13. Nak, Tidak Semua Belanda Itu Kejam
Hari ketujuh aku berada di tanah antah-berantah bernama Tirtanan. Sebuah daerah yang tidak ada di peta mana pun di dunia ini. Pun kalau ada peta, itu hanya berlaku eksklusif untuk orang-orang yang tinggal di Tirtanan. Pun kalau ada di peta, hanya warna hijau perlambang hutan belantara. Pagi ini, aku bersama rombongan dari perkampungan penduduk Eksodus-Shimabara—begitulah mayoritas mengenal mereka—yang dipimpin oleh Yamaguchi-san sendiri, akan berangkat menuju pesisir pantai. Orang Jepang butuh pasokan ikan mereka yang menipis.
Berada di belakang rombongan kami dan Yamaguchi-san, ada beberapa orang Eropa asli, beraksen Belanda yang cukup kental. Salah satu pemimpin rombongan yang mengangkut banyak kargo itu adalah dari kargo dari keluarga Van Der Hosse. Mereka akan berencana untuk berdagang di Balai Pos Dagang. Ini adalah hari sibuk bagi banyak orang. Para penduduk desa tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencoba peruntungan mereka dalam menjual hasil kebun, pertanian, mau pun hasil perburuan.
"Kau yang bernama Narendra Surbakti? Kau ternyata anak yang cukup tangguh, eh?" Salah satu warga Eksodus-Shimabara, dari keluarga Yamada—namanya Yamada-san—memanggilku.
"Saya ingin berterima kasih kepada saudara Rendra, karena telah berusaha membantu menemukan anak saya yang hilang." Ditambah lagi berkali-kali ucapan terima kasih dari Yamaguchi-san kepadaku, atas 'ketidaksengajaan' diriku dan Ann, ketika menemukan Kaaya, anak Yamaguchi-san, di Hutan Keputusasaan. Yamaguchi-san sangat menyayangi anak-anak mereka. Aku sedikit iri dengan keharmonisan keluarga-keluarga ini. Mereka seperti hidup berjalan tenang dan legowo di tanah yang mungkin sangat tertinggal jauh peradabannya.
"Tidak apa-apa, Yamaguchi-san. Tidak perlu berlebihan seperti itu," sanggahku merendah.
"Kau jadi topik perbincangan orang-orang gara-gara menemukan Kaaya-chan, Rendra," usut Ferdyan sambil menyikut lenganku.
"Eh, koplak! Itu semua salah kau, yang dengan tampang tidak bersalah dan liciknya membawa aku dan tiga orang lainnya, ikut terjebak di dalam hutan!" geramku memprotes Ferdyan. Iya, dia memang sedikit licik bukan main. Aku terjebak dan merasa tertipu ketika aku, Ann, Bekti, dan Alesya, dipaksanya untuk ikut-ikutan masuk hutan.
"Wah ... kukira itu akan jauh lebih menyenangkan ...," ujar Ferdyan seraya bersiul santai.
"Merepotkan, tolol! Kau tidak tahu betapa remuk redamnya aku kemarin, sampai-sampai aku tidak dapat beraktivitas dengan lancar!" berangku sembari menunjukkan kepalan tangan kananku di depan wajah Ferdyan.
"Tapi ... kau agak lemot dan malas, Rendra," cibir Ferdyan.
"Ah ... iya juga sih, tetapi siapa yang menyuruh semua orang untuk mengerjakan praktik lapangannya segera, dogol!?" Aku menoyor kepala Ferdyan.
"Loh, itu aku? Oh iya ...," ujar Ferdyan dengan tingkah pura-pura goblok. Lalu, di antara perbincangan dan saling maki-memaki kami berdua, datanglah si big bro Ronny. Badan tinggi tegap, agak gemuk—tidak buncit sih—dengan pipi yang ikutan gemuk, rambut cepak, mata sedikit sipit. Kalau saja dia tidak ada di dalam tim ini, mungkin kami sudah kelabakan entah bagaimana di hutan seminggu yang lalu. Keahliannya dalam survival di alam liar setidaknya menjadi nilai tambah tersendiri bagi sosok tambun ini.
"Kaaya-chan sepuluh tahun memang benar-benar lucu dan menggemaskan," komentar Ronny. Aku melirik ke arah Kaaya yang kini sedang bermain-main di salah satu gerobak yang mengangkut jala. Seketika aku menyikut pinggang Ronny.
"Ronny, tolong, jangan buat aku membuat diagnosis dirimu yang terkena pedofilia," komentarku.
"Ah, ini dia Rendra dengan segala mulut masam dan kecutnya. Kau sudah seperti Alesya versi cowok," cibir Ronny.
"Yah, setidaknya lebih baik Rendra daripada cowok klimis, sang penghasut kampret itu." Tiba-tiba, Bethlehem yang menyusul di samping Ronny mendengar pembicaraanku, langsung mengomentari cibiran Ronny.
"Huh, maksudmu Des, Beth?" tanya Ronny, bermaksud untuk memanas-manasi Beth, tetapi Beth terlihat asyik dengan buku sketsa yang dia gunakan untuk menggambar peta kasar.
"Iya benar sekali," jawab Bethlehem singkat. Ronny hanya memasang muka datar ketika candaannya tidak berhasil.
Perjalanan yang kami lalui adalah satu jalur dengan jalan menuju Balai Pos Dagang. Oleh karena itu, rombongan berangkat pagi buta seperti ini—iya, ini jam setengah lima sehabis subuh dengan dingin yang cukup terasa—agar tidak terjebak 'kemacetan'. Aku memikirkan kembali, apakah di desa tanpa ada kendaraan bermotor seperti ini bisa terjadi kemacetan? Namun, mengingat jalan yang hanya satu arah, yang kutemui sepenjang penjelajahanku tempo hari hingga tersesat di kampung Orang Bersarung, hal itu mungkin bisa terjadi. Selain itu, perjalanan yang dilalui dari Desa Tirtanan menuju desa nelayan di pesisir pantai cukup jauh jika ditempuh hanya dengan gerobak yang ditarik kuda atau pedati. Kira-kira memakan waktu dua hingga tiga jam.
Karena menganggur, juga entah apakah anggota kelompok lain, terutama laki-laki ikut rombongan Yamaguchi-san hanya sekadar jalan-jalan, aku terpaksa mengikuti jejak anggota yang lainnya bersama rombongan Yamaguchi-san ke desa nelayan di pesisir pantai. Tidak lama, Auriga telah menyusul kami.
"Ah, hai Auriga. Tampaknya kau sudah jauh lebih baikkan," ujarku pada gadis satu itu.
"Te-terima kasih, Ren, atas pertolongannya," ujar Auriga lirih dengan gayanya yang malu-malu.
"Ah, tidak apa-apa. Tunggu ... kau tadi datang dari rumah pondokan itu. Apa aku tidak salah?" tanyaku seraya menunjuk rumah pondokan yang dipakai oleh anggota KKN untuk menginap selama di Tirtanan.
"Tidak, Rendra," jawab Auriga. Singkat dan jelas.
"Itu pondokan untuk laki-laki."
"Memang."
Aku terkejut, seraya bertanya, "Lalu ... kenapa kau ada di sana?"
"Memang tempat tinggalku sementara ada di situ ...," ujar Auriga.
Tunggu. Ada yang salah.
"Tunggu! Tunggu! Tunggu! Biarkan aku berpikir sejenak!" Aku berada di ambang kehebohan. Kulit putih susu yang tidak dimiliki wanita kebanyakan. Aku memperhatikan sekali lagi Auriga. Ada yang salah. Penampilan yang sangat menyerupai seorang wanita. Rambut terkesan seperti perempuan dengan potongan rambut panjang sekuping, celana jeans, baju polo, jaket kardigan abu-abu. Bahkan dua larik jepit rambut!
"Ren, jangan buat heboh ...." Bekti, yang entah dari mana dia muncul—kemungkinan tidur di gerobak—tiba-tiba muncul memperingatkanku.
"Shht, diam kau, Bek!" tukasku cepat.
"Kenapa memangnya, Rendra?" tanya Auriga, dengan tatapan yang tidak bisa kugambarkan kalau dia adalah perempuan.
"Kamu laki-laki?" Seperti disuruh membawa beban sebesar satu ton yang diseret, akhirnya aku mengatakannya.
"Tolol, Rendra!" sentak Ronny.
"Goblok, Rendra!" tambah Bethlehem.
"Laknat kau, Rendra!" timpal Ferdyan. Bekti hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tunggu, apa salahnya, sialan!?" protesku.
Aku tertipu. Aku terjebak. Aku benar-benar tidak mengerti mengenai anggota grup KKN-Integrasi yang semuanya aneh bin ajaib ini. Satu lagi produk aneh KKN-Integrasi.
"Ah ... maaf Rendra, sudah membuatmu bingung, tetapi aku ini laki-laki. Ja-jadi ... santai saja," ujar Auriga, setelah tertawa pelan. Suara rendah dan paraunya membuatku merinding.
Siapa pun tolong aku. Aku terjebak di antara sekumpulan manusia-manusia aneh. Tukang lawak, ibu-ibu borjuis, gadis tukang tidur yang kayak anak kecil, oportunis licik. Lalu sekarang, seorang laki-laki yang penampilannya ambigu!
"Tolong jangan membuat kalimat dengan nada yang ambigu seperti itu, Auriga! Aku ... bisa .. gila!!"
****
Satu ketololan terasa seperti ditambahkan padaku. Itu seperti halnya kaudapatkan setumpuk kelaknatan dari iblis, lalu kau dihukum dengan terjun ke jurang terdalam tanpa dasar. Bisa-bisanya aku salah mengira Auriga—yang perawakannya seperti laki-laki kemayu- itu—adalah seorang perempuan. Celakanya, dia hampir tidak bisa dibedakan antara lelaki ngondek dengan perempuan tomboi. Auriga adalah titik tengah dari sebuah dikotomi gender. Celakanya lagi, aku merasakan sebuah desiran halus setelah mengetahui kalau Auriga adalah laki-laki.
Stop.
Tidak.
Lonceng kewarasanku masih menyatakan kalau aku masih punya setrum dengan perempuan. Tidak dengan laki-laki. Karena masih shock dengan kejadian barusan, walhasil selama perjalanan menuju desa nelayan, aku merenungi kemahatololanku selama satu hari ini. Duduk bersila, menundukkan kepala seperti orang berdoa, lalu berulangkali melaknat-laknatkan diriku yang serasa tidak berguna ini.
"Ah, kau salah satu pria yang sempat dibicarakan Nona Alesya." Salah seorang dari rombongan menyapaku, membangunkanku dari perenungan atas kebodohanku.
"Oh ... iya ... tuan Albert Van Der Hosse? Benar?" sahutku pada seorang lelaki paruh baya, tinggi tegap, tidak terlalu tambun, berkumis baplang.
"Benar, nama saya Albert, panggil saja dengan Pak atau Tuan Albert tidak masalah," ujar lelaki itu dalam aksen Belanda yang sangat kental. Hampir bisa dipastikan kalau dia adalah orang Belanda, mendengar dari sengau-tekannya tatkala berbahasa Indonesia. Di samping dia wajah orang Eropa, sih.
"Jadi ... kenapa ada Belanda di sini?" Aku keceplosan, untuk sekian kalinya dalam hidupku. Aku merutuki betapa menderitanya aku punya mulut yang susah disensor ini.
Demi para keturunan Surbakti, kau tidak berguna, Rendra!
"Maaf?" Tuan Albert mengangkat setengah alisnya.
"Ah, maafkan atas primordialisme saya yang kadang keluar. Saya hanya penasaran, bagaimana orang-orang Nederland bisa berada di tempat ini?" tanyaku seraya membuka percakapan yang kemungkinan akan menghilangkan sedikit kebosanan selama perjalanan ini.
"Oh, nenek moyang kami. Lebih tepatnya para pendahulu kami sudah di sini sejak dulu sekali," ujar Tuan Albert memulai cerita.
"Dulu sekali? VOC? Hindia-Belanda?"
"Hindia, dengan banyak kemajuan," sahut Tuan Albert.
"Kemajuan? Ma-maksudnya?" tanyaku mengejar.
"Orang-orang kami datang dari tahun 1918," jelas Tuan Albert. Lalu selanjutnya Tuan Albert pun mulai bercerita tentang asal-usul orang-orang Belanda, yang entah kenapa kesasar di tanah antah-berantah Tirtanan.
Jadi, politik Van Deventer yang sudah lama dicanangkan oleh Belanda setelah era perang berakhir dengan kemenangan Belanda, mulai menggugah orang-orang liberalis Belanda untuk berusaha 'membalas budi' pribumi yang terjajah. Tiga motto Van Deventer—Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi—mulai membuat kaum liberalis melakukan pergerakan besar dalam membangun Hindia-Belanda. Salah satu ekspedisi mengusulkan agar para Residen—yang kebanyakan pribumi—untuk 'membuka lahan' baru, mengeksplorasi daerah-daerah yang potensial untuk dijadikan sebuah daerah dengan kesempatan bagus menjalankan asas Van Deventer tadi.
Singkat cerita, rombongan ekspedisi yang terdiri dari empat puluh kereta kuda bermuatan logistik, satu kelompok prajurit bayaran pasca-perang-Aceh, tiga puluh keluarga mengarungi hutan bagian selatan Jawa Timur. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka akhirnya bisa menembus hutan ini. Seperti kebanyakan penghuni Tirtanan, mereka tidak dapat kembali. Dua ekspedisi untuk menemukan jalan keluar dari wilayah ini menemui kegagalan besar. Dari sekitar seratus dua puluh orang, hanya tersisa sepertiganya saja yang bisa bertahan di tahun-tahun selanjutnya.
"Jadi ... moyang kalian datang untuk melakukan ekspedisi ke daerah selatan Jawa Timur, lalu malah tersesat di sini," tanyaku mencoba menyimpulkan.
"Yah ... kurang lebih seperti itu," ujar Tuan Albert sesekali terkekeh sambil membetulkan pipa cangklongnya.
"Luar biasanya, adanya masyarakat Jepang era Keshogunan Tokugawa yang eksodus ke pulau Jawa sebagai orang-orang yang lari dari Barat ... kenapa tidak ada pertikaian ketika kalian masuk ke wilayah ini?" Aku membuka pertanyaan lain. Tuan Albert malah tertawa ketika mendengar pertanyaanku. Aku sebenarnya sudah bersiap, kalau-kalau ini adalah pertanyaan yang cukup sensitif.
"Sebenarnya ... kami bertikai," ujar Tuan Albert.
"Menyesal aku sudah bertanya, maafkan ...."
"Tidak ... tidak, memang benar begitu adanya. Tahun pertama saja, pendahulu kami harus berjuang di antara hidup mati dengan penduduk asli dan Orang-Orang Jepang," lanjut Tuan Albert bercerita.
"Lalu?" tanyaku inginkan Tuan Albert bercerita lebih jauh lagi. Kebosanan selama perjalanan entah mengapa hilang saja, ketika Tuan Albert yang ternyata cukup ramah ini bercerita.
"Namun, pertikaian itu tidak pernah membuahkan hasil. Kami hanya kaum liberalis yang bekerja untuk Gubermen, menderita untuk kemajuan kaum Belanda, pada akhirnya dicari-cari oleh mata-mata Polisi Gubermen Hindia Belanda ...," jelas Tuan Albert seraya menghela napas.
Aku terkejut, seraya menoleh ke arah Tuan Albert dan bertanya dengan cepat, "He? Maksudnya?"
"Tahun 1918 merupakan masa-masa krusial, di mana orang pribumi telah menunjukkan tajinya dalam menyaingi pemerintah Nederland di Hindia dengan berbagai organisasi-organisasi radikal yang menuntut adanya kebebasan bagi pribumi Hindia ...." Tuan Albert kembali bercerita.
"Lalu ... kenapa kalian merasa terusir?" tanyaku.
"Huh, benarkah? Kini negeri ini kudengar katanya sudah merdeka?" Tuan Albert malah bertanya balik.
"Merdeka dari kalian para penjajah, kemudian kami harus berperang melawan orang-orang kami sendiri," jawabku.
Tuan Albert tertawa sengau, seraya meracau, "Lucu sekali ketika sebuah negara menyatakan untuk merdeka, padahal mereka tidak merdeka sama sekali. Apa yang membuatmu ragu dengan negeri yang telah membuatmu merdeka, nak?"
"Uang, kekuasaan, tahta, permainan politik, penguasaan atas orang-orang tertindas, berbagai kebodohan yang dibesar-besarkan lewat aksi yang salah ...," jawabku mantap.
"Kita hanya sekumpulan orang yang ingin hidup damai di tanah koloni. Lantas dipaksa bertikai terus dengan para pribumi adalah sesuatu yang menghabiskan banyak uang negara. Kita sangat bersemangat ketika mengetahui, Oh, hey, Ratu dan kroninya telah menguasai Hindia Belanda. Lalu, kami mencoba peruntungan untuk tinggal di sana? Lihat apa yang terjadi? Aku tidak pernah melihat semangat revolusi yang begitu membara untuk menjegal setiap kulit putih yang menindas mereka kembali ke tanah air mereka! Nederland memenangkan perang, tetapi tidak menyelesaikan perang, nak. Kita memenangkan atas wilayah negara, tetapi tidak dengan hati orang-orangnya. Gagal? Mungkin," kesal Tuan Albert.
"Tanyakan pada Jan Pieterzoon Coen yang membantai rakyat Jayakarta. Tanyakan pada Van Heutsz yang memenangkan Perang Aceh saking gembiranya telah main klaim mengatasi perlawanan pribumi di pada awal 1900-an ...,"
"Begitu ya ... orang-orang berkata ... Hindia adalah negeri yang makmur," ujar Tuan Albert seraya menghela napas.
"Kini tidak lagi. Seandainya pun Nederland menjajah Indonesia hingga kini, mungkin kutukan atas negeri yang kaya raya dengan berlimpah harta alamnya ini akan jatuh ke tanah Nederland suatu hari ...," sahutku.
"Itulah kenapa mereka selalu mengekang dengan dalih titah ratu mereka! Kita tidak dapat bergerak luas di Belanda, jadi kami beralih ke Hindia. Bahkan di Hindia pun, rasanya mereka masih balik mengintai. Aku jadi merasa bersalah negaraku telah menciptakan bentuk birokrasi bobrok kepada rakyat kalian ...," tukas Tuan Albert.
"Hah ... itulah negara digdaya dengan segala cerita kolonialnya ...," lanjutnya.
"Ketika negara telah memperlihatkan lingkaran setannya untuk menjerat, mencekik, dan menyiksa tiap entitas manusia yang disebut warga negara, aku benci hal itu," celetukku.
"Semangat nasionalismu kurang, Rendra," sahut Tuan Albert berkomentar.
"Semangatku hanya untuk mempertahankan kebahagiaan masyarakat yang hidup tenteram dan damai," jawabku cepat.
"Nak ... sepertinya beban para manusia yang ingin hidup seperti itu terlimpah padamu."
"Tidak juga .... Aku hanya ingin mengutarakan apa yang aku pikirkan."
Lantas, Tuan Albert tertawa, seraya berkata, "Yah, aku sudah dapat melihat masa depan cerah ketika kami berhenti bertikai di tanah ini."
Aku terkejut, lalu menanyakan pada Tuan Albert, "He? Berhenti? Iya, bagaimana kalian berhenti bertikai dengan orang yang bukan golongan kalian? Antara kaum kolonial Hindia-Belanda dengan eksodus Shimabara. Belum lagi dengan penguasa tanah ini?"
"Kami berhenti bertikai," jawab Tuan Albert singkat.
"Berhenti? Begitu saja?" tanyaku sembari menatap Tuan Albert. Pria paruh baya itu hanya mengangguk.
"Mudah sekali ...," ujarku lepas.
"Kami telah lelah untuk saling menumpahkan darah kami di tanah para dewa. Saking terlanjur nyamannya, kami jadi melupakan semangat kolonial kami. Memilih jalan yang lain. Jalan baru para manusia baru," komentar Tuan Albert, lalu dia tertawa terbahak-bahak mengakhiri ceritanya.
Itulah Albert van De Hosse dan segala ceritanya mengenai sekumpulan kompeni Belanda yang ingin memperluas pengaruh kolonial di tanah Jawa. Coba bayangkan apa yang ditulis dalam sejarahnya. Kaum Liberalis Belanda, dengan bangganya, di bawah persetujuan Gubernur Jendral Van Heutz, membuka lahan di selatan Jawa Timur, berteriak kegirangan, "Whoa, kawan! Tanah subur di Jawa!" lalu ... mereka mereka dilupakan karena kesasar. Lucu.
"Aaah! Kenapa orang-orang di sini tidak ada yang benar!" teriakku sambil memegangi kepalaku yang pening rasanya setelah mendengar, tidak ada yang benar di tanah antah-berantah ini.
"Ei, Ren. Setidaknya kita tidak perlu merasakan mereka bertikai. Mereka punya senapan dan sebagainya, lho ...," sahut Bethlehem.
"Aku tahu, Beth. Aku tahu."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top