14. Bermain di Tepi Pantai Waktu Badai Adalah Ilegal di Tirtanan

Pemandangan padang rumput dan ladang para warga telah tergantikan perlahan oleh suara desiran angin pantai, barisan pohon kelapa, dan gulungan ombak. Laut! Sebuah pemandangan tidak biasa yang kusaksikan saat ini. Benar-benar merindukan masa di mana aku masih bisa dengan enaknya melancong ke berbagai pantai di sepanjang Pesisir Selatan Jawa.

Pantai ini masih tergolong pantai langka yang jarang dikunjungi orang. Sebutan pantai perawan, pantai endemik, atau pantai organik—apa pun itu namanya—benar-benar beda terlihat dari suasananya. Kami menyaksikan para nelayan yang sedang menepikan perahunya di pinggir pantai, sampai kami tidak sadar, kalau ini masih sekitar pukul tujuh pagi. Berangkat setelah subuh agar dapat mendapatkan ikan segar rasa-rasanya suatu hal yang mutlak diperlukan bagi orang-orang ini.

Berangkat dari Desa Tirtanan, melewati Balai Pos Dagang yang mulai ramai dengan para pedagang, melintasi padang rumput di mana jalan satu arah menuju pantai seakan membelah padang rumput tersebut. Desa nelayan ini—tanpa nama, karena sering menyebut orang-orang sekitar dengan Desa Nelayan—sudah ramai dikunjungi orang-orang dari segenap penjuru Tirtanan. Orang-orang bersarung, orang Belanda, orang Jepang, Penduduk Desa Tirtanan, tumpah ruah datang ke sini, berkompetisi dalam pelelangan ikan.

"Oji-san! Apa Oji-san pernah melihat laut?" Begitu kata Kaaya, sesampainya kami di Desa Nelayan.

"He? Ka-Kaaya, aku bukan pamanmu dan aku tidak setua itu ... tapi ... Oji-San ini sudah banyak melihat laut, Nak!" sahutku seraya bergaya dan menepuk-nepuk dadaku dengan rasa bangga. Bekti berdecak tidak senang.

"Yah ... dipakai juga Ojisan-nya ...," komentar Bekti.

"Diam kamu, Bek!" protesku.

"Rendra, berhentilah untuk membalik statement-mu yang kaulempar padaku tadi di jalan," sahut Ronny.

"Ah, Ronny, kau hanya tidak terlalu ramah dengan anak kecil," balasku sembari mengibaskan tangan.

"Lihat! Sudah ramai saja!" Bethlehem memecah perdebatan seraya menunjuk ke arah Desa Nelayan, yang sudah ramai seperti pasar pagi dengan obral diskon mingguan.

"Hmm ... apa mereka membeli ikan segar di sini?" tanyaku pada Yamada-san.

"Ikan segar kualitas terbaik selalu datang langsung dari sumbernya, Rendra-san, Kalau di pasar kebanyakan sudah diolah dengan dikeringkan, diasapkan, atau diasinkan dan telah disimpan dalam jangka waktu lebih dari satu hari. Rasanya beda jika beli langsung," jelas Yamada-san.

"Yah ... ketika belum terlalu ada alat pendingin atau es di sekitar sini, orang-orang biasanya pakai cara itu," sahut Yuhei-san, salah satu warga Jepang yang ikut dalam rombongan.

"Tapi ... dengan keterbatasannya itu ... menjadikan ...," simpulku, ketika Bekti langsung menyerobot perkataanku.

"Kampung nelayan menjadi sentra perdagangan terbesar kedua di Tirtanan, setelah Balai Pos Dagang!"

"Hmm ... apa ... ini termasuk monopoli perdagangan?" tanya Bekti melempar pertanyaan.

"Kalau dilihat-lihat sih begitu, tapi tentu saja tiap pedagang punya harganya sendiri, Bekti," jawab Yamada-san.

"Beberapa orang ada yang masih menukar ikan dengan barang lainnya. Namun, kami memakai keping uang sebagai alat tukar," lanjutnya sembari memperlihatkan sekeping koin bulat dengan lubang kecil di tengahnya.

"Hoo ... uang benggol? Sepertinya terbentuk dari campuran emas dan tembaga," ujarku berkomentar.

"Iya, kami memakai keping uang ini untuk bertransaksi."

"Berapa konversi uang Indonesia sekarang dengan uang ini, kira-kira?" celetuk Bekti.

"Satu keping kira-kira bisa dibuat untuk beli tiga ekor ikan," ujar Yamada-san.

Los-los ikan sudah mulai penuh dengan kotak-kotak berisi berbagai macam hasil laut. Ikan segala jenis dan ukuran, kerang, tiram, teripang, kepiting, dan banyak hal. Yamada-san berkata terakhir kali ada seorang nelayan yang berhasil menangkap sebuah hiu dan sontak pasar ikan berubah jadi pertempuran lelang ikan.

"Ramainya! Apa selalu ramai begini, Yamada-san?" tanyaku.

"Pasti ramai! Bila orang cari ikan segar, pasti langsung ke sini, Rendra-san. Pos Dagang hanya menjual ikan olahan. Takut ikannya keburu jelek kalau diangkut ke tengah kota. Sepeda dan kuda jadi alternatif, Rendra-san. Mereka tidak mau menarik dengan bendi karena terlalu lambat, keburu kena matahari langsung dan jadi bau. Mereka akan cepat-cepat kembali ke desa, menenteng barang belanjaan di belakang," jelas Yamada-san.

Uwah, jika apa yang dikatakan Yamada-san ada benarnya, maka kuda dan sepeda di sini menjadi alat transportasi setingkat dengan sepeda motor.

"Hmm ... bahkan olahan ikan di sini juga langsung dari ikan segar," komentarku sembari melihat beberapa los pasar yang memamerkan ikan-ikan tangkapan mereka.

"Bagus ... aku lebih memilih ikan darat," sahut Bethlehem.

"Kukira kau dapat makan ikan laut, Beth?" celetuk Bekti.

"Ah, aku alergi beberapa hewan laut. Tidak apa-apa."

Tidak selalu nelayan melaut dan dapat tangkapan banyak. Karena itu, desa ini tidak buka pasar ikan setiap hari. Hanya di beberapa hari-hari tertentu saja. Pagi itu, orang-orang ramai-ramai menukar satu sak beras, satu krat sayur-mayur, atau sekeranjang buah-buahan dengan satu kotak penuh ikan. Sebagai contoh konversi, kaudapatkan satu ekor ikan seharga dengan empat hingga enam butir apel. Bahkan ada yang menjual kuda, bahkan sepedanya, untuk ditukar dengan ikan-ikan kualitas dan kuantitas terbaik. Sungguh, kalau saja ini diibaratkan dengan pasar saham, reaksinya serupa dengan orang-orang gila-gilaan dengan ikan.

Inilah Tirtanan, Desa Nelayan, dan fish-bloom-nya yang penuh dengan interaksi, kompetisi, dan hal irrasional yang kadang dapat ditemukan di sini.

*****

Terkadang, apa yang dikhawatirkan para nelayan dan para pegiat dagang ikan di sini hanya satu. Badai di saat-saat Muson. Seringkali mengganggu dan anginnya bahkan sampai-sampai dapat mengobrak-abrik sebuah los pasar dalam sekali tiup. Angin ribut yang datang menuju ke arah pantai membuat segalanya berubah, menjadi sebuah sinyal siaga untuk menghadapi bencana.

"Ada apa?" tanyaku pada Yamada-san

"Laut akhir-akhir ini sering mengamuk ...," ujar Yamada-san.

"Apa sudah waktunya musim angin muson?" tanyaku.

"Di bulan-bulan seperti ini, biasanya badai banyak terjadi. Namun, baru kali ini aku melihat badai sebesar ini berada di pesisir tropis Indonesia ...," ujar Yamada-san.

"Badai tropis!" teriak salah satu anggota rombongan.

"Gawat, kita tidak dapat melaut, Yamada-san!" ujar Yuhei-san.

"Sial, kalau begini jadinya kita harus dapat banyak ikan untuk besok harinya. Itu tidak mungkin, Yuhei-san! Orang-orang kita berharap untuk dapat ikan segar!" ujar Yamada-san.

"Sial, padahal tadi cuacanya tenang-tenang saja," keluh Yuhei-san.

"Tidak juga. Dari arah angin, kecepatannya, juga kecepatan pergerakan awan, sangat mungkin untuk terjadi badai. Apalagi dari subuh anginnya sudah tidak enak, matahari tidak langsung menyinari, tetapi terhalang oleh gerombolan mendung di ufuk," jelasku.

"Sepertinya Roh Badai sedang marah ...." Salah satu warga berceletuk sembari memandang ombak ganas yang bergulung-gulung di pinggir pantai yang mulai meninggi. Pasang datang lebih cepat dari perkiraan. Angin semakin kencang bersiul-siul liar di telinga.

"Kita harus menenangkannya," ujar yang lain.

"Roh Badai?" tanyaku penasaran pada mereka.

"Iya, Roh Badai biasanya marah kalau dia sedang sedih, sedang kesepian, atau sedang waktunya ... untuk marah," jelas salah satu warga.

"Ha? Roh kok begitu? Seperti gadis lagi kena penyakit bulanan saja," celetukku berkomentar, yang langsung disambut oleh peringatan dari Beth.

"Cerewet kau, Rendra. Itu bisa dianggap sakrilegi bagi mereka yang memuja Roh Badai!"

"Sakrilegi?" Aku menaikkan alis kiriku.

"Penghinaan terhadap hal-hal keramat atau Yang Agung."

Ah ... seperti itu. Ini adalah sama saja seperti adat di berbagai tempat. Hal-hal yang bersifat kekuatan alam yang luar biasa, kadangkala diasosiasikan sebagai bentuk kekuatan yang mahadahsyat, melebihi nalar manusia.

"Ah ... baik-baik. Yang lebih penting dari itu, di mana Ronny sekarang?" tanyaku sembari celingukan mencari Ronny. Sedari tadi, dia yang paling besar badannya malah tidak kelihatan batang hidungnya. Sejak pasar tumpah ruah, sepertinya ia pergi ke pantai.

"Oh iya, katanya dia sedang ke pinggir pantai. Mau mencari-cari apa ada gadis pantai yang cantik di daerah sini bersama Bekti," ujar Auriga yang baru saja datang.

"Duh, mereka berdua ... kenapa tidak ajak-ajak ...," keluhku.

"Kau sendiri begitu ternyata, kampret!" sahut Bethlehem.

"Oh, lihat, itu Bekti!" Auriga menunjuk ke arah seseorang yang baru berjalan dari pantai.

"Mana Ronny?" tanyaku pada Bekti, sesampainya ia datang ke tempat kami.

"Gawat ... Dia ...," engah Bekti sembari menunjuk-nunjuk ke arah pantai. Melihat situasi ada yang tidak beres, kami langsung menuju ke sana. Sesampainya di pantai yang tadi disebut Bekti, kami mendapati beberapa orang berkerumun seperti mengitari sesuatu di pinggir pantai. Baru sejenak kami mendekat, kami sudah dikejutkan dengan sosok yang tergeletak di sana.

Ronny.

"Oi, Apa dia terkena sesuatu?" tanyaku. Tidak ada yang dapat menjawab, sampai salah satu dari warga yang sedang berkerumun mendesiskan sesuatu.

"Dia telah dicium oleh Roh Badai."

****

Ada pertanyaan besar. Mungkin akan beranak menjadi beberapa pertanyaan kecil di sini. Bagaimana Ronny dengan badan sebesar itu bisa tumbang hanya gara-gara dia berpapasan dengan 'sesuatu' yang entah ada atau tidak? Juga, Roh Badai itu sebenarnya makhluk yang seperti apa? Apa ciuman mautnya itu seperti apel beracun yang dibawa nenek sihir untuk meracun Putri Salju?

"Bagaimana bisa terjadi?" tanyaku, antara sedikit panik dan bertanya-tanya mengenai kejelasan apa yang menyebabkan Ronny tidak sadarkan diri. Untungnya—iya, untungnya—dia belum mati. Dia hanya seperti terkena semacam teluh atau 'kutukan' gara-gara macam-macam dengan Roh Badai.

"Dia terlalu dekat dengan pantai dan dicium oleh Roh Badai. Hanya jasadnya yang ada di sini, sedangkan sukmanya ditarik dan dibawa oleh Roh Badai ke lautan lepas," ujar salah satu kakek-kakek yang merupakan salah satu nelayan di desa itu.

"Dengan kata lain ...." Aku mulai menduga.

"Ronny akan mati jika sukmanya tidak kembali, atau apalah itu," sambung Bekti, malah dengan ekspresi seperti baru saja menemukan sebuah kasus sulit, sembari mengelus-elus janggutnya.

"He .. ini 'kan Pantai Selatan ... Ap-Apakah ...." Bethlehem mulai ketakutan ketika mendengar sesuatu yang berbau mistis.

"Apa ini perbuatan Kanjeng Roro Kidul?" tanya Bekti malah dengan frontalnya.

"Bukan ... ini ulah Roh Badai," ujar sang kakek mantap.

"He? Kok begitu?" Bekti malah terlihat tidak puas dengan jawaban kakek.

"Yang di sini bukan hanya orang-orang dari Jawa. Suku Bersarung lebih memercayai kalau penguasa laut—di mana pun itu—adalah Roh Badai dan Roh Laut. Kebanyakan masyarakat di sini adalah satu rumpun dengan Orang Suku Bersarung. Lebih tepatnya, mereka Suku Bersarung Pesisir. Kami juga menganggap ini mungkin perbuatan Wadatsumi," jelas Yamada-san.

"Wa ... dat-su-mi?" tanyaku sembari mengeja kata-kata yang berusan Yamada-san katakan.

"Nama lainnya adalah Ryujin, Sang Penguasa Lautan," simpul Yamada-san.

"Tapi ... jika referensinya adalah perempuan, mengingat Orang Bersarung dan orang Jawa lebih mereferensikan ke sosok gender perempuan ... kurasa Otohime lebih cocok deh." Aku langsung menarik kesimpulan kontradiktif, yang langsung disahut Bekti.

"Otohime!? Kaukira ini Urashima Taro!?"

"Tapi ... ada juga yang menganggap ini adalah karena dia melewati tapal batas Laut Selatan-nya Nyi Roro Kidul. Toh, kami masih menganggap begitu, bagaimana pun, ini Laut Selatan, 'kan?" Auriga mencoba untuk ikut andil dalam perdebatan kusir yang benar-benar melupakan Ronny untuk sejenak. Astaga, kami debat kusir, padahal ada orang sedang sekarat di depan kami.

"Apa ... klenik seperti ini masih ada?" Bethlehem malah memperpanjang diskusi.

"Masih, Beth. Terutama di daerah Selatan dan kauterus ke Timur," sahut Bekti.

Serius, Ronny masih tergeletak.

"Selama ada laut, klenik laut pun berlanjut," tambah sang kakek warga Desa Nelayan.

"Tunggu, bagaimana kalau itu roh Lady of Stavoren ...." Auriga coba menambahi.

Hingga pada akhirnya aku menukas pembicaraan mereka dengan berseru, "Stop, berhenti berdebat soal, klenik, mistik, kepercayaan aliran yang sedari tadi bercabang lebar! Kita harus menyelamatkan Ronny!"

Oke semua tampak tenang setelah aku angkat bicara. Namun, lama juga mereka berpikir mengenai sesuatu.

"Lalu ... bagaimana caranya?" celetuk Bekti. Aku pun mengangkat bahu.

Benar juga apa kata Bekti. Ketika masalah ini sudah menjadi masalah yang berasal dari permasalahan budaya sekitar. Mau tidak mau, kita harus mengerti bagaimana budaya sekitar bekerja. Pasti ada satu jalan, meski ini akan memakan sebuah hal yang ... mungkin tidak masuk akal bagi para manusia-manusia post-modernisme seperti kami.

Tidak ada yang angkat bicara, sampai akhirnya sang kakek berseru, "Ada satu cara untuk mengembalikan roh anak muda ini dari tangan Roh Badai ...."

"Oke, caranya?" Aku, Bekti, Auriga, dan Bethlehem serempak bertanya.

"Upacara Pentasbihan Korban."

Oke. Itu terdengar tidak begitu bagus.

*****

Diperkirakan hari itu, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul dua belas siang. Semua terasa begitu cepat, begitu pula reaksi dari warga sekitar. Segera setelah ketua adat Desa Nelayan—sang kakek-kakek tadi—menyimpulkan harus diadakannya Upacara Pentasbihan Korban, maka serentak warga Desa Nelayan langsung bergerak untuk menyiapkan ritual tersebut. Seakan ritual itu harus diselenggarakan sesegera mungkin. Kabar tersiar dengan cepat, seiring dengan adanya korban Roh Badai—Ronny—yang cukup merepotkan.

Rombongan Yamada-san terpaksa kembali ke Tirtanan, sementara Yuhei-san dan rombongannya menemani kami untuk menjaga kami selama di Desa Nelayan. Rencana yang telah disiapkan, bahwa Yamada-san akan memberitahu kejadian ini kepada Pak Kusno dan Profesor Abram. Melaju sendiri dengan kuda, Yamada-san bergegas lebih dulu dari rombongan pengangkut ikan. Sementara itu, kami membantu warga Desa Nelayan untuk melakukan Upacara Pentasbihan Korban.

Laut masih belum tenang. Gelombang pasang masih besar dan ombak masih bergulung-gulung liar. Ditambah lagi, Sore tadi terjadi hujan angin. Lengkap sudah cobaan yang diperoleh kami selama setengah hari berada di desa ini. Upacara dilakukan pada malam hari, sekitar pukul tujuh, waktu modern.

"Laut masih belum tenang. Apa ini pertanda buruk? Juga ... Roh Badai sudah memakan korban," kataku sendiri. Tiba-tiba Bekti berseru sembari menunjuk ke arah pantai.

"Lihat!"

Yang kami lihat adalah hal yang spektakuler terjadi di sini. Ramai-ramai, orang membawa obor atau lentera untuk penerangan. Laut masih bergemuruh, sementara langit tertutup mendung pekat. Sesekali angin kencang dari laut memaksa kami untuk terus bolak-balik menyalakan obor. Sesajen berupa hasil bumi sebanyak tiga gunung sesajen. Hasil bumi, kebun, hutan, bahkan gunung pun tertata rapi dalam gunungan sesaji. Sesaji itu akan dilarung, sementara Ronny akan diletakan di sebuah perahu yang telah dijaga oleh empat orang yang ditunjuk sebagai kuncen raga dari Ronny. Semua orang memakai pakaian adat mereka.

"Wah ... ramai sekali ternyata!" sahut Bekti yang semringah gembira.

"Di saat Ronny mau dikorbankan, kau begitu melonjak riang gembira, begitu?" cibirku.

"Tenang, Upacara Pentasbihan Korban adalah salah satu bentuk upaya masyarakat sekitar untuk menenangkan Roh Badai. Ditambah dengan pertukaran antara roh Ronny dengan sesuatu," jelas Bekti.

"Apa itu?" tanyaku. Yang pasti dia sudah mencoba tanya-tanya ke masyarakat sekitar, saking ia terlihat begitu antusias dengan hal-hal yang berbau klenik dan mistik.

"Sesaji lah! Kau tidak melihat tadi para warga sibuk, mondar-mandir kelimpungan untuk menyiapkan sesaji? Hampir seluruh orang di Desa ini ikut andil lho! Dari anak-anak sampai manula, semua kerja. Bahkan para pendatang juga ikut dilibatkan," ujar Bekti.

"Tapi ... kenapa sesajinya semua benda-benda darat?" celetuk Bethlehem.

"Katanya, Roh Badai bosan dengan lautan dan ingin melihat daratan. Namun, karena dia tidak bisa menginjak tanah, maka dia tidak bisa melihat keindahan daratan. Dengan menyiapkan sesajen berupa hasil panen, beberapa batu mineral dan batu amber dari gunung. Diharapkan Roh Badai akan senang ...," ujar Bekti tampak antusias menerangkan. Aku menghela napas.

"Ya ampun ... betapa merepotkannya Gadis Badai ini ...," gurauku.

"Hei ... Rendra ...," sergah Bethlehem.

"Ngomong-ngomong, berapa biaya yang dihabiskan untuk ini?"

"Satu gerobak besar hasil panen!" sahut Bekti dengan gembiranya.

"Mana ada kita uang segitu! Gila gila gila!?" kagumku.

"Tenang saja, untuk upacara pentasbihan korban ini juga dalam rangka perwujudan bentuk penenangan diri Roh Badai, kok," sanggah Bekti.

Auriga menambahkan, "Oh ... begitu. Benar juga, akhir-akhir ini para nelayan khawatir dengan pertanda buruk akan datangnya badai yang terus-terusan gini."

Malam itu, di antara angin laut yang kencang menerpa, gelombang laut yang menggulung ganas, mengombang-ambingkan perahu-perahu nelayan. Bahkan dek kapal pun bisa hanyut tersapu terus-terusan kalau begitu jadinya. Sesaji telah dilarungkan. Beberapa pemuka adat Desa Nelayan terus merapal mantra-mantra sebagai perwujudan komunikasi dengan Roh Badai.

"Wahai Roh Badai, terimalah persembahan ini! Tukarlah dengan nyawa anak manusia yang tidak bersalah ini! Kembalilah tenang, damai, dan gembira lagi!"

Tidak terasa, kami pada akhirnya ikut-ikutan mengucapkan.

"Wahai Roh Badai, terimalah persembahan ini! Tukarlah dengan nyawa anak manusia yang tidak bersalah ini! Kembalilah tenang, damai, dan gembira lagi!"

*****

Hari kedelapan aku berada di Tirtanan. Tepatnya di sebuah Desa Nelayan yang kemarin habis diombang-ambingkan oleh seorang Dewi Roh Badai yang sedang manja, merajuk karena penyakit bulanan. Merajuk ingin keluar dari tempat dia bersemayam di dasar laut.

Segera setelah berita itu terdengar, beberapa orang dari Desa Tirtanan langsung berangkat menuju Desa Nelayan, malam itu juga. Beberapa ada yang ikut karena merasa terpanggil. Beberapa lagi ikut karena penasaran dengan cerita tentang Ronny yang sempat hilang kesadaran karena dicium Roh Badai.

"Ronny, senang kau kembali!" Aku menepuk-nepuk punggung si Ronny yang tengah terbaring di sebuah kasur tanpa dipan, di rumah salah satu warga Desa Nelayan.

"Ah ... aku merasakan beberapa pengalaman aneh ...," keluhnya. Pagi itu, ia sudah siuman, seiring dengan terbitnya matahari yang langsung menyinari pesisir. Entah bagaimana cuacanya menjadi reda, juga cerah. Ombak sesekali bergemuruh menghantam pantai, tetapi hanya berupa ombak-ombak skala kecil.

"Seperti?" tanyaku penasaran.

"Aku bertemu dengan seorang gadis pantai yang cantik sesaat sebelum badai berlalu. Lalu ...," ujar Ronny bercerita.

"Lalu?"

"Aku serasa menjadi kekasih sang gadis pantai selama beberapa waktu," lanjutnya.

"Kau hampir mati, bego!" Bekti langsung menoyor kepala Ronny.

"Oh, iya kah? Dia tidak mau kutinggalkan, jadi aku masih tetap di rumahnya di bawah laut. Hebat sekali aku bisa diving sedalam itu!" Nada bicara Ronny yang antusias, tentu dia tidak perlu akting seperti itu jika membual.

"Kau sedang terkena halusinasi, Ronny!" ujar Bekti.

"Tidak! Itu tidak benar! Aku melihatnya! Aku merasakannya!" kata Ronny bersikeras.

"Aku sudah memastikannya dengan mengirim salah satu sampel ke Karen. Ternyata benar adanya. Kau tersengat ubur-ubur yang ada di pinggir pantai!" ujar Bekti.

"Tunggu! Tunggu! Tunggu! Jadi bukan Roh Badai!?" sergahku bingung.

"Siapa Karen?" sahut Bethlehem ikutan bertanya hal tidak penting lainnya.

"Salah satu teman kelompok kita, Beth," jawab Bekti.

"Ada kemungkinan Roh Badai hanyalah sebagai perwujudan adanya sesuatu yang di luar batas kemampuan manusia di sini. Namun, aku mengamati keadaan pesisir di pinggir pantai ketika badai berlangsung. Banyak hewan laut yang mungkin terbawa arus sampai ke pinggir pantai. Terutama di daerah di mana Ronny berada." Auriga angkat bicara.

"Jadi?" Ronny bertanya menggantung.

"Mungkin ubur-ubur itu mendarat di ceruk pantai. Seseorang yang bermain-main di sana, akan terkena efek racun yang dihasilkan ubur-ubur tesebut. Salah satu gejalanya adalah halusinasi, pelemahan otot, hingga kehilangan kesadaran. Ramuan yang kauminum sebelum dan ketika upacara adalah penawar racun," papar Auriga.

Entah kenapa, Ronny langsung berubah kesal.

"Aah ... padahal aku sudah dapat merasakannya!"

"Itu tidak perlu dipikirkan lagi. Yang penting sekarang kau sudah selamat, bongsor!" cibir Bekti.

"Yah, kau merepotkan sekali ...," sambung Bethlehem.

"Jangan menyalahkan aku terus, sialan!" protes Ronny.

"Sudahlah, Ronny. Tengah hari kita akan kembali ke desa." Aku menengahi.

Pada akhirnya, pengalaman yang mengesankan ini berakhir begitu cepat, segera setelah kami semua harus undur diri dari Desa Nelayan.

"Ah, dia memang benar-benar luar biasa, Rendra." Ronny terus saja berkomentar tentang Roh Badai. Itu sedikit membuatku risih. Hebat sekali dia berkencan dengan salah satu 'hal yang dipuja' banyak orang. Pasti dia akan membual di media sosial habis ini.

"Hei, semuanya, ayo kita kembali ke desa!" Yamada-san meneriaki kami.

"Baik Yamada-san!"

Dan ... yang paling menarik selalu hal di akhir.

"Oi, Rendra, lihat!" seru Ronny yang ada di belakangku.

"Apa?" tanyaku malas.

"Roh badai!" sahutnya.

"Kaukena ubur-ubur lagi, Ronny?"

Aku melihat sosok perempuan berusia sekitar delapan belas tahunan, dengan pakaian serba hijau muda dan abu-abu, dengan rambut panjang terurai oleh angin laut, tersenyum dan melambai ke arah kami.

"Uh ... sepertinya kita harus kembali secepatnya," ujarku memalingkan wajah dan berjalan ke depan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top