Satu
"Gue gay."
Aku kaget setengah mati. Mendadak aku bingung harus bereaksi apa.
"Jo?"
"Yes."
"Lo kok diam?"
"Sebentar, Ka..." Kujauhkan ponsel itu sebentar lalu menarik napas dalam-dalam. Otakku mendadak berkabut. Sebetulnya aku belum siap kembali mendengarkan kata-kata Raka, tapi aku tahu sobatku itu paling sebal disuruh menunggu. This is crazy!
"Ka..." Kumantapkan suaraku supaya terdengar biasa-aja. "Lo yakin soal ini?"
"Yakin," jawab Raka. "Lo nggak apa-apa kan, Jo?"
Aku refleks mengangguk, melupakan fakta kalau Raka tidak bisa melihatku. Aku mengingat-ingat. Mana mungkin Raka gay? Dia pernah berpacaran dengan Michelle, meski hanya sebentar. Anehnya pengakuan Raka ini tidak mengagetkanku. Rasanya aku sudah tahu kalau Raka itu gay, tinggal masalah waktu sampai Raka mengaku.
"Terus lo sama Michelle waktu itu..."
Raka tertawa kecil. "Yah, justru itu yang bikin gue sadar."
Bikin dia sadar? "Pacaran sama Michelle bikin lo sadar kalau lo sebenernya nggak tertarik sama lawan jenis?"
"Lo cerdas seperti biasa," puji Raka spontan. "Iya."
Oke. Aku harus memperjelas ini. "Secara spesifik, apa lo sepenuhnya yakin lo nggak suka sama lawan jenis, atau lo nggak suka sama Michelle aja?"
"Iya. Sama cewek. Gue yakin."
Benar juga sih. Michelle itu cewek yang hampir sempurna—dia primadona di SMA kami. Selain pintar, cantik dan pastinya kaya, gadis itu juga supel dan cerdas. Ditambah lagi suaranya bagus dan aktif ikut kegiatan OSIS. Rasanya setiap cowok rela melakukan apa saja demi memacari Michelle. Tapi Raka lah yang mendapat kesempatan itu, dan dia jadi bulan-bulanan kebencian para cowok lain yang ditolak sang primadona.
"Apa yang bikin lo yakin selain itu?" Aku perlu bukti lain. "Maksud gue, lo kayaknya udah fixed banget soal ini. Pasti ada sesuatu yang bikin lo bener-bener yakin, kan?"
"Yah... pertama-tama gue coba tidur sama cewek dulu. Teman kampus gue. Just curious aja, you know what I mean, Jo? Nah, di situ gue sadar. Kok gue nggak enjoy banget yah. Lebih kayak terpaksa gitu. Gue juga nggak ngerti, kayaknya nggak klik aja. Terus Jo..."
"Apa?"
"Nggak ada sensasinya. Nggak greget."
Nggak greget? Aku kehilangan kata-kata. Cara Raka menggambarkan seks seolah itu hanya seperti memasukan benang ke lubang jarum, betul-betul mencengangkan sekaligus membuatku risih.
"Terus, dua hari lalu gue ketemu seorang cowok pas lagi nongkrong di cafe. Awalnya cuma liat-liatan aja sih. Pertama-tama gue risih, tapi nekat gue lanjutin aja. Flirting itu berlanjut deh ke tempat tidur. Dia orang Medan. Badannya kekar, anak gym kayaknya."
Karena Raka berhenti, aku tak tahan untuk tidak menagih. "Terus?"
"SHANGRI-LA!"
"Hah?"
"Shangrila, awan-awan, surga ketujuh, merem melek, apa pun istilahnya," lanjut Raka, kini mulai cekikikan. "Bisa dibilang itulah saat mata gue terbuka lebar-lebar. Oh, what a night! Badan gue semuanya pegal-pegal besok paginya kayak baru habis ditabrak truk."
Aku mencoba membayangkan. Bukan membayangkan seberapa memilukan rasa pegal-pegal jika ditabrak truk, tapi apa tepatnya yang dilakukan Raka sama si orang Medan ini sampai bikin pegal-pegal macam itu. Aku kesulitan mempercayai semua cerita ini. Aku sudah mengenal Raka sejak SMP dan pengakuan serta ceritanya ini membuatku meragukan apa yang kutahu selama ini dari sahabatku itu.
"Jadi..." This is so awkward. Aku berharap Ben ada di sini sekarang. Ben pasti bisa mencairkan obrolan yang bikin risih ini—setidaknya bikin risih dari sisiku. "Lo sama si orang Medan ini..."
"Oh, belum pacaran sih," kata Raka buru-buru, masih sama santainya. "Dia stay cuma seminggu di sini, ada urusan kantor. Sekarang udah balik ke Medan."
"Bukan, bukan itu maksud gue, Ka. Lo sama si orang Medan ini... ehm..."
"Oh, iya! We did that!" kata Raka, cekikikan makin keras. "Kayak di Fifty Shades of Grey gitu, Jo. Lucu juga kalau mau dipikir-pikir."
"Lucu apanya?"
"Yah, dia kan anak gym. Badannya gede gitu. Gue nggak nyangka aja, ternyata..."
Raka memberikan kursus kilat tentang pembagian peranan dalam hubungan badan di kalangan homoseksual dan stereotype terhadap peran masing-masing. Singkat cerita, Raka dan si anak Medan ini punya peran yang "berbeda" dari stereotype dalam kegiatan kasak-kusuk mereka malam itu. Itulah yang dirasa lucu oleh Raka.
"Nggak usah dibayangin terlalu jauh!" bentak Raka akhirnya. "Intinya gue menikmati banget sama cowok. Gue puas, Jo. Ngerti kan lo?"
Seks yang memuaskan. Dengan pria. Aku hanya bisa meringis. "Iya."
"Gue WhatsApp-in fotonya, ya."
Sebelum sempat kutolak, foto itu sudah berada di galeri foto ponselku. Ada seorang pria bertubuh kekar sedang bertelanjang dada. Wajahnya persegi, potongan rambutnya cepak. Dilihat dari gayanya, aku mengasosiasikan si anak Medan ini sebagai anggota TNI.
"Namanya siapa?" Aku benar-benar tidak bisa membayangkan Raka berguling-guling dengan si pria raksasa ini di tempat tidur.
"Jay."
"Just Jay?"
"I didn't even ask his last name."
Diam-diam, kuhapus foto Jay without-last-name itu. "Ka, udah setengah dua belas nih. Gue ngantuk. Besok masih ngantor."
"Oh, iya. Sori gue udah ganggu lo. Lo nggak apa-apa kan?"
"Enggak kok. Gue sih umm, fine-fine aja. Asal lo yakin aja sama, umm... jalan ini. Yang penting lo senang, gue juga ikut senang."
"Beneran?" Raka berhenti sejenak, seperti sengaja memberiku jeda. "Lo nggak awkward atau apa pun? I'm still me, Raka. It's just... I officially like men, now."
"I know..." Ini terlalu mengejutkan. Aku masih perlu waktu lebih dari beberapa detik yang diberikan Raka untuk memproses kabar mengejutkan ini. "Ben sama Merwin... apa lo udah kasih tahu mereka juga, Ka?"
"Nah, soal itu... sebaiknya gue ngomong ke siapa dulu, Ka?"
"Ben." Itu sudah pasti. Ben adalah the clown—si tukang melucu di geng kami. Ben pasti bisa menerima ini dengan santai—aku yakin jauh lebih santai dariku. Sementara Merwin... dia bukan jenis yang suka ambil pusing urusan kamar para sahabatnya.
"Oke. Kalau begitu besok gue telepon Ben," kata Raka. "Makasih banyak, ya. Lo emang sahabat gue."
That's what friends are for. "Setelah lo kasih tahu kita semua... selanjutnya lo mau ngapain, Ka?"
"Mmm... pertanyaan yang menarik." Raka kedengaran bingung. "Gue sendiri belum tahu. Ke Melbourne, terus nikah secara legal kali, ya?"
"Oh, di sana udah legal, ya?"
"Iya." Raka terbahak-bahak. "Tapi kayaknya nggak mungkin, deh. I don't know, Jo. Gue belum punya planning apa-apa. Gue baru mau menikmati ini. Dijalani aja dulu. It's an adventure and I'm excited to do it!"
Sampai kapan? "Hmm. Baiklah..."
Kami berdua terdiam.
"Jo, katanya tadi lo ngantuk? Besok lo ngantor, kan?"
"Iya, Ka. Ya udah, kalau begitu... play safe!"
"Play safe? Gue enggak—" Raka terhenti. Lalu tiba-tiba, seakan menyadari bahwa aku betul-betul peduli padanya dan adventure-nya, Raka mengubah nada bicara menjadi lebih ramah. "I know what you mean. Thanks again, Jo! Good night!"
Sekarang hari Senin. Pukul tujuh pagi.
Aku sudah berdiri bersama sembilan puluh sembilan anak-anak lain seusiaku di plaza depan SMP St. X. Para anak perempuan memakai rok kotak-kotak hijau tua, blus putih dengan dasi dan stoking hitam selutut. Para anak laki-laki mengenakan rompi hijau tua, kemeja putih dan celana pendek hitam. Kami semua tampak serupa. Satu-satunya yang dibolehkan berbeda untuk dijadikan jati diri adalah tas sekolah. Tidak ada tas yang mencolok, sebagian besar kami—yang sebentar lagi akan mengalami ledakan hormon dan perubahan-perubahan fisik yang mengasyikan—rupanya sudah siap menuju kedewasaan dengan memakai tas warna gelap. Takut dibilang norak.
Aku gelisah. Betul-betul gelisah. Sudah lama sekali sejak aku harus merasa gelisah karena hari pertama sekolah.
Yang membuatku sangat gelisah karena mulai hari ini aku akan resmi bergabung bersama dengan anak-anak lain, masuk ke asrama untuk berpisah selama enam tahun dengan keluarga kami masing-masing.
Tidak ada anak normal berusia sebelas tahun mana pun yang dengan sukarela dikurung dalam asrama. Enam tahun pula.
Tapi itulah yang aku lakukan. SMP St. X, salah sekolah elit di kota kami, mewajibkan para calon siswa-siswinya untuk masuk asrama. Dengan alasan untuk membentuk mental yang baik sejak dini, para calon siswa harus bersedia dikurung di balik tembok, jauh dari dunia luar. SMP St. X juga punya sekolah menengah atas bernama sama, yang juga mewajibkan kehidupan berasrama.
Orangtuaku tidak memberiku pilihan. Mereka mau yang terbaik untukku.
Hari ini setiap siswa baru akan dibagi ke dalam Unit Asrama. Ada empat unit yang dinamakan sama seperti motto sekolah itu: Veritas, Virtus, Fides dan Amor. St. X memang mengadopsi sistem boarding school ala Inggris. Tidak ada yang tahu pasti seperti ada mekanisme penyeleksian Unit ini. Ada yang bilang ditentukan berdasarkan hasil Ujian Saringan Masuk. Ada yang bilang berdasarkan hasil Psikotes. Ada yang bilang berdasarkan urutan kekayaan. Ada juga yang bilang berdasarkan takdir dan kekuatan doa.
Aku berada di peringkat dua puluh tiga dalam Ujian Saringan Masuk. Ujiannya lumayan sulit dan aku harus berkompetisi dengan para calon siswa lainnya karena St. X hanya menerima seratus siswa baru setiap tahunnya.
Upacara penempatan Unit dimulai.
Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan memanggil nama kami satu-satu dan mulai memisahkan kami dalam empat kelompok. Perutku mulai melilit. Acara panggil-panggilan ini betul-betul bikin tegang. Kualihkan pikiranku untuk mengamati proses seleksi ini. Aku menerka-nerka, atas dasar apakah kami dikelompokan ke dalam empat kelompok ini? Tingkat kecerdasan? Tampang? Uang? Jabatan orangtua?
Tiba-tiba awan bergeser dan cahaya matahari yang menyilaukan jatuh menimpaku. Aku berpaling dan pandanganku jatuh ke sebuah benda.
Ransel sekolah warna hijau.
Dengan gambar sebuah lencana besar dan empat binatang.
Singa, Ular, Rajawali dan Musang.
Draco dormiens nunquam titilandus.
Aku nyengir. Ternyata bukan aku saja yang mengganggap St. X mirip Hogwarts. Aku menatap si pemilik tas di depanku.
"Lo suka Harry Potter?"
Si cowok yang rambutnya agak jabrik-jabrik ditopang penggunaan minyak rambut skala besar itu menatapku dengan cool dan menjawab santai. "Iya."
"Tas lo," tunjukku, masih terpukau dengan ransel itu. "Beli di mana?"
"Ini?" jawab si cowok jabrik. Dia kelihatan takjub menyadari ada yang peduli sama tas sekolahnya. "Beli di Gramedia. Lo suka Harry Potter juga?"
"Iya. Lo udah baca bukunya?"
"Satu sampai tiga. Elo?"
"Empat," jawabku, "Satu, Tiga."
"Ih," pekik si cowok jabrik. "Lo kok bacanya ngacak begitu?"
"Iya, gue baca buku empat duluan. Hadiah ulang tahun dari bonyok. Waktu itu gue sengaja pilih yang paling tebel."
"Gue belom baca yang buku empatnya."
"Gue belom baca buku duanya."
"Wah," si cowok jabrik sumringah. "Gue punya buku duanya!"
"Gue punya buku empatnya!"
"Wuih! Pas banget dong! Kita tukeran aja!"
Cengiranku semakin lebar. "Umm, gue nggak bawa sekarang. Ada di rumah gue. Kalau mau, tunggu weekend dulu biar bisa gue ambil."
"Rumah lo di mana?"
"Dekat sini."
"Oh ya?" si cowok jabrik kelihatan terkejut. "Dekat banget?"
"Banget!" Aku mengamini. "Lima ratus meter dari sini."
"Wow!" Cowok itu terperangah. "Tapi lo rela masuk asrama gitu?"
"Yaaa, habis mau gimana lagi. Memang wajib, kan?"
"Iya sih..."
Aku nyengir.
"Ngomong-ngomong gue Raka," kata si cowok jabrik, mengulurkan tangannya.
Kubalas uluran tangan itu sambil tersenyum lebar. "Gue Jojo. Nice to meet you."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top