28. Unting-Unting



24 Hari kami berada di Tirtanan, kami mempersiapkan segala kemungkinan akan serangan lanjutan dari Sekte Kah Raman atau ... apalah namanya itu.

Hari Ke-25, Seakan-akan tanah ini dijadikan ladang pertempuran antara dua kelompok manusia. Pertumpahan darah tidak dapat terhindarkan, korban berjatuhan, dan terus menerpa kami berbagai kehebohan.

Berawal dari pagi hari yang masih terasa mencekam di Tirtanan. Jalan besar ditutup. Perkampungan orang Jepang dan Totok Belanda banyak dipasang barikade sementara dari kayu, gerobak, meja, kursi ... apa pun, sepanjang lima kilometer. Membentang di sepanjang jalan besar desa. Menara lonceng gereja dijadikan menara pengawas. Beberapa orang berlalu lalang sambil membawa bedil, golok, arit, bahkan cangkul. Seluruh warga sipil—wanita, anak-anak, dan orangtua—dikumpulkan di dua titik pengungsian. Balai Desa dan surau. Balai Pos Dagang ditutup total. Perekonomian Tirtanan untuk sementara lumpuh. Yang ada di pikiran orang-orang saat itu adalah hanya satu, selamat.

Pagi itu, sontak orang-orang yang berjaga dikagetkan dengan sebuah teriakan seseorang sembari menunjuk ke arah Timur.

"Oi! Apa itu!?" ujar seorang bapak tua sedikit gendut dan berambut jarang. Namanya Pak Witno. Aku lupa memperkenalkan, kalau dia adalah sopir bus kami. Iya. Sopir bus yang tiap hari kerjanya keliling desa entah mencari suatu kesibukan sendiri. Astaga apa yang aku bahas selama 25 hari terakhir, sampai-sampai melupakan sosok yang membawa kami ke dunia lain ini!?

Aku dan Rendra yang kebetulan di dekat situ, bersama Pak Witno, kami mendekati sesuatu yang ditunjuk Pak Witno itu.

Kami terkejut bukan main, karena yang kami temukan adalah seorang wanita yang tergeletak tidak sadarkan diri di tanah. Dia adalah Ningsih! Putra Pak Soedja! Juga ada beberapa orang warga yang tergeletak tidak jauh dari Ningsih. Kami juga menemukan Gita dan Nadia, salah satu teman satu kelompok KKN.

"Itu ... adalah orang-orang kita, Pak Witno!" ujarku.

"Astaga, bagaimana bisa mereka ada di sini!?" tanya Pak Witno heran. Mukanya berubah panik. Semua panik di waktu yang bersamaan.

"Entahlah, panggilkan warga yang sedang berjaga sekarang!"

Segera setelah itu, kami memanggil para penjaga garis depan. Situasi benar-benar berubah sekarang. Perkembangan terbaru dari teror di Tirtanan. Orang-orang yang diculik oleh para pengikut Sekte, tiba-tiba bergeletakan di ladang para Totok. Semuanya. Jika kaulihat dari atas menara, itu sudah tampak seperti para korban perang yang digeletakan begitu saja di sembarang tempat. Satu hal yang masih membuat napas kami lega, mereka semua masih hidup.

"Ningsih! Oi! Bangunlah!" Aku mengguncang pelan bahu Ningsih. Tidak ada respon.

"Dia tidak sadarkan diri, Bek. Kita harus menggotongnya!" ujar Rendra.

Nah, ini dia! Ketika kami berdua hendak menggotong Ningsih, tiba-tiba terdengar seperti suara orang-orang berteriak dan derap langkah yang makin lama makin jelas. Dari balik Hutan Timur, para kunyuk berjubah hitam itu pun berbondong-bondong datang ke arah desa. Jumlah mereka banyak. Di tengah-tengah evakuasi yang masih berlangsung, mereka menyergap kami, menunggu kami lengah. Di saat itulah, serangan balik dari para begundal itu dimulai.

"A-apa ... apaan ..." Aku tergagap ketika para manusia berjubah hitam menyebalkan itu muncul dari balik pohon-pohon di Hutan Timur. Mereka berteriak sambil mengayun-ayunkan senjata mereka yang berupa pisau, lalu berteirak seperti orang sinting.

"Manusia berjubah hitaam!"

Yah, teriakan para warga di garis depan menegaskan siaga tingkat satu. Sejurus kemudian suara debap bedil yang ditembakkan mulai bermunculan, bersama dengan tumbangnya beberapa manusia berjubah hitam itu.

"Bantu aku menggotongnya, Rendra!"

Aku dan Rendra berlarian sembari menggotong tubuh Ningsih, keluar dari 'Jalur Gaza' penuh pertikaian. Debap senjata, orang berteriak, merintih, mengejan mati, hingga gedebuk tubuh jatuh. Bertebaran memenuhi spektrum suara di sekitar. Para manusia berjubah hitam semburat menyerang siapa pun yang ada di depan mereka.

"Gawat! Kita akan mati! Kita akan mati!" Bethlehem lari mendahului kami. Larinya disertai dengan lompatan histeris dan kepanikan tiada henti.

"Bethlehem! Tenangkan dirimu!" sergah Rendra.

"Tenangkan diri ... tenangkan diri ... bagaimana aku bisa tenang kalau cecunguk itu terus-terusan datang menyerang, sialan loe!" kesal Betlehem.

Aku sudah cukup tahu, bahwa setidaknya Bethlehem benci dengan situasi yang membuatnya harus merasakan napasnya kembang-kempis di antara hidup dan mati. Yah, yang pasti kami sudah melewati barikade buatan yang dibikin para warga menggunakan bahan seadanya, dan melewati sebarisan pasukan sipil yang mengokang senjata. Aku sempat melihat Mayor Delberg memberi komando.

Kawan, sebuah desa yang tenang tiba-tiba berubah jadi ladang pertempuran konyol antara kumpulan pemuja selangkangan seorang tante-tante, melawan para warga desa antargenerasi. Dalam satu hari. Lalu bagaimana aku masih menceritakan ini dengan santainya, padahal aku juga ketakutan bukan main! Cecunguk berjubah hitam itu menerjang, mencabik, membacok siapa saja yang ada di depannya. Tidak main-main!

"Angkaat senjataa!"

"Bidik!!"

"Tembaak!"

Para manusia berjubah itu menyebar, semburat mencari mangsa. Sementara di sisi lain, satu baris pasukan regu tembak sudah siap dengan senjata mereka. Mereka menembak dari balik barikade. Ada yang menyusup di rumah-rumah warga yang kosong.

Kekuatan tempur kami—kalau ini bisa dikatakan kekuatan tempur—ada sekitar seratus orang penduduk sipil yang bertugas mengamankan desa. Tujuh dari lima belas anak buah Lisbeth juga turun membantu. Puluhan pria dan pemuda Suku Bersarung bersiaga di baris kedua sepanjang barikade, dan menutup akses menuju tempat tinggal mereka. Kurang lebih, dua ratus penduduk Tirtanan ikut andil dalam pertempuran menegangkan ini.

Setelah pertempuran tidak seimbang selama kurang lebih lima belas menit, orang-orang dari Sekte kah Raman yang menyerang pun mundur. Menyisakan mayat-mayat orang bergelimpangan di daerah Timur desa. Pertempuran telah berakhir, untuk sementara.

****

"Sekonyong-konyong mereka datang untuk menyerang tepat ketika kita menyelamatkan para warga yang diculik. Oit, Rendra! Dugaanmu!?" timpalku kepada Rendra, setelah kami mengamankan warga desa yang bergelimpangan. Mereka kini sekarang dievakuasi di rumah singgah kami untuk diberikan penanganan pertama. Kami menyusun sebuah praduga dari kehebohan pagi ini.

"Entahlah, tetapi Kah Raman menggunakan taktik licik lain lagi untuk memenangkan pertempuran," simpul Rendra.

Aku mendengus kesal, seraya beringsut, "Huh, Wong-wong sontoloyo iku mek nggowo ladhing lan parang! Bisa apa mereka dengan senjata seperti itu! Kita punya bedil!"

"Sepertiga warga Tirtanan diculik tepat di depan batang hidung kita, Bek ...," tukas Rendra.

Ya. Benar sekali. Kasarannya ada 70 warga yang diculik dalam waktu tiga malam. Tepat ketika tempat ini mulai tersentuh peradaban. Tepat ketika kedamaian mulai tercipta di Tanah Surga ini, pertumpahan darah tercipta lagi. Mengotori Tirtanan kembali seperti sejarah yang telah diceritakan oleh Nan Dase. Mayat-mayat yang bergelimpangan itu kini dibakar—tidak ada waktu untuk memakamkan para pendosa itu—mencegah agar tidak timbul wabah penyakit akibat mayat yang dibiarkan teronggok di sana.

"Bagaimana keadaan mereka?" Rendra bertanya kepada Ann dan Griselda yang baru saja selesai membantu para warga untuk mengurus korban penculikan orang-orang dari Sekte.

"Hmm ... tidak baik. Mayoritas dari mereka terkena dehidrasi dan harus mendapatkan asupan cairan secepatnya. Juga ...." Griselda menghentikan penjelasannya sejenak.

"Juga?"

"Mereka terpapar zat sedatif dan gejala intoksinasi zat sedatif tertentu ...," lanjutnya.

"He? Apa maksudnya?" Kami berdua langsung beranjak dari duduk kami.

"Ada kemungkinan mereka dibius ketika diculik, tetapi gejala keracunan akibat zat bius tampak pada hampir seluruh warga yang diculik. Pusing, mual, dan kehilangan koordinasi serta mengganggu aktivitas berpikir dan memfokuskan perhatian," ujar Ann melanjutkan penjelasan.

"Berbahaya kah?" tanya Rendra.

Ann tampak ragu, sebelum menjawab, "Nenek masih membuat ramuan penawar. Untuk sementara, kami hanya bisa memberikan pertolongan pertama agar zat itu tidak menjadi hal buruk bagi mereka."

"Lalu, apa yang bisa kami bantu?" tanyaku.

Seraya terpelatuk dengan pertanyaanku, Ann memerintah seraya berseru, "Bawakan air bersih dan beberapa kain serta handuk! Panaskan air di dalam tungku! Rendra, bantu aku dan Griselda menumbuk ramuan penawar! Cepat!"

Pendopo penuh dengan manusia-manusia yang terbaring tidak berdaya di lantai bertikar. Hiruk pikuk yang padat membuat suasana terasa semrawut. Para warga desa yang masih selamat, merawat warga yang diculik. Beberapa orang juga turut membantu untuk merawat luka dari para warga yang ikut dalam pertempuran kecil di perbatasan desa. Mayoritas adalah luka sabetan senjata tajam. Aku sendiri merasa ngilu menceritakan bagaimana situasi di bagian Unit Gawat Darurat yang penuh dengan adegan berdarah tingkat tinggi.

"Sepertinya kita berhasil memukul mundur para pengacau itu ...," komentar Rendra di sela pekerjaan kami membantu merawat warga yang terluka.

"Bah, kapok! Salah sendiri main babi buta di pagi yang terang benderang ini ...," sungutku.

"Justru itu aku merasa curiga, Bek ...," tukas Rendra cepat.

Aku menoleh seraya bertanya, "Curiga apa?"

"Menurut ngana!? Kah Raman mungkin akan merencanakan sesuatu yang luar biadab lagi ...." Rendra mengatakan asumsi liar yang ... mungkin bakal jadi kenyataan lagi.

Kami melihat Ronny, datang bersama salah satu teman KKN lainnya bernama Kei Hendrawan, Anak Teknik Pengairan. Untuk suatu kebetulan, aku dan Kei berasal dari kota yang sama.

"Wuiih ... pertempurannya benar-benar menegangkan! Bedil-bedil ditembakkan, orang-orang berjatuhan! Teriakan kesakitan melolong seperti ayam disembelih!" Dengan semangat, Ronny menjelaskan situasi yang terjadi.

"Santai dulu, Bos Ronny. Kita sudah kalang-kabut membawa para warga yang diculik ke garis pertahanan, " sahut Kei.

"Hoi ... jangan leyeh-leyeh, kamu. Ayo, sini bantuin!" timpalku.

"Sabar dulu napa, Pak!?" Ronny menggerutu seraya mendaratkan tubuh bongsornya ke tumpukkan balok kayu. Sejurus kemudian, kami mencium bau yang tidak menyenangkan, entah dari mana. Sialan. Baunya membuatku emosi.

"Kampret! Bau mengerikan apa ini?!" ledak Kei, yang berdiri lagi ketika ingin ikutan duduk.

"Sialan lo! Ronny! Kentut ya!?" timpalku seraya menepuk kasar punggung Ronny.

"Enak aja! Kentut aku tidak berbau menyedihkan seperti ini, Bek!?" Ronny membela.

"Mungkinkah ini perbuatan Kah Raman? Tidak elit sekali ...," komentar Rendra.

Kami menduga itu bau dari hasil pembakaran mayat. Namun, pembakaran itu dilakukan jauh dari desa. Kami berpindah-pindah tempat, dan bau tersebut masih menyengat keras. Sepertinya sumbernya tidak jauh dari desa. Perpaduan bau sengak, sangit, dan kecing membuat siapa pun ingin berkata kasar. Pasti tuduhan bau kentut meningkat drastis.

"Demi Tuhan, bau sengak ini membuatku ingin berteriak dan memaki Kah Raman!" Aku mengumpat juga.

"Ayo kita cari sumbernya. Mungkin ada sesuatu yang terbakar di dekat sini," ajak Kei.

Kami berpencar mencari sumber bau tidak sedap yang mencemari desa ini. Aku bersama Rendra kembali ke balai perawatan di pendopo, hanya mengetahui bau tidak sedap juga sangat mengganggu di sana. Beberapa orang ikut mengeluh dan memaki, kebingungan dengan sumber bau tidak sedap ini.

"Wah, sampai ke pendopo. Kita harus cepat temukan sumber bau ini," ujar Rendra.

Ann menghampiri kami dengan wajah sedikit muak—aku bertaruh karena bau berengsek ini—seraya mengeluh, "Rendra, baunya tidak sedap! Bisakah kaucari bau sangit ini?"

"Kita sedang mencarinya, Ann." Rendra pun mendengus.

"Baunya seperti campuran dupa kemenyan kadaluwarsa dan bubur mutiara basi ...," komentarku.

"Bek, stop melawak," timpal Rendra.

"Oi, aku serius!" protesku.

"Ah, tersera—" Ucapan Rendra seketika terhenti ketika mendadak terdengar suara jeritan-jeritan.

Iya. Jeritan-jeritan.

Dan itu berasal dari pendopo.

****

Begitu kami berpaling, sepersekian detik telah terjadi kegemparan di pendopo. Orang-orang pada teriak-teriak. Tidak. Lebih tepatnya para korban penculikan yang kini hampir simultan tiba-tiba bangun secara tidak wajar dan bertingkah seperti orang kena sawan.

"Sial! Ada apa ini!?" Kami tiba tepat di tengah kekacauan, ketika para korban penculikan mulai berperangai liar, seperti kesurupan anak jin. Mayoritas ... tidak, semuanya menjadi beringas.

"Oh ... tidak lagi ...." Rendra sempat terperangah dengan situasi di depan, kemudian dikagetkan oleh seseorang yang berlari semburat ke arah kami bertiga. Itu Gita, hampir menerkam Ann, kalau saja aku dan Rendra tidak menahannya. Melihat keadaannya saja sudah begitu ngeri. Yang paling jelas adalah matanya yang memerah semerah gincu darah. Tunggu, dia menangis darah juga!?

"Git ...Gita ... tenanglah ...." Antara khawatir dan ketakutan, Ann mencoba mendekati Gita.

"DIAM!" teriak Gita.

Kemudian sensasi sakit yang ciamik menghantam kakiku. Aku menghela napas kuat-kuat, seraya mengumpat, "Cuk!"

"Pegang dia yang benar, Bek!" sahut Rendra kelabakan menahan Gita yang menggeliat ingin lepas.

"Gile lu, Ndra! Belum tahu rasanya tulang kering ketendang, ha!?" timpalku.

"Sialan, kenapa mereka tiba-tiba bangkit menjadi mesin error begini!?" Rendra mulai meracau.

"Kita butuh bantuan sekarang!"

Para warga mulai berdatangan untuk menenangkan situasi. Namun, situasi di pendopo sudah berubah jauh lebih parah dari remaja labil yang saling tawuran di Distrik Lampu Merah. Para korban mengalami histeria massal, menyerang warga lain dengan cara apa pun. Dicekik, melempari dengan benda apa pun di dekatnya, menerjang orang, bahkan ada yang lari-lari sembari membawa bedil. Korban luka pun bertambah banyak. Banyak yang bertanya-tanya, apa ini kesurupan?

Tiba-tiba Rendra berseru, "Oh! Mungkinkah!?"

"Mungkinkah apa!?" Aku masih memegangi Gita yang terus menendang udara dari tadi.

"Jangan-jangan ini efek racun yang diberikan Kah Raman pada para warga yang diculik itu!" jelasnya.

"Lalu?"

"Hal itu menimbulkan sesuatu yang terjadi pada pikiran mereka! Membuat mereka menjadi brutal di luar kendali dan tidak dapat berpikir jernih!" Rendra lanjut menjelaskan.

"Ren ... dra ..., sebentar lagi dia lepaas!!" Kei yang datang membantu juga tampak kewalahan menahan Gita. Bagaimana caranya si cekli Gita ini punya kekuatan seperti buto ijo!?

"LEPASKAAN!" erang Gita. Rendra dan Kei terjengkang. Gita langsung berlari menerkam dan mencekik leher Ann.

"G-gitaa! Henti ... kan!"

Rendra langsung bangkit, lalu 'mencerabut' Gita yang menerkam Ann.

"Gujeren, Bek! Ambil tali!" titahnya. Aku bergegas mengambil tali. Kami mendudukkan Gita di kursi lalu mengikatnya kuat-kuat. Ia kini hanya bisa menggeram pasrah sembari menatap nanar kami dengan mata mengerikannya itu. Bahkan Ann menutup muka dengan kedua tangannya.

Aku, berdiri di antara kekacauan yang terjadi di pendopo. Berdiri dan bergeming seperti robot kehabisan baterai dengan mata yang terpejam. Suara teriakan histeris, erangan, umpatan, hingga geraman menjadi saksi, bahwa Kaha Ramahan telah mengacaukan Tanah Surga Tirtanan untuk yang kedua kalinya.

Dengan cara yang sama.

****

Situasi menjadi lebih terkendali, ketika para warga datang mengamankan korban penculikan yang mengamuk itu. Mereka kini terikat di kursi, tiang pendopo, hingga bahkan pagar rumah. Masih dengan bau kecing yang tumpah entah dari mana, aku beringsut, "Aku haqqul yakin, pasti bau-bauan itu yang menjadi pemicunya."

"Baunya masih menyengat. Kita benar-benar harus cari sumbernya, Bek," ujar Rendra.

"Mereka masih menggeliat ingin berontak walau sudah dicencang seperti itu ...." Aku melirik ke arah para korban penculikan yang tadi mengalami episode histeria. Mereka dicencang seperti hewan ternak yang siap disembelih.

"Huwaaa ... lelaaah ...." Ronny duduk merosot dan menyandar di dinding rumah.

"Sial, Gita menendang tulang keringku," keluhku sembari mengusap kakiku yang tadi ditendang oleh Gita. Keluhan Adrian hampir serupa.

"Aku hampir dibacok Bu Utari ...."

"Griselda tidak sadarkan diri, karena dia ditendang oleh Firdya ...," komentar Kei.

Aku menemukan sesuatu dalam pikiranku, lalu berseru, "Hmm ... menarik. Gejala dan perangai mereka hampir sama seperti Rendra waktu ditemukan sedang ola-olo di pinggiran hutan dan hampir menembak Annelies ...."

"Kalau begitu caranya, pikiran dan fokus mereka terdisorientasi. Mereka tidak dapat berpikir jernih dan merasa seperti orang paranoid. Seperti mereka melihat mimpi buruk mereka masing-masing. Samar-samar aku juga mengenal bau yang seperti tadi. Sama ketika aku tahu-tahu bangun di pinggir hutan," jelas Rendra.

"Berarti racun yang diberikan sama ...," celetuk Adrian.

Tiba-tiba kami menemui Auriga, tengah berbicara dengan seseorang, tidak jauh dari pekarangan rumah warga. Ia berteriak memperingatkan sembari menunjuk-nunjuk ke arah sesuatu. Lebih tepatnya seseorang yang kini terhalang rumah. Aku, Rendra, dan Kei segera bergegas menemui Auriga, ketika kami tidak bisa berhenti untuk dikejutkan oleh kejadian hari ini.

"Auriga!" panggil Kei.

"Ada ap—bajingan! Baunya!" Aku mengumpat.

"Dia terlihat mencurigakan dan mondar-mandir di desa sesaat setelah evakuasi warga pagi tadi!" ujar Auriga seraya menunjuk seseorang di depan kami.

"Ningsih?" Aku tidak dapat percaya apa yang ada di depan mataku. Ningsih. Seseorang yang entah mengapa aku tertarik kepadanya. Yah, dia cantik kuakui. Yah, dia baik dan kembang desa Tirtanan. Jatuh cinta berstandar kesan pertama adalah sesuatu yang tidak dapat kubantah. Afeksinya terhadap orang-orang di sekitarnya membuatku menaruh harapan perasaan padanya.

Kondisi yang serupa. Mata semerah saga, meneteskan cairan merah, dan rahang mengeras dengan suara geraman terdengar. Mendengar ada ribut-ribut, datang pula Ann dan Nenek Naode yang baru selesai menangani korban histeria massal. Ningsih membawa sesuatu seperti batok kelapa yang berasap, di mana bau sengak berasal dari benda aneh itu. Itu yang kini kulihat. Horor di depan mataku sendiri.

"Hati-hati, Bek. Dia juga terpengaruh racun itu ...," ujar Rendra. Aku tidak terlalu menggubrisnya.

"Jadi ... bagaimana rasanya menderita sedikit demi sedikit? Satu per satu orang-orang terdekat mulai mati perlahan? Mengesankan, apa yang telah dilakukan oleh Kanjeng Kah Raman pada masa kebangkitannya, ha ha ha!" Racauan Ningsih terdengar lebih berat dan serak.

Aku langsung beringsut, "Bicara apa kau!?"

"Ketika Kah Raman datang ke tempat ini, tidak ada harapan lagi bagi kalian!" Ningsih, tersenyum menyeringai dan menggertak kami.

Apakah dia masih Ningsih yang kukenal selama aku ada di Tirtanan?

"Ningsih ...." Di luar dugaan, Pak Soedja datang ke arah kami. Wajahnya diliputi rasa keterkejutan, kesedihan, dan keputusasaan. Beliau kini berada tepat di sampingku. Kami berdua membelakangi kerumunan lain.

"Pak Soedja ...."

"Kalian pikir, kalian dapat menyelesaikannya begitu saja!? Kah Raman lebih baik daripada adiknya! " Ningsih menggertak lagi.

"Ningsih ... bapak mohon untuk letakkan itu ...." Pak Soeja mencoba menghentikan Ningsih.

Aku pun begitu.

"Ningsih ... kumohon ... hentikan ini ...."

"Apa kau sudah mengakuinya? Kuasa ini? Inilah akhir dari Tirtanan. Kalian tidak akan dapat menghentikan mereka ...." Aku membenci suara berat, serak, dan tua yang keluar dari mulut Ningsih. Ningsih tidak seperti itu. Ningsih tidak akan mengujarkan kebencian seperti itu.

"Ningsih, kami akan gunakan cara kekerasan jika kau tidak cepat meletakkan dan menghilangkan bau-bauan itu!" Ronny refleks mengacungkan senapan angin yang ia bawa, namun segera kuterjang dia dan sempat kuamuk.

Ah ... cinta yang menguasaiku sudah seperti racun Kah Raman yang menguasai Ningsih.

"Kaucoba tembakan itu pada Ningsih, kurontokkan gigimu!"

"Ta-tapi, dia sumber masalah in—"

"Ini semua salah Kah Raman, bukan Ningsih!!"

"Bekti, ini harus dihentikan ...." Rendra mencoba menengahi. Namun, kuamuk juga dia.

"Kau hanya memedulikan hilangnya bau tengik ini! Kau tidak peduli jika Ningsih terluka!"

"Sudah terlalu banyak yang terluka, bahkan mati sejak Kah Raman meneror Tirtanan untuk yang kedua kalinya, Bek! Parah malah!"

"Hentikan kalian! Bekti, Ronny, Rendra!" Teriakan Ann menghentikan perdebatan kami. Ann hampir menangis dengan mukanya yang sembap. Ia menunjuk Ningsih.

"Jadi ...."

Sepintas aku mendengar suara Ningsih. Suara asli Ningsih yang selama ini kudengar. Halus, pelan, lembut, dan ramah. Kami semua terpaku pada Ningsih.

"Ku ... mohon ... Akhi ... ri ini. Tidak ... ada solusi lain, teman ... teman ...." Di antara rintihannya, menahan sakit dan derita, ia memohon.

"Kita akan cari solusinya bersama, Ningsih!" ujarku yang bahkan tidak membantu.

"Ba ... pak ..., tembak ... Ningsih ...." Kata-kata Ningsih membuat semua orang terperangah.

Aku segera menyela, "Tidak, Ningsih! Jangan katakan hal gila, Ningsih! Lihat! Nenek Naode di sini! Beliau akan membantu! Bertahanlah, Ningsih."

Seseorang menepuk lembut bahuku. Suara Nenek Naode di belakangku berseru, "Racunnya sudah merusak tubuhnya. Kah Raman sengaja memberinya racun terlalu banyak. Dia dengan tersiksa menyisakan kewarasannya untuk hal ini."

"Bohong ...," selaku. Serasa petir menyambar diriku.

Ann yang juga terkejut, kemudian mengiba, "Nenek ... itu bohong, 'kan?"

Nenek Naode menggeleng. Detik kemudian, Ningsih mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya. Benda aneh yang dipegangnya terjatuh.

Serentak kami memanggil, "Ningsih!"

Aku tidak tahu, seberapa Ningsih tersiksa karena racun—atau entah apalah—itu. Dia menggeram dan meracau tidak jelas, lalu disusul erangan kesakitan. Ia mempertahankan kesadarannya yang hampir dilahap oleh kekuatan mengerikan. Ia masih berusaha untuk berdiri.

"Baik ... akan kulakukan ...." Pak Soedja merampas senapan angin dari tangan Ronny dan maju ke depan.

"Pak Soedja!" Aku mencegah, tetapi Pak Soedja tidak mau mundur. Pak Soedja mengokang senapan angin di tangannya.

"Dua kali ... aku membunuh orang yang aku sayangi. Sama persis seperti ini," keluh Pak Soedja, sebelum beliau berkata lagi.

"Ningsih ... maafkan bapak ...." Pak Soedja membidikkan senapan. Entah mengapa tidak ada yang mencegah. Semua hanya bergeming seperti batu dengan tatapan ... nelangsa dan empati.

Dengan pelan dan parau, Ningsih berujar, "Teman-teman ... dari kota. Terima ... kasih ...."

Ronny, Kei, dan Auriga memalingkan muka. Pak Soedja masih membidik anaknya sendiri.

"Ningsiiih ...," rintih Pak Soedja, dengan suara seperti rem berdecit dengan volume pelan.

"Rendra ... Bekti ... Ann ...." Ningsih memanggil kami. Matanya terpejam menahan sakit dan ia tersenyum.

Rendra menengadah dengan air mata mengalir sepanjang pelipisnya. Ann terisak di pelukan Nenek Naode. Kepalaku tertunduk dengan mata terpejam, membayangkan senyuman terakhir Ningsih.

Ningsih berkata pelan, "Terima kasih ...."

Dor!

****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top