Tiga Belas
Seminggu berlalu sejak kejadian mengejutkan di rumah Stella waktu itu. Sejak Tio memergoki kami, Stella mengambi cuti dadakan selama mungkin dan sampai saat ini belum memutuskan untuk kembali bekerja. Aku tidak mempermasalahkan soal dia mengambil cuti tapi jujur saja, tidaklah mudah bekerja selama seminggu tanpa seorang sekretaris. Aku butuh Stella untuk mengatasi masalah di kantor dan tentunya kepuasan pribadiku jika dia tidak keberatan.
Tak ada lagi telepon dari Nico ataupun Mama. Firasatku, Andika pasti sudah turun tangan mengurus si tua bangka dan tidak perlu lagi bantuanku. Seharusnya mereka bersikap seperti itu dari dulu. Nico memang cengeng soal urusan keluarga, selalu berpura-pura tak berdaya dan memohon bantuan ke sana-kemari supaya orang lain yang mengambil alih, dan dia terbebas dari tanggung jawab itu. Kadang aku sulit percaya bahwa dia lahir lebih dulu dariku. Andika tidak memberi kabar—kami memang jarang mengobrol, dan bagiku sama sekali bukan masalah. Bukan berarti aku lebih suka Andika ketimbang Nico. Sepuluh tahun yang terentang antara umurnya dan umurku membuat kami menjadi lebih mirip kenalan daripada kakak-adik.
Hari ini aku memutuskan untuk menyambangi Jojo. Hanya dengannya aku bisa mengobrol tanpa harus merasa seperti orang lemah yang sangat kubenci.
Kamar Jojo masih gelap, sepertinya dia belum pulang. Aku sudah meneleponnya tadi sebelum ke sini tapi tidak diangkat. Mungkin dia masih di kantor.
"Win!"
Aku mendongak. Wajah bulat Ben muncul dari puncak tangga menuju ke atas, dagunya yang berlapis-lapis ditutupi berewok lebat. "Oi! Kok lo tahu gue datang?"
"Siapa lagi yang punya alarm parkir seberisik punya lo?"
Apa iya alarm parkirku sebegitu berisik? "Jojo belum pulang?"
"'Lom."
"Oke deh." Apa boleh buat. "Gue balik besok, deh!"
"Eeeh..." Ben langsung menggelinding turun. Aku terkejut melihat refleks gerakan tubuhnya yang berbobot nyaris seratus kilo itu. "Tungguin aja. Sebentar lagi dia pulang kok. Paling lagi dipaksa lembur sama atasannya."
Aku tahu soal atasan kerja Jojo yang dibencinya tapi aku tidak ingat namanya. Jojo sering bercerita soal itu padaku.
"Tunggu di kamar gue aja yuk," ajak Ben ramah. Aku mengangguk meski sebetulnya enggan. Kami naik ke apartemennya.
Apartemen Ben lebih mirip gudang sampah dibandingkan tempat tinggal. Kumpulan puntung rokok, kertas pembungkus makanan, styryofoam, sendok plastik, dan kaleng kopi bekas teronggok di dekat pintu masuk. Pakaian Ben yang sudah tak dapat dibedakan lagi yang mana yang bersih dan kotor menggunung di ujung tempat tidurnya. Lemari pakaiannya beralih fungsi menjadi etalase untuk koleksinya yang tak bertema: kamera mirrorless Sony seharga dua puluh juta yang dibelinya namun hanya dipakai memotret dua kali, empat buah botol parfum Bvlgari yang diborongnya dari Thailand dan nyaris disita imigrasi—semuanya kini kosong, satu set peralatan audio dan perlengkapan disk jockey Bang Olufsen yang dicicilnya setahun lalu ketika Ben bertekad menjadi DJ profesional, namun sayangnya niat itu hanya bertahan sebulan; satu set perlengkapan catur dari kaca (satu lagi niat menjadi Grand Master Catur sebelum usia tiga puluh yang kandas) dan beberapa miniatur Lamborgini, Ferrari dan motor Ducatti (sebagai penyemangat untuk membeli versi yang asli, tetapi seminggu minggu setelah memboyong miniatur-miniatur itu, Ben malah membeli Toyota Civic tua karena katanya mustahil menabung untuk membeli sebuah Lamborgini).
Satu-satunya buku di ruangan itu, sebuah novel setebal dua ratus halaman berjudul "Marley & Me", berdebu dan nyaris seperti baru karena Ben hanya membaca tiga halaman pertamanya saja. Buku itu tergeletak menyedihkan di samping barbel (satu lagi benda yang dibeli Ben tapi tak pernah digunakannya).
Aku duduk di atas tutup keranjang yang lagi-lagi berisi baju, satu-satunya tempat di ruangan itu yang belum ditempati apapun dan kelihatannya layak diduduki. Ben langsung menghempaskan dirinya dengan nyaman di kasurnya yang tak berseprai dan penuh bercak bekas sperma.
"Gimana skripsi lo?" Aku mencoba berbasa-basi.
Ben tergelak. "Ah. Nggak sensitif lo."
"Udah lima tahun bro."
"Tinggal dikiiiit lagi." Dia mengangkat tangannya dan membuat ruang diantara telunjuk dan jempol kanannya untuk menggambarkan padaku seberapa dekatnya dia dengan sidang skripsi yang kutahu pasti bohong besar.
"Lo kenapa nyari Jojo?"
"Ada yang pengen gue ceritain sama dia."
"Pasti soal cinta."
Aku kaget sekali. "Kok tahu?"
"Kan cuma itu yang lo certain ke kita-kita. Eh..." Ben berhenti sejenak. "Itu dan cerita soal betapa suksesnya hidup lo."
Aku terkekeh getir. Sudah jelas Ben menganggap aku menyombongkan diri dengan cerita-cerita itu tapi sesungguhnya aku ingin menyadarkannya agar berhenti malas-malasan, and start to be a real gentleman who has a real LIFE.
Aku menarik napas. Ben mengambil ponselnya dan mulai menjentik-jentik layarnya. Tak ada gunanya mencoba menutupi sesuatu dari Ben. Lagipula, jika aku cerita pada Jojo, ujung-ujungnya Ben juga pasti tahu.
"Lo tahu kan kalo lo juga bisa cerita ke gue," kata Ben tanpa menatapku, seolah dia bisa membaca pikiranku.
Aku mencibir. "Gimana ya..."
Ben menggeser ponselnya lalu menatapku dengan matanya yang kecil seperti mata babi. "Nggak ada rahasia di antara kita."
"Nggak ada rahasia di antara kita," ulangku otomatis, seolah itu adalah sebuah mantra. Ben-lah yang memulai "kebijakan" ini sejak kita mulai berteman semakin dekat.
Kuceritakan pada Ben soal Tio yang memergoki mamanya ketika mencapai puncak orgasme bersamaku selama lima menit. Kupotong cerita soal Nico karena aku tak ingin Ben tahu soal keluargaku. Mereka sudah tahu soal keadaan si tua bangka pemabuk sehingga aku tak perlu mengulanginya lagi.
Di akhir cerita, Ben duduk tegak. Tangannya sibuk membetulkan posisi kelaminnya yang terangsang di balik celananya gara-gara mendengar kisah seks-ku dengan Stella.
"Wah, kapan-kapan lo musti ngajak gue, Win!"
"Ngajak lo?" Gue terbahak. "Becanda lo."
"Anaknya aja lo ajak, masa gue sohib lo sendiri nggak? Threesome-lah kita."
Aku terbahak makin keras. Sudah jelas Ben menganggap cerita ini menggairahkan ketimbang memalukan. "Dia nggak diajak, Ben. Kayaknya Stella lupa kunci pintu pas baru balik dari toilet di malam harinya."
"Wah, salut gue men. Ngembat istri orang."
"Suka sama suka," koreksiku. Aku tidak suka dengan pemilihan kata itu. Kesannya akulah penyebab Stella selingkuh. "Suaminya kontraktor. Main proyek. Baru pulang tiga bulan sekali."
"Ya jelas wajarlah!" dukung Ben sambil tertawa keras. "Butuh kehangatan!"
Kami tertawa bersama meski alasanku sebetulnya adalah agar supaya terlihat santai saja. Cepat pulang dong, Jojo!
"Eh Win," kata Ben ketika tawanya berangsung-angsur mereda. "Lo kapan mau berangkat lagi?"
"Lusa gue ke Seoul."
"Eits, lancar jaya nih bisnis."
"Nggak gitu sih. Kali ini liburan."
Ben manggut-manggut. "Wah pas banget nih bro! Gue gantiin lo di kantor lo lah pas lo liburan!"
Aku terbahak lagi. Dari mana Ben dapat ide itu? "Boro-boro business report Ben. Lo ngetik laporan skripsi aja nggak selesai-selesai!"
Lucunya, Ben tertawa keras. "Ah yang itu beda bro. Gue gantiin lo di kantor. Lo ajarin gue aja apa yang harus gue kerjain. Nah, lo bisa liburan deh dengan tenang di Seoul."
Ini tidak biasa. Ben mau bekerja? Ben yang kukenal sudah mengabdikan seluruh hidupnya mencari cara agar tidak bekerja—skripsinya yang tak kunjung tuntas itu termasuk salah satu cara yang ditempuhnya. Aku mengendus sesuatu di balik permintaan tidak biasa ini dan tapi masih belum yakin ke mana arahnya.
"Kenapa lo tiba-tiba mau kerja?"
Ben menarik napas hingga dadanya yang gemuk menggelembung seperti bantal. "Jadi gini Win. Minggu depan Vixion seri terbaru keluar."
"Vixion?"
"Motor. Motor gede Win. Gue emang udah lama banget nungguin Vixion seri ini keluar. Gila itu motor impian banget..."
Selagi Ben mengoceh soal spesifikasi motor Vixion itu, aku langsung dapat menebak apa maksudnya.
"Nah, kalau cash keras harganya empat puluh delapan juta. Gue sih maunya kredit aja tiga tahun. Untuk uang mukanya lima belas juta. Gue udah ngumpulin tujuh juta dan masih butuh delapan juta lagi..."
Itu sih bukan ngumpulin. "Oke, terus kenapa nggak lo jual aja mirrorless lo? Atau peralatan DJ itu?"
Ben kelihatan marah sekali. Aku sampai heran melihat responnya. "Lo gila, Win? Itu kan koleksi gue! Terus nanti gue motret pakai apa? Nge-DJ pake apa?"
"Lo bukan fotografer dan lo juga bukan DJ. Kapan terakhir kali lo pakai dua barang itu? Tahun lalu? Dua tahun yang lalu?"
"Gue perlu barang-barang itu," Ben mencebik. "Nah, soal motor..."
Aku tak tahan lagi. Minggu lalu Nico, sekarang Ben? "Terus, Civic lo mau lo jual?"
"Oh, nggak. Itu gue pakai kalau jalan bareng kalian aja. Si Jojo kan nggak bisa nyetir dan nggak punya kendaraan. Kasihan dia. Nantinya gue akan pakai motor itu buat nerobos macet kalau ke kampus."
"Ben, lo ke kampus sebulan sekali!"
Ben masih terus nyerocos. "Seperti yang gue bilang tadi, skripsi gue nyaris selesai dan gue akan lebih sering revisi. Kemungkinan gue bakal lebih sering ke kampus. Lo tahu kan Win, kampus gue di daerah macet. Lo sendiri sering ngeluh macetnya jalanan di depan kampus gue itu makan umur!"
Aku bangkit berdiri. Cukup sudah. "Menurut gue, lo nggak seharusnya beli motor itu, Ben. Lo terlalu banyak wasting money buat hal-hal yang nggak perlu. Dan sori, gue nggak bisa minjemin lo uang."
"Ya elah, bro..." Ben ikutan bangkit dan melingkarkan lengannya yang gemuk dan berat di pundakku. "Gue pasti ganti. Gue musti pinjem ke siapa lagi?"
"You shouldn't borrow any money from anyone. You had enough!"
Ben terkekeh dan mengangkat tangannya dengan gaya menyerah. "Bisa nggak nggak ngomong Inggris? Gue tau Inggris lo bagus, tapi—"
"Sorry Ben," tolakku tegas. Aku bergegas ke luar kamar. Tapi Ben masih berusaha menahanku dengan menarik tanganku.
"Ayolah Win! Demi persahabatan kita! Gue baru mau minjem uang ini Win, belom yang lainnya. Jangan pelit gitulah!"
"Gue nggak punya uang."
"Terus liburan lo ke Seoul itu dibayar pakai APA?"
"Dibayar pakai uang yang gue tabung. Gue lagi banyak pengeluaran, Ben. Lo tahu nggak gue harus ngebayarin operasi bokap gue. Belom lagi adik gue mau kuliah, uang pangkalnya aja dua puluh juta. Sorry."
"Raka udah ngasih pinjaman tiga juta. Jojo juga. Tinggal elo Win!"
Mendengar ini, otakku langsung melakukan perhitungan cepat. Tadi Ben mengatakan dia sudah punya "tabungan" sebesar tujuh juta. Jika termasuk pinjaman dari Jojo dan Raka yang totalnya sebesar enam juta, berarti uang murni Ben adalah satu juta saja.
Gila. "Sorry bro. Gue nggak bisa."
Aku berderap menuruni tangga dan langsung melesat ke mobil. Perasaan yang menderaku minggu lalu kembali muncul, memanjat naik di tenggorokanku seperti racun. Ingin rasanya kukatai Ben. Dia tidak pernah berubah. Hidup dari belas kasihan orang lain dan tak pernah berusaha. Sampai kapan dia akan terus hidup seperti itu?
Dari atas, kudengar bunyi pintu yang membanting terbuka dan suara teriakan Ben. "DASAR SOMBONG LO WIN! PURA-PURA BOKEK! PELIT! TEGA SAMA TEMAN SENDIRI!"
Kunyalakan mesin mobil, lalu kuturunkan kaca jendela. Dari kaca spion, kulihat Ben sedang berdiri di balkon lantai dua dan menyumpah-nyumpah mengataiku macam-macam.
Dia memang tidak pernah berubah.
...
Kutandatangani surat terakhir itu, lalu kuserahkan pada Irene, sekretarisku.
"Eh, ini Win. Satu lagi." Irene menjulurkan satu lagi kertas yang sudah agak kusut. "Klub Pecinta Alam."
"Klub Pecinta Alam?" Kuambil surat ini, dan kubaca isinya yang ternyata sama persis seperti surat permohonan pendirian Klub Polo Air. Siapapun yang membuat surat ini pasti menyalinnya mentah-mentah dari Klub Polo Air.
"Dan permohonan ini diajukan oleh..." Mataku bergulir turun ke bagian bawah surat.
"Benhard Jeremy," jawab Irene.
Aku mendengus.
Seseorang mengetuk pintu ruangan pengurus OSIS itu. Tanpa menunggu izin, pintu menjeblak terbuka dan Ben, sahabatku yang bertumbuh bongsor itu langsung menyeruduk masuk.
"'Low Ren," katanya sambil mengedip pada Irene, yang dibalas dengan senyum kecut. Tanpa tunggu lama, Ben langsung menarik kursi di depan mejaku dan duduk.
"Pak Ketua OSIS," sapa Ben.
"Saudara Benhard Jeremy," balasku datar. "Kebetulan. Gue udah nerima surat lo—"
"Gue sengaja datang kesini. Gimana, Win?" Ben langsung meninggalkan kesopanan-nya. "Lo udah baca?"
"Gue lagi baca."
"Oke. Nah, terus gimana? Boleh kan?"
Alis Irene terangkat naik. Dia melirik Ben lalu pamit pergi.
"Eh, tunggu. Masih ada yang ini, Ren!" cegat Ben. Dia langsung menyambar surat yang sedang kupegang dan melambaikannya pada Irene.
"Tunggu Ben. Surat itu—"
"Nih," Ben mengangguk seolah paham dan buru-buru mengembalikan surat itu padaku. "Tanda tangan, Win. Buruan. Jam dua kepsek udah cabut."
Kutempelkan tanganku di atas surat itu untuk menahannya. Lalu, kupersilakan Irene pergi. Ben kelihatan kaget.
"Lho, kenapa Win?"
Aku berdeham. "Lo mengajukan surat permohonan pendirian klub pecinta alam. Nah, sejujurnya gue belum dengar sama sekali soal klub ini sebelumnya. Syarat pendirian sebuah klub adalah memiliki minimal sepuluh orang yang berminat untuk gabung..."
Tidak seperti Raka yang sibuk mengumpulkan peserta kesana-kemari, saat rekreasi, makan malam, bahkan dengan bergerilya dari kamar ke kamar untuk pendirian Klub Bahasa Prancis, aku tak pernah melihat Ben sibuk mencari calon anggota.
"Baru empat orang sih, Win. Tapi sisanya bisa dicari."
"Dan empat orang itu adalah?"
"Gue. Elo. Raka. Jojo. Empat. Tapi—"
"Raka sedang merintis Klub Bahasa Prancis sehingga dia nggak mungkin gabung di klub ini. Jojo, seperti yang kita semua tahu, adalah presiden Klub English Debate. OSIS dihitung sebagai satu klub, sehingga secara nggak langsung gue-lah ketuanya."
"Sama Ethan!" pekik Ben ngotot, sepenuhnya mengacuhkan penjelasanku. "Sama Ethan jadi lima, Win. Udah setengahnya!"
"Ben, apa ini cuma alasan lo biar bisa cabut dari Klub English Debate?"
"Wah, lo jangan salah sangka dulu, Win..." Ben duduk dengan gaya tersinggung. "Gue nggak ada masalah sama Jojo. Gue malah senang dia jadi presiden klub."
Raka sempat mengungkapkan kecurigaannya padaku bahwa Ben mungkin iri pada status baru Jojo sehingga ingin keluar. Klub English Debate adalah salah satu klub elit di St. X. Selain karena jumlah anggotanya yang dibatasi hanya dua belas orang saja, mereka juga memenangkan trofi yang paling besar ukurannya di ruang penyimpanan trofi, beserta empat belas trofi lainnya. Klub itu adalah penyumbang kemenangan terbesar untuk St. X.
"Kenapa pecinta alam?"
"Karena gue cinta sama alam," jawab Ben lugas. Dia terkekeh. "Klub itu belum ada Win. Gue rasa kita perlu klub semacam itu, supaya bisa... lebih dekat dengan alam."
"Tapi Ben, pengajuan lo nggak memenuhi persyaratan peserta."
"Lo menyetujui Klub Bahasa Prancis-nya Raka."
"Karena dia sudah sudah payah mengumpulkan dua puluh satu anggota."
"Lo kan Ketua OSIS, Win! Ayolah! Anggotanya bisa dicari lagi nanti. Gue betul-betul semangat soal Klub Pecinta Alam. Gue bertekad menjadikan Klub Pecinta Alam sebagai klub paling elit di St. X!"
Dan menyaingi Klub English Debate. "Maaf Ben, tapi itu peraturannya. Bukan karena gue ketua OSIS maka gue—"
"Sebentar, sebentar..." Ben mencondongkan tubuhnya ke arahku. Wajahnya yang bulat dan berkeringat mulai memerah. "Lo nolak permintaan gue, sahabat lo sendiri?"
"Permohonan lo gagal otomatis karena tidak memenuhi persyaratan."
"Kita sahabat karib, Win! Lo nggak bisa apa nolongin gue? Gue nggak cocok di Klub English Debate! Itu bukan passion gue!"
Itu dia. Itu alasan sebenarnya. Aku tak perlu memperpanjang urusan ini lagi. "Gue minta maaf Ben. Bukan gue yang bikin peraturannya. Mungkin lo bisa coba diskusi dengan Pak Ernest. Beliau yang mengurus klub."
Ben menendang kursi hingga terlempar ke samping, lalu berbalik pergi. Wajahnya mengerut karena marah dan kecewa. Sesampainya di pintu, dia menatapku lalu berteriak keras sebelum membanting pintu itu.
"SOMBONG LO WIN! MENTANG-MENTANG KETUA OSIS! TEGA SAMA TEMAN SENDIRI! PELIT LO!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top