29. Paprangan Alas Kulon

Author Notes : Umm ... hey, so untuk yang pertama, mohon maaf atas keterlambatannya. Well, ada suatu hal terkait masalah kesehatan yang membuat saya jadi tidak dapat memposting untuk Chapter 29 di minggu kemarin. Jadi, saya putuskan untuk menguploadnya hari ini. Terima kasih dan selamat membaca :)

_______________________

Aku jatuh cinta kepada Ningsih Soekarliek.

Dua pekan aku berada di Tirtanan, aku jatuh cinta kepada Ningsih Soekarliek. Ah ..., si kroco Ronny, Adrian, Bethlehem, dan Kei terus-terusan membicarakan kecantikan dari kembang desa itu setiap harinya. Kupikir, bahwa aku akan bersaing dengan orang-orang itu. Aku ini wong ndeso dengan muka tampan yang ndeso pula. Rambut pendek, keriting, dan sisinya seperti terserempet bis. Kupikir ini yang menjadi daya tarikku, meski Rendra terus menjulukiku 'Tukang Lawak Paling Ganteng Se-Kelompok KKN'.

Jika orang mendebatku mengenai mengapa aku jatuh cinta kepadanya, tentu saja aku akan berkata hormon di otak, libido tinggi para lelaki-lah yang membuatku jatuh cinta kepada Ningsih. Sungguh hipokrit jika menjawab, "Oh, karena dia bersifat sopan, lembut, baik, ramah." Sifat tanpa raga hanya menjadi sebuah definisi. Lelaki butuh wujud dari sifat-sifat itu. Aku melabelkan sifat-sifat baik itu, sesuai dengan apa yang kulihat dari bentuk manusia bernama Ningsih Soekarliek.

Aku tertawa. Tertawa terbahak-bahak, ketika diinterogasi, "Deskripsikan Ningsih menurut libidomu, Bek." Tentu saja dia cantik! Rendra dan Yamada-san kompak menyebut Ningsih sebagai Yamato Nadeshiko, yang secara harfiah diartikan sebagai 'perempuan yang ideal'. Cantik dalam rupa, bentuk tubuh yang agak kecil, dengan rambut yang tergerai indah. Rapi dan rajin membantu orangtuanya. Ramah malu-malu kepada kami, orang-orang baru. Lalu aku tertawa ketika menyadari, tipeku adalah orang yang seperti itu.

Aku tersenyum. Tersenyum ketika orang akan bertanya, "Jadi, apakah kau berhasil mendapatkan Yamato Nadeshiko-mu?"

Aku tersenyum getir. Getir yang menyisakan sebuah luka yang menganga di kepala. Pak Soedja bercerita bahwa Ningsih berusaha menjadi ibunya yang memiliki sifat serupa. Ningsih merepresentasikan usaha untuk menjadi ibunya, hanya karena dia ingin terus mengingat kebaikan ibunya.

Suatu malam. Ketika pecah teror pertama Kah Raman. Dua belas hari lamanya. Seperempat penduduk Tanah Surga dan Tirtapura korbannya. Yang menemukannya adalah Nan Dase dan Pak Soedja. Ibu Ningsih telah diguna-guna dan dijadikan bonekanya Kah raman sedemikian rupa. Hilang kendali dan jadi bonekanya Kah Raman menyebarkan ilmu gelap nenek tengik itu. Karena tidak tertolong dan situasi yang semakin parah, maka tidak ada pilihan lain selain membunuh istri dari Soedja Soekarliek. Beliau sendiri yang membunuhnya.

Sebelum mati, istri Pak Soedja berkata sembari tersenyum, "Jagalah Ningsih."

Lalu, ketika Ningsih kecil keluar dari tempat perlindungan untuk mencari ibunya, ia hanya menemukan bapaknya sembari memegang bedil.

Ningsih bertanya, "Di mana ibu, pak?"

Pak Soedja hanya menangis sembari memeluk Ningsih kecil. Ia tidak mampu berkata-kata.

Aku terdiam. Terdiam dalam kesakitan dan kehilangan. Semua orang bermuka suram dan nelangsa sore itu. Para lelaki bergeming menatap bumi. Annelies menangis sesenggukan terus sore itu. Rendra sering menengadah sembari menghelakan napas panjang dan memejamkan mata. Pak Soedja mengerang tangis sembari memeluk jasad dari satu-satunya orang yang dikasihinya selama ini. Beliau menjustifikasi dirinya sendiri, bahwa ia adalah produk gagal di dunia yang kejam ini.

25 hari kami berada di Tirtanan, pukul empat sore. Jasad Ningsih Soekarliek dimakamkan di samping makam ibunya, setelah dibersihkan dan disalatkan. Aku bersumpah. Sumpah yang kuikrarkan di Tanah Surga yang ternoda ini. Aku akan membunuh siapa pun yang membuat Ningsih menemui ajalnya. Kah Raman adalah prioritas utama untukku balas dendam. Meski tangan ini ternoda oleh dosa, aku telah bersumpah.

Willibrordus S. Rendra pernah berujar dalam sajaknya.

Tuhan, perkenankanlah aku untuk membunuh.

****

Fajar, 26 hari kami berada di Tirtanan.

Kepada para insan yang telah bertekad untuk balas dendam, mereka berangkat memanggul senjata mereka. Tidak ada satu kata apa pun untuk menunda pekerjaan kali ini. Kah Raman telah memberikan sebuah teror pada seluruh insan di Tirtanan.

Lagi. Untuk kedua kalinya.

"Dengarkan! Siapa pun yang ingin mengalahkan iblis itu, angkat tangan!" Teriakan menggema dari Jacquess Van Delberg merupakan sebuah undangan, sekaligus tantangan kepada siapa pun yang ingin bertekad untuk balas dendam. Untuk anak-anak mereka, istri mereka, saudara atau saudari mereka.

Soedja Soekarliek masih terpukul atas kematian Ningsih, yang menjadi pelipur lara terakhirnya di masa senja. Sementara diriku, adalah orang yang pertama mengangkat tangan menerima tantangan Van Delberg. Jika ini bertujuan untuk membunuh Kah Raman, aku akan siap untuk kapan pun. Perlu diketahui, warga di Tirtanan tidak banyak. Jika semua daerah Tirtanan digabung, mereka tidak lebih dari empat ratus manusia.

Bedil-bedil dipompa, pelor-pelor dibagi, dan parang-parang diasah. Orang-orang yang pergi adalah pasukan siap mati untuk membela ketenteraman dan keharmonisan di Tirtanan. 110 Orang bergabung dalam sebuah operasi serangan balik yang digagas oleh Mayor Van Delberg. Beranggotakan seluruh aspek warga Tirtanan. Orang Jepang, orang Belanda orang Suku Sarung, para pendatang generasi ketiga, penyelundup buronan Interpol, serta kami, Kelompok KKN-Integrasi kloter 3. Mereka adalah sepasukan kroco yang memiliki sebuah rasa keinginan untuk terbebas dari belenggu teror iblis Kah Raman. Mereka hanya ingin tenang. Mereka tidak ingin terusik dengan peperangan yang telah lama membuat mereka keki dengan perang itu sendiri.

Kami telah bersiap dengan membagi pasukan menjadi empat kelompok. Kelompok pertama akan bertindak sebagai martil, dengan kelompok kedua dan ketiga sebagai sayap. Kelompok ke-empat akan memutari kawasan Hutan Timur dan menyusup dari belakang untuk mengunci pergerakan Kah Raman dan para pengikutnya.

"Kita sebut ini pasukan? Warga desa ini?" tanyaku pada Mayor Delberg.

"Ketika kita sudah terjun di medan pertempuran, mereka adalah tentara, nak," Mayor menjawab datar.

"Jadi ... kita akan menghadapi sosok iblis, yang bahkan tiga orang terkemuka di Tirtanan pun, tidak dapat membunuhnya," komentar Rendra yang berada di samping Mayor Delberg.

"Kalau rumor itu benar, maka kita hanya harus membunuhnya sampai mati, bukan?" Lalu, Mayor Delberg berdecak kesal.

"Anak Soedja jadi korban, Jacquess," komentar Pak Basuki.

"Begitu pula dengan beberapa orang yang ditinggal anggota keluarganya," keluh Mayor Delberg.

"Berapa korban?" sela Rendra. Tidak ada yang menjawab, hingga akhirnya Pak Basuki-lah yang bersuara.

"Delapan belas orang."

Mayor Delberg yang sedari tadi menahan kekesalannya, dengan datarnya kemudian beringsut, "Delapan belas orang bagi suatu negara adalah hal kecil. Bagi kita, itu adalah kehilangan yang besar. Setelah ekspedisi keluar gagal, kita bahkan sudah trauma dengan kematian. Kami sudah muak dengan kematian akibat kebencian yang berakar dari satu orang. Dari satu orang, kemudian timbullah perselisihan, dan dari perselisihan itu, pecahlah perang."

"Bahkan anak-anak muda ini juga ikut berperang ...." Pak Basuki menghela napas seraya melirikku dan Rendra.

"Kalian yakin ingin maju ke garis depan, nak?" tanya Mayor Delberg sembari menengok ke arah kami berdua.

"Aku sudah berikrar untuk membunuh siapa pun yang membuat Ningsih Soekarliek mati tersiksa ...,' timpalku.

"Aku tidak ingin ada korban lagi. Aku hanya ingin kedamaian," sahut Rendra menyambung.

Kami sampai di tapal batas hutan timur. Semua telah bersiap dengan senjata masing-masing. Aku dan Rendra berada di kelompok keempat, bersama orang-orang dari Nai Poaléng dan Nenek Laode. Kami bertugas untuk 'menutup pintu' pergerakan Kah Raman. Ketiga kelompok telah berangkat maju terlebih dahulu. Kami berjalan memutari Hutan Timur dari sisi utara. Cuaca saat kami berangkat cukup cerah. Semoga itu menjadi pertanda baik. Aku menyandang sebuah golok. Rendra sudah bersiap dengan senapan anginnya.

"Oi, Rendra ...." Aku menyenggol lengan Rendra.

Ia menoleh seraya menggumam, "Hmm ... 'pa?"

"Jangan mati," candaku getir. Rendra memukul punggungku.

"Jangan bilang sesuatu yang membuat sedih, Bek," sungut Rendra.

"Gadis itu menunggumu di desa. Jika kaumati, maka gadis itu akan sangat kehilangan," ujarku tidak sedap. Ada rasa khawatir di dalam diri. Aku bertanya-tanya, apakah kami akan selamat?

"Kalau dia ikut, dia akan bertindak lebih gila di sini," canda Rendra.

"Dia menangis ketika melihat kau pergi. Mengiba padaku untuk menjagamu layaknya pengasuh bayi besar," gerutuku.

"Heheh ... tidak kusangka, yang tadinya kita berniat KKN, sekarang malah maju di medan perang konyol ...," cibir Rendra terus berputar-putar. Aku yakin dia hendak memutar topik, agar dia tidak cemas.

"Kapan kalian pacaran?" tembakku langsung mencari celah.

Rendra lantas terkikik seraya menjawab, "Aku bahkan belum menyatakan apakah aku cinta dengan Ann."

"Wah ... Ann pasti akan sedih, jika dia dengar ini. Kamu cinta, tidak?" ingsutku.

"Ah ... dia yang cinta dulu kepadaku," candanya.

"Heh. Kenapa kaubisa main klaim seperti itu? Bukankah kau menyukai Ann? Tapi aku penasaran, apa yang kausuka dari dia?" tanyaku penasaran.

"Hmm ... apa ya? Aku belum punya alasan yang jelas kenapa aku suka dengan Ann ...," jawabnya.

Aku menepuk dahi, seraya beringsut, "Hah, Ann pasti akan menangis jika dengar kau tidak cinta dengannya ...."

"Kau sendiri?"

"Aku sudah jelaskan kemarin malam," sungutku.

"Kalau begitu, sama," jawab Rendra cepat.

"Heh, tidak ada Yamato Nadeshiko di satu cerita yang sama, goblok."

"Kalau begitu, Ann adalah Yamato Nadeshiko-ku."

Kami telah melangkah seperlima perjalanan, ketika suara teriakan perang terdengar dari kejauhan. Serangan balik telah dimulai.

"Hoi ...." Rendra menyenggolku.

"Jangan kaususul Ningsih. Aku bisa sedih nantinya."

****

Entah apakah harus kuceritakan sekarang atau tidak. Namun, ini adalah salah satu bagian yang paling menarik bagi kalian, mungkin? Singkat cerita, pasukan kami yang membawa bedil, parang, golok, garpu kebun, cangkul, dan panah, berhasil memukul mundur orang-orang dari sekte Kah Raman. Bagaimana bisa? Ya iya lah!

Para pemuja Kah Raman hanyalah para fanatik okultisme yang bersenjatakan pisau. Harus kuakui, mereka telah membangunkan macan dari tidurnya. Mereka telah salah memilih warga Tirtanan sebagai musuh. Tirtanan adalah kebudayaan multigenerasi. Ketika mereka dihadapkan pada palu peradaban modern, mereka dengan mudahnya terlibas dalam tiap godamnya. Tiap orang dengan gampangnya membedilkan pelor kepada manusia-manusia fanatik itu, layaknya memburu babi hutan atau tikus hutan. Lebih gampang daripada memburu burung malahan.

Tabung silinder yang melontarkan peluru berbentuk seperti paku—ya, mereka menggunakan paku sebagai pelurunya—mampu menembus kepala orang. Di antara semua peluru di dalam perang ini, yang paling mengerikan adalah peluru senjata Suku Bersarung. Bentuknya seperti peluru pelor lonjong, dengan ujungnya yang sedikit tajam dan memiliki cabang kecil seperti kail. Itu didesain bukan membunuh secara cepat, tetapi secara menyiksa. Akan sulit untuk mengeluarkan peluru itu dari tubuh, karena senjata itu akan mengoyak tubuhmu yang tertembak. Cara cepat menyelesaikan masalah peluru itu, adalah amputasi.

Inilah sebuah contoh hegemoni modernisme yang menghantamkan palu peradaban kepada para cecunguk-cecunguk yang hanya bisa melempar pisau. Mereka mati terbengkalai, ditinggalkan oleh para warga desa yang marah, lalu membusuk menjadi zat hara yang diserap oleh alam. Mereka tidak lain hanyalah kumpulan busuk yang terbuang dan terinjak menjadi busuk pula.

Ah, sedapnya kemenangan yang ada di depan mata. Selama ini, baik Tirtanan, mau pun Tirtapura tidak pernah melakukan aksi konkret untuk melawan teror yang terjadi di Tanah yang Diberkati ini. Ini adalah kali pertama, orang-orang Jepang, orang-orang Belanda, orang-orang Suku Bersarung, orang-orang Indo, bersatu dalam bentuk perlawanan membasmi kebejatan iblis di tanah mereka. Lihatlah, bagaimana mereka kalang-kabut, ketika ditembaki oleh senapan pelor, dibacok oleh golok, dan dilindas-lindas oleh kaki-kaki manusia yang berlari. Berpuluh-puluh tahun mereka menggelendot di balik bayang teduh kanopi hutan Tirtanan, kini mereka benar-benar habis.

Sementara itu, kami, kelompok penyerang empat, tengah memutar, hampir mendekati sisi belakang pertahanan Okultis Kah Raman. Aku sudah siap untuk menembakkan bedil yang kubawa ke orang-orang itu, walaupun aku tidak andal dalam menembak.

"Kita hampir sampai. Persiapkan diri kalian! Kita akan melakukan pengepungan!" titah Mayor Delberg. Ketika kami hendak menyusup dari belakang, tiba-tiba sesosok manusia muncul dari balik pepohonan, tidak jauh dari pandangan.

"Siapa itu!" teriak Mayor Delberg.

Tidak ada jawaban. Malah sosok di balik jubah itu semakin mendekat.

"Tembak!"

Kami manut untuk menembak sosok itu. Tiba-tiba asap mulai bermunculan di mana-mana. Aku rasa ini adalah taktik musuh untuk melarikan diri. Teriakan para pengejar masih bersahutan di kejahuan.

Kemudian sosok tersebut perlahan terlihat jelas. Ketika sosok itu membuka jubahnya, tampaklah seorang wanita, seperti emak-emak, dengan rambut dikonde dan gincu semerah buah ceri, dan setelan kebaya berwarna hitam.

"Hai ...," ujar sosok itu—sangat mirip suara perempuan muda—sembari tersenyum ke arah kami.

Tiba-tiba Rendra tersentak kaget dan ia berteriak, "Kah Ramaan!"

Mendengar teriakan Rendra, membuat otakku terstimulasi. Dengan refleks, aku langsung membidikkan bedil, lalu menembak ke arah sosok perempuan di depan.

Dia adalah Kah Raman. Penguasa kegelapan Hutan Timur yang telah lepas dari belenggunya. Mayor Delberg memerintahkan untuk membidik ke arah Kah Raman.

"Mengejutkan sekali. Kalian bisa menemukanku. Namun, kalian salah memilih tempat untuk berperang, tuan-tuan ...," ujar Kah Raman dengan lagaknya. Aku diliputi oleh kebencian, langsung tidak menyukai orang itu. Dia itu sudah seperti tante-tante sekretaris binal yang berperan sebagai faktor antagonis di setiap sinetron.

"Kaha, hentikan ini semua!" Nenek Naode memperingatkan Kah Raman. Di sampingnya sudah ada Nai dan Mayor Delberg sendiri sebagai pelindung Nenek.

"Naode, kau masih keras kepala untuk memintaku menghentikan tindakanku? Jangan bercanda! Kau hanya budak para orang-orang itu!" berang Kah Raman.

"Tingkahmu sudah kelewatan, Kaha! Hentikan, sebelum mereka menghabisimu! Tidakkah cukup ayahanda mengurungmu!?" Nenek Naode memperingatkan.

"Oi, jadi tante-tante itu Kah Raman!?" bisikku pada Rendra yang ada di sampingku.

"Dia memang tante-tante! Dia iblis Kah Raman!" berang Rendra.

"Bisa kita bantai dia sekarang?" tanyaku. Rendra hanya memutar mata dan mendengus kesal.

"Ya."

"Semuaa! Angkat senjata kalian!" Mayor Delberg berseru menggelora. Dengan serentak, semua membidik ke arah Kah Raman. Asap mulai mengganggu jarak pandang. Dengan ini selesai sudah.

"Bidik!"

Kah Raman mulai berjalan dengan santainya. Tidak takutkah dia dengan kami? Mari kita lihat, seberapa tahan dia dengan martil peradaban yang kami lontarkan padanya.

"Mati kau, Kah Raman!" teriakku.

"Tembak!"

Suara debak pelatuk bedil terpicu secara bersamaan menghiasi udara. Kah Raman masih sanggup tegak berdiri. Ya. Masih tegak berdiri.

Meleset kah? Aku yakin, tembakan secara simultan oleh lebih dari sepuluh orang tadi pasti mengenai Kah Raman. Nyatanya, dia masih berjalan dengan santai.

"Hoi-hoi ... menembaklah dengan benar ...." geram Mayor Delberg. Kami berkali-kali menembak, tetapi Kah Raman masih berjalan mendekati barisan kami. Apakah dia kebal peluru?

"Si-sial, dia tidak bisa ditembak, Pak!" Salah satu serdadu konskripsi terlihat panik.

"Tembakanmu ngawur semua gitu, bidik yang benar!" bentak Mayor Delberg.

"Kami sudah membidik dia, Pak!" protes yang lain. Kami masih menembaki Kah Raman. Sia-sia saja.

"Tipuan apa lagi ini ...," desis Mayor Delberg. Keningnya mulai berkerut.

"Berhati-hatilah! Lindungi Nenek Naode!" Nai memerintahkan beberapa orang untuk melindungi sang kepala suku itu. Lalu, tiba-tiba Kah Raman sudah menghilang di balik asap. Lalu, tiba-tiba dia datang di samping kami.

Ya, di samping barisan kami. Pasukan kami langsung kocar-kacir. Tembak-menembak terjadi, tetapi mereka menembak dengan panik. Kah Raman kemudian menghilang lagi di balik asap. Pergerakan tante-tante itu bisa dibilang cepat sekali.

"Kalian akan merasakan akibatnya karena telah menantang Kah Raman!" Suara entah dari mana bergelora, mematahkan moral kelompok penyerang empat.

Tiba-tiba muncul beberapa manusia pengikut Okultisme Kah Raman, menyerbu kami dari beberapa arah. Secara teknis, kini kami yang disergap.

"Sial, dia gesit sekali! Dia apa sebenarnya!?" komentarku. Tiba-tiba Kah Raman muncul lagi di sudut yang lain. Dekat dengan Rendra.

"Hah ... kita bertemu lagi, anak muda. Kau selamat sampai ke desa? Bagaimana mimpimu? Menyenangkan?" Kah Raman tersenyum menyeringai, hendak mendekati Rendra.

"Cih, aku tidak sudi, Kah Raman!" geram Rendra.

"Khi khi khi ...." Berbarengan dengan suara mengerikan, Kah Raman hendak menyerang Rendra. Aku langsung membedil Kah Raman.

Lalu, dia menghilang.

"Sial, apa-apaan!?" umpatku. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Aku membedil, membidiknya dengan seksama, kemudian dia menghilang begitu saja. Apakah ini adalah kekuatan Kah Raman yang sesungguhnya. Beberapa pemuja Kah Raman dengan sporadis menyerang kami. Korban mulai berjatuhan di pihak kelompok penyerang empat.

"Oi oi oi! Makhluk-makhluk berjubah itu juga ikut-ikutan menyerang!"

"Pertahankan posisi!" teriak Mayor Delberg mengomando.

"Akan kuletuskan kepalamu, Kah Raman!" teriak Rendra.

Tiba-tiba dia muncul di depan Rendra.

"Rendra!" laungku. Bedil ditembakkan, entah milik siapa. Namun, Kah Raman dengan gesit menghilang kembali di balik asap. Kalau tidak ada asap sialan ini, kami pasti bisa membedilnya dengan benar. Rendra terjengkang ke belakang.

"Aku hampir dibacoknya! Sial! Dia muncul dengan tiba-tiba!" ujar Rendra sembari bangun dari tanah hutan yang lembap.

"Sihir macam apa lagi yang kaumunculkan, Kah Raman!" teriak Rendra.

Pertempuran semakin sulit di tengah asap ini. Kericuhan pertempuran yang semakin menipiskan batas antara hidup dan mati. Ketika aku dan Rendra lengah dengan keadaan, tiba-tiba Kah Raman sudah berada di depan Nenek Naode. Ia tengah memegang sebuah senapan angin dengan moncong terbidik tepat ke arah Ketua Naode.

"MATI KAU, NAODE!" laung Kah Raman.

"Ohh ... Bahaya!!" Aku hanya bisa berteriak, karena posisiku tidak berada di samping Nenek Naode. Rendra dengan refleks langsung menerjang untuk melindungi Nenek Naode.

Aku tidak akan memaafkan dia kalau dia mati di sini.

"Rendra!!" Aku mengarahkan senjata ke arah Kah Raman.

Dor!

"MATI SATU! KHI KHI KHI!"

Kah Raman menghilang kembali di balik asap.

Satu orang tumbang, tepat setelah tembakan tersebut. Rendra masih dalam posisi berdiri. Ada satu orang yang tumbang dan itu bukan Rendra. Bukan pula Nenek Naode. Dalam situasi tersebut, aku hanya memperkirakan Rendra belum sempat untuk menyelamatkan Nenek Naode, ketika seseorang sudah menghalangi laju peluru.

Setelah sebuah erangan kesakitan terdengar dari orang yang tertembak itu, aku sadar kalau ini bukanlah sebuah akhir yang bahagia.

"Rendra ...." Suara kecil terdengar dari orang itu.

Itu adalah Annelies.

****

"Annelies!" Rendra dan diriku langsung bergegas untuk menolong Annelies. Aku benar-benar tidak habis pikir, ketika Annelies tiba-tiba datang dan menerjang peluru yang ditembakkan ke arah Nenek Naode. Entah bagaimana dia bisa menyusup ke dalam kelompok ini. Entah bagaimana dia bisa ikut garis depan tanpa diketahui oleh kami.

"Rendraa ...." Ann memanggil Rendra diiringi dengan rintihan kesakitan yang memilukan.

"Bertahanlah! Mediis!" teriakku.

"Bekti, bantu aku tekan lukanya agar tidak mengucur keluar!" perintah Rendra. Annelies tertembak di bagian abdomen, agak ke atas. Sangat fatal jika mengenai jantung.

"Lindungi yang terluka! Bentuk formasi melingkar! Cepat!" Dengan sigap, kami langsung dibentengi oleh beberapa orang sembari terus bersiaga dengan bedil mereka. Satu orang mantri mendatangi kami sembari membuka kotak medis.

"Annelies ... Annelies, bertahanlah!" ujar Rendra menenangkan Annelies. Kepanikan di wajahnya benar-benar terlihat.

"Rendraaa ... sakit ... sakit ...," erang Ann lirih. Matanya terpejam kuat dan air matanya meleleh.

"Tahan, Ann. Tahan! Tolong ...." Muka Rendra kebingungan setengah mati. Kami berdua mati-matian agar luka yang menganga karena tembakan Kah Raman.

"Rendra ... sepertinya ... ini sakit sekali. Uuh ... sakiit ...." Rintihan Ann sangat lebih mirip suara rintihan anak perempuan yang menangis karena kesakitan di tengah pertempuran di Jalur Gaza.

"Annelies! Bertahanlah!" ujarku tidak tahu harus berkata lagi. Aku hanya mengatakan dengan tujuan agar Ann tidak terkena shock terlalu parah akibat tertembak.

"Ann, tahanlah! Kau kuat! Kau kuat! Jangan kalah .... Sebentar lagi kita akan selesai. Kita akan menang. Kita akan kembali ...." Rendra terus meracau. Tangannya gemetar.

"Rendra ... Rendraa ...." Annelies berulang kali memanggil Rendra. Suaranya makin lama semakin lemah.

"Ann ...." Rendra memanggil.

"Kasih tahu ibuku, kau orang yang baik ...," kata Ann lemah.

"Hoi ... hoi. Katakan sendiri, Ann. Katakan sendiri setelah kita keluar dari sini ... kumohon." Suara Rendra bergetar.

"Kasih tahu ayahku ... jangan bertengkar sama ibu lagi ...."

Sebagaimana apa yang dirasakan Rendra, aku juga ikut merasakan kesedihan setiap Ann meracau.

"Katakan sendiri ..., Ann. Ayolah ... kau kuat, gadis manja! Jangan buat Rendra membasahi bajuku dengan tangisannya! Plis!"

Tidak ada jawaban. Tangannya terkulai tidak berdaya di genggaman Rendra.

Tidak ada jawaban untuk beberapa detik kemudian, juga untuk seterusnya. Seluruh tubuh Rendra menggigil. Aku sudah melihat sendiri banyak kejadian menyakitkan terjadi sejak kematian Ningsih.

Kemudian, terdengar suara Rendra yang mirip seperti robot serak yang rusak. Seperti suara mesin berdecit. Ia tertunduk sembari menggengam lengan Ann.

Aku menengadahkan kepala ke arah langit yang tertutup pepohonan Hutan Timur Tirtanan. Rasa panas menyeruak di kedua pelipisku. Kemudian mataku berair tanpa sebab.

26 hari Kelompok KKN-Integrasi tiga berada di Tirtanan. Mereka kehilangan satu anggota kelompok mereka.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top