22. Culture Shift
Ini adalah cerita yang kurangkum sesuai apa yang terjadi di Tirtanan, setelah listrik masuk wilayah ini. Tidak, setelah peradaban post-modern masuk ke tanah purba Tirtanan. Yah, terlepas dari insiden yang sempat terjadi mengenai de-stabilitas perdagangan di Tirtanan, ketika masalah telah selesai, semua kembali normal. Orang-orang terkesima ketika pada malam hari, mereka tidak perlu repot-repot mencari kayu bakar, mencari kunang-kunang, menyalakan obor, meracik minyak juruh untuk menyalakan penerangan. Cukup dengan satu benda kecil bernama lampu bohlam—sebenarnya lampu neon sih—seisi rumah menjadi terang.
Tiang-tiang listrik dibuat dari bambu-bambu atau kayu-kayu yang kuat. Tiap rumah dipasang lampu. Tiap rumah dipasang saluran listrik. Lampu jalan mulai dibuat. Malam hari di Tirtanan serasa tidak menyeramkan lagi. Aktivitas malam hari menjadi sedikit lebih nyaman daripada sebelum masuknya listrik. Semua tergila-gila dengan perangkat-perangkat listrik. Barang-barang yang dibawa Lisbeth menjadi komoditi selanjutnya. Setidaknya ada lima jenis barang yang sudah terjual habis. Alat pendingin, setrika, gergaji listrik, penanak nasi, dan blender. Ya.
Orang-orang terkesima ketika minuman mereka dapat menjadi dingin dan sayuran mereka menjadi segar. Orang-orang terkesima ketika mereka dapat memotong pohon dengan mudahnya. Para ibu-ibu terkagum-kagum mereka dapat memasak beras, jagung, dan gandum dengan penanak nasi. Ibu-ibu tidak harus repot-repot mengeringkan pakaian mereka sepanjang hari. Juga ... anak-anak suka dengan jus buah! Apa-apaan ini! Bayangkan saja, semua orang terhegemoni dengan jus buah, setelah blender masuk Desa Tirtanan! Hanya karena mereka dapat membuat sari buah dengan mudahnya, orang-orang menjadi terghegemoni oleh alat bernama blender. Permintaan blender melonjak naik. Bahkan mereka rela pinjam-meminjam blender, rebutan blender, marah-marah hanya karena benda yang bisa membuat jus dari buah apa saja!
Kawan ... ini sungguh gila! Peradaban mulai bergeser jauh. Ketika kami memperkenalkan ponsel kepada masyarakat Tirtanan, mereka bertanya-tanya. Apakah benda sakti mandraguna yang tiap pagi melengking membangunkan ayam untuk berkokok itu? Sebuah cermin yang berulangkali digosok-gosok oleh jari-jari penggunanya. Berisikan berbagai macam hal yang dapat membuatmu lupa dengan dirimu sendiri selama sehari penuh. Bah! Ponsel, memang membuat tingkat individualitas manusia berkembang pesat semenjak perkembangannya.
Tidak mengherankan, culture shift yang terjadi memberikan dampak yang luar biasa. Aku dapat menerawang lebih jauh ke belakang. Ketika para eksodus Belanda itu memperkenalkan senjata api dan bedil di tempat ini, hegemoninya kurang lebih seperti yang kurasakan di Tirtanan akhir-akhir ini. Bedanya, ketika dulu hegemoni bedil berakibat konflik dan peperangan, maka hegemoni perangkat listrik—karena kebanyakan perangkat listrik yang kami kenalkan—membuat terjadinya perubahan gaya hidup yang drastis dari individu Tirtanan.
Aku berpikir ke depan sekarang, apakah masyarakat Tirtanan dapat bertahan dengan kecanggihan teknologi yang membuat mereka terhegemoni dengan hal-hal baru? Apakah ini yang membuat mereka menjadi makhluk lain yang kemudian, memuja selangkangan para pencipta teknologi modern dengan barang-barang ciptaannya? Apakah mereka akan meninggalkan cara-cara lama, meninggalkan beberapa hal-hal yang selanjutnya mereka tidak tinggalkan? Mungkinkah masyarakat akan berubah drastis hanya karena sebuah energi bernama listrik, masuk ke peradaban antah-berantah Tirtanan?
Kita akan lihat saja perkembangannya.
Orang-orang mulai memasak dengan mudahnya tanpa harus memakai kayu bakar. Perjalanan menjadi lebih nyaman dengan adanya ban karet. Malam menjadi terang karena lampu. Pertunjukkan Kabuki lebih meriah dengan perangkat audio. Orang-orang membajak sawah dengan traktor atau alat pembajak sawah. Lebih sering ritual penebangan pohon dilakukan, dengan hadirnya gergaji listrik. Sesekali kamituwo harus berulangkali menasihati para penebang kayu agar tidak asal tebang. Anak-anak senang dengan jus buah. Orang-orang mulai tertarik memakai ponsel, meski sinyal telepon tidak tembus di sini. Ibu-ibu tidak harus repot-repot menjemur pakaiannya selama dua hari. Lebih banyak penjual es bertebaran dan semenjak ditemukannya alat pendingin, para pedagang ikan menjadi tidak khawatir lagi ikannya tidak segar. Jalan di desa di malam hari tidak lagi menakutkan. Tidak perlu repot-repot untuk meracik obor karena ada senter.
Semua terlihat masih damai. Semua orang memegang prinsipnya masing-masing. Aku tidak pernah melihat sebuah masyarakat komunal yang tetap mempertahankan prinsip keseimbangan antara alam, teknologi, dan manusia. Mungkin apa yang dihadirkan di Tirtanan masih belum lengkap. Kami masih belum dapat keluar dari tempat ini, tetapi entah mengapa aku beranggapan tempat ini jauh lebih baik. Bahkan lebih baik daripada kota tempat kelahiranku, atau kota di mana aku kuliah. Apa yang salah dari orang-orang Indonesia selama ini? Kenapa aku merasa nyaman di tempat terpencil, terisolasi dari peradaban luar selama berabad-abad ini? Mungkin ... ketika kita sudah muak dengan 'cara baru', kita akan kembali melangkah menuju 'cara lama'.
Ini setidaknya ceritaku. Dua puluh hari aku berada di Tirtanan.
****
Dua puluh hari aku berada di Tirtanan. Tengah hari, aku berjalan-jalan, menyapu seluruh penat dan menapaki jalan utama kampung—yang kini sudah lebih mulus—menuju ke padang rumput di sebelah tenggara desa.
"Oh, hei. Rendra. Tidak biasanya kaujalan-jalan sendirian?" Al menyapaku di tengah perjalanan.
"Yah, sekadar melepas penat, Al. Aku tidak menyangka dua pekan lebih aku berada di dunia lain ini," sahutku. Al mengimbangi langkahku dan kami berjalan bersama.
"Heheh ... kita masih berada di bumi, Rendra," sela Al sedikit menyindir.
Aku terkekeh, seraya menambahi, "Lebih tepatnya bagian bumi yang terasingkan oleh ingar-bingar duniawi."
Terik matahari dingin yang kurasakan di Tirtanan lebih dari sempurna kala itu. Hawa sepoi yang dibawa oleh angin, membuat sinar panas matahari berkompromi dengan semilir angin di sabana. Aku melihat beberapa Orang Bersarung sedang menggembalakan kuda-kuda mereka.
Selintas, Al menanyakan, "Kau senang berada di sini?"
"Untuk beberapa hal," jawabku tanpa ragu.
"Yah ... aku hanya menyenangi beberapa tempat dan orang-orangnya saja, Rendra. Secara teknis, aku masih orang kota. Tidak pernah tahu bagaimana dunia di pinggiran," ucap Al yang terbersit rasa malu, terlihat dari wajahnya yang sedikit berwarna.
"Anak rumahan, orang kaya yang selalu tinggal di apartemen mewah, berada di pusat ibu kota?" ledekku. Al meninju lenganku pelan.
"Kau selalu sewot dengan hal itu."
"Kau juga selalu mengeluh terus, padahal kita sudah hampir tiga pekan berada di sini, borjuis ngehek."
Setelah beberapa kali jual-beli ledekkan, kami terhenti untuk menikmati sebentar angin dan hijau yang berpadu di sabana Tanah Yang Diberkati.
"Hei, Rendra. Beberapa hal itu ... apa yang membuatmu senang?" tanya Al kemudian.
"Orang-orang di sini. Entah mengapa semua berjalan dalam satu harmoni. Ketika mereka dihadapkan pada sebuah teknologi baru, entah mengapa segalanya tampak mulai berjalan lebih cepat," jawabku sembari membiarkan aku menikmati angin yang masuk ke relung paruku.
"Manusia harus terus berlari dengan peradaban yang dibangunnya, Rendra. Orang yang tidak sanggup untuk menerima bentuk teknologi semacam listrik, peralatan modern, atau semacamnya, akan dilindas oleh teknologi, Rendra ...," komentar Al. Aku tersenyum, seakan mulai tenggelam dalam suatu pertukaran pikiran.
"Ah ... salah satu dosenku pernah berkata bahwa manusia telah salah dalam menciptakan teknologi. Mereka berlomba-lomba membuat alat tercanggih, terjun dalam dunia post-modern, tetapi otak mereka masih terengah-entah mengejar teknologi yang mereka ciptakan," ujarku.
"Kau menolak masa depan dengan teknologi yang begitu pesat?" Al menaikkan sebelah alisnya.
Aku tidak menjawabnya, melempar sebuah topik sampingan kepadanya terlebih dahulu.
"Al, kau suka menonton film?"
"Hmm ... ya, kenapa?" tanya Al penasaran.
"Pernah menonton film kartun Wall-E?"
"Aku pernah menontonnya," pinta Al.
"Ada suatu makna tersirat, bahwa manusia tidak akan pernah dapat berpacu dengan teknologi yang mereka ciptakan. Hasilnya, teknologilah yang mengendalikan mereka. Otak manusia masih dalam taraf ... jauh dari lebih maju. Masih dalam taraf primitif malah. Kita masih terjebak oleh sistem tribalisme yang melekat di kehidupan sehari-hari," jelasku.
"Hmm ... lalu?" Al menganggukan kepalanya perlahan.
"Ketika mereka menggunakan teknologi itu, untuk sesuatu hal dalam luar batas otak dan kemampuan primitif mereka, hasilnya adalah sebuah kehancuran. Manusia ... selama mereka belum menyadari, peradaban kita terus meluncur menuju kehancuran. Perang, tipu muslihat, kekuasaan atas segalanya, superioritas, hal itulah yang terkadang semakin membuat manusia menuju jurang kehancuran itu sendiri," lanjutku menjelaskan.
"Wah ... tidak kusangka kau memendam kebencian terhadap kemajuan suatu peradaban," sanggah Al. Aku hanya terkekeh, seraya menggeleng tanda tidak setuju.
"Tidak. Aku mendukung selama manusia dapat mengimbanginya. Hakikatnya, mesin diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia. Juga, jika Tirtanan adalah sebuah planet, aku akan tinggal di sini dan menikmati hidupku sembari menata kembali pemikiran-pemikiran, bahwa ... di sini, semua manusia itu sama. Sadar atau tidak, mereka saling tolong-menolong tanpa mempedulikan lagi mereka dari mana, suku mana, agama apa yang mereka anut, generasi abad berapa mereka, bahkan ... masa lalu kelam mereka. Mereka berusaha untuk tetap mendamaikannya dengan rasional. Seolah-olah, ini adalah tanah di mana semua hidup tenteram dan damai, tanpa memikirkan apa yang membedakan satu orang dengan orang yang lain." Aku menatap langit yang mulai menggelincirkan matahari menuju barat.
"Seperti yang dilakukan kepada Lisbeth dan anak buahnya?" Al berpaling kepadaku untuk menemukan jawaban. Aku mengangguk.
"Mungkin saja. Ingat. Mereka sindikat mafia perdagangan gelap, lho!"
"Wah ... wah, jika atmosfer yang ada di wilayah ini dapat menundukkan kekuatan sebuah organisasi mafia perdagangan gelap ...." Al tidak melanjutkan pertanyaannya.
Aku pun menyahut, "Maka, bisa dipastikan ada sesuatu, atau mungkin semuanya telah mengetahui bagaimana kebobrokan dunia itu sampai ke tingkat entitas dasar manusia."
"Kenapa jawabanmu begitu?" tanya Al penasaran.
"Orang-orang yang datang ke sini adalah berasal dari orang-orang yang terbuang atau melarikan diri dari masyarakatnya, bukan? Orang-Orang Shimabara yang lari dari kekejaman Bafuku karena perbedaan kepercayaan dan kepentingan politik. Orang-orang liberalis Belanda yang diusir halus oleh gubernur jenderal mereka sendiri. Orang-orang yang diburu karena dosa-dosa negara ini pada rakyatnya pada zaman rezim. Bukankah mereka lari dari suatu hal yang lebih besar dari mereka?" Aku mengangkat bahu.
"Menarik juga, Rendra ...." Al tersenyum.
Jamku menunjukkan pukul setengah tiga sore. Anak-anak telah bangun dari tidur siangnya, mulai bermain-main dengan sesamanya.
"Omong-omong, kelihatannya kita kurang akur kalau menjadi pasangan suami-istri di sini?" celetuk Al.
"Haa? Kau ngomong apa? Kenapa kau malah ingin segera menikah? Nikmatilah hidup sempurna di tanah tidak terhingganya kebahagiaan ini," sahutku, membuat Al malah terlihat kesal.
"Kau ini ...."
"Apa? Kalau mau lebih cepat santai, selesaikan laporan magangmu. Bukankah sudah ada listrik di tempat ini?" pintaku.
"Hah, bagaimana denganmu?" sahut Al balik bertanya.
"Ah, gampang. Oh ... kalau semisal kita tetap terjebak di sini, apa kau tetap bercita-cita ingin ke Bologna?" tanyaku mengalihkan topik.
"Hmm ... bagaimana ya?" Al bergumam sembari menengadah ke atas. Namun, perempuan itu hanya mengangkat bahu.
"Sepertinya kau berbakat dalam banyak hal."
"Memang."
"Ouh, sombongnya ... tetapi masih lajang," cibirku.
"Kau juga masih bujang lapuk, berengsek!" sahut Al tidak mau kalah.
"Haha ...."
Terbersit kalau Al sedikit menunduk tanpa sebab dan memalingkan mukanya. Tepat sehabis kita saling meledek.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Ah ... T-tidak ...." Al terbata-bata.
Percakapan kami terhenti sebentar ketika dari kejauhan, Ann memanggil-manggil kami berdua sembari melambaikan tangan.
"Oii!!"
"Whoo! Ann, ayo ke sini!" teriakku memanggil Ann. Ia bergegas ke arah kami.
"Hmm ... baiklah, Rendra. Aku akan menyelesaikannya," ujar Al.
"Ah, kalau kau selesai lebih cepat, bantu aku untuk menggarap transkrip wawancara, ya?"
"Memangnya aku pesuruh!?"
"Kalau begitu Ann saja!" sahutku ketika Ann yang baru datang, membuat perempuan itu kebingungan dengan maksud pernyataanku.
"Huee ... kenapa aku?"
Aku mengamati langit yang mulai menampakkan senjanya, seiring dengan Al yang hendak pergi meninggalkan aku dan Ann yang baru datang. Ia sempat memanggilku.
"Rendra ...."
"Hmm?" Aku menoleh, tetapi Al tidak menjawabku, memilih untuk pergi dahulu.
****
Setelah menikmati angin di sabana bersama Al, kini, acara berganti menjadi menikmati pertunjukan senja di Tanah Yang Diberkati, Tirtanan, bersama dengan Ann. Aku kini yang menginisiasi percakapan.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Hmm? Keadaan? Maksudnya?" Ann menoleh dan menatapku penuh tanya.
"Kau benar-benar sudah baikan?"
Aku hendak menanyakan keadaannya, setelah sebelumnya dirinya sempat down dan insiden pertemuan dengan Sumual. Ann membalas dengan senyum dan dengan seringai gigi kecil yang sempat terlihat, sebelum ia menjawabnya.
"Entahlah, tetapi aku merasa jauh lebih baik."
"Jika kau ingin bercerita, ceritakan sajalah."
Kemudian, selebihnya ia bercerita mengenai ayahnya. Dari penuturan Ann sendiri, kemungkinan ayahnya adalah seorang yang memiliki sifat otoriter, sabda pandhita ratu—yang berarti kata-katanya telah seperti sosok otoritas yang harus dipatuhi—dengan segala bentuk penekanan terhadap keluarganya. Ayah Ann menjadi sosok yang seperti ia tidak suka. Ia tidak menemukan figur ayah yang melindungi ... seperti ayah-ayah lainnya. Iri. Tipikal.
"Jadi ... kenapa kaubenci ayahmu?" Aku melirik Ann yang terlihat berat membahas itu.
"Aku tidak membencinya. Aku hanya sedikit kesal," ujarnya lirih.
"Sampai membuatmu memendam sebuah trauma?"
Ann sedikit ragu.
"Ti-tidak ...."
Aku menebak, "Pasti kau iri dengan teman-temanmu?"
Ann terlihat gelagapan mengelak dari pertanyaanku.
"Ha!? I-iri? A-aku tidak iri! Iri terhadap apa!?"
Aku menatap Ann tajam, seraya berujar, "Memiliki keluarga yang normal, yang setiap hari mereka ceritakan."
Ann pun terdiam dengan ujaranku. Sepertinya opini yang kulontarkan, telah terefleksi sebagai fakta yang terjadi dalam keluarganya. Hal itu tersirat dari air mukanya yang masih keruh.
"Berat untuk menghadapi hidup yang serba diterpa kesulitan di negeri ini, Rendra ...," jelasnya seraya menghela napas panjang.
Ekonomi? Tipikal masalah umum rumah tangga orang Indonesia.
"Ekonomi salah satunya? Kalau begitu aku juga sama ...," sahutku.
"He, bu-bukan begitu ...," elak Ann.
"Lalu?"
"Kakakku mulai diterpa sebuah idealisnya sendiri, sehingga ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan tidak akan kembali. Namun, sebelum berpamitan, kakak tidak pernah memendam benci kepada ayah yang sudah dengan halus mengusirnya. Malah, ia berpamitan dan akan sangat merindukan orangtuaku. Meski ayah juga membuang muka." Ann kembali melanjutkan ceritanya.
"Kakakmu?"
"Ia ... ia akan dijodohkan dengan seorang perempuan anak kolega ayahnya, tetapi ia bersikeras untuk menolak dan mencari jodohnya sendiri."
Tidak dapat dipungkiri, hal semacam itu dapat terjadi. Pernikahan kerajaan, pernikahan bisnis, pernikahan ekonomi. Ketika pernikahan menjadi sebuah alat untuk menguasai, tanpa mengetahui keinginan dari kedua belah pihak. Kehampaan, kehampaan, dan kehampaan yang akan terus menerpa mereka. Sampai tidak tersisa satu pun kebahagiaan hakiki. Juga, nikah paksa lebih terlihat seperti 'pemerkosaan tidak langsung'.
"Apa dia pernah mengirimimu kabar?" Aku merujuk pada kakak Ann.
Ia menggeleng. Lalu hening beberapa saat. Menghancurkan keheningan, aku mulai bercerita.
"Aku sangat menyayangi orangtuaku. Sampai suatu ketika Ayah memutuskan untuk bekerja ke luar kota. Itu membuat ibu sedikit sedih. Mulanya aku ingin mencegah ayah pergi. Namun, ayah bersikeras untuk pergi demi menghidupi keluarga kami."
"Ayahmu?" tanya Ann seraya menyerongkan pandangan ke arahku.
Aku mengangguk, seraya berujar, "Iya ... setelah beberapa tahun, ia tidak pernah kembali. Sewaktu kecil, aku sempat berjanji akan melindungi kedua orangtuaku. Nyatanya, aku malah gagal. Ibuku juga sakit-sakitan sekarang."
"Ayahmu tidak kembali? Dia kabur?" Ann mengejar cerita.
Sebenarnya aku menghindari topik-topik yang berkaitan dengan permasalahan keluarga. Baik aku atau Ann, sama-sama memiliki masalah yang cukup pelik dan menambah distress seseorang. Aku menghela napas, seraya berujar, "Koleganya memberitahu kalau ia telah mengalami kecelakaan dan hilang."
"Oh ...." Ann terceletuk.
"Semua orang sangat terpukul dengan berita itu," lanjutku.
Melihat adanya gurat bersalah dari wajah Ann, aku lekas menyela, "Tidak apa-apa. Tidak usah dibawa hati."
Hening sejenak.
"Ternyata ... kita sama-sama berangkat dalam keadaan yang tidak baik, bukan?" celetukku memecah keheningan.
"Bisa dibilang begitu," jawab Ann singkat sembari menerawang ke arah cakrawala senja di padang rumput.
"Namun, entah kenapa ... sepertinya ucapanmu benar, Rendra. Keluargaku akan cemas ketika mengetahui kita sudah hilang tiga pekan." Ia berpaling ke arahku.
Aku mengangguk takzim, seraya berseru, "Mungkin mereka akan segera menemukan kita."
"Ta-tapi, Rendra, ini sudah tiga pekan! Tidak ada tanda-tanda keberadaan tim SAR! Aku harap aku bisa menghubungi keluargaku lagi," seru Ann meloncat ke topik lain.
"Kalau begitu kecemasanku juga sama. Aku mencemaskan ibuku. Apalagi, ibu kini masih rawat inap di rumah sakit." Aku mengangguk, tanda setuju dengan penuturan Ann.
Angin mulai beranjak lebih dingin, seiring dengan matahari yang terus condong ke barat. Masing-masing dari kami diliputi rasa saling sungkan, ketika masalah-masalah yang terpendam, mulai terkuak di permukaan. Orang selalu berkelit dari masalah dengan cara mendiamkan masalah itu tanpa diketahui oleh siapa pun. Meski demikian, dengan terbukanya pikiran antara kedua belah pihak yang saling bercerita, kadang-kadang itu akan meringankan beban dari masalah yang dihadapi.
"Ah, jangan berkecil hati. Kita akan segera keluar dari sini," sahutku memecah keheningan.
"Huu ... kenapa kau selalu santai begitu, Rendra," cibir Ann.
Aku berjalan membelakangi Ann, lalu menatap langit yang mulai berubah warna menjadi kuning diliputi semburat awan seraya berkata dengan tenang, "Tenang saja, aku akan menjaga semua orang, termasuk dirimu juga."
"Eh?" Ann terdengar bingung.
"Percayakan kepadaku. Lagipula, aku harap desa dan tempa ini memberikan banyak kenangan berharga. Lalu, semua orang akan pulang dalam keadaan bahagia ... ha ha ...," ujarku seraya tertawa garing.
"Itu tidak lucu, Rendra. Masih lucu Bekti kalau melawak ...." Ann kembali mencibirku.
"Yah, kalau kita ditemukan, kuharap Tirtanan tetap sama seperti sebelum kita menemukan tempat ini. Kedamaian dan orang-orang ini," ujarku tanpa lepas mengawasi langit. Oh, Tuhan. Sangat tenang di sini. Seperti kedamaian diturunkan oleh Tuhan di tanah yang telah diberkati oleh ... para roh-roh lokal Tirtanan. Terlepas dari peradaban yang kami bawa mulai mengakar di setiap sudut desa, desa ini masih terisolasi dari dunia luar.
Aku berbalik badan dan hatiku tergerak ketika mengatakan, "Perlahan ... aku mulai menyukai ...."
"He!?" Sekonyong-konyong Ann kebingungan. Kedua pipinya mengeluarkan semburat merah.
"Tirtanan," lanjutku.
Lalu, bokongku ditendang oleh Ann tanpa pikir panjang oleh si pelaku.
"Apa yang salah!?" protesku?
Ann hanya memajukan mulut dan merengut kecut. Di tengah acara guyonan itu, tiba-tiba, dari arah perkampungan, satu kuda memelesat ke arah kami. Itu Nai, yang membonceng Nenek Ketua Naode.
"Wooi!?" Aku melambaikan tangan kepada mereka berdua. Sepertinya mereka memang tengah mencariku. Terbukti, setelah mereka sampai, Nai berseru bahwa dia telah menemukanku.
"Oh, Nenek Ketua, Nai! Ada apa?" tanyaku pada Nenek Ketua, melalui Nai.
Jawaban yang diberikan Nai, membuyarkan segala persepsi tentang ketenangan di Tirtanan.
"Sesuatu yang buruk akan datang."
Muka Nenek Ketua masam, begitu pula dengan Nai.
Seperti apa yang barusan dituturkannya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top