Enam
Pria itu lebih sering muncul sekarang.
Ku-scroll down laman profil Instagram Claudia. Pacarku itu baru kembali dari liburan di Spanyol. Ada banyak foto-foto cantik gadis itu: Claudia sedang berjemur di pantai hanya mengenakan bikini warna-warni, Claudia mencoba tarian Flamenco, hingga Claudia yang berada di perkebunan anggur. Lalu ada juga foto Claudia di depan Sagrada Familia, mengenakan kacamata hitam yang membuat wajahnya tampak mungil. Si bangsat bernama Hugo itu menemani Claudia dalam liburan ini. Wajahnya muncul hampir di semua foto-foto itu. Ingin rasanya aku meraih ke dalam monitor untuk merobek-robek wajahnya, memisahkan tampangnya yang lemah dan jelek itu dari Claudia yang seperti dewi Romawi.
Siapa sih dia ini?
Claudia men-tag Hugo dalam album fotonya. Hugo Montessori. Nama kampungan. Aku mengeklik profilnya. Terkunci. Sial. Tidak banyak yang bisa kuketahui soal pria itu selain dia berasal dari Italia dan berasal universitas yang sama dengan Claudia.
Kenapa Claudia bisa naksir orang seperti si Hugo ini?
Tidak. Selera Claudia tidak serendah itu.
Si Hugo ini kelihatan seperti pria lembek dan jujur saja, sedikit gay. Aku tahu persis pria macam apa dia ini. Aku bisa meninju wajahnya dan dia pasti akan lari terbirit-birit, tak mampu melawan. Claudia tidak suka pria seperti itu. Dia mendambakan pria sejati, yang sanggup membela sekaligus memujanya. Pria sepertiku.
Tidak, aku yakin hubungan Claudia dan Hugo pasti tak lebih dari sekedar teman.
Aku melihat-lihat lagi foto-foto lama Claudia. Inilah satu-satunya caraku mengobati rindu padanya. Kami masih berkomunikasi tetapi jarang sekali. Kebanyakan pesanku hanya dibalas dengan jawaban-jawaban singkat seperti "LOL", atau jika tidak, dia hanya memberi Like saja.
Aku ingin mengobrol dengannya, menanyakan kabarnya, kapan dia akan kembali. Aku sudah tiga kali ke Italia tapi Claudia terus-terusan menolak jika kuajak bertemu. Katanya dia sibuk sekali. Pada kujunganku yang terakhir, akhirnya dia setuju untuk bertemu. Aku sudah memesan meja di sebuah restoran yang sangat menawan di Roma, tapi ujung-ujungnya aku malah menikmati makan malamku seorang diri.
Ketika aku menghubungi Claudia, dia meminta maaf karena ada urusan mendadak yang tak bisa dilewati. Jawaban macam apa itu. Aku kecewa berat, tetapi tak sampai hati menyalahkannya. Dia bersedia bertemu denganku saja sudah membuatku senang sekali.
Aku terhenti di foto yang Claudia sedang duduk di kereta. Hugo si banci itu, duduk di sebelahnya. Kuperhatikan foto itu baik-baik.
Astaga.
Aku mengusap wajahku. Apa-apaan ini?
Mereka berdua berpegangan tangan dengan mesra. Claudia bahkan terlihat menempelkan tubuhnya pada pria itu. Apa maksud semua ini? Mereka kan hanya sahabat! Untuk apa harus bermesra-mesraan seperti itu dan diumbar ke publik segala?
Claudia milikku. Aku pacarnya. Dia tetap single karena dia masih punya rasa padaku. Dia mungkin bisa membohongi dirinya sendiri soal itu, tetapi dia tidak bisa membohongiku. Aku masih bisa menemukan rasa itu dalam sorot matanya yang sendu. Dia merindukanku. Kami telah berjanji untuk hidup bersama. Seharusnya kami masih bersama sampai sekarang. Seharusnya kami sudah hidup bahagia berdua saat ini.
Tok, tok, tok...
Buru-buru kumatikan layar ponselku. "Masuk!"
Pintu terbuka. Stella melongok dari ambang pintu. "Pak Merwin, saya pulang duluan, ya pak."
"Lho, memangnya sekarang jam berapa?"
Stella mengecek jam tangannya. "Setengah delapan pak."
"Saya bisa minta tolong kamu untuk melacak seseorang? Namanya Hugo Montessori. Saya mau kamu mengumpulkan segenap informasi yang bisa kamu dapat tentang orang ini. Saya kirim link Instagram-nya ke kamu sekarang."
Stella menggigit bibir. Dia mulai melakukan itu lagi. Bergerak-gerak seolah ada belut di antara kedua pahanya. Tingkahnya itu membuatku sangat terganggu.
"Apa bisa saya kerjakan besok saja, Pak? Saya harus masak makan malam buat suami."
Duniaku sedang diluluhlantakkan oleh seorang banci tak tahu malu dan yang dipikirkan wanita ini adalah suaminya. "Ini penting sekali. Saya perlu infonya sekarang juga."
"Apa dia salah satu klien investor, Pak?"
Aku ingin membunuh si Hugo keparat ini! "Kerjakan saja!"
Stella meluruskan blazer-nya. "Pekerjaan saya untuk hari ini sudah selesai semua pak. Saya akan merangkum informasi soal pria itu besok pagi. Laporannya akan ada di meja bapak ketika bapak datang. Jika bapak tidak keberatan..."
"Well, saya keberatan!"
Stella menarik napas dalam-dalan dan menegakan diri. "Saya minta tolong Pak, hari ini saja. Minggu ini suami saya sedang dapat shift pagi."
Risiko orang menikah. Kenapa kaum wanita begitu terburu-buru untuk menikah ketika usia mereka mendekati tiga puluh seolah besok hari kiamat?
"Kamu serius?"
"Iya Pak."
Kutatap Stella. Sepertinya wanita itu bersungguh-sungguh. Brengsek. Suami macam apa yang tidak bisa menyiapkan makan malam sendiri sehingga perlu dibantu istrinya?
Stella berbalik dan cepat-cepat minggat sebelum aku bisa berkomentar apa pun.
"Stella! Tunggu!"
Aku mendengar langkah-langkah kesal wanita itu kembali ke arah ruanganku. Ketika wajah sebalnya muncul di ambang pintu, dia tidak mengatakan apa-apa.
"Telepon suami kamu."
Stella melotot. "Buat apa, Pak?"
"Kita makan malam di Table 8."
"Kita, Pak?"
"Iya. Kamu, saya sama suami kamu. Siapa namanya? Anton?"
Stella tidak mengangguk atau menggeleng. "Ehm, maaf. Saya tidak bisa, Pak."
"Lho, kenapa? Kamu bilang barusan kamu harus pulang buat masak makan malam. Sekarang saya mau traktir kamu dan suami makan malam. Ada yang salah?"
Ketika Stella mengangkat wajah, aku tidak menduga dia sudah merona tersipu-sipu seperti orang demam. Ada apa sih dengan dia?
"Jangan, Pak. Takut ketahuan sama suami."
"Apa maksud kamu?"
Stella tersenyum malu-malu. "Itu... anu, pak. Soal yang di Surabaya waktu itu. Sebaiknya bapak jangan ketemu Anton. Nanti, ehm..."
Kemarahanku memuncak. "Saya cuma mau ngajak kamu makan malam! Yang di Surabaya itu kan sudah lama lewat!"
"I-iya, Pak. Maaf. Tapi saya belum... saya... Anton tidak tahu..."
"Tahu apa? Kalau kamu main sama saya?"
"Aaah!" Stella meringis. "Jangan keras-keras, Pak! Nanti ada yang nguping!"
"Tinggal kita berdua di kantor." Aku mencoba sedikit lembut. Kasihan juga melihatnya terdesak seperti ini. Stella yang memohon-mohon seperti ini mengingatkanku pada malam-malam yang kami lewatkan bersama di kamar-kamar hotel, ketika dia memohon padaku sambil meringis untuk pelan-pelan saja. Aku tahu itu hanya trik mereka, para wanita. Berpura-pura tersiksa padahal sebetulnya mereka menikmatinya. "Kamu jadi makan malam atau nggak, nih?"
"Bapak serius?"
"Iya dong."
Stella menegakkan diri dan tersenyum malu-malu. Aku bangkit berdiri. Kutarik pinggangnya. Dia tidak melawan ketika tangan kiriku mulai melepas kancing blus-nya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top