Tiga


Anjing! Anjing!

Aku mengutuki tangga-tangga ini yang entah-kenapa-rasanya-tidak-ada-habisnya. Napasku justru hampir habis. Oke, sedikit lagi. You can do this! Aku berhenti sebentar di tengah-tengah tangga sambil bersandar ke pegangan, berusaha mengambil napas.

Ponsel di tanganku berbunyi. Jojo menelepon. Lagi.

"SABAR 'NAPA SIH JO?"

Jojo menyahut dengan nada oke-gue-nggak-mau-cari-masalah. "Oke, oke, Ben."

Aku menyeret tubuhku ke atas. Lututku gemetar. Kulihat pintu kamar Jojo sudah terbuka. Aku terhenti. Keset kaki bergambar monyet itu ada di sana.

"Jo!" Kenapa sih Jojo nggak mengganti keset itu? "Keset digeser bisa?"

"Yaelah, tinggal dilompatin doang, Ben!"

Brengsek.

Anak itu memang payah kalau sudah menyentuh kasur. Aku menarik napas dan mencebik. Monyet. Meski kata Darwin kita asalnya serupa, tetap saja aku ngeri melihat makhluk itu. Dari jutaan spesies dalam dunia fauna, kenapa sih si Jojo memilih monyet sebagai gambar keset kamarnya?

"Jo, serius gue nggak bisa!"

"Manja lo. Tinggal lompat."

"Lo pikir gue penari balet?"

Aku menunggu beberapa saat. Mata si monyet yang tersenyum memelototiku. Seringai lebarnya memamerkan ukuran gigi-giginya yang besar-besar.

Monyet!

Aku menutup mata dan melangkahkan kaki melewati wajah menyeramkan itu. Sumpah, nanti malam aku akan menculik keset itu dan membakarnya hidup-hidup tanpa sepengetahuan Jojo.

Jojo sedang berdiri di dekat pintu kamar mandi, menungguku sambil mengenggam ponselnya. Sialan. Rupanya dari tadi dia sudah bersiap.

"Lo kan tahu gue berat," bentakku pada Jojo. "Gue nggak bisa buru-buru naik ke atas! Lagian kenapa lo nggak pindah ke lantai satu aja, sih? Kan kalau begini repot jadi—"

Jojo menaruh telunjuknya di bibir dan berdesis. Dia memberi isyarat padaku untuk masuk ke apartemennya. Aku mengendap-endap mengikutinya. Jojo menunjuk ke atas sofa berbentuk bibir di seberang tempat tidurnya. Merwin terbaring di situ, hanya mengenakan kaus kutang dan celana jins. Dia tertidur.

Ah. Mr. Worldwide Famous ini kok cuma pakai kaus kutang? "Kenapa dia?"

"Nggak tahu." Jojo mengangkat bahu. "Tadi malam gue jemput dia di bandara. Kondisinya kacau banget. Gue udah WA elo sebelum ke bandara, tapi nggak ada jawaban."

"Sori, gue tadi malam lagi nge-push rank. Nggak ngecek hape. Baru tidur jam tiga subuh."

"Ya ampun, Ben! Lo masih main game juga?"

"Hei, main game itu hiburan, oke?" Aku duduk di tepian kasur yang berukuran single. Pantatku langsung memenuhi sisi depannya. Merwin tidak bergeming dengan kehadiranku. "Ini yang lo maksud emergency?"

Jojo bersedekap, alisnya terangkat. "Memangnya ini nggak keliatan kayak emergency buat lo?"

Aku cengengesan. Merwin kelihatan baik-baik saja. Memang agak aneh melihat Merwin hanya memakai kaus kutang, tapi hei, ini kan Merwin, sang Mr. Worldwide Famous di geng kami—the one and only yang udah mencapai posisi CEO di startup besutan dia. Dan Merwin bisa pamer soal apa pun. Mulai dari startup dia yang udah dapat kucuran dana sekian juta dolar dari sponsor, sampai kaus kutang miliknya. Mungkin kaus kutang itu dibeli di Paris dan harganya sepuluh juta. Who knows...

"Kayaknya dia nggak kenapa-napa, tuh."

Alis kanan Jojo naik makin tinggi. Dari ekspresinya, aku tahu dia marah. Aku kenal Jojo dengan baik, sama seperti aku mengenal Merwin. "Ada yang salah, Ben."

Kuraba dahi Merwin untuk mengecek.

"Ben, dia nggak demam."

"Oh, oke. Sori." Apakah mungkin Merwin...

"Masih hidup, Ben."

"Oke. Sori, sori. Gue cuma ngecek." Cepat-cepat kutarik tanganku. Kalau Merwin tidak sakit atau pun pingsan, terus kenapa dong? Jojo meneleponku sebelas kali, dan dari nada voice message WhatsApp-nya, sahabatku itu kedengaran panik.

Baiklah. Mau bagaimana lagi? "Coba Jo, lo ceritain lagi dari awal gimana..."

Jojo menarikku menjauh ke depan pintu kamar mandi, dan mulai menceritakan semua yang sudah terjadi. Mulai dari telepon panik dari Merwin kemarin sore soal paspornya yang hilang, sampai tingkah laku sahabat kami itu yang memalukan di terminal bandara. Semua kehebohan itu disebabkan oleh seorang pria bernama Hugo yang sepertinya hanya khayalannya saja. Dan Hugo ini ternyata berhubungan dengan...

"Claudia," kataku sebelum Jojo menutup ceritanya.

Jojo mendesah. "Exactly. Merwin mabuk parah banget, Ben. Gue belum pernah lihat dia mabuk sampai kayak gini. Lo lihat sendiri, tidurnya pulas banget sekarang."

Aku tidak merasa tidak ada yang salah. Justru inilah saatnya untuk membeberkan semua kecurigaanku pada Merwin selama ini. Sudah waktunya Jojo juga menerima hal ini. "Gue nggak cemas sama sekali, Jo."

"Maksud lo?"

"Yah, sebetulnya gue udah lama curiga Merwin itu stres," kataku dengan nada biasa saja. Aku nggak mau kedengaran terlalu sok, meski sejujurnya, aku patut berbangga karena jadi orang pertama di antara kami bertiga yang menyadari apa yang salah dalam diri Merwin. "Waktu putus sama Claudia, Merwin bilang dia baik-baik aja. Tapi coba lihat keadaan dia sekarang. Siapa coba yang mabuk pas jam makan siang? Jelas-jelas Merwin udah bohong sama kita. Dia sok berlagak baik-baik aja. Merwin nggak pernah cerita ke kita alasan dia sama Claudia putus, kan?"

"Ehm..." Jojo menggaruk-garuk pelipisnya. "Bukannya karena Claudia lanjut kuliah S2 ke Italia?"

"Ya ampun Jo, mereka kan bisa LDR!"

"Tapi itu kan yang diceritain Merwin ke kita?"

"Masa lo nggak ingat kalau pas kita lulus kuliah, Merwin sama Claudia kepingin lanjut S2 bareng-bareng ke Inggris? Mereka bahkan sampai udah DP apartemen segala."

"Tapi rencana itu batal, kan? Merwin bikin startup, sementara Claudia—"

"Itu dia yang jadi pertanyaan!"Come on, Jo. Ini tuh udah jelas banget! "Kenapa mereka berdua tiba-tiba berubah pikiran begitu? Dan nggak tahunya, the next thing we know was, Merwin bilang ke kita kalau dia sama Claudia putus."

"Sejak semester terakhir, Merwin udah sering bilang soal rencananya bikin perusahaan sendiri, kan?" kata Jojo, nadanya seakan menuntutku karena tidak tahu soal ini. "Gue rasa Merwin nggak begitu kepingin lanjut S2. Dia pernah bilang ke Raka, daripada kuliah lagi, mendingan uangnya dipakai buat jadi modal bikin startup."

"Tapi masa dia tega mengorbankan mimpinya bareng Claudia?"

"Merwin pernah bilang kalau startup-nya ini berhasil, dia bakal langsung nikah sama—"

"Merwin selingkuh, Jo!"

Jojo terkesiap dna menutup mulutnya dengan tangan. Dia bersandar di pintu kamar mandi dan memelototiku. "Apa sih masalah lo berdua? Kenapa kalian saling benci?"

"Oke," kuangkat tanganku tinggi-tinggi, supaya Jojo menyadari bahwa aku nggak menuduh yang bukan-bukan. Ini memang rumit, tapi Jojo harus tahu yang sebenarnya. "Pertama-tama, gue nggak benci sama Merwin. Dia sahabat kita."

Jojo membuka mulut mau berkomentar tapi langsung kuserobot.

"Kedua, rencana mereka berubah karena mereka putus. Mendadak. Begitu aja. Mr. CEO kita yang satu ini nggak pernah ngasih tahu alasan sebetulnya kenapa dia putus sama Claudia. Dia bilang mereka putus baik-baik, dan dia udah ikhlas." Kutarik napas dalam-dalam. Ini bagian terbaiknya. "Tapi kalau lo perhatiin baik-baik kelakukan Merwin yang baper tingkat dewa kayak sekarang, itu nggak matched sama kata-katanya. Lo tahu sendiri ego Merwin segede gunung Semeru. Dia nggak mau mengakui keadaan dia yang sebenarnya. Merwin selingkuh dari Claudia, cewek itu kabur ke Italia, dan Merwin menyesali perbuatannya."

Jojo menatapku lurus-lurus. "Lo tahu dari mana Merwin selingkuh?"

"Apa yang bikin mereka putus tiba-tiba, coba?" Aku bukan penikmat drama Korea, tetapi hal seperti ini sudah terlalu sering terjadi dalam kehidupan nyata, kan? "Sebelumnya Merwin sama Claudia itu best couple banget. Mereka udah pacaran selama lima tahun, dan kayaknya nggak ada apa pun yang bisa bikin mereka putus. Tapi tiba-tiba aja, tanpa ba-bi-bu, mereka putus. Just like that, Jo!  Masa lo nggak curiga sama sekali?"

"Merwin bilang dia sama Claudia cuma berbeda cara pandang..."

"Setelah tujuh tahun pacaran?" Kujentik-jentikkan jariku di depan Jojo, supaya dia cepat sadar. "That's bullshit, Jo. Merwin selingkuh, itu udah pasti—"

"Sebentar. Dari mana lo dapat ide ini, Ben? Dan kenapa Merwin yang selingkuh, bukannya Claudia?"

"Karena Claudia nggak mungkin selingkuh, sesimpel itu, Jo! Claudia selalu kalem, sabar, dan tulus. Sementara Merwin... pecicilan minta ampun. Sejak mulai menggagas startup-nya itu, dia banyak wara-wiri ke sana kemari, sebar proposal partnership buat orang-orang, kan? Ingat waktu kita jalan-jalan ke Bali? Merwin flirting terus sama salah satu pramugari. Tebar pesona, kalau pakai istilah Raka. Merwin memang kayak gitu, kan? Pasti ada yang kepincut sama dia, dan... yah, terjadilah. "

Jojo meremas-remas tangannya. Itu tandanya dia sedang berpikir. "Ben, lo nggak punya bukti apa-apa. Dan ini tuduhan yang sangat serius!"

"Gue nggak nuduh!" Bagaimana bisa Jojo menganggap kata-kataku sebagai tuduhan? "Kenyatannya kita memang nggak bisa ngebuktiin apa-apa Jo! Tapi gue menyimpulkan begitu berdasarkan apa yang kita tahu sejauh ini. Read between the lines, Jo!"

"Tapi Merwin selalu bilang hubungan dia sama Claudia baik-baik aja..."

"Nah, kalau begitu seharusnya mereka nggak putus, kan?"

"Maksud lo," kata Jojo pelan-pelan, mencoba menebak maksudku. "Merwin berbohong? Bahwa selama ini dia oke-oke aja itu bullshit?"

Aku bersiul. "Persis."

Merwin mengerang. Aku melompat karena terkejut. Kutarik Jojo keluar apartemennya, melintasi keset monyet sialan itu. Bagaimanapun, ada kemungkinan Merwin terbangun mendadak dan mendengar semua obrolan ini.

"Tapi buat apa Merwin bohong, Ben?" desak Jojo. "Kalau memang dia memang selingkuh dari Claudia dan menyesal, dia bisa, ehm... curhat ke kita, kan?"

"Masa lo belum kenal juga Merwin itu kayak apa, Jo? Mana mau dia kelihatan lemah, apalagi di depan teman-temannya sendiri. Mengaku dia nggak mengaku selingkuh dan nggak bisa move-on dari Claudia?" Aku buru-buru menambahkan ketika alis Jojo merayap naik. "Merwin masih terobsesi sama Claudia, Jo. He wants her back, tapi apa mau dikata. Nasi udah jadi bubur."

Jojo menatapku seolah aku menyebut Merwin pelacur.

"Ini nggak bisa dibiarin terus, Ben. Ini nggak sehat buat Merwin."

Nggak sehat. Aku suka istilah itu. "Rasa bersalah menusuk lebih dalam dari pisau manapun, Jo. Merwin lebih labil dari yang lo bayangin. Selama dia belum memaafkan diri dia sendiri, gue ragu dia bakal sanggup move-on dari kesalahannya."

"Tapi Merwin yang paling tegar di antara kita, kan?" kata Jojo.

"Ada yang pernah bilang..." Jojo dengan sifat optimisnya kadang-kadang membuatku muak, apalagi dalam situasi seperti ini. "Mereka yang kelihatan paling tegar di luar justru sebetulnya yang paling lemah. Selama ini Merwin berusaha menutup-nutupi kelemahannya dengan egonya yang raksasa itu. Tapi deep down, dia itu yang paling lemah di antara kita, Jo."

Tampaknya Jojo sudah memahami maksudku. Sejujurnya sudah cukup lama aku menahan diri untuk tidak mengungkapkan ini, tetapi selalu ada saat pertama kali. Aneh rasanya bahwa Jojo dan Raka sama sekali tidak mencurigai semua cerita Merwin. Aku sudah mengamati Merwin sejak lama. Penolakannya terhadap kritik. Kecenderungannya untuk pamer. Emosinya yang meledak-ledak. Itu semua hanyalah upaya putus asa Merwin untuk lepas dari rasa bersalahnya terhadap Claudia. 

Sangat jelas.

"Ben..." Jojo menatapku dalam-dalam. "Sebagai sahabat kita harus membantu Merwin."

Lagi-lagi. Jojo dengan sisi malaikatnya yang berhati mulia. "Kita nggak bisa apa-apa, Jo. Merwin memang melakukan kesalahan, dan udah sewajarnya dia merasa bersalah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top