepas dari konflik yang baru saja terjadi," kejarku.

"Entahlah, saya hanya merasa di sini lebih damai daripada dunia luar. Hiruk-pikuk dan kesibukan mereka tetap dijalani dengan tidak terburu-buru. Mereka seperti punya ritme yang lebih lambat dan santai daripada di kota," jelas Prof. Abram. Kami berdua hanya menganggukkan kepala.

"Lalu, orang-orangnya?"

Prof. Abram tidak langsung menjawab. Ia mengambil napas panjang, lalu mengeluarkannya lewat mulutnya secara perlahan, sebelum akhirnya ia menjawab, "Apa yang telah terjadi, aku tidak pernah melupakan orang-orang di sini. Mereka adalah orang-orang baik yang saling membantu. Tidak peduli dari mana kau berasal, dari mana kau dilahirkan, apa keyakinanmu, dan apa warna kulitmu. Jika ada surga dunia, mungkin di sinilah tempatnya."

Kami menyaksikan matahari semakin bergerak ke arah Barat. Senja telah menampakkan kuasanya. Langit menjingga semakin jelas. Burung-burung sore mulai berkaok-kaok membentuk formasi berbentuk huruf 'v', terbang ke arah Utara. Kami kembali melihat pemandangan Tirtanan di sore hari seperti biasanya. Hanya saja, kini banyak orang-orang yang berlalu-lalang untuk membersihkan sisa-sisa kekacauan. Ada yang membersihkan rumah, memperbaiki pintu dan jendela, mengganti pagar, membuat kandang, hingga merapikan kembali kebun-kebun sayur.

Ketika aku dan Rendra melanjutkan kembali untuk berjalan-jalan di desa sore itu, sampai juga kami di depan sebuah gereja tua yang cukup tinggi. Menariknya, gereja ini dibangun hampir terbuat dari kayu. Batu hanya di bagian pondasi saja. Satu-satunya gereja di Tirtanan, Gereja Katholik Francesco de Ayala. Gereja dengan dua tingkat, di mana tingkat ke dua lebih tinggi dan berfungsi sebagai menara lonceng. Gereja ini juga dibangun, berseberangan dengan sebuah masjid yang cukup besar.

Jika Gereja dan Masjid saling berseberangan, dengan orang-orang yang penuh dengan kedamaian antar sesama entitas manusia, lengkap sudah kedamaian hakiki yang ada di tempat ini. Aku memang tidak pernah menyaksikan sebuah toleransi tingkat tinggi seumur-umur di tempatku. Selama ini, aku hanya melihat dari layar kaca televisi, tentang pertentangan antaragama, antar-keyakinan, yang berujung pada dinyalakannya kembali sifat tribalisme pada diri manusia.

Manusia itu masih primitif, seiring dengan masih saja ada pertikaian gara-gara yang agama ini menista agama ini, agama itu menghina agama itu. Ke mana konsep Lakum dinukum waliyadin yang tiap hari harus dihapal sewaktu mengaji di masjid? Ke mana konsep toleransi itu? Sudah sirnakah kata itu dari kamus peradaban manusia?

Ah, aku tidak ingin berpanjang pikiran. Aku ingin menikmati kedamaian seperti ini untuk waktu yang lama.

Terlihat beberapa orang tengah berbenah dan berbersih di sekitar gereja.

"Anu ... apakah ada yang bisa kami bantu?" tanyaku.

"Hmm ... yah ... yah. Kami butuh bantuan untuk merapikan rak yang ada di dalam sana!" ujar salah seorang warga yang bertugas membersihkan bagian depan gereja. Ketika aku memasuki gereja tersebut, interiornya tidak ubahnya seperti gereja pada umumnya. Bahkan, ini tidak seperti gereja yang terbangun dengan megahnya, berhiaskan interior kaca hias atau lukisan di setiap sudut ruangan.

Hanya terdapat barisan kursi panjang dan sebuah altar kecil yang berada di undakan podium di depan. Aku menuruti perkataan orang tadi, agar membantu untuk membersihkan rak yang berada di dalam. Aku tolah-toleh untuk mencari rak yang dimaksud, tetapi tidak ada benda seperti itu. Aku kebingungan, tidak tahu apa yang sebenarnya aku lakukan di dalam sini. Beberapa orang sedang sibuk di luar. Aku tetap berdiri termenung di tengah gereja, hingga seseorang tiba-tiba muncul dari pintu yang berada di samping podium.

"Ah! Ke sini!" ujar seorang pria sembari melambaikan tangan ke arahku. Aku menunjuk diriku, bermaksud untuk menanyakan apakah dia memang berbicara padaku.

"Iya! Kau!" panggil pria tersebut. Aku kemudian menghampiri dirinya.

"Maaf sudah merepotkan, tetapi aku membutuhkan bantuanmu untuk merapikan tempat ini ... umm ...." Pria itu sedikit kebingungan.

"Bekti. Septian Bekti," ujarku.

'Ah ... baiklah, saudara Bekti. Saya adalah pastor di sini. Anda dapat memanggil saya Youchi," jelasnya seraya memperkenalkan diri.

"Baiklah ... Bapa Youchi. A-apa yang bisa saya bantu di ... ini gudang?" tanyaku sembari mengamati sekitar. Ruangan yang tidak terlalu besar. Lebih seperti tempat penyimpanan. Hanya ada beberapa rak buku, dan beberapa properti gereja yang tidak aku mengerti.

"Kurang lebih begitu. Mungkin yang perlu dibersihkan pascaserangan itu hanya bagian gereja saja. Namun, ada baiknya jika gudang ini dibersihkan juga," jelas Bapa Youchi.

"Oke ... jadi, aku harus apa, Bapa?" tanyaku.

"Aku butuh bantuanmu untuk membersihkan rak buku itu. Namun, mohon hati-hati, karena kebanyakan bukunya sudah tua," jelas Bapa Youchi.

Hingga pada akhirnya, sore itu, aku berkutat pada isi gudang dari gereja ini. Aku hanya ditugaskan untuk membersihkan buku-buku lama dari debu dan menatanya kembali. Yah, sejujurnya bukan tipe pekerjaanku. Namun, mau bagaimana lagi? Aku yang dipanggil dan diminta untuk membantu.

Aku menikmati pekerjaanku sore itu, hingga aku berkutat pada sebuah buku yang cukup tebal. Aku mencoba membuka buku tersebut. Ternyata berbahasa yang tidak aku mengerti. Tulisannya sih tulisan alfabet latin seperti pada umumnya.

"Whoah! Hati-hati!" teriak Bapa Youchi. Aku hampir saja menjatuhkan buku itu.

"Uwak ... Bapa, mengagetkanku saja ...," keluhku.

"Buku ini seharusnya disimpan di tempat khusus. Maaf, tetapi orang lain tidak diperkenankan untuk menyentuhnya. Benda-benda itu sudah berabad-abad lamanya ...," ujar Bapa Youchi. Aku yang tidak ingin membuat masalah lain, langsung menyerahkan buku itu pada Bapa Youchi. Kemudian dia meletakan buku tersebut, bersama dua buku yang memiliki sampul sejenis pada sebuah peti kaca. Sepertinya itu adalah sebuah artefak.

"Jadi ... itu buku apa? Buku terlarang?" tanyaku.

"Eh ... bukan. Itu adalah buku catatan," kata Bapa Youchi.

"Buku catatan?" Aku mengernyitkan dahi.

"Iya. Itu adalah buku catatan dari moyang kami yang pertama datang ke tempat ini. Dia adalah penyelamat kami," terang Bapa Youchi. Aku berpikir keras untuk mengumpulkan sebuah potongan-potongan kemungkinan, hingga akhirnya aku menemukan satu pertanyaan yang kuajukan.

"Apakah itu milik dari seseorang? Fransesco Ayala, barangkali?"

"Iya, itu adalah kepunyaan dari Bapa pendahulu kita," ujar Bapa Youchi mantap.

Sesuai dengan dugaanku. Berarti Fransesco Ayala adalah orang yang membangun gereja ini. Namun, apakah Bapa Ayala juga memiliki hubungan dengan orang-orang Jepang yang tinggal di sini?

Setelah pekerjaanku selesai, aku meminta Bapa Youchi untuk pamit.

"Terima kasih, nak. Kau sangat membantu sekali," ujar beliau.

"Ah, sebelum itu. Bapa. Bisakah kauceritakan padaku, kisah Bapa Fransesco Ayala?"

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top