Tiga Puluh Dua


Pesta ini betul-betul luar biasa!

Rasanya bukan Jojo saja yang menikmatinya, tapi seluruh undangan. Aku berdansa dengan Bella, Prisil, Yessi, dan entah berapa banyak gadis lainnya. Aku bahkan menerima ajakan Ethan. Luka bakarnya yang ditambal riasan masih kelihatan mengerikan tapi aku tidak memusingkan semua hal itu. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasa betul-betul bahagia.

Ben tidak menari sama sekali. Dalam obrolan kami, sepertinya dia tidak terlalu antusias sewaktu aku memberitahunya soal rencanaku mencari pasangan hidup. Aku sedikit kesal tapi tidak menghakiminya. Aku yakin Ben juga telah berubah, mungkin dia lebih getir memandang hidupnya yang sekarang ini. Dia juga tidak banyak mengobrol dengan istrinya, aku hampir tidak pernah melihat mereka berdua bertukar kata, bahkan ketika duduk berdekatan.

Aku curiga kehidupan rumah tangga Ben tidak semulus yang diceritakannya, tapi aku segan untuk memaksanya. Kini ada batasan-batasan tertentu di antara kami yang tak bisa lagi semena-mena kami abaikan. Dulu, aku pasti akan menggodanya sampai dia buka mulut, tapi sekarang... entahlah. Batas-batas itu menjadi yang kini memisahkan kami. Kurasa sekarang Ben juga lebih menutup diri sehingga makin sulit untuk mengetahui isi hatinya.

Dalam keriangan ini, waktu berlalu begitu cepat. Aku sampai tidak menyadari sudah pukul sepuluh. Sebagian besar tamu sudah berpamitan, menyisakan kami. Iringan musik berganti menjadi lagu-lagu mellow yang menyejukan. Raka dan Gilang masih berdansa, berpelukan mesra dan erat, kepala mereka saling berdekatan. Kehadiran mereka berdua cukup menghebohkan. Banyak yang diam-diam membicarakan mereka berdua, aku memergoki beberapa tatapan menghina dan selentingan tak sedap di antara para gadis, tetapi tidak ada yang terang-terangan menunjukkan kegelisahan itu. Aku salut pada Raka karena berani tampil di publik apa adanya. Dia tidak repot-repot menahan diri atau berpura-pura dan memang sudah seharusnya begitu.

Erika sudah tertidur di pangkuan Monique. Ella pergi ke belakang untuk mengganti gaunnya.

Aku memutuskan untuk keluar sebentar. Aku butuh merokok.

Deretan mobil-mobil yang diparkir di halaman depan taman sudah berkurang. Aku menyelinap melewati mobil-mobil itu dan duduk di tangga gereja. Kunyalakan rokok dan kuhirup dalam-dalam. Malam ini indah.

Irene mengobrol cukup lama denganku malam ini. Aku juga tidak pernah mendengar kabar darinya sejak kami lulus dari St. X. Sekarang dia seorang dokter gigi, dan telah membuka klinik di kampung halaman kami. Sewaktu SMA aku tak pernah tertarik padanya, meski kami sering menghabiskan waktu bersama mengurus OSIS. Irene datang seorang diri, pertanda dia sedang single. Aku mengajaknya untuk pulang bersama minggu depan ke kota kami dan dia setuju. Untuk saat ini aku tidak berharap lebih, aku akan tetap mengantisipasi yang terburuk. Toh tidak ada salahnya mencoba.

Suara musik terdengar sayup-sayup dari taman. Aku menyalakan rokokku. Rasa kantuk mulai menyerangku. Setelah menghabiskan rokok yang satu ini, aku akan pamit dan kembali ke hotel. Aku tak kuat lagi terjaga sampai subuh sekarang.

Mataku mulai terpejam. Tiba-tiba aku mendengar teriakan seorang wanita. Teriakan itu berasal dari halaman parkir. Aku tidak terlalu menggubrisnya, kupikir itu mungkin hanya seorang wanita kelelahan yang mencoba mengajak suaminya pulang. Tapi teriakan itu sekarang berubah menjadi jeritan-jeritan. Aku melompat berdiri. Terdengar derap langkah sepatu yang terburu-buru. Beberapa orang pasti juga mendengar teriakan itu.

Aku memutuskan untuk melacaknya. Wanita itu tidak jauh posisinya dariku. Di halaman parkir, sudah ada beberapa pria yang mengerubungi sebuah mobil. Si wanita masih berteriak-teriak, aku baru menyadari bahwa kata-katanya tidaklah kukenal sama sekali.

Aku menyeruak, mencoba menerobos orang-orang itu. Di tengah kerumunan, Mae sedang menangis histeris sambil memeluk Rio yang kebingungan. Dia menunjuk-nujuk ke dalam mobil dan berteriak-teriak dalam bahasa Thai. Dia melihatku dan matanya melebar karena dia mengenaliku. Dia menarik lenganku, menyuruhku mendekat ke arah mobil

Apa yang ada di dalam mobil?

Aku melongok ke dalam mobil dan hampir jatuh pingsan.

Raka. Itulah hal pertama yang muncul dipikiranku. Aku langsung berlari secepat mungkin ke arah taman, melompati beberapa pagar tanaman. Di dalam taman, Raka sedang minum segelas air. Wajahnya berkeringat. Dia memandangiku dengan heran.

"Ben..." Dadaku tercekat. "Ben..."

"Kenapa Ben?" tanya Jojo.

"Gue nggak tahu. Mulutnya berbusa, dia nggak sadar."

Raka melesat keluar mendahuluiku. Aku menyusulnya bersama Jojo, Gilang dan Ella. Dari kejauhan tangisan Rio menjadi semakin keras, menyayat keceriaan malam itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top