Tujuh Belas
"Ah, serius lo?"
Merwin mengangkat bahu, pura-pura berlagak seolah perbuatannya yang meniduri Claudia bukanlah perkara besar. "Kebetulan momennya lagi pas, jadi... kenapa enggak?"
Ruang kamar itu bergema oleh seruan kekaguman atas mendengar kisah malam Valentine Merwin. Aku ikut-ikutan berseru, padahal sebenarnya hatiku panas. Sejak resmi berpacaran dengan Claudia, Merwin tak segan-segan berbagi kisah mereka. Dia malah bangga menceritakannya.
"Terus yang lain gimana?" Merwin mengitari ruangan sambil bertelanjang dada, memamerkan enam blok otot-otot perutnya yang sudah tergurat jelas, sesuatu yang tak pernah kupunya. "Ben?"
"Yoi, Ben!" Ethan ikutan berseru. "Ayo, cerita lah!"
Teman-teman yang lain mulai menyemangatiku. Aku mengelak dengan berdusta bahwa aku terlalu malu. Akhirnya Merwin kembali mengambil alih, melanjutkan ceritanya dengan menggebu-gebu. Dia itu seperti Superman, hidup dari pancaran sinar pujian kami ini, para pemujanya. Tadi dia cuma berbasa-basi menawariku kesempatan untuk menceritakan malam Valentine-ku, karena dia tahu malam itu aku nggak pergi dengan siapa-siapa.
Di akhir cerita Merwin, semua orang bertepuk tangan.
Malam itu, dia dibaptis dengan julukan baru: Maestro. Semua orang mengagumi kelihaiannya dalam memikat para gadis. Hanya aku yang tahu bahwa semua cerita Merwin itu bohong, tetapi sebagai sahabatnya, aku masih punya hati untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia memang pergi nge-date dengan Claudia, tapi hanya itu saja. Tidak ada adegan dewasa atau pun hal sejenis itu. Merwin bahkan terlalu malu untuk memegang tangan Claudia, tetapi dia menutup-nutupinya dengan bualan omong kosong itu. Karena satu-satunya cara Merwin untuk memuaskan egonya yang sebesar gunung itu adalah dengan menyerap sinar kemuliaan dari orang-orang yang tidak sekeren dirinya ini: kami.
Dan dalam hal ini, aku patut berbangga diri diam-diam. Setidaknya aku lebih gentleman dari Merwin. Aku tidak perlu berpura-pura seperti dia, hanya untuk merasa nyaman dengan diriku sendiri.
...
Kulirik jam tanganku. Masih empat puluh menit lagi sampai shift-ku berakhir. Hujan masih turun dengan deras, sepertinya tak sudi mengizinkanku pulang tepat waktu.
Kubuka ponselku. Baterainya hampir habis.
"Bro," panggil Dimas, rekan kerjaku yang baru. "Diliatin Mas Yudhi tuh."
Kulirik Mas Yudhi lewat sudut mataku. Manajerku itu sedang memelototiku.
Fuck Starbucks! Fuck this weather! Fuck everybody!
"Gue ke toilet sebentar..." Sebelum Dimas sempat menyahut, aku bergegas pergi. Aku sedang tak ingin kerja. Aku tak ingin memikirkan apapun. Aku mau menelepon Nindy, mendengar suaranya. Sesudah kejadian malam itu aku sadar aku tak tahu apa-apa soal gadis itu kecuali bahwa namanya Nindy, dan dia satu kantor dengan Jojo.
Sempat terpikir olehku untuk mampir ke kantor Jojo dan mencari Nindy. Sekedar basa-basi, menanyakan kabar. Keadaannya sudah terlalu runyam sekarang dan aku yakin Jojo pasti sudah enggan berhubungan dengan Nindy. Tapi kewarasanku masih sanggup mengekang niat itu.
Kuturunkan penutup kloset dan duduk di atasnya. Toilet selalu jadi tempat pelarian terbaik bagiku.
Bayangan Nindy terus menghantuiku. Aku telah menemukan gadis yang tepat. Tapi bagaimana caranya aku mendekati gadis itu kembali?
Memikirkan ini, aku jadi tegang.
Pintu toilet diketuk. Aku tak perlu bertanya siapa pelakunya.
"Benhard," panggil si manajer brengsek. "Konter lagi ramai. Tolong segera keluar ya."
"Okeee!" Mengapa semua orang selalu memaksaku?
Kuangkat tutup kloset dan dengan sengaja kubanting keras-keras. Kuungkapkan kegeramanku dengan menekan tombol flush berkali-kali. Ingin rasanya kuangkat kloset ini dan kuhantamkan ke kepala manajer baruku yang control freak itu.
Di luar, hanya ada dua orang yang sedang mengantri, salah satunya sedang dilayani Dimas. Ramai apanya! Aku kembali ke posku dengan tampang muak.
Pelanggan yang satunya adalah seorang gadis berambut pendek model pixie. Ketika kami bertemu pandang, aku merasa diguyur air es. Gadis itu berkedip bingung selama dua detik, lalu berlari ke arah pintu keluar.
"Nindy!" Kucopot celemekku dan kukejar gadis itu. "NINDY! TUNGGU!"
Hujan yang turun dengan deras menghentikan langkah gadis itu. Dia mundur, ragu-ragu apakah akan menerjang hujan, lalu menatapku.
"Nindy! Tunggu, jangan kabur!" Napasku tersengal-sengal. Sebelum gadis itu melompat ke arah parkiran, aku menyambar tangannya dan menariknya.
Dia merenggut. "Lepasin, Ben!"
"Gue nyari-nyari elo!" Aku kesulitan bicara. Jantungku sudah melompat sampai di pangkal leher. "Dua minggu ini gue bener-bener pengin ketemu elo!"
Nindy menatap parkiran yang basah itu dengan pandangan marah. Dia sama sekali tidak menatapku.
"Sorry. Kita sama sekali nggak punya urusan."
"Kita ke dalam aja, yuk." Aku tak akan membiarkannya pergi. "Di sini hujan."
Nindy berbalik lalu menusukku dengan tatapan setajam pisau, membuat jantungku kembali melorot jatuh ke dasar perut. Terakhir kali aku mengajaknya masuk ke dalam, kami berhubungan badan dan dipergoki sahabatku sendiri, sekaligus kolega kerjanya.
"Gue minta maaf..." Wanita. Aku akhirnya menyadarinya. Mereka paling tidak bisa diprovokasi. "Gue... gue nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Seberapa besar gue menyesal, gue nggak bakal bisa mengubah yang terjadi malam itu. Soal elo, Nin, gue ngerasa cocok banget ngobrol sama lo. Dan gue kagum sama lo, Nin. Gue tau ini kedengaran klise, tapi bisa nggak lo kasih gue kesempatan?"
"Lo nggak tahu malu, Ben!"
"Ya. Ya... Gue tau itu. Lo benar. Gue memang nggak tahu malu!"
Tangan Nindy memijat-mijat kecil dahinya, seperti pening. Dia masih tak bergeming bahkan ketika tempias percikan air mulai membasahi ujung sepatunya.
"Gue yang seharusnya minta maaf, Ben..."
Suara Nindy begitu kecil sehingga aku harus mendekat.
Nindy mengusap-usap dahinya lagi seperti sedang didera sakit kepala hebat lalu akhirnya dia memandangku. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Dia sudah tak lagi memakai kacamata, tapi memakai lensa kontak warna hijau gelap sebagai gantinya.
"Lo nggak salah, Nin. Semua itu gara-gara gue..."
Anehnya Nindy tertawa. Dia mundur untuk menghindar tempias air hujan dan aku menangkapnya sebagai sinyal yang baik. Nindy menggeleng-gelengkan kepala, rambut pixie model barunya itu bergoyang-goyang seperti tirai tertiup angin.
"Lo nggak ngerti, Ben."
"Jelasin ke gue, Nin."
Aku mengumpulkan keberanian untuk menatap matanya.
"Gue pikir dengan pindah ke Jakarta ini gue bisa menjalani hidup yang baru. Tapi ternyata gue salah. Kejadian malam itu membuat gue sadar bahwa gue sebenarnya masih terlalu lemah untuk melangkah, terlalu betah untuk berubah..."
Apa yang gadis ini bicarakan? "Apa maksud lo, Nin?"
Fokus pandangan Nindy berubah ke suatu titik di belakang kepalaku. Aku ikutan menoleh. Seorang lelaki muda berbusana layaknya pegawai kantoran berjalan ke arah kami. Tangannya menggenggam tas kertas Charles & Keith. Dia tersenyum.
Nindy berdiri dan membalas senyum pria itu. Dia menghampiri pria itu dalam langkah-langkah kecil, lalu bergelayut mesra di lengannya. Pria itu menyerahkan tas kertas yang dipegangnya pada Nindy dan gadis itu berjingkat-jingkat riang seperti anak kecil diberi permen. Mereka bergandengan seperti sepasang kekasih dan masuk kembali ke dalam Starbucks, meninggalkanku sendirian menghadapi hujan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top