Sembilan Belas


Kutelan sebutir aspirin itu cepat-cepat.

"Lagi kurang fit, Dok?"

Gelas kertas yang kupegang nyaris melayang jatuh. Buru-buru kuselipkan robekan plastik timah obat ke dalam saku jas sebelum Suster Anna melihatnya.

"Pusing sedikit, Sus."

Mata Suster Anna bergulir turun di balik kacamata model jadulnya, memindaiku dari ubun-ubun hingga ujung kaki. "Yang kuat ya, Dok. Kondisi praktik di rumah sakit memang beda sama di klinik kampus."

Sialan. Kupikir dia bakal bersimpati. "Makasih, Sus."

"Dokter Adrian dari tadi nyariin Anda."

Ah. Aku sampai lupa. "Oke, makasih, Sus."

"Ada apa, ya? Kok sepertinya urgent sekali."

Aku terbelalak, tidak bisa mempercayai telingaku. Kok kepo banget? "Itu... anu, Sus..."

Suster Anna memejamkan mata dengan lagak paham, lalu mengerucutkan bibirnya, pertanda bosan. "Apa pun itu, kalau bisa dibicarakan saat istirahat saja ya, Dok. Jadwal Dokter Adrian hari ini padat. Terima kasih."

Dan sang kepala perawat itu melenggok pergi, meninggalkanku terperangah sekaligus sebal akan rasa keponya yang luar biasa frontal dan agak mengintimidasi. Meski secara resmi dokter yang mengambil tindakan di rumah sakit, tapi seluruh staf sudah tahu bahwa para perawat lah penguasa sesungguhnya. Dan sebagai kepala perawat, artinya Suster Anna punya kuasa nyaris setara presiden di rumah sakit ini. Dia bisa melakukan apa saja.

Tiga orang perawat di konter jaga sudah melongokan leher untuk melihatku. Suara menggelegar Suster Anna tidak diragukan lagi telah memicu radar kepo setiap orang. Aku cepat-cepat beringsut pergi ke arah kantin. Hal terakhir yang kuinginkan saat ini adalah memantik kecurigaan para perawat ini tentang hubunganku dan Adrian yang sedang di ujung tanduk.

Bergerak dengan kecepatan tinggi saat ini lumayan menyiksa bagiku. Aku salah posisi tidur, sehingga leherku kaku sekali dan nyaris tidak bisa digerakkan. Aku mencoba berjalan senormal mungkin tanpa memusingkan tatapan ingin tahu yang dilontarkan orang-orang sepanjang koridor.

Aku berbelok ke arah kantin. Beberapa meja penuh dengan para dokter yang sedang makan siang. Di sudut dekat pohon palem plastik, Adrian duduk seorang diri. Hanya ada satu cangkir di mejanya—tebakanku itu pasti kopi. Dia mendongak, langsung melihatku dan melambai.

Kubalas lambaiannya dengan senyuman.

"Kamu nggak makan?" sapanya saat aku mendekatinya.

"Enggak..." 

Adrian meraih tanganku dan meremasnya diam-diam."Aku nungguin kamu. Aku telepon kamu tapi nggak aktif."

"Oh, sorry. Baterainya habis. Kabel charger-nya rusak."

Adrian melepaskan tanganku. Dia bersandar di kursinya, tangannya memeluk cangkir.

"Kamu nggak makan?" kubalas pertanyaannya. Aku betul-betul tak ingin dia merasa dianaktirikan. Adrian tidak tahu soal hubunganku dengan Sandy dan aku sama sekali tak ingin dia tahu. "Ada soto ayam kesukaan kamu tuh. Aku ambilin, ya..."

"Tunggu."

Adrian menarik tanganku lagi. Matanya melebar. Saat itu aku tahu ada yang salah.

"Kamu kenapa?" Kuremas balik tangannya. Apa dia tahu? "Nggak enak badan?"

Adrian mencebik. Tangannya berpindah dari cangkir kopi ke bagian belakang leher, mengusap-usap dengan kuat.

"Gini Ka. Aku mau ngobrol..."

Perasaanku langsung tidak enak. Aku baru dua kali berhubungan seks dengan Sandy. Tiga termasuk sesi video call tadi. Adrian mustahil tahu. "Kamu mau ngobrol apa?"

Keresahan tergambar jelas dari gerak-gerik Adrian. Selama tiga bulan kami berhubungan aku tak pernah melihat dia segusar ini. Pria itu hanya menunduk, tak berani menatapku. Jemarinya mengetuk-ngetuk cangkir. Aku berdoa dalam hati semoga ini bukan soal hubungan gelapku dengan Sandy.

"Soal apa, Mas? Kamu mau ngobrol sekarang?"

Adrian menelan ludah. Matanya bergerak memeriksa seisi kantin, memastikan posisi kami cukup tersembunyi. Alisnya yang tebal terkunci, pertanda kalut.

"Sebenarnya aku udah tahu lumayan lama soal ini..."

Tidak mungkin. Aku duduk diam, tak mampu bergeming. "Mas..." Kuberanikan diri menatap matanya yang besar, berusaha sekuat tenaga terlihat nyaman. "Cerita aja..."

Sudut bibir Adrian bergerak, sesaat kukira dia akan tersenyum. Dia menutup mata seolah malu dan akhirnya berkata pelan sekali, nyaris berbisik.

"Waktu kita di Jakarta, aku tahu kalau ternyata Merwin... sama kayak kita."

"Kamu tahu dari mana?"

Adrian mengusap lehernya lagi. "Aku mergokin..." Suaranya semakin mengecil.

Selama ini Merwin lah sang playboy sejati di antara kami.  Sampai saat ini mungkin sudah puluhan gadis yang ditidurinya. Merwin pernah terang-terangan memberitahuku dia selalu berhasil menemukan wanita, entah yang sukarela atau berbayar. Jadi aku tidak terkejut jika dia kepergok. Tapi aku penasaran, bagaimana harus mengorek lebih jauh soal ini?

"Kok kamu bisa mergokin dia, Mas? Waktu itu kan Merwin ke Hongkong selama seminggu dan pas di Jakarta, dia selalu pulang ke apartemen di atas jam delapan malam."

Adrian kelihatan sangat tidak nyaman. "Iya."

Ini bukan respon yang aku harapkan. "Kamu mergokin Merwin sama siapa, Mas?"

Tiba-tiba Adrian merenggut dan menghempaskan dirinya dengan kencang ke belakang. Sedetik kukira dia akan terjungkal jatuh, tetapi pohon palem plastik itu menangkapnya dan momentum mengayunkan tubuhnya kembali ke depan, menabrak meja, menggulingkan cangkir kopinya hingga jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping.

"Sorry... sorry!" Kuharap pengumuman singkat itu dapat membuyarkan perhatian seisi kantin yang kini tertuju pada kami tapi nyatanya sia-sia. Aku bangkit, wajahku memerah, lalu mulai memunguti kepingan-kepingan cangkir yang berserakan di lantai. Sebagian besar isinya tumpah membasahi jas dokterku dan celana kerjaku. Reaksi Adrian betul-betul berlebihan.

"Aku tidur sama Merwin, Ka."

Bisikan itu halus dan nyaris tak terdengar, tetapi seperti diteriakan dengan pengeras suara di rongga telingaku. Keterkejutan memicu refleks otot tanganku untuk mengepal, meremas pecahan cangkir yang sudah kukumpulkan.

"Aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh menyesal..." Adrian meraih tanganku yang kini mulai berdarah, sepenuhnya mengacuhkan publik yang menonton kami. "Aku seharusnya bisa menolak Merwin, tapi aku nggak melakukannya. Waktu itu subuh dan kamu masih tidur. Aku terbawa suasana, Ka."

Mental dan fisikku betul-betul sakit sekarang. Aku kebingungan harus bereaksi. Rasanya seperti dicemplungkan ke dalam seember air panas. Adrian menatapku dengan nanar dan saat itu aku tahu dia sungguh-sungguh. Soal pengakuannya. Soal penyesalannya. Semuanya.

"Oke..." Hanya itu yang sanggup kuucapkan. "Aku pergi dulu..."

"I'm very sorry. Please don't go."

"Ini. Aku mau ngebersihin ini."

"Aku tahu aku yang memaksa kamu waktu itu untuk berkomitmen soal hubungan kita, dan sekarang aku yang melanggar komitmen itu. Aku tahu aku salah, Ka. Sejak kejadian itu aku nggak bisa tidur. Aku tahu aku nggak bisa nyimpan ini selama-lamanya. Aku ingin kamu tahu. Aku menyesal..."

"DOKTER RAKA!"

Suara Suster Anna yang tegas menggelegar keras, menggema terpantulkan oleh dinding-dinding linoleum kantin yang dingin. Aku berbalik, separuh mati rasa. Si kepala perawat berdiri di belakangku, tangan kirinya bertengger di pinggulnya yang lebar, tangan satunya memeluk clipboard. Matanya menyipit memandang kami berdua.

Dia mengacungkan clipboard itu padaku seperti pedang untuk duel. "Anda ditunggu Dokter Made dan rombongan untuk kunjungan pasien!"

"Ka..." Adrian memanggil lirih. "Aku minta maaf, oke?"

Suster Anna menjentikkan jarinya, suara jentikannya yang otoriter langsung menyetop Adrian. "Jam istirahat siang sudah selesai. Ini rumah sakit, bukan bioskop. Ada banyak pasien yang harus ditangani. KEMBALI BEKERJA!"

Seolah ada yang kembali menekan tombol 'Play', semuanya kembali pada kesibukan masing-masing. Namun aku bisa merasakan dengan kuat bahwa Adrian masih berdiri di tempatnya, membatu menyaksikan kepergianku. Aku ingin berbalik, menagih penjelasan atas pengakuannya, menantang keberanianku sendiri untuk mengungkapkan apa yang kulakukan dengan Sandy di belakang punggungnya sekaligus menelisik setiap inci penyesalannya. Tapi aku tetap menapaki koridor itu, melangkah pergi, senormal yang aku bisa.

Seandainya aku bisa membenamkan diri di antara dinding-dinding rumah sakit ini...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top