16. Iblis yang Berkuasa di Siang Hari


Siang hari, tetapi rasanya sudah seperti hampir senja. Cahaya matahari samar-samar menembus kanopi pepohonan hutan belantara ini. Rasanya tidak begitu panas, agak sejuk, dan lembap. Aku terengah-engah, berhenti untuk mengambil napas, sesekali menoleh ke sekitar. Mencari di mana Ann gerangan.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ann. Ada kemungkinan, ia sengaja mencari momen untuk lari ke dalam bahaya, dengan ikut bermain bersama anak-anak itu di dalam hutan. Kemudian, ketika ada bahaya, ia malah menghampirinya. Terlepas dia sempat kaget dan takut ketika mendengar cerita monster yang dituturkan pemburu tadi. Sekelompok pemburu yang lari karena seekor monster di dalam hutan bukanlah suatu hal yang diremehkan. Gobloknya, aku malah menantang maut, lari ke hutan dengan harapan menemukan Ann sebelum terlambat.

Aku membuka tempat peluru di dalam senapan tersebut. Masih tersisa tiga buah peluru. Tiga buah pelor bulat berukuran kira-kira seukuran kacang goreng. Aku mengokang senapan angin itu, yang ternyata cukup membutuhkan tenaga bila tidak terbiasa dengan senapan ini. Sumpah ini cukup berat. Aku berharap tidak salah tembak duluan. Aku kembali berjalan sembari menyandangkan senapan yang kubawa.

Dua hal yang bakal menyulitkanku. Pertama, monster sialan itu. Aku tidak tahu, apakah tiga pelor seukuran kacang goreng dapat menyelamatkanku dari monster misterius yang membuat para pemburu ketakutan. Seukuran apa monster itu? Juga, apakah monster itu kuat? Lincah? Tentu akan merepotkan. Yang kedua, aku masih belum hafal area hutan, meski aku mempelajari ruteku untuk masuk hutan. Merepotkan lagi, bila harus kesasar.

Kira-kira, seratus meter di depan, aku menangkap ada pergerakan. Aku segera bersembunyi di balik pohon sembari mengintip sesuatu yang bergerak. Aku menyaksikan sosok yang agak pendek yang cukup kukenal. Aku tidak mau cepat menyimpulkan. Sosok itu tengah berjalan sembari keluar dari semak hutan.

Itu Annelies.

"Hoi, Ann!" teriakku. Dia sempat berpaling ke arahku, tetapi ia malah lari dariku.

"Jangan kejar aku!" teriaknya.

"Hoi! Bahaya! Kembali!" Aku mengejar Ann. Dia sedikit lambat, jadi aku dapat mudah mengejarnya.

Di saat aku hampir berjarak barang tiga atau empat langkah, Ann sempat menjerit dan terjerembap ketika ada sosok lain yang tiba-tiba mengagetkannya.

"Gawat!" Aku segera menghampiri Ann yang terjatuh. Kedua matanya merah dan pipinya basah, bekas air mata.

"Ann ... kau tidak apa-apa?" Aku mengguncang pelan bahu Ann.

"I-iya ...,"

Tiba-tiba suara kerosak semak mengagetkanku. Aku berpaling.

Sosok seperti manusia, agak besar, bertelanjang dada, dan hanya memakai celana pendek. Kumal. Berambut panjang hitam gimbal, meringis dengan gigi-giginya yang kuning, serta liur yang menetes menatapku tajam. Tangannya yang berambut lebat urakan dan berotot cukup kekar itu menggenggam sebuah katana. Yap. Katana.

Aku bergeming, menatap sosok itu tepat di depanku. Jantungku berdegup kencang. Seluruh badanku hampir mati rasa.

"Ann ...," bisikku tanpa menoleh.

"Re-Rendra ...," panggil Ann.

"Jangan menoleh."

"Aku sudah menoleh ... mengerikan sekali ...."

"Sial ... jangan berteriak."

Di luar dugaan, sosok manusia monster itu menggeram, berteriak liar, seraya menghunus pedang katananya ke arahku. Aku menjejak sekuat tenaga, bangkit seraya berguling sembari memeluk Annelies, ketika monster itu mengayun katanya. Dia gagal mengenaiku. Kami langsung bangkit dan berlari. Menjauh darinya.

Yang lebih mengerikan, kami malah dikejar!

"Boleh sekarang aku teriak!?" timpal Ann.

"Lari! Lari!" teriakku. Aku dan Ann berlari secepat yang kami bisa dari kejaran monster itu.

"Makhluk apa itu!?" teriak Ann sebal.

"Hah ... Hah ... entahlah. Kita harus lari jika tidak mau dijadikan santap makan siangnya!" timpalku. Dengan ketakutan, aku melepaskan senapan orang Jepang yang kubawa dari sandanganku. Aku melirik ke belakang, sepertinya monster itu cukup lambat. Kini ia masih tertinggal agak jauh di belakang. Aku masih bisa menangkap sosoknya.

"Ann, lari duluan!" titahku seraya melambat, kemudian berhenti.

"Rendra!" panggil Ann yang juga berhenti.

"Lari!" teriakku seraya membidik monster itu dengan senapan.

Astaga.

Ternyata monster itu berlari menyongsong ke arah kami. Lebih cepat dari dugaanku.

"Sial! Sial! Maha tolol Rendra dengan segala kecerobohannya! Goblok kau, Rendra!" Aku mengumpat sembari terus berusaha membidik monster itu. Kedua tanganku gemetar sehingga senapanku ikut bergoyang, tidak dapat membidik dengan benar. Napasku tidak beraturan.

Monster itu makin dekat.

Aku menekan pelatuk senapan dan meletuslah senjata itu, menembakkan sebuah pelor dengan suara—yang diluar dugaan ternyata—debak yang tidak terlalu keras seperti senapan lain. Monster itu berhenti, lalu berdiri di tempatnya.

Kesempatan itu kugunakan untuk mengokang senapan lalu membidik ke arahnya.

"Siapa kau! Pergi kau, monster!" gertakku. Dia hanya berdiri sembari terdiam terus menatapku nanar.

"Ayo, pergi dari sini!"

Kami berdua kembali lari dengan cepat. Aku sempat menoleh ke belakang. Di luar dugaan, dia tidak mengejar kami berdua. Ia malah berpaling dan berjalan berbalik arah dengan kami. Entah keberuntungan macam apa yang kuterima hari itu. Setelah kami rasa jauh dari monster itu, kami berdua berhenti dan menjatuhkan diri sembari bersandar pada sebuah pohon.

"Huft ... capek," keluhku seraya mengatur napas yang terengah-engah.

"Setidaknya kita sudah jauh dari ... entahlah ... manusia jadi-jadian itu tadi," ujarku.

"Rendra ...," panggil Ann. Ia sudah tidak terengah lagi. Ia kemudian menatapku.

"Annelies ...," panggilku yang masih terengah. Hening sesaat sebelum air muka Annelis berubah sembap.

Kemudian ia menyeruduk dadaku, lalu ia menangis sekencang-kencangnya.

****

Annelies Hapsari. Temannya Gita. Dia adalah perempuan yang selalu ceria di kelompok KKN. Hampir hidupnya tidak pernah ada kesusahan yang terlintas dalam benaknya. Kekanak-kanakan, selalu santai, dan mudah berinteraksi dengan siapa saja. Ramah, juga tidak mudah marah-marah. Rambut sebahu dikuncir. Pendek kedua setelah Gita di antara perempuan lain di kelompok KKN. Hidupnya adalah yang paling santai ketika semua merasakan ketegangan selama berada di Tirtanan.

Tidak kusangka dia memendam masalah yang sangat besar, melibatkan dirinya. Juga, dia berjuang sendirian untuk menahannya. Ayah dan ibunya seringkali bertengkar. Hal itu juga berimbas, baik dia pun kakaknya. Ann selalu menjadi korban pelampiasan Ayahnya. Selalu dimarahi, bahkan Ann yang tidak bersalah. Menumpahkan segalanya pada gadis seusianya. Setiap waktu, ia terus-terusan menahan hal itu walau kenyataannya sangat menyiksa. Lambat laun, ia iri ketika teman-temannya bercerita tentang kebahagiaan kedua orangtuanya. Sosok ayahnya adalah yang ia tidak sukai, karena dia sering jadi pelampiasan ketika keluarganya cek-cok. Nyatanya, mental Ann tidak mampu menahan beban sedari dia kecil. Ia mencoba untuk mengakhiri hidupnya, mencoba untuk melukai dirinya.

Dia tidak tahan dengan semua itu. Jadi, dia memutuskan untuk ikut KKN-Integrasi. Jauh dengan stressor yang menyebabkan dia sakit dengan penderitaan. Ketika semua memilih untuk pergi dari Tirtanan, justru ia yang ikut tinggal. Ia, kabur dari realita. Ah ... sepertinya semua yang ada di Tirtanan ini sedang kabur dengan realita. Hanya saja, orang-orang yang dulu kabur, telah menyadari realita bahwa dunia yang mereka tempati—bagi mereka—sudah bobrok.

"Jadi ... itu masalahmu? Lalu, kakakmu?" tanyaku.

"Dia pergi dari rumah setelah diusir oleh Ayahku ...." Ann mengatakannya sembari menekuk dan memeluk lututnya.

"Ayahmu ... orang yang galak?" Aku mengejarnya untuk mencari tahu lebih lanjut.

"Dia selalu bertengkar dengan ibu ...," jawabnya.

"Itu sebabnya kauikut KKN ini ... lalu kau merasa bahagia dan ingin tetap tinggal di sini?" tanyaku. Dia mengangguk.

"Astaga ... mungkin ibumu khawatir denganmu. Ayahmu juga."

"Ayahku ...."

Annelies mulai menangis lagi.

"Sudahlah, jangan menangis terus ...," tenangku.

"Maaf ... sudah merepotkanmu, Rendra ...," ucapnya sesenggukan.

"Oi ... oi, aku tidak pandai mengurus anak orang ...," selorohku.

"Yap ... Rendra selalu begitu ...." Ann tertawa kecil, sembari mengusap kedua matanya.

"Tapi ... omong-omong ... kau jauh lebih kuat sekarang dibanding kau di masa lalumu," ujarku sedikit memberikan dorongan padanya.

"Benarkah?" Mata Ann berbinar.

"Mungkin ...," sahutku cuek.

"Buu ... penuh ketidakpastian ...," cibir Ann.

"Hah ... perempuan ... selalu begini."

"Uh-oh, kau misoginis sekali!"

"Aku tidak misoginis. Aku hanya seorang realis yang menikmati dunia ini dengan santai."

"Ah, aku juga santai, kok."

"Aku heran dengan dirimu. Bagaimana kaubisa dapatkan kesantaian seenak itu?" heranku.

"Ayolah, Rendra! Jangan sia-siakan hidupmu cuma untuk mengeluh!" Ann menimpali.

"Hei! Kau bisa bicara begitu santainya setelah menangis ya!?"

"Biarkan! Wek!" Ann meleletkan lidah.

"Shht!"

Aku mendengar gemerusuk tidak jauh dari tempat kami beristirahat. Aku mendekatkan jari telunjukku ke mulut Ann, menyuruhnya agar diam. Perlahan suara kersik dedaunan yang terinjak semakin jelas. Sesuatu mendekat ke arah kami.

"Gawat!" desisku.

"Si-siapa itu, Rendra?" bisik Ann.

"Jangan berisik ... nanti makhluk itu bisa dengar ...."

Aku bersiap dengan senapanku yang telah kukokang sebelumnya. Makhluk atau apa pun itu, berada di balik pohon. Suaranya berhenti. Aku berbalik, bersiap untuk melepaskan tembakan.

Dan ....

"Huwaa!!"

****

Tidak disangka, aku bertemu Pak Soedja. Ah, bapak itu adalah salah satu warga desa, lebih tepatnya ayahanda Ningsih. Aku tidak terlalu kenal dengan beliau, karena orangnya yang pendiam.

"Anda ... Pak Soedja? Kenapa bisa di tempat seperti ini, Pak?" tanyaku.

"Sshtt!! Diam ...." Pak Soedja menyuruh kami diam. Ketenangan di hutan ini membuat kami selalu dialiri dengan ketegangan.

"Sepertinya dia sudah menjauh lagi," simpul Pak Soedja seraya menoleh ke sekitar.

"Jangan-jangan ... Anda terperangkap di sini seperti kami?" dugaku.

"Yah ... kurang lebih begitu. Rombongan keluarga Jepang itu hendak berburu dan aku ikut. Kemudian iblis sialan itu muncul. Aku tertinggal karena menghindar dari kejaran iblis itu ...," cerita Pak Soedja sembari mengambil duduk bersandar di sebelahku.

"Sebenarnya itu apa, Pak?" tanyaku penasaran.

"Manusia," jawab Pak Soedja singkat.

"Manusia!?" kejutku.

"Yah, aku sudah mencoba mendekatinya, ternyata dia memang benar manusia." Pak Soedja kukuh dengan jawabannya.

"Ta-tapi, dia bertampang seperti Genderuwo begitu!?" sahutku.

"Mana ada genderuwo di siang bolong, Rendra," cibir Ann.

"Eit, jangan salah. Kita berada di hutan belantara yang sinar matahari jarang tembus," jawabku cepat.

"Huh, iya juga." Ann menggaruk kupingnya.

"Kau ... kenapa bisa ada di sini?" Kemudian, Pak Soedja menanyai kami berdua.

Aku menghela napas, seraya menjelaskan, "Ah ... anak ini. Karena masa lalunya diungkit lagi, dia ngambek dan malah pergi ke hutan."

"Iih! Siapa yang ngambek!" protes Ann. Aku berdesis.

"Shht! Jangan keras-keras! Nanti dia dengar lagi!" bisikku.

"Ah ... sorry .. sorry ...," cengir Ann.

"Sekarang kita hanya bisa berharap, semoga mereka tanggap dan mengirimkan regu penyelamat ...." Pak Soedja menghela napas. Disandarkannya senapan yang ia bawa di sampingnya.

"Mudah-mudahan kelompok besar. Kami yang lima orang pemburu saja tidak bisa menghadapi dia," lanjutnya.

"Astaga! Makhluk apa sebenarnya itu!?" Aku sedikit ketakutan mendengar penuturan Pak Soedja.

"Sudah kubilang, manusia!" kukuh Pak Soedja.

Kemudian hening dalam waktu yang cukup lama. Barang tiga menitan, kami bertiga tidak berbicara. Aku pun memulai pembicaraan lagi untuk memecah kebuntuan.

"Jadi ... Anda ayahanda Ningsih ...."

"Iya, dia putri dari istri kedua ku," jawab Pak Soedja.

"Hoo ... bapak menikah lagi?"

"Kurang lebih begitu."

"Wah ... kenapa bapak bisa ada di Tirtanan ini? Juga ... istri pertama bapak ...." Annelies ikutan bertanya.

Pak Soedja menghela napas, seraya menjawab singkat, "Meninggal."

"Oh ... maaf. Lalu, istri kedua anda ...,"

"Juga meninggal,"

"Eh ...." Kami berdua terperanjat.

"Tidak apa-apa. Lagipula, saya suka tinggal di sini. Apakah Soeharto masih berkuasa sekarang?" tanya Pak Soedja membuka topik baru.

"Ah ... dia sudah meninggal," jawabku.

"Baguslah. Apakah dengan begitu, Indonesia sudah damai dan tenteram?" lanjutnya bertanya. Aku tersenyum. Pak Soedja mungkin generasi 60-an dengan segala tetek-mbengek Orde Barunya.

"Tidak. Malah ... semakin menjadi-jadi. Orang-orang malah kini saling melempar kebencian dan kelompok-kelompok kepentingan mulai mengambil kendali negara secara perlahan," jawabku.

"Hah ... kuharap kedamaian di Tirtanan akan terus seperti ini," keluh pak Soedja.

"Jadi ... kapan bapak datang ke Tirtanan ini?" Aku bertanya mencari tahu lebih jauh lagi tentang Pak Soedja.

"Dua tahun setelah peristiwa 65," sahutnya.

"Kenapa?"

"Tidak ada tempat yang aman lagi buat saya untuk bersembunyi. Satu per satu orang ditangkap dan namanya menghilang dari peradaban," jawab Pak Soedja dengan nada berat. Sejenak beliau menunduk, kemudian menengadah ke atas, lalu menghela napas.

"Bapak ... komunis?" Dengan berhati-hati, aku bertanya.

"Bukan, tetapi banyak teman-teman saya ikutan," jawab Pak Soedja lugas.

"Apa pekerjaan bapak sebelumnya?"

"Saya mahasiswa seperti kalian,"

Tidak diduga, Pak Soedja berumur tidak jauh dari kami, ketika beliau kabur.

"Tapi ... bapak mahir memegang senjata ...." Aku menoleh ke samping Pak Soedja.

"Ayah saya tentara. Saya dikenalkan dengan senjata selepas SMP hingga saya selesai berkuliah, tetapi saya tidak mau masuk angkatan," tanggap Pak Soedja. Hening sejenak, sebelum aku melanjutkan percakapan.

"Kenapa ... bapak kabur?"

"Saya membantu melarikan seorang teman saya yang dikejar intel ...."

"Dia ...," sahutku.

Pak Soedja menukas, "Kiri ...."

Aku mengangguk-angguk, lalu bertanya kembali, "Menarik .... Apa bapak benci komunis?"

"Saya hanya benci orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan darah orang lain demi kepentingan semata. Baik komunis atau anti-komunis ... mereka sama-sama telah salah dalam bertindak. Yang satu terlalu radikal dalam bergerak tanpa menafsirkan rujukan pandangan mereka, yang satu terlalu buta untuk melihat mana setan dan mana yang bukan ...," ungkap beliau, yang tidak terduga olehku. Sebenarnya, Pak Soedja memiliki cara pandang sendiri ketika konflik dua kubu melindas negara pada waktu 1965. Seorang wong cilik moderat, yang ingin hidup damai di negeri tercinta.

"Hmm ... menarik. Anda menyalahkan keduanya?" tanyaku berusaha mencari keyakinan argumen Pak Soedja.

"Semuanya salah, 'kan? Kalau kaukenal dengan bangsamu, kautahu sendiri orang-orang negeri ini terlalu cepat memakan mentah-mentah sebuah ide. Seperti makan tempe yang baru tiga detik dicelupkan ke minyak panas. Ketika mereka memahami sebuah ideologi dengan karbitan, ibarat makan batang talas tanpa tahu dalamnya ada racun yang perlu dinetralisir. Orang-orang yang terlalu fanatik, akan bergerak dengan sporadis dan impulsif ...," pungkas Pak Soedja.

"Satu lagi ... mereka terlalu percaya dengan sebuah hal, tanpa menabayunkan hal tersebut," tambahku. Pak Soedja tersenyum seraya mengagguk-angguk.

"Jadi ... sudah tahu sendiri ... dosa-dosa negara dan bangsa ini?" giliran Pak Soedja bertanya.

"Iya," jawabku singkat, lepas, dan tanpa ada penekanan.

"Baguslah." Pak Soedja terkekeh.

"Huui!!"

Samar-samar, kami mendengar suara dari kejauhan.

"Huui!!"

Aku mengenali suara itu. Biasanya para orang-orang dari Suku Bersarung menggunakan panggilan semacam itu. Kami segera bangkit dari istirahat kami.

Tiba-tiba sosok itu muncul dari belakang kami, tepat sewaktu aku bangkit dari dudukku dan kami bersirobok dengan wajah rambut gimbal, berseringai kumal.

Annelies menjerit ketakutan.

"KETEMU!" geramnya seraya menerkamku hingga aku terpelanting.

****

Aku kini dalam ketegangan puncak, ketika aku dikangkangi oleh manusia aneh yang brutal ini. Di luar dugaan, ia mencabut sebuah belati yang tersarung di pinggangnya dan berusaha mengoyak leherku. Aku meronta, menangkis tangannya agar aku tidak koit duluan.

"Rendra!" teriak Pak Soedja. Ia meraih senapannya, membidiknya ke arah manusia jadi-jadian itu.

"Mundur dari anak itu, atau kuletuskan kepalamu!" bentak Pak Soedja. Ketika, monster itu teralihkan, aku memakai kesempatan itu untuk bergulung dari tempatku, lalu bangkit seraya bergegas menuju di depan Annelies, di mana dia berdiri sendiri tanpa ada perlindungan.

"Ann ... berlindung di belakangku ...."

Ann segera menempel di belakangku, seraya mencengkeram lengan bajuku. Kini, Pak Soedja berhadapan dengan monster itu. Sialnya, bedilku tertinggal.

"Pak Soedja! Hati-hati!" teriakku.

Tiba-tiba monster itu menerkam Pak Soedja. Dengan sigap, Pak Soedja menangkis dengan senapannya. Mereka berdua bergelut di tanah sekarang.

"Lari! Lari!" perintah Pak Soedja.

"Tidak, Pak Soedja! Pak Soedja harus ikut!" tukasku.

"Jangan pedulikan aku, bocah! Lari sekarang!" teriak Pak Soedja yang berontak dari terkaman monster itu. Monster jadi-jadian itu hampir menikam Pak Soedja. Kepanikan melanda.

"Pak Soedja!" Di luar dugaan, Annelies mengambil senapanku lalu menghantamkannya tepat di kepala monster itu. Monster itu sempat terjengkang. Annelies memekik, seraya berjingkat ke belakang.

"Bagus, Ann!" pekikku. Manusia jadi-jadian itu bangkit. Ann memekik takut seraya berlari menuju ke arahku. Oke, dia menarget Ann dengan tatapan pemburunya. Tak disangka, manusia jadi-jadian itu berlari mengejar Ann. Aku melompat, menyerbu untuk menghadangnya

"Hoi! Ke sini, kunyuk!" pekikku.

"MATI KAU!"

Astaga! Pada detik itu aku dapat merasakan, seperti maut melayang tipis di antara nyawaku. Belati itu mengoyak bagian depan bajuku, ketika aku berkelit.

"Rendra!" pekik Ann histeris.

Aku jatuh terjengkang karena berkelit dari sabetan belati si manusia jadi-jadian. Si manusia jadi-jadian bersiap untuk menerkamku lagi. Di genggamnya belati punyanya kuat-kuat, berancang-ancang. Aku masih belum dalam posisi yang bagus untuk berkelit.

"Nak Rendra!" Pak Soedja masih belum bangkit.

Ah, sial.

Sontak, sebuah suara debap senjata yang agak keras terdengar tidak jauh dari kami. Bersamaan dengan suara kayu pohon terkoyak.

"Sumuaal!" Dari kejauhan, Pak Kusno, bersama beberapa orang yang membawa bedil berlari menyongsong ke arah kami. Aku dapat mendengar tadi, bahwa Pak Kusno meneriakan sebuah nama. Sumual? Rasa-rasanya aku sempat kenal dengan nama itu.

"Sumuaaal! Menyerahlah! Kau sudah terkepung!" Pak Kusno menodongkan senapan, bersamaan dengan beberapa orang yang ikut membidikkan senjatanya ke arah Sumual.

"Aku tidak takut kepada kalian!" berang Sumual. Dia kemudian berlari dengan cepat masuk lebih jauh ke dalam hutan. Sontak, beberapa penduduk desa yang memburunya ikut mengejarnya. Suara debap senapan angin ditembakkan berkali-kali terdengar.

"Sumuaaal! Berhenti!" pekik Pak Kusno.

"Hoi, kejar dia!" teriak yang lain. Kemudian, kami dihampiri oleh Adrian yang turut menyusul kami.

"Ada apa?" tanya Pak Soedja yang baru saja bangkit berdiri.

"Bantuan ... bantuan datang!" girangku.

"Ayo cepat ikut kami, berbahaya di sini!?" ujar Adrian.

Kesempatan itu langsung tidak kami sia-siakan. Aku dan Annelies langsung mengikuti Adrian untuk kabur. Lebih tepatnya kembali ke desa. Disusul dengan Pak Soedja yang kemudian terlihat berhenti sebentar untuk berbincang dengan Pak Kusno.

"Tepat waktu kalian mengabarkannya. Satu kelompok besar warga akan mengejarnya sekarang. Bersenjata lengkap ...," jelas Adrian selama pelarian kami belangsung.

"Hoo ... kami hampir jadi rempeyek. Siapa sebenarnya kunyuk tadi!" selorohku.

"Sumual. Residivis yang kabur dari Nusakambangan sehari sebelum kita berangkat KKN," lanjutnya menjelaskan.

"Sumual? Sumual yang itu?!" tanyaku pada Adrian

"Sumual yang itu," pungkas Adrian.

"Siapa Sumual yang itu!? Aku ketakutan dan hampir dibacok!" Aku meracau sebal.

"Sumual. Dia adalah residivis kasus pembunuhan. Pelaku pembunuhan berantai yang terjadi di Ibu kota," jelas Adrian serius. Ah, aku sempat menyaksikan berita di televisi sebelum berangkat, kalau Sumual—seorang Residivis penjara Nusakambangan—kabur. Dia dituduh sebagai pelaku pembunuhan berantai di Ibu kota.

"Hah! Bodo amat, yang penting kabur!"

Hari itu adalah hari yang mengesankan. Ada mantannapi berkeliaran di Tirtanan. Bagus sekali ... bagus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top