Epilog


Angin berembus dengan kencang, meniup rok-rok kain para wanita, menembus jaket yang dikenakan anak-anak, dan menerbangkan rambut para pria. Nyanyian lagu-lagu terdengar samar-samar di antara suara tiupan angin, tapi orang-orang itu tetap menyanyi.

Pastor menghampiri peti dan memercikinya dengan air suci. Ia mengucapkan doa-doa dalam bahasa Latin, yang dijawab para pekabung dengan lemah. Empat orang laki-laki bersiap di keempat sisi peti, setiap orang memegangi tali yang terhubung dengan peti.

Ella menggandeng lengan Jojo dan mendekap suaminya itu. Jojo bungkam, dia tidak sanggup menyanyi saat ini. Di sebelahnya, Merwin bernyanyi dengan suara bergetar. Wajahnya kelihatan tegang, dia nyaris tidak tidur selama seminggu ini.

Aku tidak tahan lagi. Kubenamkan wajahku ke saputangan dan terisak-isak.

Tangan seseorang mendarat di punggungku. Aku kenal tangan itu.

"Kamu udah berusaha buat nolongin Ben," kata Gilang dengan suara tenang.

Aku mengangkat wajah. Aku tahu Gilang benar. Aku sudah berusaha. Hanya saja kenyataan ini sulit kuterima. Sebagai dokter, Ben adalah "pasien" pertamaku yang meninggal dunia. Ben, sahabat karibku sendiri.

Malam itu, aku mengerahkan seluruh kemampuan dan pengetahuan medisku untuk menyelamatkan Ben. Sahabatku itu tidak sadarkan diri, gejala-gejala fisiologisnya menandakan dia mengalami overdosis. Sampai detik itu, aku tidak pernah tahu kalau Ben mengonsumsi obat-obatan terlarang. Ben tidak pernah menyinggung sedikit pun tentang penyakit, dan dari percakapan-percakapan kami di telepon, dia kedengaran sehat-sehat saja.

Kami melarikan Ben ke rumah sakit, tetapi ia meninggal dalam perjalanan. Hasil tes darahnya menyatakan tubuh Ben sudah tercemari obat penenang dengan dosis tinggi. Obat itu biasa digunakan untuk terapi penderita bipolar. Mae tidak bisa memberikan keterangan apa-apa, wanita itu hanya diam seribu bahasa. Dia juga tidak mengizinkan polisi melakukan autopsi. Aku menduga Mae sudah tahu tentang kecanduan Ben dan penyakitnya. Sesuatu pasti terjadi pada Ben malam itu—apa pastinya, tak ada yang tahu kecuali Ben sendiri.

"Ben udah tenang sekarang," kata Gilang.

Hatiku bergejolak. Apa Ben betul-betul sudah tenang? Ben tidak akan mengonsumsi obat itu sampai overdosis seandainya dia dalam keadaan tenang malam itu. Tidak akan ada yang tahu, apa sebetulnya yang ada di isi hati Ben malam itu. Merwin yang terakhir kali mengobrol dengan Ben, dan katanya Ben kelihatan tidak ada masalah.

Aku berusaha keras menepis ide bahwa bisa jadi Ben bunuh diri.

"It's not your fault," ulang Gilang. Dia tahu tahu betul betapa terpukulnya kami semua.

Aku menarik napas malam-malam dan mengangguk. Kucoba meyakinkan diriku sendiri sambil membisikan doa untuk Ben. I'll miss you, bro. We all will. Be safe there...

"Ya. Ben udah tenang sekarang."

Kulirik Merwin di sebelahku. Rupanya sedari tadi dia menguping obrolanku dengan Gilang. Dia menarik napas. Dari ekspresi wajahnya, aku tahu ada begitu banyak pertanyaan yang berputar di benak Merwin saat ini. Malam itu harusnya menjadi akhir yang bahagia bagi mereka semua, bukan hanya Jojo saja.

"I thought he was happy," bisik Merwin lirih. "He said he was happy."

Tentu saja Ben bahagia, dalam hati aku mencoba mendukung kata-kata Merwin itu. "Ben punya istri dan anak yang mencintainya. Dan juga sahabat-sahabat yang merindukannya."

"Seandainya gue tahu apa yang akan terjadi selanjutnya malam itu, gue pasti nggak akan merokok ke luar dan memilih untuk tetap mengobrol dengan Ben." kata Merwin sambil terisak-isak. "Mungkin aja kalau waktu itu gue tetap tinggal, Ben bakal cerita sesuatu ke gue."

"Win, we should stop blame ourselves for this."

"Gue tahu. Cuma..." Merwin mengelap hidungnya yang beler dengan lengannya.  "Gue merasa nggak pernah mendengarkan Ben. Selama lima belas tahun kita berteman, mereka, gue jarang menganggap serius kata-kata Ben. Gue sering begitu fokus sama diri gue sendiri, sampai-sampai buta sama kesulitan hidup kalian."

Ah. Aku lega mendengar itu. Merwin sudah menyadarinya. "We all make mistakes, Win."

Merwin mengangguk dalam-dalam dan berbisik pada peti itu, "Maaf karena gue udah egois banget sama elo, Ben..."

Aku mengalihkan pandanganku pada Mae. Istri Ben itu kelihatan letih, seluruh kejadian ini sudah menyerap seluruh energinya. Rio menangis. Ayah Ben memeluk cucunya itu dan menjauh dari liang kubur. Pria itu kelihatan sama letihnya dengan Mae, seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Dia tidak sanggup menyaksikan peti itu diturunkan.

Lagu-lagu perkabungan yang menyesakkan mengiringi peti Ben menuju liang. Proses penguburan berlangsung lebih cepat dari biasanya. Rupanya para penggali kubur itu enggan berlama-lama di cuaca yang tidak bersahabat seperti ini. Setelah diturunkan, pastor mengambil segenggam tanah dan menaburkannya di atas peti itu, sambi membacakan beberapa doa. Setelah selesai, sekop-sekop mulai bekerja, mengeruk tanah-tanah yang becek dan dingin dan menjatuhkannya ke atas peti Ben. Tidak butuh lama hingga peti Ben sepenuhnya tertutup tanah. Pastor memberkati makam itu sekali lagi. Lalu orang-orang mulai bergerak perlahan menghampiri tempat peristirahatan terakhir Ben.

Kami bergerak dalam antrean di sekeliling makam. Kami menebar bunga-bunga di atas makam Ben, mengucapkan salam perpisahan padanya dengan emosional. Aku tahu Jojo juga sama terpukulnya denganku dan Merwin. Dia tidak pernah menyangka sahabatnya sendiri meninggal di pesta pernikahannya.

Ella menarik lengan Jojo untuk menjauh. Dia meletakan tangannya di telapak tangan Jojo dan menggenggamnya. Matanya yang coklat gelap memandang suaminya dengan hangat, menentramkannya. "Sudah waktunya pergi," bisik wanita.

 Jojo menarik napas. Dia menoleh ke belakang dan menatapku serta Merwin. Jojo tersenyum.  Merwin membalas senyumannya itu. Aku juga.

Sudah waktunya untuk pergi.


TAMAT

1 Januari 2017 - 00.37

13 Februari 2022 - 09.57

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top