23. Senja Palsu Sebelum Gelap

22 hari aku berada di Tirtanan.

Semua itu bermula, ketika Aku dan Bekti menemani Ningsih mencari banyak umbi liar di tepi hutan. Kalau kau beruntung, mungkin kaudapatkan beberapa jamur atau beri-berian yang aman di konsumsi. Pak Soedja berangkat untuk berburu dalam pekan ini, jadi Ningsih tidak dapat lama-lama untuk membiarkan ayam-ayam dan bebek-bebek mereka berkeliaran di luar untuk waktu yang lama.

Boleh jadi, keluarga Pak Soedja—yang hanya terdiri dari beliau seorang bersama anaknya, Ningsih—adalah salah satu keluarga yang hidup tipikal di Tirtanan, mengandalkan peternakan dan perburuan sebagai cara hidup mereka selama bertahun-tahun. Pak Soedja menggunakan segenap pengalamannya ketika beliau masih berada di dunia luar untuk bertahan di sini. Meski yang aku ketahui, Pak Soedja tidak memiliki pekerjaan lain, selain mengurus ternak unggas dan pergi berburu.

"Ningsih ... apakah kau memang suka pergi ke tepi hutan seperti ini?" tanya Bekti yang sudah kurasakan modus operandi dirinya untuk mendekati Ningsih.

"Ah ... aku hanya ingin mencari beberapa umbi liar saja," jawab Ningsih kalem.

Tanpa diduga, Bekti berseloroh, "Yaah! Pekerjaan yang cukup damai. Hei, apakah kau pernah memiliki pacar?"

"Pa-pacar?" Ningsih terkejut dengan jawaban Bekti. Sepertinya ia mengenali beberapa konsep tentang percintaan.

Aku langsung menggaet lalu menjewer telinga Bekti, seraya beringsut, "Hei ... hei, jangan menggoda Ningsih seperti itu!?"

"Kau kenapa malah ikut-ikutan aku, Rendra?" bela Bekti.

"Hey, aku sudah mencurigaimu sejak tadi subuh, Bek. Kau terus memperhatikan rumah Pak Soedja. Salah-salah kau bisa digebukin satu kampung, kampret!" sahutku yang masih menarik telinga Bekti.

"Ah, tentu saja. Aku mau curi start, Rendra!" gusarnya.

Mendadak pertikaian kami terhenti, ketika ada suara gemerasak dedaunan yang cukup jelas terdengar, berasal dari arah depan kami bertiga. Seketika itu, kami bertiga menghentikan langkah kami. Tanpa diduga, tiba-tiba sosok orang langsung melompat muncul dari balik semak-semak, lalu terhuyung dan tergeletak di tanah.

"Siapa di san—apa-apaan!" Aku menghela napas ketika melihat bercak darah yang tersebar di baju orang yang kami temui itu. Ningsih menjerit ketakutan dan bersembunyi di belakang Bekti. Merasa situasi ini bakal berbahaya, aku mengambil kendali atas situasi dengan menyuruh yang lainnya untuk pergi menjauh dari tepi hutan.

"Panggil kepala desa!" pintaku.

Pria tadi adalah salah satu warga desa Tirtanan. Kulit putih, agak pendek, gemuk sedikit, berambut pirang dan berkumis layaknya Van Der Bosch. Orang Belanda. Dari perlengkapan yang dibawanya, tidak menandakan kalau dia pemburu, meski dia membawa senapan angin.

Semua menjadi jelas, ketika semua orang dipanggil ke Balai Desa untuk membicarakan masalah ini. Tidak dinyana-nyana, Tuan Albert dan Yamaguchi-san selaku pemimpin dari kelompok mereka masing-masing, juga hadir dengan muka yang sedikit tegang. Banyak warga yang tidak dapat tidur nyenyak akhir-akhir ini. Bukan karena lampu ruangan yang begitu terang, tetapi ada satu masalah. Yamaguchi-san menceritakan kejadian yang membuat semua orang menjadi cemas.

"Jadi ... semua ini bermula ketika ada beberapa warga desa mulai menghilang satu per satu?" tanya Pak Kusno. Yamaguchi-san mengangguk lesu.

"Berapa hari, ini terjadi?" lanjut Pak Kusno menanyai.

"Dua hari lalu," sahut Tuan Albert.

Kaget dengan penuturan Tuan Albert, Pak Kusno dengan nada sedikit kecewa bertanya, "Dua hari? Kenapa kalian tidak segera memberitahukan ini pada penduduk desa?"

"Kami berusaha mencarinya, Pak. Dua kelompok pencari telah kami kirimkan. Ini adalah kelompok ketiga, tetapi kami selalu diserang!" sergah Tuan Albert.

"Mungkinkah ... Sumual?" duga Pak Soeja.

"He? Jangan bercanda!?" sergah Pak Trikarliek.

"Lalu ... soal warga desa yang hilang setelah rumah mereka diserang oleh sesuatu, berapa orang yang hilang?" Pak Kusno kembali pada topik pertanyaan.

"Lima belas. Semuanya wanita," ungkap Yamaguchi-san, yang lagi-lagi membuat semua orang heboh.

"Lima belas!? Dalam dua hari!?"

"Kami tidak tahu apa yang menyerang mereka! Juga, mereka selalu menyerang tengah malam!" keluh Tuan Albert yang sudah seperti kebakaran jenggot saja ketika hal ini diungkap.

"Mana saja yang sudah diserang?" Pak Kusno menjumput dagu berjanggut tipisnya.

"Perkampungan kami dan griya para orang Belanda. Keduanya sudah diserang oleh sekawanan makhluk misterius," jawab Yamaguchi-san.

Aku yang tidak dapat menahan diri, berseru, "Ma-makhluk kata kalian?"

"Sekawanan!? Mungkinkah ... ada kelompok semacam begal yang tiba-tiba nyasar ke daerah Tirtanan, lalu mereka mulai mengacau?" Bekti mulai menyusun hipotesisnya sendiri.

"Kurasa ... kesasar di hutan bukanlah hobi yang sedang menjadi tren, Bekti," sergah Pak Kusno. Tiba-tiba aku teringat satu hal, ketika Nai dan Nenek Ketua membicarakan soal sesuatu yang buruk akan terjadi di Tirtanan.

Aku beringsut ikut dalam pembicaraan, "Aku takut ... ini ada hubungannya dengan kekhawatiran Nenek Ketua."

"He? Apa kata Ketua Naode?!" Baik Yamaguchi-san, Tuan Albert, dan Pak Kusno serentak menanyakan kepadaku.

Sedikit kelabakan dengan respon mereka, aku menjawab, "Anu ... beliau bilang kalau sesuatu yang buruk akan terjadi."

Raut Pak Kusno langsung berubah menjadi serius.

"Baiklah ... kita akan adakan rembuk desa!"

*****

Semua orang-orang penting datang di Balai Desa Tirtanan. Ketua Naode dan Nai, serta beberapa orang petinggi adat Orang-Orang Bersarung juga datang. Begitu pula dengan Prof. Abram dan para dosen selaku wakil dari orang-orang yang baru menetap sebentar di Tirtanan selama tiga pekan lebih. Semua mendengarkan cerita dan kasak-kusuk yang terjadi selama dua hari di daerah perkampungan masing-masing. Perkampungan orang Shimabara dan griya Koloni Belanda sudah menjadi target operasi dari serangan akan suatu hal. Mengetahui bahwa kami masih tinggal di daerah yang terisolasi, dengan batas-batas pedalaman hutan yang hampir tipis, seolah-olah menyadarkan kami semuanya, bahwa ... hidup damai di Tirtanan tidak semudah yang dikira.

"Konon ... ada misteri yang mengatakan, kalau banyak hal-hal yang tidak biasa, memang sering terjadi di daerah pedalaman," ujar Kades Kusno.

"Apakah ini pernah terjadi, Pak Kades ...," tanya Prof. Abram sembari menatap Pak Kusno, berharap jawaban yang meyakinkan keluar dari mulut beliau. Pak Kades sedikit ragu untuk bercerita.

Tiba-tiba, Yamaguchi-san berceletuk, "Aku rasa ... ini pernah terjadi. Namun, tidak begini."

"Kau bisa menceritakannya, Yamaguchi-san?" Prof. Abram menoleh kepada Yamaguchi-san.

"Tidak terlalu, tetapi ... memang dulu Tirtanan pernah diserang oleh sesuatu," ujar Yamaguchi-san. Seketika, tensi dari pertemuan rembuk desa meningkat, membuat detak jantung berdegup kencang sewaktu-waktu.

"Se-sesuatu?" celetukku.

"Aku rasa ... mereka datang untuk meneror kampung-kampung di daerah Tirtanan ini ...." Yamaguchi-san mulai pada ceritanya.

"Kalau boleh tahu, apa sesuatu itu?" Dahi Prof. Abram mengkerut, menanyakan hal itu pada Yamaguchi-san.

"Sebuah kekuatan jahat! Seperti legenda pada umumnya. Kadang-kadang ada makhluk yang suka menyerang rumah, menculik wanita dan anak-anak, bahkan sampai menimbulkan korban," cerita Yamaguchi-san sembari mengembangkan kedua tangannya, merepresentasikan kekuatan jahat yang meliputi Tirtanan kala itu.

"Separah itukah?" tanya Prof. Abram.

"Karena itulah aku datang di sini!"

Tiba-tiba sebuah suara lantang yang menggema di Balai Desa itu mulai memecah suasana rembuk desa. Semua orang menoleh ke arah sumber suara tersebut. Lantangan itu berasal dari seorang pria yang tampak sudah tua, berjanggut putih mencolok seperti potret Fyodor Dostoyevsky, dahi botak menonjol yang sudah berkeriput, menggunakan seragam setelan yang didominasi warna biru tua dengan berbagai pernak-pernik medali dan lencana. Ia berdiri layaknya seorang admiral penakluk yang menginvasi Selat Malaka. Di pinggangnya, tersarung sebuah pedang—dari ukuran dan ketebalannya kemungkinan sejenis sabre—dan pinggang satunya tersarung sebuah bedil revolver, asli. Bot putih kusam yang dipakainya menimbulkan suara 'telepuk' yang cukup keras, ketika sepatu itu menghantam lantai Balai Desa.

"Siapa dia?" bisikku pada Ningsih yang berada di sebelah Bekti.

"Dia Mayor Van Delberg. Punya rumah besar di daerah Timur sana," ujar Ningsih.

Aku terkejut, seraya cukup keras berbisik, "Ha? Mayor? Dia tentara?"

"Bukan. Dia adalah kepala keamanan di daerah Tirtanan. Dia terobsesi dengan bapaknya," sahut Ningsih dengan raut sedikit tidak ramah. Kesan yang terpancar dari Belanda Tua itu memang kurang ramah.

"Bapaknya?" Dahiku kukerutkan.

"Jacob Van Delberg dulu adalah mantan kapten Maresose. Beliau mendidik Mayor Jacquess hingga seperti ini. Yah ... setidaknya dia sedikit terobesi untuk menjadikan beberapa anggota siskamling sebagai kelompok Maresose impiannya," jelas Ningsih

"Orang-orang Tirtanan memang sedikit sengkleh!" celetuk Bekti yang juga ikut mendengar penuturan Ningsih, sembari mengetuk-ngetuk keningnya dengan jari telunjuk.

"Jadi ... obsesi orangtua yah ... kasihan. Namun, sepertinya orang itu sedikit menyeramkan," komentarku.

Pak Kusno dan beberapa orang yang ikut terseret dalam masalah ini menjelaskan kronologi kejadiannya. Kurang lebih, hilangnya lima belas warga Tirtanan. Yang pasti sekarang, mereka terseret menuju pedalaman hutan.

Dengan tangan terlipat, Mayor Delberg beringsut, "Keamanan desa akan diperketat. Mulai hari ini hingga kekacauan ini dapat diatasi, kita akan memperketat keamanan desa! Orang-orang baru juga harus ikutan!"

Sontak hal itu menimbulkan kegemparan pada banyak orang. Lebih-lebih, para mahasiswa ngehek yang nyasar di tanah antah-berantah selama tiga pekan ini.

"He? Apa-apaan!? Kita juga?" sahut Des yang langsung memprotes.

Mayor Delberg langsung membentak, "Kaumau mati konyol gara-gara diculik makhluk mistis, anak muda! Siapa dari kalian yang bisa pegang bedil!? Bukan mainan, bocah!"

Hanya Ronny yang mengangkat tangan.

"Cuma satu!?"

Aku ikut mengangkat tangan, seraya berkata, "Sebenarnya saya juga bisa, hanya ... sering meleset."

Masih dengan wajah batunya, Mayor Delberg berseru, "Aku harap kau membidik dengan benar, anak muda ... siapa namamu!"

"Na-Narendra Surbakti," ujarku sedikit gelagapan menjawab pertanyaannya yang hampir mirip dalam ukuran volume suara sebuah gertakan.

"Huh ... kedengarannya kau menyebalkan."

Cih, kompeni ngehek sialan.

"Sebenarnya ... menyebalkan itu subyektif sih ...," celetukku, yang tidak disambut oleh Mayor Delberg.

Oke, orang ini cukup menyebalkan setingkat mayor.

"Baiklah, dari kalian, ada yang bisa bawa klewang? Badik? Celurit? Golok?" Kemudian, komandan tua lapuk itu berseru kepada yang lain.

"Apa-apaan ... kita mau perang?" Des kembali protes.

"Jangan banyak omong, anak muda! Dan kau! Kau juga harus ikut!" tukas Mayor Delberg, lalu menuding ke arah Lisbeth.

"Wah ... wah ... tunggu dulu! Aku juga tidak dapat membiarkan anak buahku mati konyol jika terjadi sesuatu di sini!" gusar Lisbeth yang langsung bertelekan pinggang.

"Tentara bayaran ... selalu saja! Baiklah! Urusi diri kalian sendiri kalau begitu!" geram Mayor Delberg.

Prof. Abram hendak menyela, "Mayor ... tetapi ...."

Langsung dipatahkan oleh Mayor Delberg dengan lantang mengatakan, "Ini adalah urusan keamanan desa! Tetanggaku ada yang hilang kemarin! Aku tidak bisa biarkan Albert terus-terusan kebingungan seperti jago kelilipan matanya itu!"

"Berhati-hatilah ...." Nai tiba-tiba berkata dengan keras dan tegas, mengalihkan perhatian Mayor Delberg, sembari mendengarkan bisikan Nenek Ketua.

"Maksudmu, Nai? Apa kata Nenek Laode?" tanyaku mengonfirmasi.

"Mungkin saja ... kita berhadapan dengan ... Dia," kata Nai tajam.

"Dia? Dia siapa?" Aku mengernyitkan kening.

"Dia."

****

Yang dikatakan Mayor Delberg bukan main-main. Seluruh Tirtanan tergerak untuk melakukan darurat perang. Perang melawan sesuatu yang bahkan kami sendiri tidak tahu apa itu. Jam malam mulai diberlakukan seusai Maghrib. Semua orang disuruh untuk tetap tinggal di dalam rumah dan mengunci pintu-pintu rumah mereka. Para pria memutuskan untuk pergi melakukan siskamling lebih awal, dengan ditambah beberapa senjata yang mereka bawa. Celurit dan golok menjadi andalan. Beberapa orang yang telah Mayor Delberg latih membawa senapan dan Klewang. Ini ... benar-benar persiapan perang. Perang betulan. Tidak diduga-duga!

Sebenarnya orang-orang membawa senjata, untuk menghindari terjadinya bentrokan berdarah yang dilancarkan oleh 'sesuatu' yang kini mengintai Tirtanan. Semua pria dan pemuda ikut serta, terkecuali Lisbeth dan para anak buahnya yang menolak ikut siskamling, mengamankan markas mereka sendiri. Sejak listrik tersedia di Tirtanan, malam menjadi tidak terlalu gelap lagi. Senter dan lampu listrik menjadi alat penerang. Lampu-lampu jalan telah menerangi tiap sudut gelap. Paling tidak, kita tidak perlu berteriak karena terlalu gelap memakai obor lagi. Serta, ramah lingkungan.

Kami, para lelaki kota yang kesasar di Tirtanan, sedang siskamling di dekat rumah singgah kami. Pak Baek menginstruksikan agar tetap mengawasi daerah sekitar dan berhati-hati. Kami tidak tahu, apa yang akan dihadapi nantinya.

"Tidak kusangka, aku jadi conscript di tempat ini?" gerutu Des.

"Hey, jangan berlebihan. Kita hanya disuruh siskamling sampai pagi," ketus Ronny.

"Tapi, kawan! Aku sudah coba tanya-tanya siapa Dia yang dimaksud Nenek Ketua itu, tetapi banyak dari mereka tidak tahu," sela Bethlehem.

"Siapa ya ... Dia?" kata Bekti setengah menggumam.

"Dia ... itu nama atau ... panggilan dia?" Auriga ikut berpikir.

"Entahlah, Aur. Setidaknya kita juga harus ikut siskamling. Ayo, kita memutari lagi griya singgah kita," suruhku. Kami bersepakat untuk membagi ke dalam kelompok.

"Ah, kalau begitu aku akan bersama Auriga saja kali ini ...," celetuk Des ketika pembagian kelompok.

"He, Des. Jangan coba kabur lagi," sungut Beth tidak senang.

"Ya ... pergi jauh-jauh sana," imbuh Ronny.

"Bethlehem ...." Aku memperingatkan Beth agar tidak kelewatan membenci Des, terlebih setelah aksi baiknya pada penduduk Tirtanan tempo hari lalu.

Aku memutuskan untuk pergi bersama Des, Auriga, dan Bekti. Sementara Ronny dan Beth bergabung dengan kelompok lain.

"Semua wanita sudah berada di rumah mereka masing-masing," ujar Bekti yang baru saja patroli dari griya singgah anak-anak perempuan.

"Hmm ... mendadak, senter menjadi sebuah benda tren di sini," komentar Auriga.

"Terima kasih kepada Lisbeth dan barang selundupannya," selorohku.

"Dengan penerangan ini, jadi mudah untuk ke mana-mana waktu malam," tambah Bekti.

Terlepas dari senter atau penerangan yang kami bawa, mendadak, seluruh lampu tiba-tiba padam. Beberapa teriakan dan pekikan kecil mewarnai di sejumlah rumah, sebelum akhirnya terlihat sorot-sorot lampu senter atau lampu darurat.

"Mati lampu?!" sergahku.

"Ha? Ada masalah dengan pembangkit?" duga Bekti.

"Kelihatannya memang begitu. Mungkin harus sering-sering ditinjau karena barang baru." Des mengiyakan dugaan Bekti.

Aku mendiamkan mereka dan berkata, "Ssht! Diamlah sejenak kalian! Aku mendengar sesuatu."

Samar-samar terdengar suara-suara aneh yang terdengar menakutkan, terlintas dari arah Timur. Kemudian lamat-lamat terdengar suara orang-orang berteriak. Lalu, tipis sekali kedengarannya, tetapi aku yakin itu suara debap senapan angin meletus. Ada kegemparan pecah di daerah Timur. Lebih tepatnya griya Koloni Belanda dan perkampungan orang Jepang.

"Kenapa suasananya mencekam, yah?" komentar Des sedikit ketakutan.

Lalu, teriakan. Dari arah kampung.

"Ada teriakan!" pekik Auriga.

Perlahan, teriakan, orang-orang saling bersahut, debap senjata, koar-koar untuk menyegerakan sesuatu, geraman, tercampur baur dalam satu suasana yang gelap di Tirtanan. Selanjutnya, lebih banyak teriakan perempuan yang terdengar, gemelodak barang jatuh, kaca pecah, suara keretek kayu yang retak, pintu didobrak, dan semacamnya.

Tirtanan dalam kepanikan.

Sejurus kemudian, aku menangkap sekelebat bayangan berlari ke arah rumah warga. Auriga yang juga melihatnya bersamaku memekik, "Apa itu!?"

"Siapa di sana!?" teriakku. Tidak ada jawaban.

Tiba-tiba teriakan para perempuan terdengar di satu titik.

"Rumah singgah perempuan!" pekikku.

"Des, nyalakan sirinenya!" suruh Bekti seraya memelesat menuju rumah singgah.

Apa pun yang kuhadapi, aku sudah siap dengan senapan angin yang dipinjamkan oleh Tuan Albert. Kami berlari menuju rumah singgah perempuan. Keributan sudah terjadi di sana. Sirine yang berasal dari pelantang menambah kepanikan.

"Kelompok yang lain juga bergegas menyusul ke mari, ayo!" Aku mengomando Des dan Auriga untuk berlari ke arah rumah singgah.

Ketika kami ke sana, rumah dalam keadaan gelap. Pintu depan dan samping terbuka lebar. Beberapa kaca jendela pecah. Pasti telah dibobol sesuatu dan anehnya, sepi. Jantungku berdegup kencang mengetahui bahwa kemungkinan yang mengerikan bisa saja terjadi. Beth dan Ronny datang menyusul.

Kemudian, dari rumah singgah perempuan lain, juga terdengar teriakan dan kaca pecah. Aku, Des, Auriga, Ronny, dan Bethlehem masih berdiri di dekat rumah singgah yang telah kosong melompong.

"Sial, di sana rupanya juga diserang!" pekik Des sembari menoleh ke arah rumah itu.

"Sebenarnya apa yang menyerang kita!?" Beth mulai panik.

"Jangan panik, Beth! Kumohon diamlah!" seruku.

"Itu ...," sahut Auriga tiba-tiba, seraya menunjuk ke arah jalan yang gelap, di mana ada sosok bayangan seperti membawa sesuatu. Bayangan itu baru keluar dari arah rumah singgah.

Karung? Bukan, itu orang!

"Seseorang membawa lari salah satu gadis-gadis kita!" ujarku.

Begitu kami telah mengerti situasi, kami langsung mencoba mengejar bayangan yang membawa orang itu.

"Berhenti!" teriakku.

Aku mengokang senjata. Ronny telah melepaskan tembakan liar, sayangnya tidak mengenai bayangan itu. Sosok itu kabur ke dalam kegelapan. Kemudian dari arah rumah yang baru saja dibobol, satu orang dengan senter berlari menuju ke arah kami. Itu Bekti.

"Sial, ada apa ini!?" tanya Beth masih panik.

"Teman-teman, lindungi rumah gadis-gadis!" ujar Bekti dengan ngos-ngosan.

****

Rumah singgah perempuan terdiri dari tiga buah rumah. Dua sangat dekat—lebih seperti satu rumah yang dipisah menjadi dua—dan satu berseberangan dengan jalan. Dua rumah telah dibobol habis. Harapan kami satu-satunya adalah rumah terakhir. Paling tidak masih ada yang dapat kami selamatkan.

Sepi. Tidak ada suara.

"Sialan, tidak tersisa!" umpatku. Aku langsung menerjang masuk rumah.

Bekti memperingatkanku dengan berseru, "Oiiit! Rendra, kaumau ke mana!?"

Rumah singgah itu gelap gulita. Pintu depan dibobol dan beberapa kaca pecah. Modus operasinya cukup frontal dengan menyerbu langsung rumah. Ada kemungkinan, listrik putus juga karena ulah 'sesuatu' yang merepotkan ini. Sahut-menyahut warga dari kejauhan masih terdengar samar-samar.

"Ann!! Al! Bu Utari!" teriakku menggema ke seluruh ruangan.

Aku menyorot ke salah satu ruangan, tiba-tiba ada yang menerjangku.

"Rendra!"

Aku terkaget.

"Hwoa!? Ann! Kau tidak apa-apa?"

"Ya ampun, aku takut, Rendra!!" gusar Ann sedikit panik.

Aku berusaha menenangkan Ann, dengan berkata, "Tenanglah, anak-anak di si—"

Aku berteriak ketika melihat sosok bayangan seperti berjubah hitam muncul dari pintu belakang. Aku tidak dapat melihat mukanya, tetapi dia menggeram. Apa pun itu, dia menarik Ann. Ann menjerit ketakutan.

Untungnya aku memegang bayangan itu, lebih tepatnya tangan bayangan itu.

Kurang ajar!

"Sialan!" bentakku seraya menggebuk bayangan itu dengan moncong senapan angin. Bayangan itu terdengar mengaduh, tetapi belum lima detik aku langsung diterkamnya hingga jatuh. Aku dapat memperkirakan kalau itu makhluk sejenis orang, samar-samar dari bentuk badannya.

Dia mengenakan topeng. Berwarna hitam polos dengan tiga lubang.

Aku bergidik ngeri. Terdengar engahan kesal dari bayangan itu, sebelum ia ditendang oleh sosok yang meluncur tepat dari kamar samping.

"Maju! Serbu!" pekikan itu terdengar seperti suara Bekti. Bayangan itu pun keluar dari pintu belakang.

"Bekti!" sahutku.

"Jangan meleng!" sergah Bekti.

"Apa itu!?"

"Entahlah ...."

Kami bertiga segera keluar dari rumah, di mana keadaan lebih terang daripada di dalam.

"Mana yang lain!? Ha?" tanyaku pada Ann.

"Mereka hilang, Ren. Anak-anak berusaha mengejarnya, tetapi mereka dihadang orang-orang berjubah hitam itu!" ungkap Ann terlihat terguncang. Badannya menggigil.

"Orang-orang berjubah hitam?"

Kemudian, Adrian datang bersama Pak Kusno dan beberapa orang warga.

"Sialan, di mana anggota siskamling lainnya! Kenapa tidak respon sirine!?" bentakku kesal. Kenyataan bahwa hanya Ann yang selamat, bukan perkara sepele. Tujuh orang kelompok KKN menghilang diculik sekawanan orang berjubah hitam.

"Seluruh desa dan kampung di serang, Nak Rendra!" sergah Pak Kusno melempar alasan.

Bekti mengumpat, "Cih, mereka menyergap tengah malam!"

"Jadi, apa hipotesismu, Rendra?" tanya Adrian.

"Sumual? Dia sudah mati. Kemungkinan besar bromocorah yang ingin cari gara-gara di kampung ini," dugaku.

"Mungkin ... mereka lebih dari sekadar bromocorah, Rendra ...." Adrian berkomentar lain.

Tiba-tiba sekelebat bayangan datang membelakangi kami.

Aku yang tanggap langsung membidikkan senapan, seraya berteriak, "Tunggu!"

"Waaa! Jangan tembak!?"

Di luar dugaan, bayangan itu bersuara. Aku menyorotkan senter. Seorang perempuan!

"Kau ... siapa kau?" tanyaku masygul sembari menaikkan sebelah alis.

"Kau lupa teman satu KKN-mu sendiri!? Kebacut kau, Rendra! Aku Griselda! Griselda Adler!" Perempuan itu memprotes betapa lemotnya diriku.

"Ah, Griselda. Kenapa kau lari?" tanyaku.

"Aku sedang enak-enak tidur, tahu-tahu kakiku dipegang sesuatu. Begitu kubuka mata ... hiiiy!!" terang Griselda seraya bergidik ngeri.

"Yang lainnya?" sela Adrian. Raut tegangnya meluber ke seluruh wajahnya.

"Panik! Mereka hilang satu-satu!" Penuturan Griselda membuat beban yang terjatuh di pundak terasa lebih berat.

Sejurus kemudian, suara teriakan perempuan terdengar tidak jauh dari arah rumah singgah.

"Tolooong!"

"Rendra! Itu!" Griselda memekik seraya menunjuk ke arah belakang rumah singgah. Aku memperhatikan dengan sekilas. Aku mengenali pakaian yang dikenakan oleh perempuan yang kini diangkut oleh sosok bayangan berjubah.

"Siaal! Dia membawa Gita!" gusarku.

"Rendra, tolong Gita!" berang Ann.

"Berhenti!" Bekti menyorotkan senter ke arah bayangan itu. Orang itu sempat terhenti karena silau, sebelum akhirnya kembali melarikan diri bersama dengan Gita.

"Gawat, dia tidak mengindahkan, kejar dia!" Pak Kusno segera memerintahkan beberapa orang untuk mengejar bayangan itu. Kami mengikuti.

"Tetap bersamaku, Ann!" Aku menggandeng Ann.

Ronny mengokang senapannya.

"Tembak dia! Tembak!" perintah Pak Kusno.

Beberapa orang menembak ke arah Bayangan yang tidak terkejar lagi. Meleset semua.

"Keparat!"

Kami kehilangan satu orang lagi.

****

"Semuanya berpencar! Kokang bedil kalian! Jangan biarkan satu cecunguk pun lolos!" Rombongan Mayor Van Delberg tiba dan berpapasan dengan kelompok kami. Situasi telah sedikit mereda.

"Mayor Van Delberg!" pintaku.

"Kenapa kautinggalkan posmu, nak!" sergah Mayor Delberg.

"Mereka menyerang rumah singgah tempat para perempuan dari kelompok KKN kami tinggal selama di Tirtanan!" protesku.

"Bukan berarti kautinggalkan pos penjagaanmu!" Mayor Delberg mulai berang.

"Demi Tuhan, tidak ada yang menjaga di sana!!" bentakku. Mayor Delberg terdiam.

"Bagaimana kondisinya?" tanya Mayor Delberg kemudian.

"Gawat, bahkan kami kehilangan Auriga yang tertinggal di belakang ...," sesal Ronny.

"Auriga?!" Aku dan Bekti terkaget.

Bahkan sampai pria imut satu itu? Eh, tidak salah sih. Mungkin bayangan itu mengira dia wanita?

"Giliran tengah desa yang kacau! Sial. Mereka benar-benar mempecundangi kita tepat di depan mata!" kesaku. Lalu, Prof. Abram dan Pak Baek datang dengan rombongan lain, bersamaan dengan rombongan Mayor Delberg yang pergi ke arah Timur.

"Prof. Abram! Pak Baek!" Bekti melambaikan tangan kepada mereka.

"Ya Allah ... mana yang lain!?" cemas Prof. Abram.

"Cuma ini yang tersisa, Pak ...," sesal Adrian sembari menundukkan kepala.

Cuma ini!? Jangan bercanda! Tiga pekan di Tirtanan dan kami harus kehilangan hampir setengah kelompok!?

Aku pun berlari menyusul Mayor Delberg, meninggalkan semua orang.

"Rendra, mau ke mana kau!" teriak Bekti.

"Mereka ke arah sana bukan!?"

Aku tidak berpaling dan tetap berlari mengejar rombongan Mayor Delberg.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top