24. Semiotik Kematian

Aku ingat hari itu. Tepatnya 22 hari aku berada di Tirtanan. Hari di mana semua kedamaian menguap begitu saja, oleh satu amukan dari makhluk berjubah hitam yang membawa lari warga. Sebagian perempuan dari kelompok KKN menghilang ditelan kegelapan hutan yang berada di daerah Timur. Entah, berapa perempuan yang telah menghilang. Juga, kenapa harus perempuan? Apakah monster kita satu ini benar-benar tertarik dengan entitas makluk berjenis betina?

Orang-orang yang menghilang di pedalaman, telah membuktikan bahwa daerah di luar batas peradaban manusia adalah hal yang tidak aman. Manusia membentuk sebuah perkumpulan, membangun peradaban, membentuk ruas-ruas jalan dan tembok-tembok rumah baru sebagai tempat mereka berlindung. Hal itu hendak diterapkan pada Tirtanan. Namun, sebagai peradaban yang tereksklusifkan dari dunia luar, dikelilingi hutan rimba, kami tidak lebih dari koloni-koloni Amerika di tengah dunia baru yang liar.

"Hei, kejar mereka!" Kami berlari mengejar sekumpulan bayangan hitam yang kabur ke daerah hutan Timur.

"Mereka semua lari ke Timur!" pekik ajudan Mayor Delberg.

"Kurang asem! Ayoh, kejar mereka Mayor! Yuhei, Yamada, jaga anak-anak dan para istri!" Yamaguchi-san mengajak orang-orang, termasuk aku dan Mayor Delberg yang baru menyusul.

"Tidak kusangka Dia akan menyerang ...," imbuh Yamaguchi-san lagi.

"Siapa Dia?" tanyaku penasaran. Siapa sih, sosok yang tidak boleh disebut namanya itu? Kalau ternyata dia adalah penyihir kegelapan dengan kepala plontos, aku tidak bisa berhenti menepukkan dahiku ke tembok sembari tertawa dan mengumpat sejadinya.

"Kami tidak boleh menyebutkan namanya, Nak. Terlalu tabu untuk disebut namanya. Namanya adalah sebuah pertanda buruk bagi seluruh daratan!" sergah Mayor Delberg.

Sudah kuduga. Cara termudah menebar teror, adalah dengan membuat namamu sendiri menjadi sebuah hal yang ditakuti masyarakat.

"Uwah ... terdengar seperti sosok makhluk misterius?" pintaku.

"Bukan makhluk lagi, dia adalah ... iblis paling licik dan menakutkan seantero Tirtanan." Yamaguchi-san terlihat tertahan menjawabnya.

"Dia pernah mengacau sebelumnya, tetapi Kepala Suku Orang-Orang Bersarung berhasil mengalahkannya. Tidak kusangka! Tidak kusangka!"

Mayor Delberg kini mengimbangi lariku. Hebat sekali orang tua ini masih berlari-lari.

"Mana temanmu yang lain?" tanya Mayor Delberg.

"Mereka sudah aman, Mayor!" jawabku.

"Kau sendiri ke sini? Gila! Tapi ... baiklah. Kita buru makhluk keparat penculik para perawan itu!" Gigi Mayor Delberg bergemeletuk. Kami mengejar bersama beberapa orang warga dan pasukan kecilnya Van Delberg. Ke Timur.

"Bagaimana situasi di wilayah kalian?" tanya Mayor Delberg pada Yamaguchi-san.

"Kami kehilangan empat orang lagi," ujar Yamaguchi-san serius.

"Serius, di tempat kami ada satu keluarga hilang semua! Tinggal menyisa sang suami saja!" sahut Mayor Delberg. Aku masih dilibatkan pada percakapan mereka.

"Siapa mereka sebenarnya?" tanyaku, merujuk pada para makhluk atau apa pun yang mengenakan jubah dan topeng hitam.

"Para penganut iblis ...," tutur Yamaguchi-san penuh perhitungan dan nada serius.

"Benarkah ada makhluk yang mengerikan, lebih jauh dari Sumual yang kita kejar barang belasan hari lalu?" Aku terhanyut dalam percakapan.

"Percayalah nak, hidup buyut kami lebih keras daripada ini," kata Yamaguchi-san.

"Setidaknya daerah ini masih penuh misteri sih." Aku menolak berkomentar lebih jauh.

"Bah! Aku akan letuskan kepala mereka bila ketemu!" timpal Mayor Delberg.

Kami telah melewati tapal batas desa, menuju Hutan Timur. Nenek Ketua mengingatkan pada orang-orang agar tidak melewati hutan Timur lebih dari lima puluh depa. Itu adalah pantangan bagi semua orang di Tirtanan, tanpa kecuali.

"Aku belum pernah lewat hutan Timur sebelumnya ...," komentarku

"Yah ... memang jarang dilewati. Katanya angker," ucap Mayor Delberg datar.

"Hee ... serius??" Aku terkaget-kaget.

"Akhir-akhir ini saja lebih tambah angker. Sudah tiga rombongan dagang menolak pergi ke ibu kota Tirtapura gara-gara jalur Timur yang entah kenapa mendadak jadi angker ...," lanjut Mayor Delberg bercerita.

"Seangker ... ini??" Aku menelan ludah. Nenek Ketua tidak bohong soal Hutan Timur. Hawa mencekam dan kengerian langsung menyelimutiku.

"Jalur timur agak ke sana, Nak. Percayalah. Kau tidak akan sanggup bila lewat situ!" Yamaguchi-san menunjuk ke arah Selatan.

"Katanya di hutan timur ... ada sesuatu yang tersegel, mungkinkah ... itu ... Dia?" tanya Mayor Delberg.

Yamaguchi-san berseru, "Bisa jadi! Nenek Ketua Suku itu memperingatkan kalau itu daerah keramat!"

He!?

"Berarti kita masuk ke sana sekarang, bapak-bapak!" seruku sedikit ketakutan.

"Entahlah, sudah kepalang basah ... apa itu!" Sontak, Yamaguchi-san memekik sambil menunjuk sesuatu di depan. Kami berhenti untuk mengamati sejenak. Sosok orang yang sedang duduk sambil memegangi tangannya. Ia tampak kesakitan.

"Itu ... Auriga!" pekikku.

****

"Auriga! Kau tidak apa-apa?" Aku membantu Auriga berdiri. Ia mengeluhkan lengan kirinya yang sedikit sakit. Kemungkinan dirinya mengalami cedera cukup besar. Namun, Auriga tidak mengatakan hal-hal lain yang jauh lebih parah.

"Hmm yah. Aku tidak apa-apa! Lebih penting, mereka. Mereka banyak yang dibawa masuk hutan!" terangnya. Aku, Yamaguchi-san, dan Mayor Delberg memperlambat langkah. Beberapa pengejar sudah masuk jauh ke dalam hutan tentunya.

"Sial, aku khawatir mereka dibawa ke hutan keramat!" Yamaguchi-san terus-terusan mengkhawatirkan tentang hipotesis bahwa para perempuan di bawa ke hutan keramat. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa, untuk apa, dan siapa?

Auriga sedikit gemetar ketika mendengar hutan keramat. Ia mencicit, "Hu ... hutan apa? Rendra ... bagaimana yang lain?"

"Cuma tersisa Ann dan Griselda. Lebih penting, kenapa kau bisa tergeletak di situ?" tanyaku penasaran. Di luar dugaan, respon Auriga malah kesal.

"Mereka benar-benar keterlaluan!"

"Jangan-jangan ... mereka mengira kau perempuan?" selorohku. Aku mendengar Auriga berkata 'cih'.

"Bukan hanya itu! Ketika tahu aku laki-laki, aku langsung dijatuhkan begitu saja!" kesalnya.

"Yah ... setidaknya kau punya keuntungan, Aur ...," hiburku.

"Ah, aku sempat mendengar percakapan mereka ketika aku dibawa."

Yamaguchi-san bereaksi dan bertanya, "Benarkah? Tentang apa?"

"Entahlah, beberapa hal ...."

Percakapan kami diinterupsi dengan suara jeritan dari dalam hutan. Kemudian suara teriakan yang lebih terdengar seperti guruh atau aungan. Mendadak hawa dingin menusuk kulit dan membuat bulu di tengkukku berdiri. Auriga menggigil, entah karena takut atau dingin.

"A-apa itu ...," cicit Auriga.

Sejurus kemudian, orang-orang yang tadi mendahului kami mengejar gerombolan bayangan misterius lari semburat berlawanan dengan kami. Mereka berteriak ketakutan.

"Sial ... orang-orang kita!" umpat Yamaguchi-san.

"Hei! Ada apa dengan kalian!?" teriak Mayor Delberg.

"Kita masuk terlalu dalam, ya ...," simpulku.

"Rendra, awas!"

Peringatan dari Auriga memecah keheningan diriku yang sedang berpikir. Nyaris saja, benar-benar nyaris, ketika ada sebuah pisau yang melintas tepat dua sentimeter di depan wajahku. Karena Tanahnya licin dan lembap, aku terpeleset lalu terjengkang ke belakang.

"Huh! Ham ... pir! Saa ... ja!!" teriakku yang kaget karena hampir saja aku kehilangan nyawa. Sekelebat aku melihat, sosok bayangan itu berada tidak jauh dari kami berdiri sekarang.

"Siapa kau!" Mayor Delberg mengarahkan revolvernya, juga dengan Yamaguchi-san mengokang senapannya.

"Yamaguchi-San, bawa anak-anak ini kembali!" perintah Mayor Delberg kemudian.

Makin banyak pengejar yang lari ketakutan dan berlari kembali ke arah desa. Sejurus kemudian, terdengar suara seperti gemuruh dan debap yang cukup keras. Lama-lama bunyi itu makin keras, disertai dengan getaran dari tanah yang kami pijak.

Gempa bumi?

"Awas!" Salah satu pengejar yang kabur berteriak dan lari semburat melawan arah kami. Apa pun yang menakuti para pengejar itu, jelas lebih menakutkan dari Sumual, macan, beruang, atau apalah itu.

"Kita kembali! Kita kembali!" Yamaguchi-san memegangiku dan Auriga, mendorong kami agar cepat-cepat kembali.

Bupp!

Ledakan. Suara ledakan yang teredam sesuatu, tetapi masih terdengar keras.

"Apa itu?!!" erangku kaget.

Tiba-tiba tanah di dekat kami meledak. Seperti sesuatu mendesak dari dalam tanah tidak padat, lalu membuat seluruh isi tanah semburat tidak karuan. Ledakan itu berjarak sepersekian puluh meter dari tempat kami. Kami meloncat untuk menghindari ledakan itu.

Permainan macam apa ini!?

"Whoaaa!" pekik Yamaguchi-san.

Kemudian ledakan kembali terjadi, tetapi di bagian tanah lain yang agak jauh dari kami. Kami seperti berada di tengah ladang ranjau atau tempat sasaran latihan meriam.

"Sial! Sial! Kalian duluan, aku akan mengalihkan perhatian!" Mayor Delberg berhenti mengikuti kami.

"Mayor Van Delberg!" teriakku.

Ledakan demi ledakan dengan interval yang tidak begitu jelas terus terjadi. Ketika aku kabur, aku melihat sekilas ada sosok yang duduk tersandar di bawah pohon.

Aku berhenti sejenak. Menatap sosok yang terduduk dan tertunduk lemas itu lamat-lamat. Itu orang. Rambutnya agak panjang, mengenakan gaun. Aku tidak dapat bilang warnanya putih, karena ada juga dominan biru.

Seorang perempuan.

"Oh!" pekikku.

"Ada warga desa di sana!"

Aku berlari ke arah perempuan yang terduduk di bawah pohon itu.

"Heei! Kembali, bocah!" lantang Yamaguchi-san memanggilku.

"Kalian duluan!" Aku tetap berlari.

Juga, sebuah kesalahan bodoh.

"Kau tidak apa-apa? Ayo kembali! Di sini berbahaya!" peringatku sembari mengguncang pundak perempuan yang terduduk itu.

Lalu ...

"Huwaaaa!!"

Terkaman.

Terkamannya tepat memegang leherku. Aku terpelanting ke belakang, dengan rasa sesak mulai menyerangku. Aku tercekik! Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, karena tertutupi rambut. Namun, bisa kudengar tadi dia menggeram seperti beruang.

"Ugh!" Kulayangkan pukulan dari samping, membuat wanita itu terpelanting. Namun, sejurus kemudian, aku bisa merasakan kedahsyatan seorang perempuan Tirtanan, ketika ia melakukan sebuah gerakan memutar dan menendang kepalaku dengan tungkainya.

Aku tersungkur dan perlahan pandanganku mengabur.

****

Begitu bangun, aku sudah dibuat duduk berlutut. Kedua tanganku dicengkeram erat oleh dua makhluk berjubah hitam yang masing-masing berada di kanan-kiri diriku. Aku melirik ke sekeliling. Layaknya hutan biasa, tetapi lebih lebat dan terkesan angker karena sinar bulan tidak dapat tembus. Terlihat api-api kecil yang berasal dari cepuk-cepuk batu, mengelilingi daerah yang ada di sekitarku.

Di penerangan yang sangat minim itu, kemudian muncullah sosok wanita seumuran ibu-ibu, dengan rambut yang dikonde, set kebaya dan kemben berwarna hitam, bawahan kain batik yang disarungkan, serta mengenakan kain seperti jubah di punggungnya yang juga berwarna kelabu kusam. Kulit wajahnya putih cerah, tidak pucat. Gincu yang berwarna merah merona melingkupi bibirnya dan lentik bulu mata yang terlihat alami. Sepertinya, kalau ada yang harus dituduh sebagai dalang kekacauan di Tirtanan, tante-tante di depanku ini adalah yang pertama.

"Waah! Wah! Tidak kusangka, kita menangkap kesatria pemberani masuk ke sini!" ujar wanita itu.

"Siapa kau?" tanyaku ketus. Wanita yang berdiri di depanku malah tertawa.

"Siapa aku? Kau benar-benar tidak tahu? Wah ... wah, sepertinya kau orang baru ya ...," berang wanita itu angkuh.

"Biar kutebak ... kau ... dalang di balik semua ini?" Aku menatap wanita itu nanar.

"Uwah ... uwah ... dalang? Menarik sekali kau sebut aku dalang di balik kekacauanmu itu. Atau ... kau mendefinisikan itu sebagai sebuah kekacauan?" Tidak terduga, sebuah jawaban yang keluar dari si wanita misterius.

Sedikit tertawa sinis, aku mendebat, "Heheh ... memangnya kau definisikan apa, kekacauan yang kudefinisikan?"

"Aku mendefinisikan kejadian yang tengah terjadi di desamu, adalah sebagai bentuk kemalangan orang-orang yang tidak menaati peraturan dari keyakinan yang telah kubentuk ...," balas si wanita seraya tersenyum licik. Lalu, perdebatan antara diriku dengan si wanita misterius pun terjadi.

"Keyakinan yang kaubentuk? Wah ... wah, kau sudah selangkah menjadi Tuhan, ya? Mau membuat cerita nabi-nabi, ya?"

"Benarkah? Aku hanya melakukan itu sebagai sebuah bentuk hukuman atas kesalahan mereka selama bertahun-tahun lamanya. Kesalahan para orang-orang yang ada di sini! Kesalahan penguasanya!" Si wanita menyikap kedua tangannya.

"Hmm ... menarik. Ada banyak jenis orang yang berusaha menaikkan sebuah revolusi di negeri ini. Namun, ia tidak melihat adanya hal yang perlu diperdebatkan. Jadi ... tindakanmu hanyalah akal-akalan seperti orang-orang yang punya waham kebesaran ...," ketusku.

"Kau ... kau datang dari dunia lain? Katakanlah ... apakah wanita sepertiku mampu untuk mengubah negeri ini jadi lebih baik?" Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajahku. Sebuah wajah tipikal tante-tante tiga puluh tahunan.

"Hmm ... tidak. Sekarang, bisa lepaskan aku?" tanyaku datar.

Wanita itu malah tertawa, lalu dengan angkuhnya, berseru, "Kau ... memintaku untuk melepaskanmu!? Jangan bercanda ... kau tidak tahu siapa aku?"

"Memang tidak tahu, eh?"

"Baiklah ... karena aku berbaik hati, aku akan memperkenalkan diriku ...."

Kemudian, datanglah para makhluk berjubah hitam, sembari mengekang tangan beberapa orang yang kuidentifikasikan sebagai anggota para pengejar makhluk yang memegangi mereka kini. Para warga Tirtanan. Berjumlah tiga orang. Mereka didudukkan dengan paksa, dengan tangan dan kaki yang terikat.

"Hey! Lepaskan mereka?" bentakku.

"Dua kali kau memintaku. Sangat tidak sopan ...," jawab si wanita sombong. Kemudian, salah satu makhluk berjubah hitam yang memegangku menendang pinggangku.

"Ugghyak!"

Aku tergeletak dan menahan pinggangku yang sakitnya menyeruak tidak tertahankan.

"To ... tolong!" rintih salah satu warga yang tertangkap.

"Apa yang akan kaulakukan? Membunuh mereka!? Ha!" raungku pada si wanita.

Dengan angkuhnya, si wanita misterius berseru, "Tidak ... tidak. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang sekotor itu. Lihatlah sendiri, sebuah kekuasaanku atas dunia yang terkungkung oleh keidiotan orang-orang yang ingin bermimpi!"

Lalu, pemandangan yang cukup mengerikan mulai tersaji di depanku. Mula-mula berjalanlah tiga sosok perempuan, kemudian mereka berdiri di belakang para warga yang tertangkap. Lamat-lamat, aku dapat mengenali para perempuan itu dari pakaian mereka.

Mereka warga Tirtanan. Dua orang Indo-Belanda, satu orang Timur—orang Jepang Eksodus Shimabara. Dua perempuan berumur sekitar 30 tahunan, satu perempuran seumuran Ann. Mereka seperti disuruh—tidak, dikendalikan—oleh suatu kekuatan yang memaksa mereka untuk menuruti kemauan seseorang. Kemungkinan besar, si wanita. Mereka memegang ... senjata tajam.

Aku tahu apa yang akan terjadi.

"Kau ... iblis!" umpatku.

"Hee ... kau kenal salah satu dari mereka?" Si wanita Misterius tersenyum. Kemudian ia mengibaskan tangannya.

Detik berikutnya, adalah pembantaian.

Tepat di depan mata kepalaku.

Para warga yang dibunuh oleh ... istri dan anak mereka sendiri.

"Astaga ... mereka ... warga desa ... keparat kau!" laungku.

"Inilah kuasaku! Tidakkah kau melihatnya!" Si wanita misterius menyeringai.

"Cih ...."

"Kauingin tahu? Kauingin tahu siapa aku??" Ia menatapku tajam.

Lalu, aku terpikir sebuah nama.

Dia ....

"Berlututlah di bawah Nyi Kanjeng Agung Kah Raman!"

Lalu pandanganku gelap.

****

Jalanku sempoyongan. Memar di sekujur tubuh. Pandanganku tidak lebih dari sebuah fajar terang dengan cahaya kemerahan. Ketika aku sampai di tapal batas desa, aku haqqul yakin melihat sebuah kengerian di ujung cakrawala. Setiap langkah yang kulewati, setiap detik frame pemandangan tidak pernah kulewatkan sedikit pun, bagaimana harga nyawa seseorang tidak lebih dari satu botol sirup jus jeruk enam ribu rupiah di toko-toko.

"Ap-pa ...." Aku tersekat.

"Apa yang terjadi ...."

Aku melihat tubuh Mayor Delberg dan Yamaguchi-san yang bergeletak, dengan darah tergenang di sekitarnya. Mati.

"Mayor ... Yamaguchi-san!"

Aku melintasi tubuh Yamada-san tanpa kepala.

"Huwaa!!"

Aku berlari masuk desa, rumah-rumah terlalap oleh api. Cairan-cairan merah pekat berceceran di setiap jalan paving. Banyak tubuh manusia tergeletak. Mati.

"Astaga ...."

Lebih jauh ke dalam. Aku melihat Pak Baek dan Prof. Abram, Ronny, Auriga, bahkan Griselda, terkapar dengan lumuran darahnya masing-masing. Mati.

"Teman-teman ... Prof. Abram ...."

Anak-anak dan para orang tua terduduk di kursinya. Mati. Pak Kusno tertelungkup di badan jalan besar. Mati. Cahaya fajar menyemburkan semburat merah bata, diiringi kelabu dari asap yang mengepul, bekas kebakaran setiap rumah di Tirtanan.

"Sial! Sial!"

Aku berlari menuju balai desa. Semoga saja ada yang selamat di sana.

"Bekti ...."

Bekti tersandar pada sebuah tiang, dengan tubuh disalib dan dibalik. Mati.

"Nai!"

Nai terbelah menjadi dua bagian. Mati.

"Sialaaan!"

Aku berlari sekuat tenaga, keluar dari jalan besar. Dengan rasa di dalam hati yang sudah pasrah akan bencana yang menimpa Tirtanan, aku berlari tanpa arah. Mendadak, aku mengingat satu hal.

Annelies, dia belum kutemukan!

"Ann ... Annelies! Di mana kau!?" Aku berteriak-teriak layaknya anak itik yang mencari induknya yang telah disembelih.

"Ann!"

Kemudian, aku melihat Ann berjalan keluar dari arah rumah singgah yang kosong.

"Annelies ..., syukurl—"

Dengan langkah gontai, dan gerakan yang lunglai, ia menodongkan sebuah senapan angin padaku. Air mukanya datar, pandangannya kosong dan matanya merah. Semerah gincu si Dia. Merah darah.

"Rendra ...," racaunya memanggilku.

Aku tertawa tidak percaya, seraya berseloroh, "Apa-apaan ini ...."

Lalu, dari balik kegelapan, Dia datang. Dengan membawa sebuah potongan tangan keriput. Aku mengenali beberapa pernik dan rajah di tangan yang dipegangnya. Milik Nenek Laode.

Dia yang mengacaukan dan memutarbalikkan hukum alam di Tirtanan.

Dia.

"Apa kau sudah mengakuinya? Kuasa ini?" katanya sembari berjalan mendekati Annelies, lalu ... ia menjilat pipinya. Annelies bergeming, tetap membidikku dengan senapan.

"Heheh ...." Aku berdiri lemas. Tertawa tanpa sebab.

"Sayang sekali ... Sayang ... silakan akhiri dia. Berikan hukuman pada orang yang tidak percaya dengan Kah Raman ...."

Ini adalah akhir dari Tirtanan. Akhir dari perjalananku di tanah antah-berantah ini.

Akhir dari diriku.

"Ha Ha Ha!"

Dor!

****

THE END OF BACKWOODS LOST

PART 1 : FIND

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top