19. Bajak Laut (Atau Bukan?)

Hari ke-11 aku berada di Tirtanan. Singkat cerita, Nai dan Nan Poangse, salah satu warga suku Orang-Orang bersarung, berkelana ke sebuah bukit berbatu di sebelah tenggara Tirtanan, dekat dengan pesisir pantai. Walaupun itu adalah sebuah bukit yang agak berbatu dan sedikit tandus, kuda-kuda kami masih dapat menguasai medan perjalanan.

Betapa gembiranya Profesor Abram mendengar berita bahwa kargo milik kami telah ditemukan. Hal itu berarti dapat membuat program pengabdian masyarakat melalui Praktik Kerja Nyata ini akan segera dilaksanakan. Di Tirtanan. Kargo kami adalah satu truk besar dengan bak tertutup dengan satu kereta. Kargo tersebut memuat cukup banyak barang. Cukup banyak barang. Panel surya, kit generator listrik, beberapa peralatan tukang, kabel-kabel, komponen elektrik, pipa biogas, beberapa sak semen, lampu, Speaker TOA, dan beberapa kompor gas. Beberapa peralatan tersebut diharapkan dapat menunjang kehidupan, setidaknya untuk listrik dan penerangan.

Entah apa tujuan yang ingin dicapai oleh Profesor Abram. Programnya jelas-jelas ingin membangun peradaban modern di daerah terpencil. Lebih tepatnya, membantu peradaban daerah terpencil untuk hidup lebih mudah dan baik. Tempat tinggal layak, ketersediaan sumber listrik, dan pergeseran kehidupan dengan adanya teknologi modern yang masuk ke lingkungan yang primitif dan terbelakang. Namun, aku masih memercayai, sepesat apa pun peradaban, manusia masih meluncur menuju kehancuran.

Dikirimlah satu peleton warga Suku Bersarung dan orang-orang dari Grup KKN berisikan kira-kira 40 orang. Aku, Adrian, Bekti ... hampir semua anak laki-laki ikut serta dalam perjalanan tersebut. Memakan waktu sekitar satu jam menggunakan kuda. Kami berangkat sekitar pukul dua siang dengan kondisi cuaca yang sedikit berawan dan matahari tidak terlalu terik.

"Jadi ... kenapa kita ikut?" tanya Bekti, sedikit mengeluh dengan keputusan Prof. Abram untuk memerintahkan semua laki-laki di kelompok KKN untuk ikut serta.

"Lho, bukannya itu adalah kargo kita? Barang-barang kita juga ada di sana, 'kan? Juga ... kita tidak terlalu ingin merepotkan para warga di sini. Kalau ternyata barang-barangnya masih utuh, kita bisa mulai pembangunan dalam waktu dekat!" jawab Adrian bersemangat.

"He, jadi ... kau sudah berbicara dengan Profesor Abram?" kagetku.

"Walah ... walah ..., sebuah pergerakan cepat, seperti biasanya, Adrian," komentar Bekti sembari menggelengkan kepalanya.

"Namun, kenapa kita juga harus ikut berkuda?" Giliran aku yang memprotes.

"Tentu saja, apa kaumau mendaki bukit terjal berbatu seperti itu, he?" cibir Bekti.

"Idih, emoh! Amit-amit!" sahutku kecut.

"Seperti biasa ... Rendra selalu ingin alternatif paling santai," timpal Bethlehem yang berada di belakang kami bertiga.

"Bagaimana dengan para gadis?" Kemudian, Bekti mengalihkan topik.

"Huh ... mereka di rumah singgah," jawabku.

"Yah .. berarti perjalanan ini hanya akan ditemani oleh beberapa pria, dong? Tidak seru deh ...," keluh Bekti seraya menghela napas.

"Memang mereka nanti bisa angkut-mengangkut? Ini pekerjaan pria, Bekti. Lagipula, pasti kamu mau modus," singgung Bethlehem.

"Enak aja ... dan kenapa ada Auriga di sini!?" teriak Bekti mulai kesal, seraya menoleh ke arah Auriga yang menaiki kuda bersama dengan Ronny.

"Memangnya tidak boleh, Auriga juga laki-laki, 'kan?" timpal Ronny.

"Iya ... tapi dia ...." Bekti hendak memprotes, tetapi langsung kusela.

"Hoo ... kemarin-kemarin kau meledekku habis-habisan karena mengira Auriga itu perempuan. Apa sekarang kauingin main klaim kalau Auriga itu perempuan?"

"Ya, tapi ...," keluh Bekti, yang tidak ia lanjutkan, karena Auriga angkat bicara ... dengan nada bicara yang lembut dan kemayu. Tidak ngondek.

"Sudahlah kawan-kawan, jangan bertengkar terus. Aku juga akan membantu kok."

Dengan bantuan Nai dan orang-orang bersarung, tidak butuh waktu lama untuk mendaki bukit berbatu itu. Setelah kami sampai di puncak, kami dapat mengamati daerah pesisir di balik bukit itu. Di bawah, sudah terlihat sebuah truk yang seperti terperosok dan terparkir di dekat barisan tembok tebing. Sepertinya riwayatnya sama seperti bus yang kami tumpangi.

"Kita sudah sampai! Itu dia!" tunjuk Nai ke arah truk.

"Whoa! Itu benar-benar kargo kita!" pekik Pak Baek.

"Tidak disangka ... Nai, Pak Baek, mari kita turun lebih dekat," ujar Prof. Abram.

"Baik, Prof," sahut Nai dan Pak Baek. Rombongan tim pencari segera turun untuk melihat kargo itu dari dekat. Kondisi truk itu sepi. Ditinggal sopir dan keneknya, bagian bemper truk pecah dan penyok, serta kaca depan yang pecah. Lebih kronis dari bus yang kami tumpangi.

"Di mana sopirnya?" tanya Prof. Abram.

"Menghilang ...," desis Pak Baek sembari melongok ke sekitar.

"Kargonya juga kosong!" pekik Bekti yang mengecek isi truk.

"Sepertinya jatuh terperosok jurang seperti kita. Kargonya mungkin terlempar keluar atau ... entah bagaimana bisa kendaraan ini bisa terdampar di sini ...," duga Adrian.

"Oi! Lihat!" Tiba-tiba Auriga memekik di sisi lain depan truk. Beberapa orang, termasuk aku segera menghampiri.

"Ada apa, Auriga?" tanyaku.

"Ini ...." Auriga menunjuk ke arah kursi sopir. Terdapat bekas cipratan cairan berwarna merah.

"Ini ... cipratan darah," simpulku.

"Lihat, lubang di kursinya." Adrian yang ikut melongok menunjuk ke sandaran kursi.

"Tembakan? Apa mereka ditembak oleh orang Suku Bersarung yang kebetulan patroli!?" dugaku.

"Hmm ... entahlah." Adrian mengangkat bahu.

"Hey ... hey ..., sepertinya makin banyak orang yang kesasar di Tirtanan, akhir-akhir ini, kawan?" Ronny berseru. Kami menoleh dan Ronny telah menemukan sesuatu di truk tersebut.

"Apa yang kautemukan?" tanyaku. Ronny menunjukkan sebutir peluru pada kami.

"Ini, ada sebutir peluru yang menancap di kursi pengemudi. Sebuah peluru tajam. Dilihat dari ukurannya ... ini sejenis pistol," jelasnya.

"Oiit, senjata api!?" Kami terkejut berbarengan.

"Apakah berbahaya?" sahut Adrian kemudian

"Sepertinya ...." Belum sempat Ronny lanjut menduga, tiba-tiba kami dikejutkan dengan munculnya orang-orang yang datang dari barat, sembari menodongkan berbagai macam senjata ke arah kami. Seorang perempuan muda tampang berjalan memimpin gerombolan orang tersebut.

"Kalian sudah salah langkah memasuki daerah kami!" sentaknya angkuh.

****

Dalam hitungan detik, semua orang yang ada di sana langsung bersiaga. Baik kelompok kami atau orang-orang misterius itu saling menodongkan senjata. Senapan angin dan anak panah. Di satu sisi, pistol dan senapan serbu semi otomatis. Kalau terjadi pertempuran di sini, kemungkinan kami akan terdesak.

"Siapa kau!" teriak Nai seraya menodongkan senjata ke arah perempuan muda pemimpin gerombolan itu.

"Tidak perlu tahu, siapa aku! Serahkan barang-barang kalian!" ancam perempuan muda yang membawa sebuah pistol.

"Cih, begal ya ...," maki Bekti.

"Oi! Aku bukan begal sembarangan! Aku adalah bajak laut yang disegani!" teriak perempuan itu. Kontan, beberapa dari kami menahan tawa.

"Pfft! Apa kata mbak di situ, bajak laut?" ujarku menahan tawa.

"Jangan cengengesan!" bentak perempuan itu seraya melepaskan beberapa tembakan. Kami langsung semburat berlari berlindung di balik truk yang teronggok. Baku tembak tidak dapat terhindarkan hingga satu suara Ronny yang lantang menghentikan jual-beli tembakan.

"Whoa! Whoa! Whoa! Jangan main tembak seperti itu, kawan! Mari kita bicara baik-baik!"

"Mau apa kalian?" tanya perempuan itu setengah berteriak.

"Hmm ... kebetulan sekali. Kami di sini ingin mengambil barang-barang yang ada di truk itu. Di mana isinya?" teriak Prof. Abram yang muncul dari balik truk, didampingi Nai dan Pak Baek yang menodongkan senjata ke arah perempuan itu.

"Sayang sekali, isinya sudah kami temukan lebih dulu. Jadi, itu milik kami!" sahut perempuan itu.

"Hei ... hei, sejak kapan budaya main klaim makin meradikal! Jangan main klaim, mbak!" selaku.

"Namaku Lisbeth Tomassi! Aku adalah bajak laut yang ditakuti di perairan Laut Selatan!" laung perempuan itu memperkenalkan dirinya.

"Hoi ... hoi, salah-salah, kau bisa ditenggelamkan oleh Menteri Perikanan kami, lho!" Ferdyan mencoba mengejek.

"Aku tidak takut pada polisi laut kalian yang angin-anginan!" geram si Lisbeth.

"Maafkan kami, gadis muda, tetapi ini adalah barang milik kami. Kalau mau kami bayar, kami akan bayar barang ini!" Prof. Abram mencoba memulai negosiasi. Namun, sepertinya perempuan bernama Lisbeth itu tidaklah mudah untuk menerima tawaran Prof. Abram. Apalagi, dia jelas-jelas orang jahat.

"Tidak usah ikut campur, Pak Tua! Ini harta karunku dan aku yang menemukannya pertama kali!" sentak Lisbeth

"Hei, kau sudah lancang sekali ya. Kau belum tahu, siapa penguasa di dataran ini?!" Ganti Bekti berteriak memanas-manasi.

"Persetan! Aku pastikan akan menjarah setiap pelabuhan kalian di Jawa!" bual Lisbeth.

"Heh ... heh .... Kaupikir ini zaman Tahun Dal, mbak?" gurauku.

"Kaupikir aku bercanda!?"

Begitulah ... setelah teriakan dari tante muda garang itu, tembak-menembak kembali terjadi. Desingan peluru yang mengenai bagian truk mewarnai pertempuran sore itu. Sayang sekali, orang-orang ini sepertinya terlalu maniak untuk bertempur dengan menghamburkan peluru yang ada. Dua orang kami terluka karena tembakan mereka. Kelompok pencari mulai lari tunggang-langgang, beberapa mundur. Di tengah kemelut pertempuran itu, aku dan Adrian tertangkap, setelah melumpuhkan dua orang anak buah Lisbeth.

"Kalian, larilah!" pekik kami berdua.

"Rendra, Adrian!" teriak Nai.

"Lari! Lari! Bilang sama Pak Kusno dan Elo Naode! Bawa sebatalion orang-orang kampung marah ke sini, ya!" teriakku. Nai pun pergi memelesat dengan kudanya, meninggalkan medan pertempuran. Kemenangan manis di pihak Lisbeth and Friends. Perempuan itu mendekati kami yang tertangkap dengan muka puas.

"Sekarang ... apa yang harus kulakukan pada kalian, pria-pria manis?" ujarnya seraya menyeringai seram.

****

Kami dibawa menuju sebuah gua di barisan tebing dekat dengan pantai. Luar biasanya, sebelum kami memasuki gua, kami mendapati sebuah kapal kargo yang cukup besar, terdampar di pantai tersebut. Kapal kargo bernama Moderna De Reus.

"Hoi! Lepaskan kami! Biar kami bicara dengan bos kalian!" ronta Adrian.

"Heh, diam kalian!" Salah satu anak buah Lisbeth mengencangkan cengkeramannya pada Adrian hingga pria itu meringis sakit. Kami langsung diborgol. Kaki dan tangan kami dirantai yang ditambatkan di dinding gua.

"Wah ... sialan, ternyata kita berdua malah jadi tahanan begal ...," lenguhku.

"Hei, setidaknya kita tidak dibedil duluan, Ren ...," ujar Adrian.

"Oh, ada yang datang ...," sahutku ketika mendengar suara langkah kaki. Lisbeth kemudian muncul untuk menyapa tawanannya ini. Ia masih menggengam pistol di tangannya.

"Heh ... jadi ... mau apa kalian datang ke tempat terpencil ini?" tanya Lisbeth mengintimidasi.

"Sebelum kami jawab itu, bagaimana kalau kaujelaskan dulu, kenapa kaubisa berada di sini?" Adrian menolak menjawab dengan balik bertanya.

"Eh ... ngelawan kau! Dengarkan, aku tidak biasanya ya, menangkap orang dalam keadaan hidup-hidup. Beruntung aku sedang baik hati sekarang ...." Lisbeth maju dan mencengkeram dagu Adrian, menatapnya nanar.

"Di mana sopir truk kargo itu?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Mereka ada di bawah perintahku sekarang, walau terpaksa sih ...." Lisbeth—begitu aku memanggilnya—melepaskan cengkeramannya dari Adrian.

"Wah, jadi anak buah ya?" sindirku.

"Mereka mudah sekali terpancing, terutama dengan gelas porselen ...," ujar perempuan itu berlagak.

"Woi ... woi ... dilihat dari kargo yang kauangkut di sini ... siapa kau?" tanyaku.

"Sudah kubilang. Aku Lisbeth Tomassi, bajak laut yang ditakuti di Laut Jawa!" bual Lisbeth. Aku menatapnya tajam.

"Jadi ... bajak laut? Sudah berapa kapal kaubajak, ha?" sentakku sengak.

"Dua!"

Aku terkikik, seraya berseloroh, "Pffft! Apa-apaan itu? Dua!? Bahkan kau kalah dengan bajak laut kacangan Selat Malaka ...."

Lisbeth menodongkan senjata padaku seraya menyentak, "Diam kau, mulut besar! Setelah ini, kau akan kujadikan sasaran tembak!"

"Whuoh ... whuooh ... tolong jangan kasar begitu, mungkin kita bisa negosiasi," selaku berusaha untuk mengendalikan situasi. Di luar dugaan, Adrian malah ikut campur.

"Negosiasi gundhulmu, Rendra! Kita berhadapan dengan penjahat, bagaimana kita bisa bernegosiasi!?" sela Adrian.

"Penjahat memang begitu, bukan? Juga ... kau yang menyeretku ikut-ikut dalam masalah ini!" sungutku. Adrian terperangah karena tuduhanku.

"Lho, kok aku!?" protesnya.

"Kalau saja kita tidak ikut-ikutan untuk pergi melihat kargo, mungkin kita tidak akan ditangkap seperti ini!?" keluhku.

"Hey, apa kau tidak khawatir dengan Nai dan lainnya, jika mereka ada apa-apa ketika dihadang oleh sekumpulan bandit ini?" Adrian mendebatku.

"Kalian berdua berhentilah, mengoceh!" bentak Lisbeth. Di luar dugaan, kami menoleh bersama dan membentaknya bersama.

"Siapa yang mengoceh!?"

Lisbeth tersenyum sinis.

"Hoo ... kalian keras kepala juga, rupanya. Apa perlu aku panggil anak buahku untuk segera membereskan kalian?" ancamnya.

"Hmm ... kaucerita dulu, kenapa kau ada di sini, Mbak Lisbeth?" tanyaku mengulur waktu.

"Cukup dengan basa-basinya. Sebaiknya apa aku mulai saja penyiksaan ini. Dua orang pria lucu seperti kalian pasti akan jadi mainan yang bagus ...." desis Lisbeth sambil memperhatikan kami berdua.

"Hee ... kalau kaumau main, orang yang ada di sebelahku ini jauh lebih andal dalam urusan bermain kata dengan perempuan. Tidak ... dengan siapa saja juga bisa," lirikku pada Adrian.

"Hey! Rendra!? Bukannya itu kau!?" protes Adrian.

"Aku 'kan orang yang menyebalkan di antara wanita dan penuh dengan hal yang membosankan. Kau 'kan yang justru ahli dalam masalah cekcok dengan seseorang, Adrian ...." tukasku seraya tersenyum menyeringai.

"Ah ... baiklah." Lisbeth langsung melepas rantai Adrian, kemudian menyeretnya pergi ke gua dalam.

"Brengsek kau! Oii! Rendra!" Adrian mengumpat padaku. Entah apa yang dilakukan Lisbeth terhadap Adrian. Sekarang, mereka ada di sisi lain gua.

"Kemari kau sekarang ...," ancam Lisbeth.

"Eh, sebaiknya kita bicarakan baik-baik ...." Adrian terdengar ketakutan.

"Sorry, Adrian. Semoga berhasil ...," teriakku dari balik gua.

"Tidak! Oii! Rendra! Bangsat kau! Tidak! Jangan! Hentikan! Huaaa!" Teriakan Adrian menggema di setiap sudut gua. Diringi dengan sentakan rantai sebuah suara tamparan dan gebukan—lebih banyak terdengar suara tamparan sih—yang bersambut dengan teriakan Adrian. Apa yang dilakukan Lisbeth, aku jadi penasaran!

"Kampret kau, Rendraaa ... Ah ...," teriak Adrian sebelum berakhir dengan suara desahan. Lalu, hening.

****

Malam telah turun, ketika Lisbeth kembali untuk menemuiku.

"Di mana, Adrian?" tanyaku sengit.

Lisbeth tersenyum sinis, seraya berucap, "Tenang, dia tidak mati."

"Jadi ... mau apa kau?" Aku menatap Lisbeth tajam.

"Kudengar kalian adalah sekelompok mahasiswa yang terjebak di wilayah ini, ya?" tanya Lisbeth seraya duduk di sebuah batu menghadapku.

"Yah, awalnya sih begitu, tetapi niat kita lain ketika mengetahui, kalau kami harus hidup di sini untuk jangka waktu yang belum dapat ditentukan. Jadi ... apa jangan-jangan kau juga kesasar di sini?" dugaku.

"Dua pekan lalu, kapal yang kutumpangi terhempas badai di perairan tidak jauh dari sini, lalu mendarat di tempat menyedihkan ini. Kami terjebak, tidak bisa keluar dari tempat ini. Tidak ada kapal lewat!" jelas Lisbeth.

"Hoo ... kalian di sini lebih awal?" Aku mengangguk-anggukan kepala.

"Tentu saja. Lalu kami temukan truk kargo itu. Isinya lumayan, jadi kami memaksa pengemudinya untuk menyerahkan diri," lanjut Lisbeth menjelaskan. Pistol miliknya masih ia genggam. Sewaktu-waktu, nyawaku bisa koit kalau dia mencabut dan menembakkannya ke arahku.

"Lucu sekali ... bagaimana kalian bisa tidak ketahuan? Apa mungkin jaraknya agak jauh dari tempat ini, ya?" tanyaku pedas.

"Hentikan. Kau terlalu banyak bicara! Aku pusing mendengar ada pria mengoceh segitunya," gusar Lisbeth.

"Hei, apa kau bisa lepaskan aku?" pintaku. Ia mendengus sebal.

"Tidak."

"Tapi ... kita bisa negosiasi?" cecarku.

"Negosisasi apa yang kautawarkan, pria lucu?" Lisbeth balik bertanya.

"Mungkin kalian bisa hidup damai, rukun, dan tenteram dengan kami ... atau menghadapi orang-orang yang sudah banyak makan asam garam konflik di zaman-zaman sebelumnya?" ujarku.

"Apa kau mencoba menggertak!?" geram Lisbeth.

"Toh kalau dilihat, orang-orangmu tidak terlalu banyak. Meski dengan senjata kalian yang dua level cukup canggih. Kalian belum tentu bisa menghadapi strategi dari orang-orang yang ada di wilayah ini. Hei ... mereka sudah lebih pengalaman bunuh orang, lho!" sinisku.

"Kaupikir aku akan takut dengan cerita omong kosongmu itu!?" berang Lisbeth.

"Lho ... aku sudah memberitahu. Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Toh ... kita sama-sama terjebak di sini."

Aku menengok ke sekitar. Sepertinya barang-barang Lisbeth terbilang banyak. Juga bermacam.

"Juga ... dilihat dari muatan kalian dan kapal yang kalian curi, sepertinya kau bukanlah bandit biasa," lanjutku.

"Memang!" sahut Lisbeth cepat.

"Namamu terlalu keren ... untuk seorang bos bajak laut. Kalian mafia pedagang gelap, ya?" tanyaku.

Lisbeth berdecak seraya berseru, "Cih, kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"

"Barang-barang kalian. Semuanya tidak ada cap pabean. Juga, muatan kalian sebagian besar berasal dari luar negeri. Alat elektronik, lampu, alat rumah tangga, perkakas tukang, mesin motor, bahkan mesin disel. Kalian ... toko kelontong?" sindirku.

"Bajingan kau!" Lisbeth maju dan sempat meninju perutku. Cukup sakit juga pukulannya. Aku sedikit merintih menahan sakit dan perutku agak mulas.

"Juga ... semuanya kontrabande. Wah, wah. Kalian penadah, ya? Bos mafia kalau tertangkap basah bisa berakhir di lapangan eksekusi, lho!" sindirku setengah meringis.

"Aku sudah muak dengan dirimu! Oii! Ke sini, ikat dia ke tong lalu ceburkan ke la—" Belum sempat Lisbeth selesai mengomando, tiba-tiba suara kelontang terdengar seraya muncullah sosok perempuan yang tidak asing bagiku. Ia berdiri dan bergeming di tempatnya sembari melongo melihatku dan Lisbeth.

"He? Al?" pintaku.

"A-aaku tidak tidak ...." Al terlihat gelagapan.

"Tangkap dia!" teriak Lisbeth.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top