Empat
Kamar atas betul-betul riuh. Penjaga asrama yang bertugas malam itu, Pak Chris, rupanya berpura-pura nggak tahu dan memutuskan untuk membiarkan tradisi berlanjut.
Aku tak bisa tidur. Besok giliran kamar bawah.
Gedung asrama pria di SMA St. X lebih terpisah dibandingkan asrama SMP. Ada dua lantai dan empat sisi—masing-masing mewakili keempat Unit: Ksatria, Cendekia, Dharma dan Asha. Setiap sisi terdiri dari empat kamar tidur, masing-masing kamar dihuni oleh enam orang siswa. Setiap kamar memiliki satu Tutor, seorang siswa senior yang ditunjuk untuk mengayomi teman-teman sekamarnya.
Sebuah tradisi menjadi pemicu segala keriuhan ini. Tradisi plonco SMA versi asrama ini terpisah dan sebetulnya tidak resmi terprogramkan. Aku sudah mendapat bocoran dari beberapa senior Ksatria—unitku—dan kata mereka plonco tahun ini adalah mengambil bola basket bertanda merah yang sengaja disembunyikan di dalam Sports Hall.
Buat yang tidak paham kondisi St. X, hal ini kedengarannya sepele. Tetapi Sports Hall terletak di bagian paling belakang kompleks, sekitar sekitar dua ratus meter dari gedung asrama, terpisah lapangan sepak bola dan laundry. Tempat itu luas, gelap, sekaligus terkunci; para siswa dilarang memasukinya di luar jam Penjaskes atau rekreasi. Kami pun tidak bisa keluar dari gedung asrama selewat jam sembilan malam, karena pintu asrama akan dikunci. Ditambah lagi ada satpam yang berpatroli mengelilingi kompleks setiap dua jam sekali. Dan ada cerita turun-temurun tentang wanita berjubah putih yang suka nongkrong di pohon pinus raksasa di depan Sports Hall menjelang tengah malam.
Untuk melakukannya, kami harus mencuri dua kunci dari ruang Pamong, membuka pintu asrama, mengendap-endap ke Sports Hall tanpa tertangkap satpam, menyisiri gedung itu sampai menemukan bola basketnya, dan kembali lagi ke asrama. Jadi bisa dibilang plonco ini mirip acara uji nyali yang hampir mustahil dilakukan. Kalau ketahuan menyelinap, kami bisa kena skors dari sekolah, karena acara plonco ini sebetulnya ilegal. Akibatnya sama-sama mengerikan buat mereka yang menolak melakukannya: anak-anak itu bakal dicap pengecut sepanjang hidup mereka di St. X, dan bakal dijadikan "babu" bersih-bersih kamar senior di unit masing-masing.
Memikirkan ini, aku ngeri luar biasa. Aku ingin pulang tapi tak mungkin. Pamong asrama pasti tidak mengizinkan, apalagi jika tanggalnya bertepatan dengan acara plonco berlangsung. Jojo sangat sangat beruntung, karena dia terjangkit cacar air dan harus dikarantina di rumah.
Sorakan kembali terdengar dari kamar-kamar unit Cendekia di atas. Salah satu "pejuang" mereka sudah bersedia melakukan misi ini.
Aku bergidik. Saat ini hanya ada satu orang yang bisa menyelamatkanku dari ancaman memalukan ini. Menurut para senior yang bisa luput dari tradisi ini sebelumnya, Kak Hendra sang pemimpin unit Dharma, bisa menyelamatkanku. Entah bagaimana caranya, aku sendiri tidak tahu. Tidak ada yang berani membuka rahasia sepenuhnya padaku soal ini.
Jika tindakanku ketahuan, aku bakal dikucilkan selamanya oleh teman-teman satu unitku. Meminta bantuan dari unit lain dianggap aib besar karena setiap unit bersaing satu sama lain untuk memenangkan Piala Asrama di akhir semester. Kalau sampai aku ketahuan meminta tolong seorang pembesar Dharma, kehidupan SMA-ku di St. X pasti tamat.
Tapi, pilihan apa yang aku punya?
Malam itu, aku bertekad untuk menyambangi asrama dan menuju kamar Kak Hendra. Aku harus mengendap-endap seperti kucing supaya bisa sampai di kamar Kak Hendra yang berada di pojok atas Utara asrama. Sejujurnya aku bingung bagaimana mengutarakan hal ini ke Kak Hendra tanpa membangunkan kelima teman sekamarnya.
Aku mengetuk. Pintu dibuka oleh Kak Hendra sendiri.
"Ya?"
"Kak, gue Raka. Sori ganggu malam-malam."
Kak Hendra tersenyum. Syukurlah dia tersenyum. "Lo anak Ksatria kan?"
"Iya kak. Gue mau minta tolong soal... plonco. Bukannya gue nggak ksatria, tapi—"
"Sikap ksatria seseorang nggak ditentukan dari plonco itu. Ayo masuk. Nanti ketahuan."
Kak Hendra mempersilakanku masuk ke kamarnya. Aku kaget sekali menemukan ada sudah ada sepuluh orang di kamar itu. Sebagian besar wajah-wajah itu baru bergabung dengan St. X. Tapi aku mengenali dua orang yang bukan anggota Dharma.
Aku bergabung dengan kelompok kecil yang ketakutan itu. Sesaat aku merasa aman. Untuk sementara. Kami saling berkenalan, lalu duduk berhimpitan di kamar yang tidak begitu luas itu. Kak Hendra memulai pembicaraan rahasia ini. Dia bercerita selama ini dia sudah berusaha untuk menghapus tradisi ini tapi masih saja gagal. Dan berita baiknya, dia bersedia membantu para juniornya untuk lolos dari plonco kali ini.
"Oke kak, jadi kita harus ngapain?" tanya salah satu anak Dharma bersuara cempreng dan tinggi. Seingatku namanya Ethan. Ada desas-desus yang beredar kalau anak ini gay.
"Simpel aja. Kalian harus pura-pura sibuk saat waktu plonco. Buat anak Dharma, kebetulan sekali kita bakal bikin Conveniat minggu depan."
Conveniat adalah perayaan ulang tahun bulanan dari masing-masing unit. Semacam pesta dansa kecil-kecilan yang dipersembahkan eksklusif buat para anggota unit yang berulang tahun. Acara ini membutuhkan sumber daya yang lumayan karena memerlukan dekorasi yang tingkat kemegahannya saling dipertandingkan secara tidak langsung antar unit.
"Nah, jadi gue bakal ngajak kalian semua untuk nyiapin Conveniat. Momennya pas. Kalian bisa sibuk sampai malam dan nggak bakal bisa diplonco."
Ekspresi lega langsung membanjir di tampang anak-anak Dharma.
Seorang cowok gemuk memprotes dengan suara gemetar. "Terus kita gimana kak?"
"Kalau kalian..." Kak Hendra menatapku, si gemuk, dan seorang cowok atletis di sebelahnya sambil berpikir sejenak. "Kalian harus milih salah satu kegiatan yang berlangsung sampai malam. Pilihannya cuma dua; mau bantuin cuci piring di ruang makan atau ikut kegiatan klub."
"Cuci piring?" tanya si gemuk. Dia kelihatan tersiksa.
"KLUB!" teriak si atletis.
Aku mendengus. Yang benar saja.
"Merwin memilih klub," kata Kak Hendra. "Ben sama Raka gimana?"
"Klub apa kak?" tanyaku.
"English Debate."
Ah, sialan! Dari segala macam klub yang ada di sekolah ini, apa English Debate itu satu-satunya pilihan? Ingin rasanya aku berteriak tapi bagaimana cara melakukannya tanpa membangunkan seisi asrama?
"Lebih baik kita pilih klub!" Si atletis bernama Merwin itu nyeletuk dengan sok. "Lo pada mau nyuciin piring satu sekolahan? Iya sih sampai malam, tapi pasti capek banget!"
Aku diam saja. Ini bencana. Meski Bahasa Inggrisku tergolong lumayan bagus, aku paling tidak pede disuruh public speaking semacam itu. Aku tidak mau sukarela menjadi badut di klub itu. Bisa jadi aku mati muda.
"Nah?" tanya Kak Hendra. "Jadi apa pilihan kalian?"
"English Debate Club!" seru Merwin berapi-api.
Aku melirik cowok tambun bernama Ben itu. Dia hanya diam termangu. Tampangnya sih cukup ramah. Mungkin kami bisa berteman. Aku menatap Merwin. Sepertinya dia tipikal achiever yang berani taruhan pasti bakal mencalonkan diri sendiri untuk Ketua OSIS periode berikutnya. Dia melotot menatap Kak Hendra seolah ingin menelan senior kami ini.
Tiba-tiba Ben buka suara. "Oke deh, kak."
Aku menelan ludah. Aku akan langsung cabut setelah dua minggu di klub. Aku bisa apa lagi? "Gue ikut."
Kak Hendra tersenyum. "Oke. Gue bakal hubungi Miss Mieke. Jadi Merwin, Raka dan Ben, mulai sekarang kalian bakal gabung di English Club!"
...
Jam satu dini hari.
Aku mengusap wajah dan menguap. Mataku nyaris tertutup. Punggungku terasa kaku. Ibu-ibu muda yang harus melahirkan tadi betul-betul menguras tenagaku. Dia harus menjalani operasi C-section sehingga aku mengopernya ke kamar bedah.
Aku menyeret tubuhku menuju kantin. Aku butuh kopi. Masih empat jam lagi sampai shift malamku berakhir dan hanya Tuhan yang tahu apa lagi yang akan datang malam ini. Semoga bukan korban kecelakaan. Itu adalah momok mengerikan bagi dokter manapun.
Koridor menuju kantin menyala terang benderang, namun sepi. Hanya ada beberapa perawat yang mondar-mandir sambil memegang catatan. Mereka tersenyum kepadaku tapi tidak menyapa. Mereka tidak tahu namaku dan tak mau juga repot-repot beramah-ria dengan dokter baru sepertiku.
Biarlah begitu. Toh aku juga tidak suka kalau ada terlalu banyak orang yang mengenalku.
Kantin rumah sakit sepi. Aku menuju konter minuman. Untunglah konter ini buka dua puluh empat jam. Manajemen rumah sakit tahu mereka bisa tutup jika tidak ada stok kafein yang memadai untuk para dokter.
"Mas, kopinya satu!"
Petugas penjaga konter menatapku dengan kasihan. "Berat?"
Aku mengangguk. "Berat." Itu adalah kode yang digunakan di sini untuk kopi kental. Manajemen rumah sakit telah menakar porsi kopi untuk para staf dengan alasan dapat memicu serangan jantung.
Tentu saja itu konyol, kami ini kan dokter. Bisa-bisanya mereka berpikir bisa menakut-nakuti para dokter dengan penyakit jantung. Alasan sesungguhnya adalah penghematan. Bisa dimaklumi mengingat para staf bisa menikmati menu gratis di kantin. Beberapa waktu lalu sajian kopinya terlalu encer sehingga nyaris mirip air. Seseorang rupanya berhasil mengajak petugas kantin kongkalikong dan sejak saat itulah istilah 'Berat' jadi populer.
Aku memejamkan mata mencoba tidur beberapa saat. Sesaat terbersit keinginanku untuk menelepon Merwin. Atau Ben. Atau mungkin Jojo. Entahlah, siapa saja. Aku perlu mengobrol dengan mereka. Lalu aku sadar. Bodoh. Mereka pasti lagi ngorok saat ini. Ya, kami para dokter selalu menganjurkan tentang tidur ideal yang sesuai dengan irama sirkardian tubuh sementara kami sendiri melanggarnya setiap hari.
"Ini kopinya, Dok."
Aku mendongak. Aroma bubuk kopi yang baru diseduh tercium begitu nikmat. Kusambar kopi itu dan kucicipi.
"HAAAAH! Panas, panas, panaaaassss!"
Sialan! Sengatan air mendidih di lidahku membuatku melompat kaget. Lidahku terbakar. Sialan, sialan, sialan! Kenapa aku bisa begitu bodoh?
"Hati-hati."
Aku menoleh.
Seorang pria tinggi berdiri di belakangku, mengenakan seragam bedah warna biru. Wajahnya persegi dan ada janggut tipis di dagunya. Dia tidak mengenakan penutup kepala. Dokter itu sedang mengamatiku dengan ekspresi campuran antara geli dan iba.
"Lo kenapa?"
Aku meringis. Lidahku perih sekali. "Itu, kopi..." Aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan ini tanpa kelihatan bodoh. "Panas."
Semula kukira pria itu akan menertawakanku tapi dia diam saja. "Lo di ICU?"
Aku memejamkan mata. Aku sedang tidak ingin ngobrol. "Iya."
"Masih baru, ya?"
Aku memutar mata sebagai jawaban. Apa urusan dia jika aku dokter baru atau direktur rumah sakit? Aku harus mencari cara sopan untuk meminta pria ini menyingkir.
"Udah berapa lama?"
Aku mengangkat tangan kananku. Bro, just go!
"Lima bulan?"
Aku mengertakan gigi. Rasanya ingin kutelan pria ini bulat-bulat. Ternyata dokter bodoh betulan ada. "Lo nggak mau ngopi? Enak lho. Gratis lagi!"
"Gue tahu. Ada banyak rasa juga," jawab pria itu. Dia mengulurkan tangannya. "Gue Adrian. Anestesi. Lo?"
"Cuma dokter baru."
Adrian Anestesi membungkuk. Aku otomatis mundur. Semula kupikir dia bakal menyerangku. Tapi dia hanya menyipitkan mata seperti sedang membaca sesuatu yang kecil lalu berujar. "Raka?"
Aku mencabut papan nama sialan itu dan menjejalkannya ke dalam saku jas dokterku. Apa sih mau pria ini? Aku hanya ingin menikmati kopiku dengan tenang! Aku berbalik dan memunggunginya. Kopiku menuntut untuk diminum setelah nyaris tumpah tadi, dan tak seorang pun dapat menggagalkannya.
Adrian Anestesi malah duduk di sampingku.
"Dari kampus apa?"
"Lupa."
Dia tertawa. Tawanya lepas dan keras.
Aku menatapnya kebingungan. Ada yang lucu? Sepertinya pria ini sudah terlalu banyak menghirup obat bius sehingga otaknya kacau.
"Udah segitu lamanya kah elo lulus sampai-sampai lupa nama kampus sendiri?"
Baru dua tahun lalu, kok. Aku terkekeh hambar lalu memutuskan untuk tidak menggubrisnya.
"UI?"
Aku menggeleng.
"UGM?"
Ya Tuhan, dia kepo sekali.
"Atmajaya?"
"Salah." Kuhirup kopiku sedikit. Lewat sudut mataku, kulihat Adrian Anestesi telah memutar kursinya hingga duduk menghadapku. Kini dia tersenyum dengan aneh.
"Kenapa lo berpikir gue anak UI atau UGM?"
Senyum Adrian Anestesi berubah jadi cengiran lebar. "Karena cuma alumni mereka yang biasanya jutek-jutek karena merasa sebagai pemilik rumah sakit ini."
Masuk akal. "Mm-hmm..."
"Jadi, sebenarnya lo dari kampus mana?"
Airlangga, jawabku dalam hati. Tapi aku tidak mengatakannya.
Melihat sikapku yang diam Adrian Anestesi mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku bisa mencium aroma sabun antiseptik yang digunakannya untuk mencuci tangan. Sisi ilmiahku langsung mengambil alih.
"Baru selesai?"
Dia menggaruk janggut tipisnya. "Yap."
"Pasien apa?"
"Siapa yang kepo sekarang?"
Sialan. Aku berbalik kembali menekuni kopiku. Seharusnya aku tidak terpancing olehnya. Banyak orang brengsek di tempat ini.
"Gue baru abis delivery seorang ibu hamil," kata Adrian, kedengaran agak malas-malasan. "Bayinya lumayan besar. Hampir empat setengah kilo."
Aku terhenyak. Ibu hamil? Jangan-jangan...
"Ada dokter baru yang jaga di IGD, tetapi terlalu takut buat delivery bayi. Jadinya terpaksa gue ambil alih. Padahal shift gue udah selesai dari sore..."
Aku berbalik. Wajahku langsung mati rasa seolah kena suntik obat bius dosis tinggi.
Adrian Anestesi menatapku seolah dia akan menerkamku hidup-hidup. Lalu dia nyengir.
Aku menarik napas. Mungkin aku harus mengajaknya ngobrol.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top