Sembilan


Aku menguap.

Cerita Ethan yang begitu berantakan mulai terdengar membosankan di telingaku, tapi aku bertahan untuk setidaknya bergumam, agar kedengaran masih tertarik. Sahabatku itu masih mengoceh tentang apa saja yang sudah dialaminya selama lima tahun di Berlin. Berbeda dengan Jojo yang cenderung mengambil posisi sebagai pendengar, Ethan lebih suka menjadi pusat perhatian.

"Terus lo udah pernah main sama siapa aja Tan?"

Ethan terhenti. Aku juga terkesiap. Wow, apa yang baru saja kutanyakan? Mungkin kebosanan ini membuat otakku sedikit kacau.

Ethan tertawa. "Kenapa memangnya, Ka? Lo penasaran?"

Aku hanya terkekeh. Tentu saja aku penasaran, apa lagi alasannya?

"Gue pernah main sama beberapa orang," jawab Ethan. "Teman sekampus. Teman satu apartemen. Sepupunya teman satu apartemen. Terakhir sama roommate gue yang orang Vietnam."

"Lo main sama roommate lo sendiri? Lo gila?"

Suara Ethan terdengar mengambang, seolah dia sedang berkhayal. "Waktu selesai pesta malam tahun baru, kita balik sama-sama ke apartemen. Kita mabuk dan one thing led to another. Besoknya gue bangun pagi di kasurnya dia dan honestly, gue nggak ingat apa-apa soal malam itu!"

Ini sih menarik. Mabuk sepertinya bisa dijadikan jurus jitu untuk one night stand. Dari cara Ethan menceritakan pengalamannya, sepertinya dia menganggap hal semacam itu bukan masalah besar. "Lo betulan nggak apa yang terjadi?"

"Detilnya? Nein. Gue betul-betul blank. It was supposed to be fun, though."

"Supposed to be fun?"

"Darling, I have no idea! It just happened, you know..." Ethan tertawa lagi. Tawa bernada tinggi yang terdengar seperti kikik kuntilanak di telingaku itu. "Ya udah, gitu aja. Dia lumayan cakep sih. Putih, kayak orang Korea, cuma pemalu. Gue nggak menyesal."

"For real? Lo nggak risih, apa? Dia kan roommate lo!"

"Gue rasa dia juga udah lupa," kata Ethan ringan. "Dia jenis yang masih confused, Ka."

"Confused?"

"Iya. Either straight, bi, or just... whatever. Belum pernah pacaran. Ngerti kan maksud gue? Sekarang kita udah biasa lagi, kok."

Aku hanya bisa geleng-geleng sampai terkekeh. Gila, kalau aku jadi Ethan, aku pasti akan langsung pindah apartemen. Aku tidak menyangka Ethan bisa jadi seliar ini, dia tidak punya kehidupan asmara sewaktu SMA. Banyak yang mencurigai dia gay karena gerak-geriknya yang kemayu, tapi Ethan tidak pernah betul-betul menyatakan diri. Pindah ke Jerman betul-betul telah membebaskannya.

"Terus lo gimana Ka? Lo berniat untuk come out?"

"Come out?"

"Iya. Itu alasanku nelepon gue kan?"

Aku terhenyak. Sebetulnya itu memang alasanku menelepon Ethan, tapi aku tak menyangka dia akan semudah itu menebaknya.

"Gue..." Aku risih sekali. Terasa aneh bagiku untuk menceritakan seluk-beluk hidupku sebagai seorang gay pada seorang semi-transgender. Rasanya seperti mengaku dosa pada iblis. "Gue udah cerita sama Jojo..."

"Ach so," cetus Ethan. Entah apa artinya itu, tapi kuanggap sebagai pernyataan setuju. "Pasti Jojo oke."

"Ya. Dia oke kok." Apa sih yang tidak disetujui Jojo selama ini? Dia yang paling open-minded di antara kami, dan paling menjunjung hak-hak asasi. Jojo itu tipe pembela kebenaran yang bakal berada di garis terdepan kalau ada isu-isu menyangkut ketidakadilan.

"Terus yang lain gimana?" desak Ethan.

"I'm telling you now."

"I see. Terus kapan lo bakal cerita ke yang lain juga? Maksud gue, ke si Ben sama Merwin."

Aku menelan ludah. "Nah, ini nih. Menurut lo, siapa yang harus—"

"Ben," jawab Ethan segera. "Dia sebelas dua belas sama Jojo. Merwin kemungkinan besar nggak peduli, selama menurutnya pengakuan lo nggak mengancam pasar modal."

Aku tertawa karena kali ini benar-benar lucu. Ethan benar. Ben lah yang selanjutnya akan kuberitahu. Merwin tak akan bergeming seandainya ada yang tertabrak mobil di depan hidungnya selama itu bukan Claudia. "Oke. Gue setuju sama lo. Gue bakal telepon Ben sekarang."

Tiba-tiba aku merasa ponselku bergetar. Ada panggilan lain yang masuk. Kujauhkan ponsel itu dari telingaku dan kulihat siapa si penelepon kedua itu.

Adrian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top